KONTROVERSI HAGIA SOPHIA POLITIK AGAMA ERDOGAN


MUFTI AGUNG MESIR CELA ERDOGAN

Mufti Besar Mesir, Shawky Alam, menganggap perubahan status Hagia Sophia di Istanbul, Turki, dari museum menjadi masjid merupakan tindakan yang terlarang.

Alam menganggap tempat bersejarah itu harus berfungsi seperti semula sebagai gereja.


"Kita sebagai umat Muslim diperintahkan untuk melestarikan gereja. Nabi Muhammad SAW selalu merekomendasikan dalam perang untuk tidak menghancurkan kuil-kuil atau membunuh biksu," ucap Alam seperti dikutip Al Araby.

Alam mengatakan gereja dan masjid harus dilestarikan di seluruh dunia seperti yang terjadi selama peradaban Mesir. Ia merujuk pada fatwa pendahulunya, Laith bin Saad Fakih, yang menyatakan bahwa gereja adalah bagian dari arsitektur bumi dalam Islam.

Pernyataan Alam itu menanggapi keputusan Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, menetapkan Hagia Sophia kembali menjadi sebuah masjid.

Keputusan itu diambil Erdogan setelah Majelis Negara Turki membatalkan keputusan kabinet 1934 soal status bersejarah itu pada Jumat (10/7).

Upaya Turki untuk kembali memfungsikan Hagia Sophia menjadi masjid sebenarnya sudah dilakukan sejak 2005. Dua tahun lalu Mahkamah Konstitusional Turki sempat menolak usulan tersebut.

Langkah Turki tersebut memicu protes dari sejumlah negara. Amerika Serikat, Yunani, Rusia, hingga UNESCO memprotes keputusan Turki soal perubahan status Hagia Sophia tersebut.

Presiden Erdogan memastikan bahwa ikon Kristen akan tetap terpasang di Hagia Sophia meski bangunan itu telah beralih fungsi menjadi masjid.

Ia juga menyatakan fungsi masjid tak menjadikan Hagia Sophia hanya eksklusif untuk umat Muslim.
Infografis Fakta Menarik Hagia Sophia

Meski saat ini Hagia Sofia sudah bisa digunakan umat Muslim untuk beribadah.



HAGIA SOPHIA DALAM SUDUT PANDANG ISLAM ESKATOLOGI


Nabi Muhammad saw bersabda :“ Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.” (H.R. Ahmad bin Hanbal Al-Musnad 4/335)

Saat nasionalis Turki sekuler (Mustafa Kemal Atatürk) menaklukkan kota itu kemudian mendirikan Republik Turki sekuler pada tahun 1923, mereka mengganti nama ‘Konstantinopel’ menjadi ‘Istanbul’ sebagai nama resmi kota dan melarang penggunaan nama atau nama-nama sebelumnya; sebagai akibatnya, nama ‘Konstantinopel’ surut dari kosa kata umum. Sesungguhnya, bahkan sekarang nama itu sepertinya sudah memasuki museum sejarah. Istanbul bukanlah nama baru. Nama itu adalah salah satu dari beberapa nama yang sebelumnya digunakan untuk menyebut kota itu. Meskipun demikian, nama yang paling populer dari kota itu adalah Konstantinopel. Dan larangan penggunaan nama selain Istanbul sepertinya telah mengarah pada kebijakan utama untuk mencegah penggunaan nama yang paling terkenal. Ada sebuah alasan mengapa nama kota itu diubah, dan penggunaan nama lainnya dilarang, dan akan dijelaskan lebih lanjut.


Secara umum, sebagian besar umat muslim percaya bahwa ramalan Nabi Muhammad (sallallahu ‘alaihi wa sallam) ini sudah terwujud pada tahun 1453 ketika Turki Ottoman, yang pada saat itu dikomando oleh Sultan Muhammad (Mehmet) Fatih muda, yang menaklukkan Konstantinopel. Meskipun demikian, hadits yang dikutip di bawah ini memberikan keterangan yang sangat jelas bahwa penaklukkan itu akan terjadi pada Akhir Zaman tepat sebelum kemunculan Anti-Kristus (atau al-Masih al-Dajjal) dalam bentuk manusia (yang akan menyatakan bahwa dirinya adalah al-Masih). Penaklukkan oleh umat muslim pada Akhir Zaman tersebut tidak hanya akan membebaskan kota itu dari kekuasaan Turki nasionalis yang tidak bertuhan, tetapi juga melepaskan dan membebaskan kota itu dari genggaman NATO Zionis yang beracun.

Dari Mua’dz bin Jabal: Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“… pecahnya perang besar akan (diikuti oleh) penaklukkan Konstantinopel; dan penaklukkan Konstantinopel akan (diikuti oleh) munculnya Dajjal (Anti-Kristus)…” (Sunan, Abi Daud)


Dijelaskan dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Pernahkah kalian mendengar satu kota yang satu sisinya ada di daratan sementara satu sisi (lain) ada di lautan?” Mereka menjawab, “Kami pernah mendengarnya, wahai Rasulullah!” Beliau berkata, “Tidak akan tiba hari Kiamat sehingga 70.000 dari keturunan Nabi Ishaq menyerangnya (kota tersebut), ketika mereka (bani Ishaq) mendatanginya, maka mereka turun. Mereka tidak berperang dengan senjata, tidak pula melemparkan satu panah pun, mereka mengucapkan, ‘Laa ilaaha illallaah wallaahu Akbar,’ maka salah satu sisinya jatuh (ke tangan kaum muslimin) -Tsaur [2] (salah seorang perawi hadits) berkata, “Aku tidak mengetahuinya kecuali beliau berkata, ‘Yang ada di lautan.’” Kemudian mereka mengucapkan untuk kedua kalinya, ‘Laa ilaaha illallaah wallaahu Akbar,’ akhirnya salah satu sisi lainnya jatuh (ke tangan kaum muslimin). Lalu mereka mengucapkan untuk ketiga kalinya: ‘Laa ilaaha illallaah wallaahu Akbar,’ lalu diberikan kelapangan kepada mereka. Mereka masuk ke dalamnya dan mendapatkan harta rampasan perang, ketika mereka sedang membagi-bagikan harta rampasan perang, tiba-tiba saja datang orang yang berteriak meminta tolong, dia berkata, “Sesungguhnya Dajjal telah keluar,” lalu mereka meninggalkan segala sesuatu dan kembali.”Shahiih Muslim, kitab al-Fitan wa Asyraatus Saa’ah (XVIII/43-44, Syarh an-Nawawi).

Nasionalis Turki sekuler yang pada intinya tidak bertuhan tidak ingin umat Muslim menyadari bahwa penaklukkan Konstantinopel yang diramalkan Nabi Muhammad (sallallahu ‘alaihi wa sallam) masih belum terwujud, dan itu sepertinya menjadi salah satu alasan mengapa mereka mengubah nama kota itu. Nabi Muhammad (sallallahu ‘alaihi wa sallam) menggunakan nama Konstantinopel (dalam bahasa Arab al-Qunstantiniyyah) saat dia meramalkan tentang kota itu. Dia tidak menggunakan nama lainnya. Dengan demikian, jika nama itu dipindahkan ke museum maka sangat mungkin perhatian umat muslim akan dialihkan dari implikasi ramalan itu.

Peristiwa tidak pantas menjadi bukti yang mendukung tesis kami, kami sekarang menyajikan bukti kuat yang membuktikan tanpa keraguan bahwa penaklukkan Konstantinopel oleh Ottoman pada tahun 1453 bukanlah penaklukkan yang diramalkan Nabi Muhammad (sallallahu ‘alaihi wa sallam).

Pertimbangkan hal berikut:
Pasukan yang menaklukkan Konstantinopel terdiri dari beberapa satuan. Sebagian adalah sukarelawan yang tertarik dengan barang rampasan kota itu. Sebagian lainnya adalah pasukan reguler terlatih dengan baik yang dikumpulkan dari seluruh wilayah Kekaisaran Ottoman. Namun inti utama pasukan Ottoman adalah satuan elite Janissari yang terlatih dengan sangat baik. Pasukan ini terdiri dari anak-anak Kristen yang diambil secara paksa dari orang tua mereka (di wilayah-wilayah yang ditaklukkan oleh Ottoman), dan yang berpindah ke agama Islam dengan paksa dan diberi latihan militer yang sebaik mungkin. Mereka semua memberikan kesetiaan mereka secara pribadi kepada Sultan. Tidak pernah dalam sejarah Islam umat muslim melakukan hal yang mempermalukan Islam dengan cara menangkap anak-anak Kristen dan memindahkan agama mereka secara paksa ke Islam, kemudian menggunakan mereka sebagai pasukan elite untuk berperang demi nama Islam. Ini merupakan wujud dosa, sangat memalukan dan pelanggaran langsung perintah Allah dalam al-Qur’an yang melarang perpindahan agama ke Islam secara paksa. Hasil yang dapat diprediksi adalah kebencian abadi dan permusuhan terhadap Islam dan Umat Muslim di wilayah-wilayah asal anak-anak Kristen ini diculik (efek : pembantaian muslim di Srebrenica). Wilayah Timur Kristen itu tepat adalah Rum yang Nabi ramalkan umat muslim akan bersekutu pada Akhir Waktu (yakni dengan mereka).

    Ketika pasukan Ottoman membongkar pertahanan kota itu dan akhirnya berhasil memasuki kota itu sebagai penakluk, apa yang terjadi kemudian adalah “pembunuhan, perampasan, pemerkosaan, pembakaran, dan perbudakan”. Ini telah menjadi, dan masih menjadi perilaku pasukan itu saat mereka menaklukkan sebuah kota, tetapi ini bukanlah cara Islam yang menjaga kehormatan dan perlindungan bagi kehidupan dan kehormatan bagi wanita, anak-anak, orang-orang yang lebih tua dan orang-orang – seperti para pendeta – yang hidupnya didedikasikan untuk agama. Sesungguhnya ada bukti bahkan gereja-gereja dan biara-biara Kristen dirusak dengan amukan oleh orang-orang yang disebut pasukan Islam yang memaksa masuk kemudian memperkosa, merampas, dan membunuh bahkan sampai ke dalam gereja. Sultan mengijinkan hal ini terus berlanjut, tidak dibatasi dengan norma etika peperangan apa pun, selama tiga hari. Ottoman tidak peduli mengenai fakta bahwa Konstantinopel adalah ibu kota Kristen Bizantium (atau Rum). Perilaku pasukan Ottoman tersebut memastikan kebencian abadi terhadap Islam oleh orang-orang Bizantium.
    Namun perilaku Sultan sendiri, segera setelah dia memasuki kota, sungguh tercela. Dengan memalukan dan penuh dosa, dia memerintahkan agar Katedral besar Bizantium Hagia Sophia yang telah dibangun 1000 tahun sebelumnya oleh Kaisar Justinian, dialihkan menjadi Masjid.

Hagia Sophia

Ketika umat Muslim menaklukkan Jerusalem pada masa Khilafah Umar bin al-Khattab, Kepala Keluarga Jerusalem, Sophronius, menolak menyerahkan kota kepada orang selain Khalifah sendiri. Umar harus melakukan perjalanan dari Madinah ke Jerusalem untuk menerima kunci kota itu. Saat dia diantar mengunjungi gereja suci Jerusalem, waktu solat tiba dan Sang Kepala Keluarga dengan sangat ramah mengajak Umar melakukan Salat tepat di sana di dalam Gereja Kebangkitan. Umar menolak karena dia takut hal itu akan dijadikan dasar hukum sehingga umat muslim boleh mengubah gereja menjadi Masjid.

Omar

 Pengubahan Hagia Sophia menjadi Masjid oleh Sultan Ottoman bukanlah peristiwa biasa. Ini adalah gereja terbesar dan paling bagus di seluruh wilayah Kristen. Gereja ini telah mempertahankan posisi itu selama 1000 tahun. Dengan mengubah gereja menjadi Masjid, Sultan tidak hanya mempermalukan dunia Islam, tetapi juga menghujamkan pisau beracun ke jantung Kristen Timur Bizantium yang tidak akan pernah dilupakan. Sementara orang-orang lain mungkin mengubah gereja-gereja, biara-biara, dan bahkan masjid-masjid (contohnya seperti Cordoba), seorang Amir yang secara pribadi dipuji oleh Nabi sendiri tentu bukanlah orang dengan perilaku yang memalukan seperti itu.


 Akhirnya kami juga harus mengingatkan bahwa para Sultan Ottoman tidak pernah menikah – karena mereka tidak ingin dibebani dengan menghormati hak-hak sah secara hukum yang Islam berikan kepada para istri dan saudara sedarah (dalam hal mengenai penerusan kepemimpinan dalam sistem kepemimpinan turun-temurun).

Maka mereka membatasi diri sehingga mereka hanya tidur dengan para budak. Islam membatasi seorang lelaki memiliki istri sampai empat, tetapi tidak ada batasan berapa banyak budak perempuan yang dapat dia miliki dan dengan mereka dia dapat tidur. Maka para Sultan Ottoman memiliki budak-budak perempuan tetap yang disebut Harem.

Perempuan-perempuan ini hampir secara eksklusif diambil dari wilayah-wilayan Kristen yang ditaklukkan. Mereka tidak memiliki hak. Nabi Islam telah memerintahkan: Berilah budakmu makanan yang kalian sendiri memakannya, dan beri mereka pakaian yang kalian sendiri pakai. Dengan demikian, Islam memulihkan nilai kemanusiaan bagi para budak dan memberi mereka hak-hak. Para Sultan Ottoman di sisi lain, tidur dengan seorang budak perempuan, dan jika budak perempuan itu hamil dan melahirkan seorang anak lelaki, maka dia berhenti berhubungan seksual dengannya.

Dia melakukan ini untuk memastikan agar budak perempuan itu tidak memiliki anak lagi, dengan demikian tidak ada saingan bagi anak lelakinya jika dia menggantikan Sultan sendiri. Nabi (sallallahu ‘alaihi wa sallam) menyatakan bahwa “pernikahan adalah setengah keimanan”. Tidak mungkin nabi yang diberkahi memaafkan perilaku para Sultan Ottoman yang seperti itu.


Jelas bagi penulis bahwa Sultan Muhammad Fatih tidak memenuhi syarat sebagai Amir yang disebutkan dalam hadits; tidak pula pasukan Ottoman yang dia pimpin memenuhi syarat sebagai pasukan yang disebutkan dalam hadits. Implikasinya adalah penaklukkan Istanbul atau Konstantinopel oleh umat muslim masih belum terjadi. Pembaca dianjurkan mempelajari topik ini lebih jauh kemudian menentukan kesimpulan sendiri.


http://fitnahfitnahakhirzaman.blogspot.com/2018/01/penaklukan-konstatopel-dalam-analisa.html

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.