HUTAN DAN OMNIBUSLAW

 


Berbagai kritik dan protes banyak kalangan terhadap Rancangan Undang-undang Cipta Kerja. Organisasi lingkungan menilai, RUU ini berpotensi mencelakakan lingkungan hidup. Beberapa pasal dalam UU guna menjamin keselamatan lingkungan, justru dihapus dengan dalih mempermudah investasi. Suara protes pun datang dari daerah seperti Sumatera Utara.
     Zenzi Suhadi, Kepala Departemen Advokasi Eksekutif Walhi Nasional menilai, ada beberapa poin dianggap ngawur dalam draf RUU yang ada kini. Poin-poin itu dia anggap mengancam keberlanjutan lingkungan hidup dan melanggengkan kejahatan korporasi.
     Di Sumatera Utara, ratusan orang dari kelompok mahasiswa dan sejumlah organisasi masyarakat sipil, pekan pertama Maret aksi unjuk rasa menolak RUU omnibus law ini.
     Amin Multazam, Direktur Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban’ Tindak Kekerasan (KontraS) Sumut mengatakan, RUU ini membuka lebar investasi dan mengabaikan hak buruh serta hak lingkungan. RUU ini, disinyalir bakal jadi pembungkaman demokrasi, pelanggaran lingkungan, sumber daya alam makin terancam, juga berpotensi melanggar hak-hak buruh.  
Ada beberapa poin dianggap ngawur dalam draf RUU yang ada kini. Poin-poin itu dia anggap mengancam keberlanjutan lingkungan hidup dan melanggengkan kejahatan korporasi.

“Di Pasal 24 sampai 29 yang berkaitan dengan amdal dan izin lingkungan. Kalau sebelumnya amdal itu jadi syarat izin lingkungan dan izin lingkungan jadi syarat izin usaha. Sekarang, izin lingkungan jadi bagian dari izin usaha. Amdal statusnya bukan lagi prasyarat tetapi faktor yang dipertimbangkan,” katanya.

Sebelumnya, kalau tak ada amdal, izin lingkungan tidak boleh terbit. Amdal disusun pemrakarsa dan diuji Komisi Amdal. Dalam RUU omnibus law ini tak ada Komisi Amdal.

Selama ini, katanya, ada ruang partisipasi masyakarat untuk menghentikan rencana berisiko terhadap lingkungan. “Dalam Komisi Amdal itu ada organisasi lingkungan hidup, ahli, akademisi. Komisi Amdal dan pihak independen. Ini dihapuskan dalam proses kajian amdal,” katanya.

Amdal dan izin lingkungan, katanya, harus tetap ada karena berkaitan dengan hak warga atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Lingkungan, katanya, tak bisa dibatasi administrasi wilayah maupun negara. Apa yang terjadi di suatu wilayah, dampaknya bukan hanya masyarakat di sekitar, bisa wilayah lain bahkan negara lain.

“Contoh kasus kebakaran hutan. Kebakaran di Riau, tapi dampak ke Singapura dan Malaysia. Ada hak semua orang terhadap lingkungan. Ini juga terkait ruang dimana seluruh manusia atau rakyat itu mempunyai sumber penghidupan.”

Zenzi juga soroti, dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No.32/2009, hak semua orang terhadap lingkungan terakomodir dengan daya dukung lingkungan. Hak orang terhadap sumber penghidupan itu, katanya, sesuai ketentuan daya tampung lingkungan.
Dalam draf RUU Cilaka, kata Zenzi, ada perubahan mendasar mengenai hak ini. Selama ini, ketika ada kejahatan lingkungan atau tindakan merusak lingkungan di suatu wilayah, setiap warga negara Indonesia bisa atau berhak mengajukan gugatan. Dasarnya, semua orang mempunyai hak untuk menyelamatkan lingkungan.

Dalam draf RUU Cilaka, kata Zenzi, hak itu hilang. “Jadi yang diberikan ruang mengajukan gugatan itu hanya siapa saja yang terdampak langsung. Kalau kita periksa hak orang yang terdampak langsung, sebenarnya ruang yang seperti apa yang diberikan?”

Kemudian, terkait limbah B3, pada Pasal 61A ada dalam UU 32/2009. Dalam draf RUU Cipta Kerja, orang perorangan atau badan usaha boleh membuang limbah B3 di sungai, laut, terus masukkan ke tanah kalau ada izin dari pemerintah.

Perubahan mendasar konyol lagi, katanya, soal tanggungjawab mutlak, dalam Pasal 88 di UU 32/2009 yang dipakai pemerintah menjerat korporasi pembakar hutan dan lahan, juga dihapus. “Lewat Pasal 88 UU 32/2009, kalau titik api berada di dalam wilayah izin perusahaan, ada tanggungjawab mutlak perusahaan. Mereka tak perlu membuktikan bagaimana itu terbakar dan siapa yang membakar,” katanya.

Padahal, berdasarkan catatan Walhi saat kebakaran hutan dan lahan hebat melanda Indonesia 2015, ada 349 perusahaan terlibat. Dengan penghapusan pasal ini, maka pemerintah tidak bisa sanksi kepada korporasi.

“Terus soal pidana di Pasal 98, 99 dan 109 yang juga mau dihapuskan. Hingga membuat perusahaan kebal dari pidana. Risikonya sangat besar. Efek jera tak akan muncul. Apa alat kontrol negara terhadap pelaku kejahatan lingkungan kalau pidananya dihilangkan?” katanya, seraya bilang RUU ini memberikan hak istimewa terhadap korporasi.

Dalam RUU ini, pemerintah juga memberikan hak impunitas terhadap korporasi dalam konteks hukum. “Pidana baru bisa berjalan kalau proses sanski administrasi sudah berjalan atau diputuskan di pemerintah.”

Walhi menilai, sedang ada proses pengendalian hukum ke eksekutif. Satu perusahaan akan kena pidana atau tidak, katanya, keputusan ada di eksekutif karena tergantung sanksi administrasi. “Kalau sanksi administrasi tidak dipenuhi perusahaan, baru pidana bisa jalan.”

Dengan memberikan hak istimewa bagi korporasi, kata Zenzi, pemerintah seperti meniru yang dilakukan Pemerintah Hindia Belanda terhadap VOC. Pada masa kolonial, VOC mendapatkan hak istimewa terdapat sumber daya alam, sedang rakyat terisolasi dari ruang hidup.

Penggusuran orang miskin kota

Citra Referandum, dari LBH Jakarta mengatakan, kalau RUU ini sah, maka penggusuran kaum miskin kota akan makin masif. Dalam draf RUU ini, katanya, ada bagian revisi UU Pengadaan Lahan untuk Kepentingan Umum.

Pada Pasal 121 angka 2, paling rentan penambahan itu soal penataan pemukiman kumuh. Padahal, katanya, sampai saat ini tak jelas terminologi pemukiman kumuh pemerintah itu seperti apa. “Pun kalau dianggap kumuh, apakah kira-kira pemerintah berhak mengusir paksa masyarakat miskin kota? Ini juga jadi persoalan ke depan,” katanya.

Dia juga khawatir soal pembangunan kawasan hulu dan hilir minyak dan gas karena bisa berdampak tak hanya penggusuran ruang hidup, juga lingkungan hidup.

Dalam Pasal 121 angka 5 UU Pengadaan Lahan juga ada persoalan, dengan penambahan Pasal 19A, disebutkan, guna pengadaan tanah di bawah lima hektar, instansi dapat langsung mengeksekusi dengan pihak yang berhak.

“Sebelumnya, itu ada proses dulu. Misal, ada hitung nilai tanah seperti apa, terus juga ditetapkan dalam peraturan gubernur, walikota, bupati dan lain-lain. Harus dibahas juga teknis pembayarannya. Harus ada konsultasi publik juga. Sekarang langsung kepada pihak yang berhak.”

Cara ini, katanya, berpotensi mengintimidasi masyarakat miskin kota. Tanpa pengaturan ini saja, katanya, selama ini sangat intimidatif , bahkan ada pengerahan aparat.

Catatan LBH Jakarta sepanjang 2018, terjadi 79 kasus penggusuran paksa melibatkan 277 keluarga dan 864 usaha. Kalau RUU ini sah, Citra khawatir, angka ini bakal bertambah.

 

Protes dari Sumut

Di Sumatera Utara, ratusan orang dari kelompok mahasiswa dan sejumlah organisasi masyarakat sipil, pekan pertama Maret aksi unjuk rasa menolak RUU omnibus law ini.

Aksi mulai dari titik nol Kota Medan di Kantor Pos Medan, Sumatera Utara. Berbagai spanduk bertuliskan penolakan terhadap RUU yang disebut oleh massa “Omnihus Law Cilaka.”

Sambil berjalan kaki menuju Gedung DPRD Sumut, massa terus orasi. Tidak sedikit pengguna jalan melintas di inti Medan memberikan dukungan dan ikut berteriak selamatkan bumi dari kehancuran. Bahkan, seorang pria yang tengah melintas di Jalan Lapangan Merdeka Medan, berhenti dan keluar dari mobil sambil mengenggam tangan kiri berteriak,” Lestari!”

Aksi menolak omnibus law ini dipusatkan di Gedung DPRD Sumut. Massa sudah ditunggu dua wakil rakyat dari Fraksi PDI Perjuangan, Rudy Hermanto dan Sugianto Makmur. Massa berorasi.

Martin Luis, Ketua Kesatuan Perjuangan Rakyat (KR) menyatakan, aksi penolakan RUU Cipta Kerja ini karena kalau sampai jadi UU akan menciptakan kesengsaraan bagi pekerja Indonesia dan memberikan karpet merah buat investor asing makin menguasai Indonesia.

Khairul Bukhari, Kepala Departemen Advokasi, Kampanye dan Kajian Walhi Sumut mengatakan, tegas menolak RUU ini. Walhi secara nasional, tegas menolak RUU ini.

 
Kebun sawit tumbuh tepat di pinggiran sungai di Kabupaten Buol. Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

 

Ari, biasa disapa, mengatakan, dalam draf RUU Cipta Kerja tertanggal 12 Febuari 2020, ada beberapa hal sangat krusial. RUU ini, banyak mengubah UU dan mengancam eksploitasi sumber daya alam.

Dalam RUU Cipta Kerja itu, beberapa aturan penting dalam penegakan hukum lingkungan dan sumberdaya alam serta agraria dihapus, seperti analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), izin lingkungan hidup dan kehutanan dipermudah, pengadaan lahan dan penggunaan kawasan hutan kemudahan proyek pemerintah. Kewenangan itu, katanya, hanya akan diatur peraturan pemerintah.

Kondisi tambah parah, kala semua perizinan tak lagi melibatkan peran atau partisipasi masyarakat, termasuk pemberian atau perpanjangan izin perkebunan atau pertambangan. “Kewenangan hanya ada di tangan pemerintah pusat.”

RUU omnibus law ini juga berusaha menghilangkan partisipasi masyarakat dalam penentuan hak atas lingkungan, dengan penghapusan izin lingkungan.

“Kami menilai, ini bentuk ketakutan pemerintah, atas perlawanan rakyat dalam konteks perlindungan lingkungan melalui gugatan izin lingkungan.”

Kekhawatiran lain, katanya, proses penunjukan kawasan hutan juga tidak lagi melalui tahap penentuan tapal batas dan penetapan. Kondisi ini, katanya, mengancam eksistensi dan pemenuhan hak masyarakat adat, masyarakat lokal, petani, dan nelayan tradisional.

Amin Multazam, Direktur Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban’ Tindak Kekerasan (KontraS) Sumut mengatakan, RUU ini membuka lebar investasi dan mengabaikan hak buruh serta hak lingkungan.

RUU ini, katanya, disinyalir bakal jadi pembungkaman demokrasi, pelanggaran lingkungan, sumber daya alam makin terancam, juga berpotensi melanggar hak-hak buruh.

Serupa Ari, Amin bilang, RUU ini sebagai payung bagi investasi yang berpeluang merampas hak-hak petani, buruh tani, nelayan, masyarakat adat dan rakyat secara menyeluruh.

“RUU ini tak menaruh ruang perlindungan pada hak warga negara atas lingkungan hidup yang sehat,” katanya.

Albert, Kordinator Aksi Medan Menolak RUU Omnibus Law mengatakan, dalam klaster tenaga kerja RUU ini memperkenalkan sistem pengupahan baru yang melemahkan sistem pengupahan itu sendiri.

Aspek filosofis UU Nomor 13/2003 tentang ketenagakerjaan mengenai upah layak, kerja layak dan keberlangsungan hidup pekerja, jadi kian kabur dalam RUU ini.

“Dalam hal ini, sasaran utama RUU memastikan fleksibilitas tenaga kerja makin fleksibel dieksploitasi tentunya,” kata Albert.

Kerentanan buruh terjebak dalam status pekerja kontrak, katanya, akan meningkat karena perusahaan tak lagi wajib mengangkat buruh jadi pekerja tetap.

Omnibus Law ini, kata Albert berpeluang besar menghilangkan upah minimum, dan mengganti dengan penerapan upah per jam. Pesangon pun, katanya, hilang, fleksibilitas pasar kerja dan perluasan outsourcing di semua pekerjaan, dan lain-lain.

Abdul Halim Sembiring, dari Advokasi dan Kajian Bakumsu menyatakan, RUU ini hanya akan melanggengkan ketimpangan agraria.

Barita, dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan mengatakan, dengan mempermudah investasi, akan mudah mencabut subsidi publik.

“Secara keseluruhan Kami yang tergabung dalam aksi Medan Tolak Omnibus Law ini menolak RUU Cipta Kerja.”

Mereka mendesak, Pemerintah Sumatera Utara dan DPRD, turut menyampaikan kepada pemerintah pusat dan DPR bahwa RUU ini tidak layak dibahas, apalagi disahkan.

Dia menilai, ada upaya sentralisasi macam Orde Baru berusaha dihidupkan kembali melalui RUU omnibus law. “Kami juga melihat masih banyak persoalan rakyat Sumut alami seperti, konflik agraria, lingkungan, ketenagakerjaan, pesisir, pendidikan, kriminalisasi dan kekerasan terhadap rakyat,” katanya.

Rudi Hermanto, anggota DPRD Sumut di hadapan pengunjuk rasa mengatakan, apapun kebijakan negara seutuhnya untuk kepentingan dan kemakmuran serta kesejahteraan rakyat.

Dia menegaskan, tidak boleh ada intimidasi apapun terhadap rakyat, karena kalau itu terjadi tak ada kata selain melawan.

“Kami akan teruskan ini ke DPR dan pihak terkait. Mohon nanti diserahkan ke kami poin apa dalam RUU omnibus law yang tidak sejalan. Tak [boleh] ada kriminalisasi dan penindasan terhadap rakyat, karena itu akan kita lawan.”

Dalam berita Mongabay, sebelumnya menyebutkan, pada 12 Februari lalu, pemerintah menyerahkan draf RUU Omnibus Law ini kepada DPR. Puan Maharini, Ketua DPR didampingi Rachmat Gobel dan M. Azis Syamsuddin, Wakil Ketua DPR menerima draf RUU Cipta Kerja dari pemerintah. Beberapa menteri mewakili penyerahan draf RUU itu, antara lain, Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri Keuangan, Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Lalu, Menteri Hukum dan HAM, dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

”Hanya disampaikan terdiri dari 15 bab dan 174 pasal. Ada tujuh komisi di DPR yang akan terlibat dalam pembahasan RUU ini. Semua akan sesuai mekanisme di DPR. Apakah melalui baleg (badan legislasi-red) atau melalui pansus (panitia khusus-red). karena melibatkan tujuh komisi terkait pembahasan 11 klaster terdiri dari 15 bab dan 174 pasal itu,” kata Puan dalam konferensi pers usai pertemuan dengan para menteri.

Dia mengatakan, jangan sampai belum tersosialisasi tetapi draf sudah menimbulkan prasangka lain dan kecurigaan karena DPR RI yang belum membahasnya.

Airlangga Hartarto, Menko Perekonomian menyampaikan, pemerintah telah menyerahkan surat presiden (Supres), draf UU dan naskah akademik untuk proses sesuai mekanisme DPR.

“Dibahas juga, bersamaan ini akan sosialisasi ke seluruh provinsi di Indonesia,” katanya.

Sosialisasi itu, akan dilaksanakan antara pemerintah dan anggota DPR terlibat, antara lain, tujuh komisi di DPR.

Dia berharap, seluruh masyarakat bisa mengetahui apa yang akan dibahas, diputuskan dan dampak bagi perekonomian nasional.

“Isinya, murni untuk menciptakan lapangan pekerjaan, di mana dalam situasi global maupun dengan merebaknya isu virus corona, salah satu solusi meningkatkan lapangan pekerjaan adalah transformasi struktural ekonomi yang seluruhnya ada dalam omnibus law,” katanya.
 
Sejak Februari lalu, pemerintah telah memasukkan draf Rancangan Undang-undang Cipta Kerja ke DPR RI. RUU yang berisi penyederhaan 79 UU dan 1.288 pasal (omnibus law) ini masuk daftar program legislasi nasional 2020. Berbagai kalangan organisasi masyarakat sipil, dari organisasi lingkungan, hak asasi manusia, gerakan masyarakat adat, sosial, buruh dan lain-lain protes.

Organisasi lingkungan menilai, RUU ini berpotensi mencelakakan lingkungan hidup. Beberapa pasal dalam UU guna menjamin keselamatan lingkungan, justru dihapus dengan dalih mempermudah investasi. Suara protes pun datang dari daerah seperti Sumatera Utara.

“Saya pikir draf RUU ini tak layak dibaca orang yang dalam keadaan waras. Isinya di luar logika. Kami melihat sedang ada upaya reinstall terhadap bangsa dan alam Indonesia. Ibarat mau diformat kembali,” kata Zenzi Suhadi, Kepala Departemen Advokasi Eksekutif Walhi Nasional, baru-baru ini di Jakarta.
Pada periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo, salah satu cita-cita yang berusaha diwujudkan di bidang hukum adalah simplifikasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan. Hal ini bertujuan untuk memotong berbagai birokrasi njlimet yang rentan dengan berbagai tindakan yang koruptif.

Omnibus law di Indonesia

Perwujudan dari cita-cita “mulia” tersebut adalah munculnya omnibus law UU Cipta Lapangan Kerja (yang kemudian diubah menjadi UU Cipta Kerja). Di Indonesia, sistem pembentukan undang-undang dengan mekanisme ini merupakan hal yang asing sebab belum pernah dilakukan sebelumnya. Meskipun begitu, di dunia hukum mekanisme ini juga bukan merupakan hal yang baru sebab pernah dilakukan beberapa kali di Negara lain seperti di Kanada dan AS. Namun, mekanisme pembentukan perundang-undangan yang berusaha menggabungkan beberapa Norma yang tersebar dalam beberapa UU ini belum dikenal di Indonesia

Menelisik dari asal-usul bahasanya, ‘Omnibus’ merupakan kata yang digunakan dalam Bahasa Perancis untuk kendaraan sejenis bus yang digunakan untuk mengangkut penumpang dalam jumlah banyak. Secara harfiah, mana dari omnibus di dalam mekanisme pembentukan UU berarti adalah mengangkut beberapa peraturan untuk kemudian disatukan dalam satu UU. Hal ini lah yang juga melatarbelakangi kenapa kemudian di Indonesia UU ini disebut sebagai undang-undang sapu jagat.

Meski mekanismenya belum dikenal di Indonesia, Pemerintah nampaknya begitu ngotot untuk segera mengesahkan UU ini. Bahkan Pemerintah pernah menyebutkan bahwa UU ini akan menjadi kado 100 hari Pemerintahan Jokowi. Walau pada akhirnya tidak terwujud, tapi hal tersebut tidak menyurutkan keinginan besar pembentuk undang-undang dalam hal ini DPR dan Pemerintah untuk segera mengetok palu pengesahan UU ini.

Jauh panggang dari api, pada praktiknya di lapangan proses pembentukan UU Cipta Kerja menghadapi banyak penolakan dari berbagai elemen masyarakat mulai dari akademisi hingga buruh. UU yang digadang-gadang oleh Pemerintah sebagai regulasi yang sederhana dan dapat membuka keran investasi sebagai penopang perekonomian Indonesia ini ditolak oleh kalangan-kalangan yang terdampak langsung oleh peraturan ini, seperti buruh dan petani. Padahal sejatinya pembentuk UU ini memiliki tujuan yang positif seperti penciptaan lapangan kerja, kemudahan perizinan usaha, dan percepatan investasi.

UU Cipta Kerja ini memberi dampak sangat luas hingga ke berbagai sektor seperti riset dan inovasi, pertanahan, administrasi pemerintahan dan tak terkecuali sektor kehutanan. Dampak yang luas ini tentu menjadi pertanyaan tentang bagaimana UU ini dapat mendegradasi nilai-nilai dan jiwa dari norma-norma yang sebelumnya terdapat dalam UU yang mengatur bidang yang terkait.

Posisi dan Potensi Dampak Sektor Kehutanan dan Lingkungan dalam Pusaran Omnibus Law

Sektor lingkungan khususnya kehutanan seperti dipaparkan sebelumnya memang tak luput dari imbas atas rencana pengesahan UU Cipta Kerja, hal ini lantaran pengaturan mengenai penyederhanaan perizinan usaha serta pengadaan lahan menyinggung banyak regulasi bidang kehutanan dan lingkungan. Perubahan mendasar yang terjadi adalah diubahnya beberapa intisari peraturan pokok sektor kehutanan yang terdapat dalam UU No. 41/1999 tentang Kehutanan serta UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berikut merupakan beberapa poin penting perubahan yang ada ketika UU Cipta Kerja ini disahkan:

1.Mudahnya perizinan pemanfaatan kawasan hutan

Perubahan signifikan dalam UU Cipta Kerja ini adalah mengenai mekanisme perizinan pemanfaatan kawasan hutan yang hanya diberlakukan pada pemanfaatan hutan kayu, sedangkan untuk pemanfaatan bukan kayu serta jasa lingkungan hanya berupa formalitas untuk memenuhi standar umum. Didalam UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, seluruh jenis perizinan permanfaatan kawasan hutan tercantum secara lengkap dimana terdiri dari 8 poin jenis perizinan terbagi menurut fungsi dan peruntukan hutan. Sedangkan, di dalam UU Cipta Kerja, mekanisme perizinan disederhanakan menjadi hanya ada satu jenis yaitu berupa perizinan berusaha.[1] Imbas dengan adanya UU ini adalah pencabutan pasal 27-29 pada UU No. 41/1999, sehingga intervensi terhadap kawasan hutan melalui skema perizinan berusaha ini akan semakin masif dan efek dominonya akan semakin mempermudah pihak mana saja terutama yang bermodal dan berkuasa untuk mengajukan perizinan berusaha di kawasan hutan. Kemudahan pemberian perizinan tanpa pertimbangan aspek ekologis sangat riskan terhadap dampak lingkungan yang akan ditimbulkan kedepannya.

2. Pemanfaatan kawasan hutan lindung semakin tak terproteksi

Prinsip dasar pembatasan pemanfaatan yang ada di hutan lindung bertujuan untuk menjamin hutan lindung tetap mempertahankan fungsi pokoknya yaitu sebagai kawasan hutan yang memiliki fungsi utama sebagai sistem penyangga kehidupan seperti mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah (UU No. 41/1999). Rencana penerapan UU Cipta Kerja ini sangat mengancam pola pemanfaatan yang ada di hutan lindung. Jenis pemanfaatan hutan lindung yang awalnya hanya berupa jasa lingkungan dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) sesuai dengan mandat UU No. 41/1999 menjadi dapat dimanfaatkan lebih beragam karena ditambahkannya klausa pemanfaatan kawasan hutan.[2] Seperti halnya pemanfaatan panas bumi tanpa perlu izin tetapi hanya berupa pemenuhan NSPK (Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria) serta penggunaan kawasan melalui persetujuan pinjam pakai tersebut telah berpindah kewenangan ke Pemerintah Pusat.[3],[4] Konsekuensi dengan adanya UU Cipta Kerja ini, eksistensi kawasan hutan lindung sangat riskan dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan yang cenderung eksploitatif, seperti contohnya, alih fungsi ke pertambangan, perkebunan, dll. Hal ini secara jelas dapat menyebabkan hilang dan rusaknya hutan lindung yang bernilai sebagai penyangga kehidupan secara permanen. Terlebih, peran Pemerintah Pusat semakin tersentral, sehingga dengan mekanisme sentralistik ini dapat menimbulkan ketimpangan manfaat yang diterima antara pusat dan daerah.

3. Hilangnya AMDAL sebagai pintu gerbang terakhir penyelamatan lingkungan

Perubahan poin mendasar pada UU No. 32 tahun 2009 diantaranya dicabutnya terminologi “izin lingkungan” berimplikasi pada berubahnya posisi AMDAL dalam proses perizinan berusaha dimana AMDAL bukan lagi sebagai hal yang wajib untuk memutuskan kelayakan izin usaha akan tetapi hanya menjadi pertimbangan saja.[5] Ironisnya lagi, wajib AMDAL hanya diberlakukan pada kriteria usaha yang proses dan kegiatannya berdampak penting terhadap lingkungan hidup, sosial, ekonomi dan budaya.[6] Konsekuensinya, semakin maraknya izin pendirian usaha yang tidak perlu melakukan wajib AMDAL menimbulkan dampak lingkungan yang semakin tak terkendali. Dari hal ini pemerintah terlihat sama sekali tidak mengindahkan pertimbangan lingkungan dalam kegiatan pembangunan.

4.Semakin mudahnya perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan serta penggunaan kawasan hutan

Rancangan UU Cipta Kerja ini memberikan keleluasaan kepada pemerintah dalam hal memutuskan perubahan peruntukan kawasan hutan.[7] Dalam UU No. 41/1999 mekanisme perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan harus melalui persetujuan DPR. Akan tetapi dalam UU Cipta Kerja ini, hanya pemerintah saja yang memutuskan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan dan tidak perlu sampai ke pintu DPR kecuali pada kebijakan-kebijakan yang mendukung Proyek Strategis Nasional.[8] Hal ini berimbas pada hilangnya fungsi pengawasan dari masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan hutan dengan menyampaikan aspirasinya melalui DPR terutama terkait rencana peruntukan hutan dan pemanfaatan hasil hutan. Hal ini dapat dikhawatirkan akan semakin banyaknya konversi kawasan hutan yang tak sesuai fungsi kawasannya lagi yang dilakukan oleh oknum-oknum yang berkuasa tanpa pengawasan dan sepengetahuan masyarakat.

PENUTUP

Paparan di atas menunjukkan bahwa omnibus law mencerminkan kepentingan ekonomi pemerintah tidak diimbangi dengan komitmen untuk menjaga sumberdaya hutan dan lingkungan secara lestari. Dominasi kepentingan ekonomi diatas kepentingan lingkungan menunjukkan kecenderungan pemerintah yang menggunakan kekuasaan untuk membuka satu demi satu pintu eksploitasi sumberdaya hutan tanpa pertimbangan lingkungan hidup. Mengesahkan UU ini menandakan titik awal potensi kerusakan lingkungan yang terstruktur melalui produk legislasi yang sah secara hukum.

Referensi:

[1] Pasal 27 UU Cipta Kerja yang mencabut pasal 27-29 pada UU no 41/1999 tentang Kehutanan, yang mengatur tentang berbagai jenis izin usaha pemanfaatan kawasan hutan sesuai fungsi dan peruntukannya.

[2] Pasal 36 UU Cipta Kerja yang mengubah pasal 27 UU no 41/1999 tentang Kehutanan

[3] Pasal 36 UU Cipta Kerja yang mengubah pasal 38 UU no 41/1999 tentang Kehutanan

[4] Pasal 36 UU Cipta Kerja yang mengubah pasal 23 UU no 41/1999 tentang Kehutanan

[5] Pasal 22 UU Cipta Kerja yang mengubah pasal 1 UU no 32/2009 tentang Pelindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

[6] Pasal 22 UU Cipta Kerja yang mengubah pasal 27 UU no 32/2009 tentang Pelindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

[7] Pasal 36 UU Cipta Kerja yang mengubah pasal 19 UU no 41/1999 tentang Kehutanan

[8] Pasal 36 UU Cipta Kerja yang mengubah pasal 38 UU no 41/1999 tentang Kehutanan

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.