SEJAK DULU NU SUKA DISERANG HOAX

Hoax atau berita palsu bukanlah hal baru. Sejak sebelum Indonesia merdeka, bahkan jauh sebelum itu, hoax sudah ada. Hoax pun menimpa siapa saja, tak terkecuali kepada Nahdlatul Ulama (NU) dan para pemimpinnya. Jadi, jika sekarang Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siraj terkena hoax, bukanlah hal yang aneh. Karena sejak masa Hadratusysyekh KH. Hasyim Asy’ari merintis NU, hoax telah menyerang.
Salah satu hoax yang tersebar di tahun-tahun pertama NU berdiri adalah tentang fatwa Kiai Hasyim. Di mana dalam kabar bohong tersebut, pendiri Pesantren Tebuireng itu, disebut-sebut menghalalkan keberadaan bank.
Tentu saja hoax tersebut dibantah oleh kalangan Nahdlatul Ulama. Seperti halnya dalam berita yang dimuat dalam Swara Nahdlatoel Oelama edisi Safar 1347 H Tahun Kedua (1928). Meski tidak secara spesifik, dalam berita yang menjelaskan tentang kunjungan pengurus NU di Kediri untuk menghadiri tabligh akbar Maulid Nabi itu, ada tokoh NU bernama Abdullah (KH. Ridwan Abdullah?) yang memberikan bantahan.
“Kemudian saudara Abdullah menerangkan bab sebabnya muncul sebagian berita yang menyebutkan Kiai Hasyim menghalalkan bank,” demikian tulis majalah yang berbahasa Jawa dengan aksara pegon tersebut.
Sebenarnya, menurut Abdullah, ulama yang menghalalkan keberadaan bank itu adalah Haji Fakih Hasyim. Ia adalah seorang ulama keturunan Padang yang tinggal di Kawasan Ampel, Surabaya. Hal ini diduga menjadi pemicu hoax tersebut.
Lebih lanjut Abdullah juga menyebut nama Ahmad Zakariya yang turut menghalalkan keberadaan bank. Ia adalah seorang mubaligh asal Surabaya. Dalam tulisannya di surat kabar Suluh Rakyat Indonesia Nomor 24 halaman 198, ia memaparkan argumentasi tentang halalnya bank. Menurutnya, bank memiliki manfaat lebih besar ketimbang mafsadatnya.
Terlepas dari bantahan Abdullah, Kiai Hasyim jelas-jelas tidak memperbolehkan praktik perbankan. Hal ini sebagaimana terungkap pada keputusan bahtsul masail Muktamar ke-2 NU pada Oktober 1927 yang menyatakan bahwa praktik perbankan (bunga) itu haram. Dalam keputusan tersebut, memang tidak secara eksplisit membahas tentang bank. Tapi, tentang hukum mengambil manfaat dari barang yang digadaikan.
Akan tetapi, jika merujuk hasil Muktamar XII NU di Malang pada Maret 1937, hukum bank dikembalikan pada keputusan tentang gadai pada Muktamar Ke-II NU. Dari sini dapat diambil kesimpulan, Kiai Hasyim sebagai pucuk pimpinan NU mengharamkan keberadaan bank yang kala itu mempraktikkan bunga dan rente.
Serangan hoax terhadap Kiai Hasyim tak berhenti sampai di situ. Ada pula tuduhan kejam yang menyebut bahwa pemegang Sanad Bukhori ke-21 itu, telah melakukan perbuatan tercela. Bahkan, dikabarkan juga Nahdlatul Ulama yang dipimpinnya telah bubar. Tuduhan tersebut, muncul dari surat kabar Bintang Islam. Yaitu, surat kabar yang dipimpin oleh Fakhrudin dari Yogyakarta.
Hoax demikian muncul, besar kemungkinan, didorong oleh rasa iri dengki pada Kiai Hasyim yang mampu mengembangkan NU demikian pesat di tahun-tahun awal berdirinya. Terhitung sejak pertama kali berdiri pada 31 Januari 1926 sampai Muktamar pertamanya pada Oktober 1926, sudah dihadiri oleh 93 orang kiai dari pelbagai daerah. Setahun kemudian meningkat menjadi 146 kiai dan 242 kalangan profesional. Bahkan pada Muktamar Ketiga, September 1928, pesertanya semakin membludak. Ada 260 kiai dari 35 Cabang NU di Jawa dan Madura.
Bandingkan dengan Muhammadiyah yang berdiri lima belas tahun lebih awal. Empat tahun pertamanya hanya memiliki 210 anggota saja yang kebanyakan berasal dari Kauman, Yogyakarta. Bahkan, hingga 1923, tiga tahun setelah mendapat besluit pendiri Muhammadiyah dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, baru bisa merintis 14 Cabang. 8 Cabang di Jawa Barat, 2 di Yogyakarta, 2 di Jawa Timur, dan masing-masing satu di Jakarta dan Jawa Barat.
Jadi, tidak heran bukan, jika hoax menyerang sosok Hadratusysyekh KH. Hasyim Asy’ari?

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.