Soros and Hydrocarbons: What's Really Behind the Rohingya Crisis in Myanmar
SDA, Selalu perebutan itu yang terjadi dalam setiap konflik terlepas nanti apa 'proxy bermain', bisa agama, bisa komunis dan lain lainnya.
https://sputniknews.com/analysis/201709051057098493-myanmar-rohingya-energy-china-soros/ mengungkapkan sedikit latar belakang itu
Konflik Rohingya di Myanmar, yang kembali memanas pada bulan Agustus 2017, terlihat sebagai suatu krisis multidimensi dengan terlibatnya para pemain geopolitik yang besar. Demikian menurut para pengamat yang mengacu kepada alasan internal dan eksternal di balik meningkatnya kekerasan baru-baru ini di negara itu.
Dmitry Mosyakov, Direktur Pusat Asia Tenggara, Australia dan Oseania di Institut Studi Oriental Russian Academy of Sciences, menyatakan, konflik ini memiliki tiga dimensi.
“Pertama, ini adalah persaingan melawan China, karena China memiliki investasi yang sangat besar di Arakan [Rakhine],” Mosyakov, seperti dikutip RT (media Rusia).
“Kedua, untuk mendorong kekuatan ekstremis Muslim di Asia Tenggara. Ketiga, ini adalah upaya untuk menabur perselisihan di negara ASEAN [antara Myanmar dengan Indonesia-Malaysia yang didominasi Muslim]”.
Menurut Mosyakov, konflik yang sudah berkepanjangan ini digunakan oleh pemain luar untuk merongrong stabilitas di Asia Tenggara, terutama melihat fakta adanya uang besar yang dipertaruhkan, yaitu cadangan hidrokarbon (minyak dan gas) yang luas yang terletak di lepas pantai negara bagian Rakhine.
“Ada ladang gas yang sangat besar bernama Than Shwe, [ini] nama jenderal yang pernah lama berkuasa di Burma,” kata Mosyakov. “Selain itu, zona pesisir Arakan [Rakhine] hampir bisa dipastikan mengandung minyak.”
Setelah cadangan energi Rakhine yang besar ditemukan pada tahun 2004, China pun tertarik. Pada tahun 2013, China menyelesaikan jaringan pipa minyak dan gas alam, yang menghubungkan pelabuhan Kyaukphyu di Myanmar dengan kota Kunming di provinsi Yunnan, China.
Pipa minyak ini akan mengirimkan minyak mentah dari Timur Tengah dan Afrika ke China, tanpa perlu lagi melintasi Selat Malaka, sedangkan pipa gas akan mengantarkan memindahkan hidrokarbon dari ladang lepas pantai Myanmar ke China.
Perkembangan proyek energi Sino-Myanmar bertepatan dengan eskalasi konflik Rohingya di tahun 2011-2012 ketika 120.000 pengungsi Rohingya meninggalkan negara tersebut untuk melarikan dari pertarungan pertumpahan darah.
Menurut Dmitry Egorchenkov, wakil direktur I Institute for Strategic Studies and Prognosis pada the Peoples’ Friendship University of Russia, ini bukan sebuah kebetulan. Meskipun ada penyebab internal tertentu di balik krisis Rohingya, hal itu juga dapat didorong oleh para pemain eksternal, terutama, Amerika Serikat.
Destabilisasi negara Myanmar dapat memengaruhi proyek energi China dan menciptakan ketidakstabilan bagi Beijing. Mengingat krisis yang sedang berlangsung antara AS dan Korea Utara, negara tetangga China lainnya, Beijing mungkin segera menemukan dirinya terperangkap dalam pertempuran itu.
Sementara itu, Satgas Burma (Burma Task Force), yang terdiri dari sejumlah organisasi yang didanai oleh George Soros, telah aktif beroperasi di Myanmar sejak tahun 2013. Mereka aktif menyeru kepada masyarakat internasional untuk menghentikan apa yang mereka sebut “genosida kelompok minoritas Muslim Rohingya.” Namun, campur tangan Soros dalam urusan domestik Myanmar bisa dilacak jauh sebelumnya.
Pada tahun 2003, George Soros bergabung dengan sebuah kelompok satgas Amerika (US Task Force) yang bertujuan untuk meningkatkan “kerja sama Amerika Serikat dengan negara-negara lain untuk mewujudkan transformasi politik, ekonomi dan sosial yang telah lama tertunda di Burma [Myanmar].”
Dokumen Dewan Hubungan Luar Negeri (CFR) pada tahun 2003 yang berjudul “Burma: Time For Change” (Burma: waktu untuk berubah) yang mengumumkan pembentukan kelompok tersebut menegaskan bahwa “demokrasi … tidak dapat bertahan di Burma tanpa bantuan dari Amerika Serikat dan masyarakat internasional.”
“Ketika George Soros datang ke negara ini atau negara itu, dia mencari pertentangan religius (agama), etnis (suku) atau sosial, [lalu] memilih model tindakan untuk salah satu atau kombinasi dari konflik itu, kemudian mencoba untuk memanaskannya,” kata Egorchenkov.
Di sisi lain, menurut Mosyakov, kelihatannya beberapa pemain ekonomi global mapan yang berusaha mengendalikan kemajuan ekonomi negara-negara ASEAN yang berjalan cepat, dengan cara menghasut perselisihan internal di dalam ASEAN.
Para akademisi berpendapat bahwa kebijakan manajemen globalis [negara adidaya] sedang menabur perselisihan di dalam formasi regional yang stabil [di ASEAN]. Dengan memicu konflik regional, para pemain eksternal mengambil kesempatan untuk mengontrol negara-negara ASEAN dan memberikan tekanan yang cukup besar pada mereka.
Krisis Rohingya terbaru dimulai pada 25 Agustus ketika gerilyawan Muslim Rohingya menyerang pos keamanan di negara bagian Myanmar, Rakhine. Tanggapan keras dari penguasa negara tersebut memicu bentrokan kekerasan, yang merenggut nyawa setidaknya 402 orang. Namun, menurut beberapa perkiraan, sekitar 3000 Muslim terbunuh dalam konflik baru-baru ini.
Konflik yang dimulai sekitar satu abad yang lalu ini telah berangsur-angsur meningkat sejak 2011, mencapai puncaknya pada tahun 2012 ketika ribuan keluarga Muslim mencari perlindungan di kamp-kamp pengungsian di dalam wilayah Myanmar, maupun di Bangladesh. Namun eskalasi kembali terjadi pada 2016.
https://sputniknews.com/analysis/201709051057098493-myanmar-rohingya-energy-china-soros/ mengungkapkan sedikit latar belakang itu
Konflik Rohingya di Myanmar, yang kembali memanas pada bulan Agustus 2017, terlihat sebagai suatu krisis multidimensi dengan terlibatnya para pemain geopolitik yang besar. Demikian menurut para pengamat yang mengacu kepada alasan internal dan eksternal di balik meningkatnya kekerasan baru-baru ini di negara itu.
Dmitry Mosyakov, Direktur Pusat Asia Tenggara, Australia dan Oseania di Institut Studi Oriental Russian Academy of Sciences, menyatakan, konflik ini memiliki tiga dimensi.
“Pertama, ini adalah persaingan melawan China, karena China memiliki investasi yang sangat besar di Arakan [Rakhine],” Mosyakov, seperti dikutip RT (media Rusia).
“Kedua, untuk mendorong kekuatan ekstremis Muslim di Asia Tenggara. Ketiga, ini adalah upaya untuk menabur perselisihan di negara ASEAN [antara Myanmar dengan Indonesia-Malaysia yang didominasi Muslim]”.
Menurut Mosyakov, konflik yang sudah berkepanjangan ini digunakan oleh pemain luar untuk merongrong stabilitas di Asia Tenggara, terutama melihat fakta adanya uang besar yang dipertaruhkan, yaitu cadangan hidrokarbon (minyak dan gas) yang luas yang terletak di lepas pantai negara bagian Rakhine.
“Ada ladang gas yang sangat besar bernama Than Shwe, [ini] nama jenderal yang pernah lama berkuasa di Burma,” kata Mosyakov. “Selain itu, zona pesisir Arakan [Rakhine] hampir bisa dipastikan mengandung minyak.”
Setelah cadangan energi Rakhine yang besar ditemukan pada tahun 2004, China pun tertarik. Pada tahun 2013, China menyelesaikan jaringan pipa minyak dan gas alam, yang menghubungkan pelabuhan Kyaukphyu di Myanmar dengan kota Kunming di provinsi Yunnan, China.
Pipa minyak ini akan mengirimkan minyak mentah dari Timur Tengah dan Afrika ke China, tanpa perlu lagi melintasi Selat Malaka, sedangkan pipa gas akan mengantarkan memindahkan hidrokarbon dari ladang lepas pantai Myanmar ke China.
Perkembangan proyek energi Sino-Myanmar bertepatan dengan eskalasi konflik Rohingya di tahun 2011-2012 ketika 120.000 pengungsi Rohingya meninggalkan negara tersebut untuk melarikan dari pertarungan pertumpahan darah.
Menurut Dmitry Egorchenkov, wakil direktur I Institute for Strategic Studies and Prognosis pada the Peoples’ Friendship University of Russia, ini bukan sebuah kebetulan. Meskipun ada penyebab internal tertentu di balik krisis Rohingya, hal itu juga dapat didorong oleh para pemain eksternal, terutama, Amerika Serikat.
Destabilisasi negara Myanmar dapat memengaruhi proyek energi China dan menciptakan ketidakstabilan bagi Beijing. Mengingat krisis yang sedang berlangsung antara AS dan Korea Utara, negara tetangga China lainnya, Beijing mungkin segera menemukan dirinya terperangkap dalam pertempuran itu.
Sementara itu, Satgas Burma (Burma Task Force), yang terdiri dari sejumlah organisasi yang didanai oleh George Soros, telah aktif beroperasi di Myanmar sejak tahun 2013. Mereka aktif menyeru kepada masyarakat internasional untuk menghentikan apa yang mereka sebut “genosida kelompok minoritas Muslim Rohingya.” Namun, campur tangan Soros dalam urusan domestik Myanmar bisa dilacak jauh sebelumnya.
Pada tahun 2003, George Soros bergabung dengan sebuah kelompok satgas Amerika (US Task Force) yang bertujuan untuk meningkatkan “kerja sama Amerika Serikat dengan negara-negara lain untuk mewujudkan transformasi politik, ekonomi dan sosial yang telah lama tertunda di Burma [Myanmar].”
Dokumen Dewan Hubungan Luar Negeri (CFR) pada tahun 2003 yang berjudul “Burma: Time For Change” (Burma: waktu untuk berubah) yang mengumumkan pembentukan kelompok tersebut menegaskan bahwa “demokrasi … tidak dapat bertahan di Burma tanpa bantuan dari Amerika Serikat dan masyarakat internasional.”
“Ketika George Soros datang ke negara ini atau negara itu, dia mencari pertentangan religius (agama), etnis (suku) atau sosial, [lalu] memilih model tindakan untuk salah satu atau kombinasi dari konflik itu, kemudian mencoba untuk memanaskannya,” kata Egorchenkov.
Di sisi lain, menurut Mosyakov, kelihatannya beberapa pemain ekonomi global mapan yang berusaha mengendalikan kemajuan ekonomi negara-negara ASEAN yang berjalan cepat, dengan cara menghasut perselisihan internal di dalam ASEAN.
Para akademisi berpendapat bahwa kebijakan manajemen globalis [negara adidaya] sedang menabur perselisihan di dalam formasi regional yang stabil [di ASEAN]. Dengan memicu konflik regional, para pemain eksternal mengambil kesempatan untuk mengontrol negara-negara ASEAN dan memberikan tekanan yang cukup besar pada mereka.
Krisis Rohingya terbaru dimulai pada 25 Agustus ketika gerilyawan Muslim Rohingya menyerang pos keamanan di negara bagian Myanmar, Rakhine. Tanggapan keras dari penguasa negara tersebut memicu bentrokan kekerasan, yang merenggut nyawa setidaknya 402 orang. Namun, menurut beberapa perkiraan, sekitar 3000 Muslim terbunuh dalam konflik baru-baru ini.
Konflik yang dimulai sekitar satu abad yang lalu ini telah berangsur-angsur meningkat sejak 2011, mencapai puncaknya pada tahun 2012 ketika ribuan keluarga Muslim mencari perlindungan di kamp-kamp pengungsian di dalam wilayah Myanmar, maupun di Bangladesh. Namun eskalasi kembali terjadi pada 2016.
Post a Comment