FITNAH AKHIR ZAMAN MENJERAT GUSDUR

Hingga wafat, Gus Dur meyakini dirinya dilengserkan dari kursi presiden pada awal era reformasi. Sepeninggal sang kiai, seorang pemuda menguak sejumlah dokumen yang menguatkan keyakinan itu.
 
“KAMU DAPAT informasi itu dari mana?” kata Amien Rais kepada pemuda yang datang menemuinya.

Raut muka politikus senior PAN itu mendadak serius, ketika seorang lelaki menyodorkan pertanyaan terakhir dari sederet perkara wawancara yang diajukan.

Lelaki berperawakan kurus dan berambut gondrong di hadapannya, diam. Dia tetap tak mau membongkar ihwal dokumen-dokumen rahasia yang dikonfirmasikan kebenarannya kepada Amien.
Amien tampaknya kehabisan kesabaran menunggu jawaban dari pemuda itu.
“Kalau kamu tidak menyebutkan, belum tentu kamu bisa keluar dari rumah ini,” kata Amien Rais tegas meski bernada bercanda.

Virdika Rizky Utama mengakui mendapat ancaman tersebut dari Amien Rais kala melakukan sesi wawancara terkait temuan dokumen berisi strategi operasi Semut Merah.

“Operasi Semut Merah” adalah sandi operasi politik yang diduga untuk menjatuhkan kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid sebagai Presiden pada 2001. Amien Rais salah satu aktor politik yang namanya tertera dalam dokumen itu.

Kekinian, hasil penelusuran Virdika telah dituangkan dalam buku berjudul “Menjerat Gus Dur” (2019).

Virdika Rizky Utama, penulis buku "Menjerat Gus Dur". [Suara.com/Erick Tanjung]
Virdika Rizky Utama, penulis buku "Menjerat Gus Dur". [Suara.com/Erick Tanjung]
Ada dua dokumen yang menginspirasi Virdika untuk menulis buku itu. Pertama, notulensi rapat elite politik Partai Golkar. Surat bercap confidential sebanyak 3 lembar itu ditulis Fuad Bawazier kepada Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung, tertanggal 29 Januari 2001.

Kedua, notulensi sejumlah orang yang disebut Virdika sebagai “HMI connection” di rumah Arifin Panigoro pada 22 Juni 2000. Pada lembaran notulensi sebanyak 9 lembar itu, tertera tertanggal 3 Juli 2000 yang ditandatangani oleh Priyo Budi Santoso.

Dokumen yang dibuang

VIRDIKA TIDAK BOLEH TIDAK harus pergi ke kantor DPP Partai Golkar di Slipi, Jakarta Barat, pada suatu hari bulan Oktober 2017.

Oleh atasan, Virdika diharuskan mendapatkan pernyataan tentang satu tahun perkembangan renovasi kantor partai yang pernah berkuasa pada era Orde Baru itu.

Tugasnya rampung setelah berhasil mendapatkan pernyataan dari Setya Novanto—Ketua DPP Partai Golkar.

Namun, map berwarna cokelat di tumpukan kertas yang baru dikeluarkan dari gudang kantor partai membuat Virdika penasaran.

“Boleh lihat-lihat gak bang?” kata Virdika kepada orang yang membawa tumpukan kertas tersebut.
“Boleh dong, ini dokumen lama, sudah gak berguna,” jawab orang itu.

Virdika menghabiskan waktu lima belas menit untuk membongkar dan melihat-lihat tumpukan kertas itu. Satu bundel menyita perhatiannya, berisi surat-surat tua dan notulensi tahun 2000 – 2001.
“Bang, boleh dibawa gak sih ini?” kata Virdi menunjukkan map berwarna colekat itu.
“Ambil saja mas, itu juga mau dikiloin kok.”

Virdi menyimpan dan membawa pulang dokumen itu ke sekretariat Lembaga Pers Mahasiswa Didaktika, Universitas Negeri Jakarta, tempat ia biasa berdiskusi.
“Mau diapain ini bro? mau didalami buat jadi buku?” tanya rekannya saat berdiskusi soal dokumen itu.

 “Iya,” jawab Virdi.

“Kalau begitu, harus siap risikonya nih bro. Itu, orang-orang yang disebut di dokumen masih punya kekuasaan,” rekan Virdi mengingatkan.

“Justru itu bro, lebih baik diungkap sekarang, karena orang-orang di dokumen itu masih hidup. Bisa dikonfirmasi langsung, dan orang-orang yang terlibat punya kesempatan melakukan pembelaan diri,” kata Virdika.

Virdika tidak main-main. Awal Januari 2018, Virdika memulai riset dengan membeli buku-buku yang terbit pada era pemerintahan Gus Dur.

Dia juga ke Perpustakaan Nasional, mencari di koran dan majalah lama tentang pemberitaan terkait Gus Dur. Dia telaten mengumpulkan bahan dan membuat catatan-catatan.

Warga membawa gambar Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dalam kirab budaya menyambut Haul Gus Dur ke-9 di Solo, Jawa Tengah, Jumat (22/2/19). [Antara/Maulana Surya]
Warga membawa gambar Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dalam kirab budaya menyambut Haul Gus Dur ke-9 di Solo, Jawa Tengah, Jumat (22/2/19). [Antara/Maulana Surya]
Awal 2019, Virdika baru memulai perburuan terhadap sejumlah politikus yang disebut-sebut dalam dokumen itu untuk wawancara.

Tak ada pihak ketiga yang membiayai. Virdika harus menanggung sendiri semua biaya perburuan itu.
“Saya menyisihkan uang dari gaji bulanan sebagai jurnalis,” kata Virdika kepada Suara.com, pekan lalu.

Virdi selama menggarap proyek pribadinya itu tercatat pernah menjadi jurnalis majalah Gatra dan terakhir bekerja pada Narasi TV—besutan Najwa Shihab.

Elite politik yang kali pertama disasar Virdika adalah Amien Rais. Sebab, nama politikus gaek itu banyak tertulis dalam dokumen-dokumen yang didapatnya.

Menunggu Amien

HARI MASIH PAGI ketika Virdika bergegas ke rumah Amien Rais di kawasan Gandaria, Jakarta Selatan, Selasa 23 Januari 2019.

Celaka, ketika sampai di tujuan, Virdika baru mengingat dirinya tak membawa dokumen-dokumen yang ditemukannya di kantor Partai Golkar setahun lalu.

Tapi dia tetap menunggu, karena Amien susah ditemui, apalagi kalau harus kembali membuat janji untuk sesi wawancara di lain waktu.

Butuh tiga bulan sejak dia menghubungi orang kepercayaan Amien Rais, agar sang politikus bisa meluangkan waktu guna wawancara.

“Saya berharap bisa bertemu Pak Amien untuk wawancara. Untuk kepentingan tesis kuliah,” begitu pesan Virdika kepada orang kepercayaan Amien Rais, tiga bulan sebelumnya.
Pukul 09.00 WIB dia sudah tiba di rumah Amien. Setengah jam ke depan, Amien berjanji menemuinya untuk wawancara.

“Saya sudah janjian pak, bertemu jam setengah sepuluh,” kata Virdika kepada penjaga rumah Amien Rais.

Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais dalam seminar di DPR RI, Selasa (3/9/2019). [Suara.com/Novian Ardiansyah]
Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais, Selasa (3/9/2019). [Suara.com/Novian Ardiansyah]
“Iya, tapi jangan menunggu di depan rumah. Di sana saja,” balas sang penjaga.
Virdika akhirnya menunggu di pelataran masjid yang tak jauh dari rumah Amien. Tiga puluh menit lewat, dirinya tak kunjung dipanggil masuk.
Sejam, dua jam, tiga jam, tak juga ada panggilan, tapi Virdika masih kukuh menunggu. Akhirnya, setelah delapan jam menunggu, persisnya pukul 17.00 WIB, dia baru dibolehkan masuk ke rumah.
Virdika mengawali pertanyaan secara umum seputar peristiwa 1998. Amien antusias dan semangat menjelaskan.

Dia meletakkan ponselnya di meja untuk merekam semua jawaban Amien. Namun, Amien mengambil ponsel itu.

Amien memegang dan mendekatkan ponsel Virdika ke mulutnya sendiri saat menjawab pertanyaan-pertanyaan Virdika. Sesi wawancara itu berlangsung hangat bersahabat.
Namun, raut wajah Amien seketika berubah ketika Virdika mengonfirmasi perihal dokumen temuannya.

“Apa pernyataan dalam dokumen ini benar pak?” tanya Virdika ke Amien Rais.
Amien tak menjawab. Dia langsung memencet tombol rekaman pada ponsel Virdika untuk dimatikan. Amien lalu meletakkan ponsel itu kembali ke meja.

“Kamu dapat dari mana?” tanya Amien kemudian.

Virdika mengakui mendapatkan dokumen itu, tapi lupa dibawa untuk ditunjukkan. Soal sumber dokumen, dia menolak untuk menjawab.

“Saya juga jurnalis yang memiliki kode etik dan dilindungi UU No 40 tahun 1999 tentang Pers. Saya boleh menolak menyebutkan sumber informasi untuk melindungi narasumber,” jawab Virdika kepada Amien.

“Kalau kamu tidak menyebutkan (sumber informasi isi dokumen) belum tentu kamu bisa keluar dari rumah ini,” kata Amien Rais.

Virdika tahu, Amien Rais melontarkan pernyataan itu secara bercanda. Tapi dia juga tahu, nada bicara Amien berubah tinggi saat menyatakan hal tersebut.

Virdika langsung putar otak, cepat-cepat berpikir ketika didesak untuk menyebutkan sumber informasi isi dokumen itu oleh Amien.

Dalam benak Virdika, kalau dia menyebut nama Fuad Bawazier, akan gampang dikonfirmasi oleh Amien Rais.

Sebab, kala itu, Fuad berada dalam kubu Amien yang mendukung Prabowo Subianto – Sandiaga Uno sebagai capres cawapres. Fuad sendiri, adalah nama yang tertera sebagai pembuat dokumen tersebut.
Akhirnya, Virdika menyebutkan satu nama di hadapan Amien Rais.
“Oh, polisi itu ya. Ok, ayo keluar,” kata Amien sembari menggamit tangan Virdika menuju arah keluar rumah.

“Tunggu pak, saya foto dulu pak,” kata Virdika.
“Tak usah,” jawab Amien.
“Buat dokumentasi pak, biar ada bukti kalau saya pernah wawancara bapak,” kata Virdika.
“Oh ya sudah,” kata Amien.
Setelahnya, tak lagi ada sesi wawancara. Virdika keluar dan pamit.

Gus Dur yang tak mau kompromi

GUE MAU KETEMU Fuad Bawazier nih, tapi di basement rumahnya,” kata Virdika kepada seorang rekannya.

“Hati-hati bro, Entar lu di- Khashoggi-kan, he-he-he-he,” kata seorang kawan kepada Virdika.
Khashoggi merujuk pada Jamal Khashoggi, jurnalis cum kolumnis Washington Post yang tewas dimutilasi karena kerap mengkritik kebijakan kerajaan Arab Saudi. Kasusnya menggemparkan dunia beberapa waktu lalu.

Sementara Fuad Bawazier adalah orang yang namanya tertera sebagai pembuat salah satu dokumen di balik lengsernya Gus Dur. Dokumen asli buatan Fuad itu didapatkan Virdika.
Virdika mendapatkan wanti-wanti bernada lelucon dari kawannya, saat dia hendak menemui Fuad Bawazier di rumah yang bersangkutan, Jalan Banyuwangi, Menteng, Jakarta Pusat, dua tahun silam.

Direktur Konsolidasi Nasional Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo - Sandiaga Fuad Bawazier. (Suara.com/Ria Rizki)
Fuad Bawazier. (Suara.com/Ria Rizki)
Virdika mengonfirmasi hal tersebut kepada yang bersangkutan, dua hari setelah dirinya bertemu Amien Rais, persisnya Kamis tanggal 25 Januari 2018.
Di basement rumah, Virdika menunjukkan salah satu dokumen yang tertera nama Fuad sebagai penulisnya.

Fuad lantas membolak-balikkan dokumen itu dan membacanya. “Enggak ada ini,” kata Fuad.
Dalam benaknya, Virdika sudah menerka bakal mendapat jawaban seperti itu dari Fuad. Dia lantas mengonfirmasi soal strategi memborong Dolar Amerika Serikat sehingga Rupiah bakal melemah, agar kepemimpinan Gus Dur terdiskreditkan. Semua itu ada dalam dokumen tersebut.
“Soal borong dolar itu bagaimana pak?”

“Kejatuhan Gus Dur itu bukan karena ekonomi, tapi memang politik. Gus Dur mau kompromi sedikit saja, dia pasti akan selamat. Kalau dia tidak ngeluarin dekrit saja, dia bakalan selamat kok,” jawab Fuad.

Pertemuan dengan Fuad tak berlangsung lama. Tidak sampai satu jam, tapi 45 menit.

Akbar Tanjung gigit jari

VIRDIKA SUDAH BERSIASAT yang akan dipakai ketika politikus senior Partai Golkar Akbar Tanjung—yang juga disebut-sebut dalam dokumen itu—mau menemuinya dalam sesi wawancara.
Agar bisa mengonfirmasikan dokumen di balik lengsernya Gus Dur itu, Virdika kali pertama mengajukan pertanyaan-pertanyaan seputar Akbar tatkala menyelamatkan Golkar setelah keluar dekrit pembubaran.

Kala Gus Dur menerbitkan dekrit yang salah satunya berisi pembekuan Partai Golkar, Akbar Tanjung adalah ketua umum partai tersebut.

Virdika lupa tanggal pasti menemui Akbar. Persamuhan itu sendiri berlangsung di Akbar Tanjung Institute, Pancoran, Jakarta Selatan.

“Bagaimana bapak menyelamatkan Partai Golkar saat itu?” tanay Virdika.

Ketua Dewan Kehormatan Partai Golkar Akbar Tanjung.(Suara.com/Ria Rizki).
 Akbar Tanjung.(Suara.com/Ria Rizki).
Akbar lantas bercerita tentang sejarah Partai Golkar. Virdika terus menerus menyela Akbar yang bercerita.

“Apa kiranya yang jadi latar kejatuhan Gus Dur?”
Akbar hanya sedikit-sedikit menjawab pertanyaan Virdika. Intinya sama, bahwa Gus Dur tak lagi layak dipertahankan sebagai presiden.

“Gus Dur sudah tidak bisa dipegang, tidak bisa diajak kompromi. Pemerintahannya sering nyeleneh dan bikin kegaduhan,” jawab Akbar.

Akbar lantas menambahkan, “Ya kalau penjatuhan Gus Dur, kami sudah siap-siap juga.”
Virdika lantas menunjukkan dokumen yang didapatnya dari kantor DPP Partai Golkar soal strategi mendiskreditkan Gus Dur.

Akbar yang tadinya tenang tampak gugup, menggigit kuku jarinya. Dia menghabiskan waktu 10 menit untuk membaca 2 dokumen yang diajukan Virdika.
“Saya memang ada ketemu Fuad, tapi ketemu Fuad pun enggak sedalam ini pembicaraannya,” kata Akbar.

Dokumen Priyo

HASIL PENELUSURAN VIRDIKA terbit menjadi buku berjudul “Menjerat Gus Dur” (2019; Numedia Digital Indonesia), dan langsung habis di pasaran. Buku itu terbit berdekatan dengan peringatan satu dasawarsa haul Gus Dur.

Karena sudah habis di pasaran sementara cetakan kedua belum terbit, Virdika menyerahkan manuskrip atau naskah tulisannya sebelum terbit menjadi buku, kepada Suara.com.
Kutipan-kutipan karya Virdika dalam artikel ini pun merujuk pada halaman manuskrip, bukan dalam buku yang sudah diterbitkan.

Buku itu “dihidupi” oleh adanya dua dokumen yang merujuk soal strategi menjatuhkan Gus Dur dari tampuk kekuasaannya.

[Virdika/repro Suara.com oleh Erick Tanjung]
[Virdika/repro Suara.com oleh Erick Tanjung]
Dalam buku itu, semua kisah berawal dari kebijakan Gus Dur yang memecat Muhammad Jusuf Kalla dari jabatan Menteri Perdagangan dan Perindrustrian, JK adalah tokoh Partai Golkar.
Selain JK, Gus Dur juga mencopot Laksamana Sukardi sebagai Menteri BUMN. Laksamana adalah politikus PDIP. Keduanya dipecat Gus Dur tanggal 24 April 2000.
Alasan Gus Dur memecat keduanya adalah, dianggap tak mampu bekerja dengan anggota-anggota timnya. Gus Dur juga disebut tak menyukai pejabat-pejabat BUMN yang diangkat Laksamana.
Beberapa pekan setelah pemecatan itu, muncullah 2 wacana yang menyudutkan Gus Dur, yakni Buloggate dan Bruneigate.

DPR berencana membuat panitia khusus untuk menggunakan hak interpelasi mereka terhadap Gus Dur soal dua skandal tersebut.
“Sebelum memutuskan membentuk pansus, beberapa elite politik merancang sebuah rapat. Rapat tersebut dilatarbelakangi pemecatan Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla. Hal itu menjadi titik balik dukungan mereka kepada Gus Dur. Gus Dur yang ingin menciptakan reformasi di bidang politik dan birokrasi, malah membangkitkan kekuatan-kekuatan lama di bidang politik dan birokrasi, terutama Golkar,” tulis Virdika, hlm 122.

Selain itu, tulis Virdika pada halaman yang sama, Golkar juga seperti mendapatkan teman untuk mengkritisi Gus Dur yakni PDIP, meskipun pada pemilu 1999 kedua partai ini berseberangan. PDIP tentu masih merasa kesal karena sebagai partai pemenang pemilu, mereka tak bisa menjadikan Megawati sebagai presiden.

“Titik temu dua kekuatan besar ini tercatat dalam sebuah surat laporan bersifat rahasia pada 3 Juli 2000. Ada sebuah surat yang ditulis oleh Priyo Budi Santoso ditujukan kepada Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung. Surat tersebut merupakan sebuah notulensi atau hasil catatan pertemuan dari pertemuan terbatas yang dilaksanakan pada 27 Juni 2000, pukul 21.00 WIB di kediaman Arifin Panigoro, Jalan Brawijaya,” tulis Virdika.

Virdika pada halaman 123 menuliskan, “Priyo sendiri dalam pembukaan suratnya mengaku tak menghadiri rapat tersebut, tetapi ia diminta menuliskan hasil pertemuan tersebut berdasarkan catatan yang dibuat oleh Arifin Panigoro.”

Priyo, menuliskan rapat tersebut yang dihadiri oleh Fuad Bawazier, Ginandjar Kartasasmita, Arifin Panigoro, Kapolri Rusdihardjo, Kapolda Metro Mayjen Nurfaizi, Asisten Intel Kapolri Mayjen Pol Guntur, dan Ketua Pengurus Besar Himpunan Mahasiwa Islam (PB HMI) M Fakhruddin.
“Sebenarnya, Priyo juga mengundang Wiranto, Djaja Suparman, Adi Sasono, dan Dawam Rahardjo, tetapi mereka berhalangan hadir. Sedangkan, Eggi Sujana menolak hadir pada rapat tersebut.”
Rapat tersebut membahas kemungkinan menjatuhkan Gus Dur pada Sidang MPR di bulan Agustus melalui mobilisasi massa di Jakarta.

Tak hanya itu, rapat itu juga membahas kemungkinan menggantikan Gus Dur dengan Megawati yang sudah dbicarakan dengan Ginanjar sebulan sebelum rapat tersebut digelar.
Virdika menuliskan, dalam dokumen tersebut dituliskan juga rencana-rencana yang akan ditempuh untuk mejatuhkan Gus Dur.

“Pertama adalah tentang melemahnya posisi Gus Dur, pokok pembicaraan ini dipimpin oleh Ginanjar Kartasasmita. Secara umum, kampanye untuk menjatuhkan Gus Dur dinilai cukup berhasil karena sudah terlihat polarisasi antara yang pro-Gus Dur dan anti-Gus Dur,” tulis Virdika berdasarkan dokumen yang didapatnya.

Pada halaman 124 manuskrip itu Virdika menuliskan rapat itu juga membahas, “Rencana jangka pendek menaikkan Megawati menjadi presiden. Pembahasan tersebut dipimpin oleh Arifin Panigoro dan Fuad Bawazier. Mereka membahas bahwa jika aliansi PDIP, Golkar, dan Poros Tengah tetap solid—setelah nanti teruji dalam penandatanganan hak angket—, maka jalan untuk menjatuhkan Gus Dur akan lebih terbuka.”

Dokumen Fuad Bawazier

SATU DOKUMEN lain yang diungkap Virdika adalah surat Fuad Bawazier yang ditujukan kepada Ketua Umum Partai Golkar saat itu, Akbar Tanjung.
Berdasarkan kop surat, terdapat keterangan waktu yakni tanggal 16 Januari 2001 pukul 22.43 WIB. Namun pada bagian akhir surat, persis di atas nama Fuad Bawazier, tertera tanggal 29 januari 2001 atau dua hari sebelum Memorandum I oleh DPR untuk Gus Dur.

Surat yang ditulis oleh Fuad Bawazier untuk Akbar Tandjung menyebut bahwa surat itu adalah satu pelaksanaan rencana Semut Merah alias Semer.

“Tugas yang diberikan kepada Fuad Bawazier berkaitan dengan penggalangan opini, dukungan masyarakat luas, mahasiswa, media, ormas, pengusaha, cendekiawan, preman, kelompok kanan, serta masyarakat lainnya di seluruh Indonesia, dalam rangka penjatuhan kredibilitas Presiden Wahid melalui kasus Buloggate dan Bruneigate yang telah berjalan sesuai rencana,” tulis Virdika, hlm 151.

[Virdika/repro Suara.com oleh Erick Tanjung]
[Virdika/repro Suara.com oleh Erick Tanjung]
Virdika pada halaman yang sama melanjutkan, “Bahkan lebih dari itu, kekuatan dan efek dari operasi tahap pertama ini–menurut pandangan Fuad—sudah harus ditingkatkan kepada pelaksanaan operasi skenario kedua, yakni: memaksa Gus Dur mundur dan mendorong Megawati Soekarnoputri menjadi presiden, yang akan bisa kendalikan dan pada akhirnya akan kita singkirkan juga.
Pada surat Fuad yang didapatkan Virdika, terdapat 7 laporan garis besar dan sejumlah rekomendasi hasul pelaksaan skenario pertama (halaman 152-153).

Pertama, BEM PTN dan PTS seluruh Indonesia yang telah dikoordinasi serta kelompok kanan ormas Islam untuk mengepung Senayan untuk menekan DPR agar menerima kerja pansus yang menyatakan Gus Dur telah menyalahgunakan kekuasaan.
Kedua, saat sidang paripurna digelar, mahasiswa akan bergabung dengan massa pemuda Partai Keadilan dan sejumlah ormas lainnya.

Ketiga, memperoleh dukungan dari sejumlah orang yang memengaruhi beberapa kantong massa PDIP untuk melakukan demonstrasi "menyikat" Gus Dur di sidang parlemen.
Keempat, melakukan aksi borong dolar di pasar vaulta asing untuk menjatuhkan nilai tukar rupiah.
Kelima, kerja media massa yang bertugas mem-blow up secara kolosal dan provokatif semua pemberitaan berkaitan dengan tuntutan mundur terhadap Gus Dur.

Keenam, penggiringan opini publik oleh para tokoh dan cendekiawan atas kegagalan pemerintahan Gus Dur lewat tulisan di media massa.

Ketujuh, "Tugas saudara Dien Syamsuddin untuk mengendalikan MUI lewat kasus Ajinomoto telah berhasil memaksa para ulama dan tokoh agama mencabut dukungannya kepada presiden."

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.