IBNU KHALDUN ANTARA POLITIK DAN SEJARAH
Kajian mengenai ilmu non-agama yang menggunakan sumber para pemikir Islam masih sangat sedikit, bahkan hanya sekadar mengenal nama-namanya saja. Kita tidak sampai kepada pembelajaran teori-teori yang telah dikemukakan dan dipraktikkan lebih dalam dan umumnya kita lebih mengenal pakarnya yang berasal dari barat. Keilmuan yang disebut sebagai “ilmu keislaman” hanya dipahami seputar ilmu syariat, teologi dan hal-hal yang berkaitan dengan agama.
Salah satunya adalah ilmu Sosiologi. Ternyata Islam juga melahirkan tokoh yang ahli dan menggagas teori-teori yang dikenal sebagai ilmu Sosiologi. Tokoh ini muncul jauh sebelum pemikir barat seperti Adam Smith (1723-1790) dan David Ricardo (17722-1823). Nama tokoh ini adalah Ibnu Khaldun yang bernama lengkap Waliyuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Abi Bakar Muhammad bin al-Hasan.
Keturunan Sahabat Nabi, Wail bin Hujr
Ibn Khaldun lahir di Tunisia pada 27 Mei 1332 M atau 1 Ramadhan 732 H. Nama Ibnu Khaldun ia peroleh dari nama keluarga besarnya, Bani Khaldun. Bani Khaldun berasal dari Yaman. Silsilahnya jika dirunut ke atas akan sampai kepada sahabat Nabi bernama Wail bin Hujr.
Salah satu cucu Wail yang bernama Khaldun bin Usman memasuki daerah Andalusia bersama orang-orang Arab pada abad ke-9. Di situlah akhirnya Khalid membentuk sebuah bani bernama Bani Khaldun dan para keturunannya berkembang di kota Qarmunah (kini Carmona) di Andalusia, sebelum akhirnya hijrah ke kota Isybilia (Sevilla). Di kota inilah Ibnu Khaldun akhirnya berhasil menduduki beberapa jabatan penting.
Ibnu Khaldun menghabiskan masa belajarnya di tanah kelahirannya, Tunisia dengan beberapa ulama di sana. Ia mempelajari berbagai bidang keilmuan yaitu ilmu syariat seperti tafsir, hadis, usul fikih, tauhid, dan fikih Mazhab Maliki. Ia juga mempelajari ilmu bahasa seperti nahwu, sharf dan balaghoh. Tidak hanya mempelajari ilmu agama, ia juga mempelajari ilmu umum seperti matematika dan fisika. Bahkan ia juga menghapal Al-Qur’an sejak dini.
Ibn Khaldun dan Kegiatan Politik Praktis
Profil Ibn Khaldun adalah orang yang sangat aktif dan sudah berkiprah dalam bidang politik praktis. Bahkan di usia mudanya ia telah memegang jabatan penting di beberapa dinasti kecil yang ada saat itu. Seperti menjadi sekretaris Sultan al-Fadhl di Tunisia pada tahun 1350 yang artinya pada saat itu usianya baru 18 tahun. Kemudian ia pernah menjadi duta negara di Castilla pada tahun 1363. Dua tahun kemudian ia menjabat sebagai perdana menteri Abu Abdillah Muhammad, penguasa Bani Hafs di Bijaiyah.
Pada tahun 1372 ia menyelamatkan diri ke Fez saat Tilmisan direbut oleh Abu Hammu. Lalu ketika Fez jatuh ia pergi ke Granada. Namun saat sesampainya di sana, ia diminta untuk meninggalkan daerah itu. Akhirnya ia menepi ke Tilmisan, Maghribi Tengah (wilayahnya meliputi Tunisia, Aljazair, dan Maroko). Ia menyepi di sana sampai tahun 1378 lalu ke Alexandria, Mesir untuk menghindari kekacauan politik pada tahun 1382.
al-Muqaddimah: Pengantar Ilmu Sejarah yang Fenomenal
Ia akhirnya memfokuskan diri pada kegiatan mengajar dan menulis dan meninggalkan jabatannya di ranah politik. Ia menulis sebuah buku yang monumental yang akhirnya masih dikaji hingga saat ini dan diakui dunia barat. Bukunya berjudul al-‘Ibar (sejarah umum) yang terdiri dari 7 jilid dan diterbitkan di Kairo. Buku tersebut berisi kajian sejarah yang didahului oleh buku yang berjudul Muqaddimah pada jilid I yang lebih dikenal dengan Muqaddimah Ibnu Khaldun. Bukunya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa dan menjadi referensi utama ilmu sosiologi di barat.
Pembahasan yang ditulis dalam al-Muqaddimah adalah tentang teori sosial, politik, dasar-dasar pembangunan masyarakat dan pembidangan ilmu pengetahuan. Kemudian pada bab dua, ia menganalisis gejala-gejala sosial dan metode-metodenya.
Lalu pada bab dua dan tiga ia membagi antara masyarakat primitif dan modern serta menyebutkan gejala-gejala dari keduanya dan menjelaskan bagaimana membangun politik di masyarakat tersebut.
Pada bab empat ia menganalisis tentang bagaimana cara berkumpulnya manusia yang disebabkan faktor lingkungan dan geografis. Pada bab empat dan lima ia menerangkan tentang ekonomi individu, bermasyarakat maupun bernegara. Pada bab enam dan tujuh ia menjelaskan tentang ilmu pedagogik, ilmu pengetahuan dan alat-alatnya. Tidak heran kalau buku ini akhirnya diakui keunggulannya dan dijadikan rujukan karena begitu lengkap. Selain kitab Al-Ibar yang begitu fenomenal, ia juga menulis autobiografinya yang berjudul at-Ta’rif bi Ibn Khaldun.
Ia menjadi pengajar di Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir. Di sana ia mengajar hadis, fikih Mazhab Maliki, dan teori Sosiologi yang ia tulis dalam bukunya. Selain menjadi pengajar di kampus, ia juga menjadi ketua Pengadilan Mesir sampai akhir hayatnya. Ia wafat pada 19 Maret 1406 (26 Ramadhan 808 H) di Kairo.
Hukum sejarah adalah sifat-sifat yang beraturan tentang suatu kejadian, yang kemudian membentuk substansi filsafat sejarah. Hukum sejarah sama halnya dengan hukum-hukum alam, yakni merupakan suatu hipotesis yang sangat kuat, namun meskipun demikian, hipotesis tersebut dapat saja disingkirkan jika tidak bekerja.
hukum sejarah
Ibnu Khaldun dalam karya monumentalnya, yakni muqaddimah[1], mengelompokkan hukum sejarah menjadi tiga, yakni:
Kausalitas
Hukum kausalitas merupakan salah satu hukum sejarah yang termasuk dalam bagian determinisme sejarah. Dalam hukum ini, sebuah peristiwa sejarah dikaji dengan menekankan kepada kausa-kausa atau sebab-sebab yang mempengaruhi terjadinya sebuah peristiwa sejarah. Herodotus (484-425 SM), menyatakan bahwa studi sejarah merupakan usaha untuk meneliti kausa-kausa atau sebab-sebab. Sedangkan Montesquieu merupakan tokoh awal yang menerapkan hukum-hukum kausa di dalam karyanya yang berjudul De I’esprit des lois. Melalui karyanya tersebut, ia menolak asumsi bahwa ketentuan yang buta telah menghasilkan seluruh fenomena yang ada di alam. Ia berpendapat bahwa perilaku manusia selalu mengikuti hukum-hukum tertentu.
Ibnu Khaldun berpendapat bahwa antar satu peristiwa dengan peristiwa lainnya dijalin oleh adanya hubungan sebab-akibat. Hukum kausalitas tidak hanya berlaku pada ilmu-ilmu kealaman, melainkan juga pada manusia. Fenomena yang terjadi pada manusia membuktikan bahwa manusia tunduk kepada hukum-hukum yang tetap. Namun ada beberapa hal yang menurut Ibnu Khaldun tidak berlaku hukum kausalitas, yakni pada fenomena mukjizat para nabi dan karomah para wali serta ilmu-ilmu sihir.
Peniruan (pengulangan)
Hukum peniruan didasarkan pada kesamaan yang terkadang terjadi antar satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Hukum ini menurut Ibnu Khaldun sangat erat kaitannya dengan penaklukan-penaklukan yang terjadi di dunia Islam. Ia berpendapat bahwa, “pihak yang ditaklukkan pasti akan meniru pihak yang menaklukkan”.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya peniruan tersebut, di antaranya adalah: Pertama, masyarakat senantiasa meniru pada pemegang kekuasaan. Kedua, para pemegang kekuasaan yang baru, selalu meniru para pemegang kekuasaan sebelumnya. Ketiga, pemegang kekuasaan yang kalah meniru pada pemegang kekuasaan yang baru. Hukum peniruan ini merupakan sebuah hukum yang umum. Selain itu, hukum ini juga nantinya akan menunjukkan adanya perkembangan-perkembangan, dikarenakan pada dasarnya pihak-pihak yang meniru akan lebih melengkapi kekurangan-kekurangan dari hal-hal yang ditirunya.
Perbedaan
Hukum perbedaan menurut Ibnu Khaldun juga merupakan dasar dalam determinisme. Meskipun pada satu sisi masyarakat memiliki beberapa kesamaan, namun tidak secara mutlak dan keseluruhan antar masyarakat itu sama persis, melainkan pasti terdapat perbedaan-perbedaan. Perbedaan-perbedaan tersebut merupakan salah satu hal yang harus diketahui oleh para sejarawan. Banyak hal yang menyebabkan terjadinya perbedaan-perbedaan di masyarakat, di antaranya adalah factor politik, ekonomi, geografi, dan lain-lain.
[1] Muqaddimah merupakan salah satu karya Ibnu Khaldun yang pada awalnya merupakan jilid pertama dari tujuh jilid kitab al-ibar. Kitab muqaddimah dianggap sebagai satu di antara enam monografi penting dalam sosiologi umum. Kitab ini terdiri dari enam bab. Salah satu alasan Ibnu Khaldun menulis kitab ini adalah berawal dari keprihatinannya terhadap kelemahan ilmu sejarah yang berkembang pada masa itu. Kitab muqaddimah ini diselesaikannya dalam waktu lima bulan, dan berakhir pada pertengahan tahun 779 H (1377 M).
Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun telah menjadi bagian penting bagi perkembangan ilmu sejarah. Melalui karyanya yang fenomenal yakni Kitab Muqaddimah Ibnu Khaldun, Ia telah menyumbangkan cabang keilmuan baru yang disebut filsafat sejarah. Perhatian Ibnu Khaldun dalam mengkaji sejarah secara benar mendorongnya untuk mengikhtisarkan hukum-hukum umum dalam pengkajian sejarah.
Sebagaimana telah diketahui, Ibnu Khaldun tidak hanya memandang sejarah sebagai peristiwa atau kejadian yang terjadi di masa lampau saja, tetapi juga memandangnya secara filsafat. Cara pandang ini digunakan untuk mengetahui sebab yang menggerakkan suatu peristiwa sejarah.
Teori yang dibuat oleh Ibnu Khaldun tentu dipengaruhi oleh perjalanan hidupnya dan pengembaraannya ke berbagai daerah. Sebagai pengasas filsafat sejarah, Ibnu Khaldun telah banyak menyampaikan teori-teorinya terkait dengan sejarah. Salah satu teori filsafat sejarah yang dikemukakan Ibnu Khaldun terkait dengan teori perkembangan.
filsafat sejarah ibnu khaldun
Nama lengkapnya adalah Waliyudin Abd al-Rahman Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Abi Bakr Muhammad Ibn al Hasan Ibn Khaldun. Dia lahir di Tunisia di awal bulan Ramadhan 732 (27 Mei 1332 M) dan wafat di Kairo pada tanggal 25 Ramadhan 808 H (19 Maret 1406 M). Keluarganya berasal dari Hadramaut dan sisilahnya sampai pada sahabat Nabi Wayl Ibnu Hujar dari kabilah Kinda.
Pada awal ke-3 H salah seorang cucu Wayl, Khalid bin Usman, memasuki daerah Andalusia Bersama orang-orang Arab. Anak cucu Khalid ini kemudian membentuk keluarga besar bernama Bani Khaldun, dari Bani inilah nama Ibnu Khaldun berasal. Secara umum Fase kehidupan Ibnu Khaldun dapat dibagi menjadi empat fase yaitu :
Pertama fase kelahiran, perkembangan dan studi. Fase ini berlangsung sejak kelahiran sampai usia 20 tahun, yaitu dari tahun 732 H/ 1332 hingga tahun 751 H/1350 M. Fase pertama Ibnu Khaldun dihabiskan di Tunisia. Semenjak kecil Ibnu Khaldun telah mempelajari dasar-dasar ilmu agama yang diajarkan oleh Ayahnya yaitu Muhammad Ibnu Muhammad.
Studinya secara mendalam ia mulai saat berumur 15 tahun (1349 M) ketika Tunisia menjadi pusat hijrah ulama dari Andalusia. Dengan para ulama tersebut ia mulai mempelajari ilmu-ilmu syariat: tafsir, hadis, usul fiqh, tauhid dan mazhab maliki, di bidang keilmuan bahasa ia mempelajari nahwu, sharaf, dan balagah, selain itu ia juga mempelajari fisika, matematika, metafisika dan lain-lain. Pada tahun 1349 M Ibnu Khaldun harus menghentikan studinya sementara karena terjangkit penyakit pes.
Kedua, fase bertugas di pemerintahan dan terjun ke dunia politik di Maghribi serta Andalusia, yaitu sejak yaitu dari tahun 751-776 H/ 1350-1374 M. Pada fase kedua Ibnu Khaldun berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, seperti di Fez, Granada, Bougie, Biskara, dan lain-lain.
Karir politiknya dimulai ketika berumur 21 jabatan yang pernah ia pegang antara lain: sekertaris sultan Daulah Bani Hasfsh (Tunisia, 1350-1352), anggota Majelis Ilmu Pengetahuan (1354 Baskarah, Aljazair, Maghribi Tengah) setahun kemudian diangkat menjadi sekretaris sultan, duta negara di Castila (Granada,1362 M), Perdana menteri dan khatib (Bijayah 1364 M).
Ketiga, fase pengarangan , ketika ia berfikir dan berkontemplasi di benteng Ibnu Salamah milik abu Arif yaitu sejak tahun 766 H/ 1374 M sampai 784 H / 1382 M. Setelah sekian lama malang melintang dalam dunia politik praktis, pada akhirnya Ibnu Khaldun merasa jenuh untuk terus terlibat dalam urusan politik. Naluri kesarjanaannya telah memaksanya untuk menjauhi kehidupan yang penuh gejolak. Pada kondisi jiwa seperti inilah Ibnu Khaldun memasuki suatu tahapan dari kehidupannya dalam apa yang disebut dengan istilah khalwat Ibnu Khaldun. Masa khalwat ini dialami Ibnu Khaldun dalam jangka empat tahun dari tahun 1374 sampai 1278 M. Ibnu Khaldun mengasingkan diri di suatu tempat terpencil yang dikenal dengan sebutan Qal’at Ibnu Salamah.
Di sinilah ia mengarang kitab monumentalnya Kitab al-‘Ibar wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar wa man Siwahum min Dzaw al-Sulthan al-Akbar ( Kitab Pelajaran dan Arsip Sejarah Zaman Permulaan dan Zaman Akhir, Mencakup Peristiwa Politik Mengenai Orang-orang Arab, Non Arab, dan Bangsa Barbar, serta Raja-raja Besar yang semasa) atau yang juga disebut al-‘Ibar yang terdiri dari tujuh jilid besar. Kitab besar ini berisi kajian sejarah, dan didahului oleh sebuah pembahasan tentang masalah-masalah sosial manusia yang dikenal dengan nama Muqaddimah Ibnu Khaldun yag sekaligus merupakan jilid pertama dari kitab al –‘Ibar.
Kitab Muqaddimah itu membuka lebar-lebar jalan menuju bahasan ilmu-ilmu sosial. Oleh karena itu dalam sejarah Islam Ibnu Khaldun diandang sebagai peletak dasar ilmu-ilmu sosial dalam Islam. Pada tahun 1378 M Ibnu Khaldun kembali ke Tunisia di sini ia berusaha untuk merevisi kitabnya. Pada tahun 1382 ia pergi ke Iskandaria untuk menghindari kegalauan dunia politik, setelah sebulan berada di Iskandaria ia pergi ke Kairo. Di Kairo ia disambut baik oleh para ulama.
Keempat, fase mengajar dan bertugas sebagai hakim negeri di Mesir yaitu dari tahun 784 H/ 1382 M sampai wafatnya tahun 808 H/ 1406 M. Pada fase ini hidup Ibnu Khaldun dihabiskan untuk mengabdikan ilmunya, di al-Azhar membentuk halaqah dan memberi kuliah.
Pada tahun 1384 ia diangkat oleh raja menjadi dosen dalam ilmu fiqh mazhab Maliki di Madrasah al-Qamhiyah dan beberapa bulan setelah itu ia diangkat menjadi ketua pengadilan kerajaan. Selama di mesir ia juga merevisi dan menambah pasal-pasal dalam kitab Muqaddimah dan al-‘Ibar. Peristiwa – peristiwa baru pada masa itu dimasukanya, demikian juga temuan-temuan ilmiyahnya, seperti konsep-konsep sosiologi. Ibnu Khaldun wafat pada tanggal 16 Maret 1406 M (26 Ramadlan 808 H.) dalam usia 74 tahun di Mesir.
Pandangan Ibnu Khaldun terhadap Filsafat Sejarah
Menurut Ibnu Khaldun, sejarah terdiri dari dua aspek, yakni aspek lahir dan aspek batin. Aspek lahir diartikan bahwa sejarah tidak lebih dari berita-berita tentang peristiwa-peristiwa, negara-negara, dan kejadian-kejadian pada abad-abad silam. Sementara secara batin, sejarah mengandung pengertian observasi dan usaha mencari kebenaran, keterangan yang mendalam tentang sebab dan asal mula kejadian serta pengertian dan pengetahuan tentang substansi, esensi, dan sebab-sebab terjadinya peristiwa. Dari aspek batin inilah muncul salah satu cabang filsafat atau hikmah.
Ibnu Khaldun dalam karyanya yang monumental Kitab Muqaddimah Ibnu Khaldun, memang tidak secara langsung menggunakan kata filsafat sejarah, tetapi justru menggunakan kata “al-umran al-basyari”. Secara bahasa, al-umran al-basyari berarti masyarakat manusia. Sementara itu, menurut Ibnu Khaldun, al-umran diartikan sebagai kebudayaan.
Dalam Grand Larousse Encyclopedique dikemukakan bahwa kebudayaan adalah seperangkat karakteristik yang berkenaan dengan kehidupan pikiran, artistik, moral, material, dan politik suatu negeri atau masyarakat tertentu. Ensiklopedia itu juga menambahkan bahwa kebudayaan merupakan salah satu objek pembahasan filsafat sejarah.
Perkembangan sejarah secara totalitas mengkaji kehidupan berbagai masyarakat dan kekaisaran serta berupaya untuk mengikhtisarkan hukum-hukum perkembangan dan keruntuhannya. Dengan demikian, kebudayaan atau yang disebut Ibnu Khaldun sebagai al-umran merupakan ilmu yang mengkaji filsafat sejarah.
Menurut Muhsin Mahdi dalam karyanya Ibnu Khaldun’s Philosophy of History tujuan kajian yang dilakukan Ibnu Khaldun adalah untuk mengkaji aspek internal dari peristiwa-peristiwa eksternal sejarah karena sejarah dan ilmu kebudayaan mengkaji dua aspek dari fakta yang sama. Ketika sejarah mengkaji peristiwa-peristiwa historis dari lahiriahnya, sementara ilmu kebudayaan membahas watak dan sebab peristiwa-peristiwa tersebut.
Dalam melakukan pengkajian filsafat sejarah, Ibnu Khaldun menggunakan metode utama berupa pengkajian berita-berita sejarah dengan mempergunakan hukum-hukum yang mengendalikan alam dan juga mengendalikan masyarakat. Dengan demikian ketika sebuah berita sejarah dan hukum-hukum tersebut bertentangan, maka berita tersebut dianggap tidak benar meskipun rangkaian penuturnya dapat diterima sebagaimana yang dianut para muhaditstsin.
Sebagai seorang pencipta ilmu sejarah memang tidak menggunakan metode ahli hadis secara mutlak, tetapi juga tidak meninggalkannya secara keseluruhan. Terbukti bahwa Ibnu Khaldun masih menggunakan metode ta’dil dan tajrib dalam mengkaji peristiwa sejarah. Kedua metode ini adalah metode untuk mengetahui kejujuran dan kebenaran penutur hadis.
Banyak ilmuwan barat yang mengatakan bahwa Ibnu Khaldun merupakan pengasas filsafat sejarah, sebab Ia melakukan sesuatu yang baru yang belum pernah dibaca dan dilihatnya dari karya-karya orang terdahulu, baik dari kalangan umat muslim maupun sumber-sumber Yunani.
Dalam Kitab Muqaddimah Ibnu Khaldun, Ia memang melakukan kritik terhadap filsafat yakni filsafat dalam kedudukannya sebagai metafisika yang bertolak dari kontemplasi murni, logika formal yang tidak ada kaitannya dengan kenyataan. Sedangkan filsafat sejarah yang dikembangkan Ibnu Khaldun sangat berpegang teguh kepada kajian yang didasarkan pada pengamatan indrawi dan analisis perbandingan data-data yang objektif.
Menurut Ibnu Khaldun, masyarakat merupakan makhluk historis yang hidup dan berkembang sesuai dengan hukum-hukum khusus, yang berkenaan dengannya hokum tersebut dapat diamati dan dibatasi lewat pengkajian terhadap fenomena sosial. Ia berpandangan bahwa ashabiyah merupakan asas berdirinya suatu negara, dan faktor terpenting yang menyebabkan terjadinya perkembangan masyarakat. Dari pendapat itu Ibnu Khaldun juga bias disebut tokoh pelopor materialisme jauh sebelum Karl Marx.
Ibnu Khaldun terkenal sebagai perintis dan pelopor The Culture Cycle Theory of History, yaitu satu teori filsafat sejarah yang telah mendapat pengakuan di dunia Timur dan barat tentang kematanganya. Ibnu Khaldun dengan teorinya berpendapat bahwa sejarah dunia itu adalah satu siklus dari setiap kebudayaan dan peradaban ia mengalami masa lahir, masa puncak, kemudian masa menurun dan akhirnya masa hancur. Khaldun mengistilahkan siklus itu dengan tiga tangga peradaban.
Teori Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun
Teori Perkembangan
Menurut Ibnu Khaldun, perkembangan setiap jenis makhluk-makhluk satu sama lainnya saling berjalin pada akhir rangkaian perkembangan. Perkembangan setiap jenis makhluk hidup menuju jenis yang lebih tinggi dan pada akhir perkembangannya kita mandapatkan manusia yang merupakan perkembangan dari kera. Teori perkembangan ini kemudian juga digunakan dalam memandang fenomena sosial.
Konsepsi gerak menurut Ibnu Khaldun terkandung dalam watak segala sesuatu, misalnya saja umur negara diserupakan dengan kehidupan manusia. Negara terus berkembang, sebab kehidupan itu sendiri berada dalam gerak dan perkembangan-perkembangan yang berkesinambungan. Perkembangan menurut Ibnu Khaldun mempunyai corak yang dialektis, yakni bahwa sejak penciptaannya, dalam diri makhluk hidup telah terkandung benih-benih kematian dan perkembangan yang tidak dapat dihentikan dan akan menuju pada kematian yang pasti.
Persoalan dialektis dari kehidupan dan kematian, atau kesatuan dan pertentangan antara keduanya yakni persoalan yang erat kaitannya dengan perkembangan setiap makhluk hidup sejak kelahirannya sampai kematiannya, menduduki posisi penting dalam konsepsi Ibnu Khaldun. Kenyataan sebagai keseluruhan tidaklah timbul dari tumpukan hal-hal yang berserakan dan bercerai berai, tetapi merupakan kumpulan fenomena-fenomena sejenis dan satu sama lain saling berjalin serta mempunyai dampak yang timbal balik.
Pemikiran Ibnu Khaldun mengandung dua karakteristik utama dari karakteristik dialektika[1] Hegelian. Pertama, prinsip saling mempengaruhi dan hubungan kosmis di antara semua fenomena, baik fenomena sosial maupun fenomena alam. Kedua, prinsip perubahan kosmis dan perkembangan yang selamanya tidak pernah berhenti.
Menurut Ibnu Khaldun, perkembangan memiliki gerak spiral ke depan. Maksudnya, perkembangan selalu muncul dari sesuatu yang sudah pernah ada sebelumnya dan penggantinya seringkali lebih tinggi atau lebih baik dari sebelumnya. Hal ini seiring dengan pandangan Ibnu Khaldun terhadap sejarah yang menurutnya merupakan kisah negara-negara yang muncul, tumbuh dan hancur. Kehancuran merupakan hal yang pasti pada setiap hal kecuali dalam perkembangan.
Teori perkembangan sejarah ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:
Ekonomi
Menurut Ibnu Khaldun, kegiatan ekonomi mampu menentukan bentuk kehidupan. Ia juga membedakan masyarakat primitive dan maju berdasarkan ekonomi. Jika masyarakat primitive mendasarkan kehidupannya pada pernggarapan tanah atau pemeliharaan tanah, maka masyarakat maju menggunakan industry dan perdagangan dalam mendasarkan kehidupan mereka. Lebih jauh lagi, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa begara tidak dapat ditegakkan oleh suatu bangsa kecuali dengan adanya suatu peringkat tertentu dalam kemajuan ekonomi. Maka dari itu tidak salah jika Ibnu Khaldun dalam filsafat sejarahnya berafiliasi dengan aliran ekonomi. Aliran ekonomi menginterpretasikan sejarah secara materialis dan menguraikan fenomena-fenomena sosial secara ekonomis. Di samping itu setiap perubahan dalam masyarakat, dan fenomena–fenomenanya, mengembalikan pada faktor ekonomi .Karl Marx adalah tokoh yang dianggap sebagai tokoh pengembang aliran filsafat sejarah kedua ini.
Dampak alam terhadap masyarakat-masyarakat manusia
Menurut Ibnu Khaldun, lingkungan fisik memiliki dampak yang besar terhadap masyarakat manusia, sebab sampai ke batas tertentu watak masyarakat dipengaruhi oleh bumi, posisinya, peringkat kesuburannya, jenis hasil buminya, dan bahan-bahan mentah yang dimilikinya. Kebudayaan tidak akan muncul kecuali adanya kawasan-kawasan tertentu. Ibnu Khaldun juga membagi bumi menjadi tujuh bagian. Bagian pertama dan ketujuh sangat panas, bagian kedua dan keenam sangat dingin, sementara bagian ketiga, keempat, dan kelima memiliki hawa sedang. Tiga bagian terakhir adalah tempat maraknya kebudayaan manusia.
Pengaruh ini tidak dapat dilepaskan dari aliran sejarah geografi yang memandang manusia sebagai putra alam lingungan, dan kondisi–kondisi alam di sekitarnya. Oleh karena itu dalam penyejarahan, seseorag, masyarakat-masyarakat dan tradisi– tradisinya dibentuk oleh lingkungan dan alam dimana ia berada. Alam dan lingkungan memiliki dampak terhadap kehidupan masyarakat, walaupun manusia sendiri juga dapat mempengaruhi dan berinteraksi dengan lingkunganya.
Dampak agama terhadap filsafat sejarah
Menurut Ibnu Khaldun, terdapat pengaruh Ilahi yang mengendalikan hukum-hukum yang mengendalikan hukum-hukum yang mengarahkan berbagai fenomena. Agama menurut Ibnu Khaldun kadang-kadang memiliki dampak yang besar atas bangsa-bangsa dan dampaknya kadang-kadang melebihi ashabiyah.
Hukum-Hukum Determinisme Sejarah
Determinisme adalah keyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi karena suatu kausa atau berbagai kausa dan semuanya itu tidak mungkin terjadi dalam bentuk yang berbeda kecuali apabila terjadi perbedaan di dalam kausa-kausanya. Hukum determinisme menurut Ibnu Khaldun ada tiga, yakni hukum kausalitas, peniruan, dan perbedaan.
Hukum kausalitas
Ibnu Khaldun meyakini adanya kausalitas antara kenyataan-kenyataan dan fenomena-fenomena. Ibnu Khaldun disebut-sebut terpengaruh dari al-Ghazali dan ada juga yang menyebutnya terpengaruh oleh Aristotelian. Hukum kausalitas yang dipahami Ibnu Khaldun bukan berarti manusia diliputi semua sebab. Karena hal tersebut mustahil dan mengarahkan pada ketidakmampuan akal dalam memahami. Ada beberapa pengecualian terhadap hukum kausalitas, yakni pada hal-hal yang luar biasa seperti mukjizat para nabi dan karomah para wali.
Hukum peniruan
Hukum peniruan terjadi karena menurut Ibnu Khaldun dari sebagian aspek semua masyarakat manusia adalah sama. Sementara jika terdapat perbedaan merupakan sebuah keistimewaan yang dikaruniakan oleh Allah Swt kepada orang-orang tertentu seperti nabi dan wali. Peniruan merupakan suatu hukum yang umum dan mendorong gerak perkembangan ke depan, sebab kadang-kadang peniruan dilakukan terhadap sesuatu yang baik.
Hukum perbedaan
Menurut Ibnu Khaldun, masyarakat-masyarakat tidak memiliki kesamaan yang mutlak, sehingga perbedaan-perbedaan yang ada harus diketahui oleh sejarawan. Perbedaan ini juga ditimbulkan dari proses peniruan dari satu masyarakat kepada masyarakat lainnya yang justru akan menimbulkan perbedaan secara total. Perbedaan dalam sebuah masyarakat tidak dapat dilepaskan dari adanya pengaruh geografis, fisik, ekonomi, politik, adat istiadat, tradisi, dan agama.
Dalam magnum opus-nya, al-‘Ibar, sering kali Ibnu Khaldun mengkritik penulisan-penulisan sejarah oleh tokoh-tokoh yang mendahuluinya. Hanya segelintir orang saja yang memiliki kecakapan yang diakui dan dapat menulis sejarah secara komprehensif, di antaranya adalah Ibnu Ishaq, al-Thabari, Ibnu al-Kalbi, Muhammad ibnu Umar al-Waqidi, Saif ibnu Umar al-Asadi, dan lainnya yang sudah terkenal dan memiliki keistimewaan sendiri.
Kendati demikian, menurutnya, karya-karya mereka masih terdapat ‘kecacatan’. Terlebih karya-karya dari sejarawan yang datang setelah mereka. Dalam salah satu kritikan di kitabnya, Muqaddimah (t.th), Ibnu Khaldun mendaftar kecacatan-kecacatan yang dimaksudnya, di antaranya: menempuh cara-cara taklid, miskin karakter dan akal, berpikiran jumud.
Sejarawan ini menurut Ibnu Khaldun “…hanya mengikuti pola-pola penulisan sejarah yang sudah ada dan lalai terhadap perubahan-perubahan masa dan tradisi-tradisinya dari generasi ke generasi, dari bangsa ke bangsa lain… Mereka hanya memuat informasi yang tak berguna karena tak jelas ujung pangkalnya. Yang mereka catat hanyalah peristiwa-peristiwa yang tidak jelas usulnya, atau pun bagian-bagian yang tak dapat ditarik kesimpulan umumnya, serta tak dapat diklasifikasikan secara sistematis.” (t.th: 11)
Setidaknya, secara garis besar terdapat empat penulisan sejarah dan penulisan narasi atau reportase yang Ibnu Khaldun kritisi, sebagaimana diteliti oleh Syed Farid al-Attas dalam karyanya, Ibn Khaldun (2013). Pertama, gosip dan laporan-laporan ciptaan yang dicampurkan dengan laporan-laporan yang benar.
Kedua, pelaporan terhadap peristiwa-peristiwa historis yang sering ditemukan error dan dugaan liar. Ketiga, [narasi ditulis oleh] orang-orang yang tidak memiliki kompetensi tetapi masuk ke dalam disiplin-disiplin akademis.
Keempat, taklid buta terhadap sejarah-sejarah yang telah lalu dari satu generasi ke generasi lainnya dan diterima tanpa pertanyaan (2013: 26).
Kritikan-kritikan terhadap model penulisan sejarah banyak didapati di Muqaddimah. Kritikan-kritikannya dalam beberapa hal sangat mendetail, sehingga pembaca dapat dengan mudah memahami kelemahan-kelemahan dari sejarah yang dia kritisi. Pertanyaannya, mengapa penulisan sejarah semacam ini dapat terjadi?
Menurut Ibnu Khaldun, setidaknya terdapat tujuh sumber prinsip error dalam sejarah. Pertama, sikap berat sebelah terhadap pendapat dan mazhab (aliran). Kedua, menggantungkan kepercayaan pada pembawa berita. Ketiga, kurangnya kesadaran terhadap tujuan dari suatu peristiwa.
Keempat, asumsi-asumsi tak berdasar yang dianggap sebagai kebenaran dari suatu peristiwa. Kelima, ketidaktahuan terhadap kesesuaian antara kondisi-kondisi dan peristiwa-peristiwa aktual. Keenam, “penjilat”. Ketujuh, ketidaktahuan terhadap sifat dari kondisi-kondisi masyarakat. (2013: 42-43)
Pada dasarnya, sejarah tidak hanya berkaitan dengan masa yang jauh dengan masa kita, bahkan kemarin dan apa yang baru kita lalui pun sejatinya adalah sejarah. Oleh sebab itu, kritik Ibnu Khaldun mengenai penulisan sejarah dapat berlaku pada penulisan reportase yang baru-baru saja terjadi.
Pertama, karena sama-sama berbicara mengenai apa yang sudah lalu. Kedua, karena sama-sama berkutat pada penulisan dan reportase atas apa yang telah terjadi. Dengan kata lain, tujuh sumber prinsip error dalam sejarah pada dasarnya adalah tujuh sumber prinsip error dalam reportase atas peristiwa yang telah terjadi.
Tujuh sumber prinsip error ini pada gilirannya mengambil bentuk menjadi berita yang tak akurat, tak berimbang, palsu (hoax), gosip, bahkan fitnah. Sayangnya, berita-berita semacam ini justru ‘menemukan habitatnya’ di lingkungan sekitar kita.
Boleh jadi, beberapa orang terjebak dalam dua, tiga, atau empat sumber prinsip error, tetapi tidak menutup kemungkinan beberapa orang terjebak dalam tujuh sumber prinsip error di atas. Imbasnya, mereka rentan diadu-domba, mudah konflik hanya karena perbedaan pendapat semata.
Patut diperhatikan bahwa untuk mendapat pengetahuan dan gambaran yang komplet mengenai suatu peristiwa, sejarawan dan pembaca fenomena sosial-politik membutuhkan banyak rujukan, sejumlah kecakapan, dan penalaran sekaligus ketelitian. Di antaranya mereka mesti mengetahui ilmu politik, karakter-karakter alam, perbedaaan bangsa-bangsa, kawasan dan zaman dalam hal perjalanan hidup, akhlak, tradisi mazhab, dan hal-hal lain. Fungsinya tidak lain adalah mendapatkan kebenaran dan menyelamatkan dari kesalahan dan penyimpangan.
Bahkan, tak cukup sampai di situ, mereka mesti kreatif. Sebagaimana terbersit dalam Muqaddimah, “ia harus menguasai masa sekarang untuk membandingkan masa lalu, mencari sisi-sisi persamaan dan sisi-sisi perbedaan antara keduanya, menggali latar belakang persamaan dan latar belakang perbedaan tersebut.” (t.th: 47)
Apabila kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip semacam ini sudah dimiliki, maka dengan mudah seseorang dapat menilai data-data informasi yang ia peroleh. Jika berita tersebut sesuai dengan kaidah-kaidah tersebut dan berjalan sesuai dengan hukum-hukumnya, maka berita tersebut adalah benar. Jika tidak demikian, maka ia mendustakannya dan meninggalkannya.
Ibnu Khaldun percaya bahwa suatu peristiwa memiliki karakter tersendiri, dan yang perlu dilakukan oleh pengamat adalah menemukan karakter ini dengan tentunya menyelidiki sebab dan asalnya, serta menyelidiki secara mendalam tentang bagaimana dan mengapa suatu peristiwa terjadi, hingga kemudian dapat disimpulkan suatu aturan umum yang dapat berlaku pada semua peristiwa yang serupa di masa lalu maupun sekarang.
Sebab dan asal serta mengapa dan bagaimana suatu peristiwa sifatnya tak tampak atau batin. Bagi Ibnu Khaldun, dengan mengetahui batiniah (sebab dan asal, bagaimana dan mengapa) suatu peristiwa, kita akan terhindar dari kesalahan. Dalam konteks ini, dia berpendapat bahwa suatu fenomena memiliki esensi (dzāt) dan aksiden (‘aradh).
Untuk mengetahui sesuatu, katanya, adalah untuk mengetahui esensinya dan dapat membedakan antara esensi dan properti-properti aksidentalnya. Jika diterapkan pada peristiwa yang telah lalu, hal ini bermakna bahwa pengamat mesti mengetahui sifat (tabiat) dari peristiwa-peristiwa, kondisi-kondisinya, serta syarat-syaratnya agar dapat dibedakan kebenaran dari kesalahan.
Ringkasnya, terdapat perbedaan mendasar antara reporter dengan perspektif kritis. Yang pertama hanya merekam dan menyebarkan apa yang telah ia kumpulkan, sementara yang kedua mensyaratkan untuk menguak makna batin dari peristiwa-peristiwa.
Begitulah perspektif kritis atau perspektif filsuf (yang direpresentasi oleh Ibnu Khaldun) dalam memperoleh dan menilai suatu berita atau informasi, memang agak berliku tapi potensi menghasilkan kesimpulan yang aman sangatlah tinggi. Sebab, tahapan penilaiannya terbilang ketat dan premis-premis yang digunakan sebisa mungkin valid dan aksiomatis. Artinya, metodenya tidak gampangan, sehingga rentan menghasilkan kesimpulan yang keliru dan sesat.
Pada akhirnya, dengan cara dan paradigma semacam ini, kita tak akan mudah percaya pada suatu berita, tak mudah dihasut atau diadu-domba, dan cenderung akan lebih berhati-hati dan tidak keburu-buru dalam menilai dan membuat kesimpulan.
Atau setidaknya, selama kita belum memiliki perangkat epistemologis yang dibutuhkan, sebaiknya kita menahan diri untuk menilai dan berkomentar dan rujuklah yang ahli di bidangnya. Seperti saran Sayyidina Ali bin Abi Thalib, “Andai yang tak berilmu diam sejenak, niscaya gugur perselisihan yang banyak.”
Simpulan
Waliyyuddin ‘Abd Rahman Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibnu Abi Bakr Muhammad Ibn al-Hasan Ibn Khaldun atau yang familiar dengan sebutan Ibnu Khaldun merupakan pengasas filsafat sejarah. Ia lahir di Tunisia pada tahun 732 H/ 1332 M dan wafat di Kairo pada 808 H/ 1406 M. Ia merupakan keluarga bani Khaldun yang masih memiliki nasab sampai ke sahabat Rasulullah saw.
Semasa hidupnya, Ibnu Khaldun menghabiskan waktu untuk menuntut ilmu dan berkecimpung dalam ranah politik sebagaimana yang ditempuh kakeknya. Ibnu Khaldun telah melakukan perjalanan ke berbagai daerah seperti Granada, Maghrib, Mesir, dan daerah lainnya.
Ibnu Khaldun secara gamblang memang tidak menyebutkan kata filsafat sejarah dalam Kitab Muqaddimah Ibnu Khaldun, namun Ia menggunakan kata al-umran al-basyari yang memiliki arti kebudayaan. Al-umran merupakan ilmu yang mengkaji filsafat sejarah.
Dalam kitab tersebut, Ibnu Khaldun juga telah mengungkapkan beberapa teori filsafat sejarah seperti teori perkembangan dan faktor yang mempengaruhi perkembangan tersebut, dan hukum determinisme yang mencakup hukum kausalitas, peniruan, serta perbedaan.
DAFTAR PUSTAKA
Biyanto. Teori Siklus Peradaban Perspektif Ibn Khaldun. Surabaya: LPAM, 2004.
Daliman, A. Pengantar Filsafat Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012.
Gazalba, Sidi. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1981.
Hasbullah, Moeflih. Filsafat Sejarah. Bandung: Pustaka Setia, 2012.
Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013.
Madjid, M. Dien dan Johan Wahyudhi. Ilmu Sejarah Sebuah Pengantar. Jakarta: Prenada Media Group, 2014.
Salah satunya adalah ilmu Sosiologi. Ternyata Islam juga melahirkan tokoh yang ahli dan menggagas teori-teori yang dikenal sebagai ilmu Sosiologi. Tokoh ini muncul jauh sebelum pemikir barat seperti Adam Smith (1723-1790) dan David Ricardo (17722-1823). Nama tokoh ini adalah Ibnu Khaldun yang bernama lengkap Waliyuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Abi Bakar Muhammad bin al-Hasan.
Keturunan Sahabat Nabi, Wail bin Hujr
Ibn Khaldun lahir di Tunisia pada 27 Mei 1332 M atau 1 Ramadhan 732 H. Nama Ibnu Khaldun ia peroleh dari nama keluarga besarnya, Bani Khaldun. Bani Khaldun berasal dari Yaman. Silsilahnya jika dirunut ke atas akan sampai kepada sahabat Nabi bernama Wail bin Hujr.
Salah satu cucu Wail yang bernama Khaldun bin Usman memasuki daerah Andalusia bersama orang-orang Arab pada abad ke-9. Di situlah akhirnya Khalid membentuk sebuah bani bernama Bani Khaldun dan para keturunannya berkembang di kota Qarmunah (kini Carmona) di Andalusia, sebelum akhirnya hijrah ke kota Isybilia (Sevilla). Di kota inilah Ibnu Khaldun akhirnya berhasil menduduki beberapa jabatan penting.
Ibnu Khaldun menghabiskan masa belajarnya di tanah kelahirannya, Tunisia dengan beberapa ulama di sana. Ia mempelajari berbagai bidang keilmuan yaitu ilmu syariat seperti tafsir, hadis, usul fikih, tauhid, dan fikih Mazhab Maliki. Ia juga mempelajari ilmu bahasa seperti nahwu, sharf dan balaghoh. Tidak hanya mempelajari ilmu agama, ia juga mempelajari ilmu umum seperti matematika dan fisika. Bahkan ia juga menghapal Al-Qur’an sejak dini.
Ibn Khaldun dan Kegiatan Politik Praktis
Profil Ibn Khaldun adalah orang yang sangat aktif dan sudah berkiprah dalam bidang politik praktis. Bahkan di usia mudanya ia telah memegang jabatan penting di beberapa dinasti kecil yang ada saat itu. Seperti menjadi sekretaris Sultan al-Fadhl di Tunisia pada tahun 1350 yang artinya pada saat itu usianya baru 18 tahun. Kemudian ia pernah menjadi duta negara di Castilla pada tahun 1363. Dua tahun kemudian ia menjabat sebagai perdana menteri Abu Abdillah Muhammad, penguasa Bani Hafs di Bijaiyah.
Pada tahun 1372 ia menyelamatkan diri ke Fez saat Tilmisan direbut oleh Abu Hammu. Lalu ketika Fez jatuh ia pergi ke Granada. Namun saat sesampainya di sana, ia diminta untuk meninggalkan daerah itu. Akhirnya ia menepi ke Tilmisan, Maghribi Tengah (wilayahnya meliputi Tunisia, Aljazair, dan Maroko). Ia menyepi di sana sampai tahun 1378 lalu ke Alexandria, Mesir untuk menghindari kekacauan politik pada tahun 1382.
al-Muqaddimah: Pengantar Ilmu Sejarah yang Fenomenal
Ia akhirnya memfokuskan diri pada kegiatan mengajar dan menulis dan meninggalkan jabatannya di ranah politik. Ia menulis sebuah buku yang monumental yang akhirnya masih dikaji hingga saat ini dan diakui dunia barat. Bukunya berjudul al-‘Ibar (sejarah umum) yang terdiri dari 7 jilid dan diterbitkan di Kairo. Buku tersebut berisi kajian sejarah yang didahului oleh buku yang berjudul Muqaddimah pada jilid I yang lebih dikenal dengan Muqaddimah Ibnu Khaldun. Bukunya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa dan menjadi referensi utama ilmu sosiologi di barat.
Pembahasan yang ditulis dalam al-Muqaddimah adalah tentang teori sosial, politik, dasar-dasar pembangunan masyarakat dan pembidangan ilmu pengetahuan. Kemudian pada bab dua, ia menganalisis gejala-gejala sosial dan metode-metodenya.
Lalu pada bab dua dan tiga ia membagi antara masyarakat primitif dan modern serta menyebutkan gejala-gejala dari keduanya dan menjelaskan bagaimana membangun politik di masyarakat tersebut.
Pada bab empat ia menganalisis tentang bagaimana cara berkumpulnya manusia yang disebabkan faktor lingkungan dan geografis. Pada bab empat dan lima ia menerangkan tentang ekonomi individu, bermasyarakat maupun bernegara. Pada bab enam dan tujuh ia menjelaskan tentang ilmu pedagogik, ilmu pengetahuan dan alat-alatnya. Tidak heran kalau buku ini akhirnya diakui keunggulannya dan dijadikan rujukan karena begitu lengkap. Selain kitab Al-Ibar yang begitu fenomenal, ia juga menulis autobiografinya yang berjudul at-Ta’rif bi Ibn Khaldun.
Ia menjadi pengajar di Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir. Di sana ia mengajar hadis, fikih Mazhab Maliki, dan teori Sosiologi yang ia tulis dalam bukunya. Selain menjadi pengajar di kampus, ia juga menjadi ketua Pengadilan Mesir sampai akhir hayatnya. Ia wafat pada 19 Maret 1406 (26 Ramadhan 808 H) di Kairo.
Hukum sejarah adalah sifat-sifat yang beraturan tentang suatu kejadian, yang kemudian membentuk substansi filsafat sejarah. Hukum sejarah sama halnya dengan hukum-hukum alam, yakni merupakan suatu hipotesis yang sangat kuat, namun meskipun demikian, hipotesis tersebut dapat saja disingkirkan jika tidak bekerja.
hukum sejarah
Ibnu Khaldun dalam karya monumentalnya, yakni muqaddimah[1], mengelompokkan hukum sejarah menjadi tiga, yakni:
Kausalitas
Hukum kausalitas merupakan salah satu hukum sejarah yang termasuk dalam bagian determinisme sejarah. Dalam hukum ini, sebuah peristiwa sejarah dikaji dengan menekankan kepada kausa-kausa atau sebab-sebab yang mempengaruhi terjadinya sebuah peristiwa sejarah. Herodotus (484-425 SM), menyatakan bahwa studi sejarah merupakan usaha untuk meneliti kausa-kausa atau sebab-sebab. Sedangkan Montesquieu merupakan tokoh awal yang menerapkan hukum-hukum kausa di dalam karyanya yang berjudul De I’esprit des lois. Melalui karyanya tersebut, ia menolak asumsi bahwa ketentuan yang buta telah menghasilkan seluruh fenomena yang ada di alam. Ia berpendapat bahwa perilaku manusia selalu mengikuti hukum-hukum tertentu.
Ibnu Khaldun berpendapat bahwa antar satu peristiwa dengan peristiwa lainnya dijalin oleh adanya hubungan sebab-akibat. Hukum kausalitas tidak hanya berlaku pada ilmu-ilmu kealaman, melainkan juga pada manusia. Fenomena yang terjadi pada manusia membuktikan bahwa manusia tunduk kepada hukum-hukum yang tetap. Namun ada beberapa hal yang menurut Ibnu Khaldun tidak berlaku hukum kausalitas, yakni pada fenomena mukjizat para nabi dan karomah para wali serta ilmu-ilmu sihir.
Peniruan (pengulangan)
Hukum peniruan didasarkan pada kesamaan yang terkadang terjadi antar satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Hukum ini menurut Ibnu Khaldun sangat erat kaitannya dengan penaklukan-penaklukan yang terjadi di dunia Islam. Ia berpendapat bahwa, “pihak yang ditaklukkan pasti akan meniru pihak yang menaklukkan”.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya peniruan tersebut, di antaranya adalah: Pertama, masyarakat senantiasa meniru pada pemegang kekuasaan. Kedua, para pemegang kekuasaan yang baru, selalu meniru para pemegang kekuasaan sebelumnya. Ketiga, pemegang kekuasaan yang kalah meniru pada pemegang kekuasaan yang baru. Hukum peniruan ini merupakan sebuah hukum yang umum. Selain itu, hukum ini juga nantinya akan menunjukkan adanya perkembangan-perkembangan, dikarenakan pada dasarnya pihak-pihak yang meniru akan lebih melengkapi kekurangan-kekurangan dari hal-hal yang ditirunya.
Perbedaan
Hukum perbedaan menurut Ibnu Khaldun juga merupakan dasar dalam determinisme. Meskipun pada satu sisi masyarakat memiliki beberapa kesamaan, namun tidak secara mutlak dan keseluruhan antar masyarakat itu sama persis, melainkan pasti terdapat perbedaan-perbedaan. Perbedaan-perbedaan tersebut merupakan salah satu hal yang harus diketahui oleh para sejarawan. Banyak hal yang menyebabkan terjadinya perbedaan-perbedaan di masyarakat, di antaranya adalah factor politik, ekonomi, geografi, dan lain-lain.
[1] Muqaddimah merupakan salah satu karya Ibnu Khaldun yang pada awalnya merupakan jilid pertama dari tujuh jilid kitab al-ibar. Kitab muqaddimah dianggap sebagai satu di antara enam monografi penting dalam sosiologi umum. Kitab ini terdiri dari enam bab. Salah satu alasan Ibnu Khaldun menulis kitab ini adalah berawal dari keprihatinannya terhadap kelemahan ilmu sejarah yang berkembang pada masa itu. Kitab muqaddimah ini diselesaikannya dalam waktu lima bulan, dan berakhir pada pertengahan tahun 779 H (1377 M).
Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun telah menjadi bagian penting bagi perkembangan ilmu sejarah. Melalui karyanya yang fenomenal yakni Kitab Muqaddimah Ibnu Khaldun, Ia telah menyumbangkan cabang keilmuan baru yang disebut filsafat sejarah. Perhatian Ibnu Khaldun dalam mengkaji sejarah secara benar mendorongnya untuk mengikhtisarkan hukum-hukum umum dalam pengkajian sejarah.
Sebagaimana telah diketahui, Ibnu Khaldun tidak hanya memandang sejarah sebagai peristiwa atau kejadian yang terjadi di masa lampau saja, tetapi juga memandangnya secara filsafat. Cara pandang ini digunakan untuk mengetahui sebab yang menggerakkan suatu peristiwa sejarah.
Teori yang dibuat oleh Ibnu Khaldun tentu dipengaruhi oleh perjalanan hidupnya dan pengembaraannya ke berbagai daerah. Sebagai pengasas filsafat sejarah, Ibnu Khaldun telah banyak menyampaikan teori-teorinya terkait dengan sejarah. Salah satu teori filsafat sejarah yang dikemukakan Ibnu Khaldun terkait dengan teori perkembangan.
filsafat sejarah ibnu khaldun
Nama lengkapnya adalah Waliyudin Abd al-Rahman Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Abi Bakr Muhammad Ibn al Hasan Ibn Khaldun. Dia lahir di Tunisia di awal bulan Ramadhan 732 (27 Mei 1332 M) dan wafat di Kairo pada tanggal 25 Ramadhan 808 H (19 Maret 1406 M). Keluarganya berasal dari Hadramaut dan sisilahnya sampai pada sahabat Nabi Wayl Ibnu Hujar dari kabilah Kinda.
Pada awal ke-3 H salah seorang cucu Wayl, Khalid bin Usman, memasuki daerah Andalusia Bersama orang-orang Arab. Anak cucu Khalid ini kemudian membentuk keluarga besar bernama Bani Khaldun, dari Bani inilah nama Ibnu Khaldun berasal. Secara umum Fase kehidupan Ibnu Khaldun dapat dibagi menjadi empat fase yaitu :
Pertama fase kelahiran, perkembangan dan studi. Fase ini berlangsung sejak kelahiran sampai usia 20 tahun, yaitu dari tahun 732 H/ 1332 hingga tahun 751 H/1350 M. Fase pertama Ibnu Khaldun dihabiskan di Tunisia. Semenjak kecil Ibnu Khaldun telah mempelajari dasar-dasar ilmu agama yang diajarkan oleh Ayahnya yaitu Muhammad Ibnu Muhammad.
Studinya secara mendalam ia mulai saat berumur 15 tahun (1349 M) ketika Tunisia menjadi pusat hijrah ulama dari Andalusia. Dengan para ulama tersebut ia mulai mempelajari ilmu-ilmu syariat: tafsir, hadis, usul fiqh, tauhid dan mazhab maliki, di bidang keilmuan bahasa ia mempelajari nahwu, sharaf, dan balagah, selain itu ia juga mempelajari fisika, matematika, metafisika dan lain-lain. Pada tahun 1349 M Ibnu Khaldun harus menghentikan studinya sementara karena terjangkit penyakit pes.
Kedua, fase bertugas di pemerintahan dan terjun ke dunia politik di Maghribi serta Andalusia, yaitu sejak yaitu dari tahun 751-776 H/ 1350-1374 M. Pada fase kedua Ibnu Khaldun berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, seperti di Fez, Granada, Bougie, Biskara, dan lain-lain.
Karir politiknya dimulai ketika berumur 21 jabatan yang pernah ia pegang antara lain: sekertaris sultan Daulah Bani Hasfsh (Tunisia, 1350-1352), anggota Majelis Ilmu Pengetahuan (1354 Baskarah, Aljazair, Maghribi Tengah) setahun kemudian diangkat menjadi sekretaris sultan, duta negara di Castila (Granada,1362 M), Perdana menteri dan khatib (Bijayah 1364 M).
Ketiga, fase pengarangan , ketika ia berfikir dan berkontemplasi di benteng Ibnu Salamah milik abu Arif yaitu sejak tahun 766 H/ 1374 M sampai 784 H / 1382 M. Setelah sekian lama malang melintang dalam dunia politik praktis, pada akhirnya Ibnu Khaldun merasa jenuh untuk terus terlibat dalam urusan politik. Naluri kesarjanaannya telah memaksanya untuk menjauhi kehidupan yang penuh gejolak. Pada kondisi jiwa seperti inilah Ibnu Khaldun memasuki suatu tahapan dari kehidupannya dalam apa yang disebut dengan istilah khalwat Ibnu Khaldun. Masa khalwat ini dialami Ibnu Khaldun dalam jangka empat tahun dari tahun 1374 sampai 1278 M. Ibnu Khaldun mengasingkan diri di suatu tempat terpencil yang dikenal dengan sebutan Qal’at Ibnu Salamah.
Di sinilah ia mengarang kitab monumentalnya Kitab al-‘Ibar wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar wa man Siwahum min Dzaw al-Sulthan al-Akbar ( Kitab Pelajaran dan Arsip Sejarah Zaman Permulaan dan Zaman Akhir, Mencakup Peristiwa Politik Mengenai Orang-orang Arab, Non Arab, dan Bangsa Barbar, serta Raja-raja Besar yang semasa) atau yang juga disebut al-‘Ibar yang terdiri dari tujuh jilid besar. Kitab besar ini berisi kajian sejarah, dan didahului oleh sebuah pembahasan tentang masalah-masalah sosial manusia yang dikenal dengan nama Muqaddimah Ibnu Khaldun yag sekaligus merupakan jilid pertama dari kitab al –‘Ibar.
Kitab Muqaddimah itu membuka lebar-lebar jalan menuju bahasan ilmu-ilmu sosial. Oleh karena itu dalam sejarah Islam Ibnu Khaldun diandang sebagai peletak dasar ilmu-ilmu sosial dalam Islam. Pada tahun 1378 M Ibnu Khaldun kembali ke Tunisia di sini ia berusaha untuk merevisi kitabnya. Pada tahun 1382 ia pergi ke Iskandaria untuk menghindari kegalauan dunia politik, setelah sebulan berada di Iskandaria ia pergi ke Kairo. Di Kairo ia disambut baik oleh para ulama.
Keempat, fase mengajar dan bertugas sebagai hakim negeri di Mesir yaitu dari tahun 784 H/ 1382 M sampai wafatnya tahun 808 H/ 1406 M. Pada fase ini hidup Ibnu Khaldun dihabiskan untuk mengabdikan ilmunya, di al-Azhar membentuk halaqah dan memberi kuliah.
Pada tahun 1384 ia diangkat oleh raja menjadi dosen dalam ilmu fiqh mazhab Maliki di Madrasah al-Qamhiyah dan beberapa bulan setelah itu ia diangkat menjadi ketua pengadilan kerajaan. Selama di mesir ia juga merevisi dan menambah pasal-pasal dalam kitab Muqaddimah dan al-‘Ibar. Peristiwa – peristiwa baru pada masa itu dimasukanya, demikian juga temuan-temuan ilmiyahnya, seperti konsep-konsep sosiologi. Ibnu Khaldun wafat pada tanggal 16 Maret 1406 M (26 Ramadlan 808 H.) dalam usia 74 tahun di Mesir.
Pandangan Ibnu Khaldun terhadap Filsafat Sejarah
Menurut Ibnu Khaldun, sejarah terdiri dari dua aspek, yakni aspek lahir dan aspek batin. Aspek lahir diartikan bahwa sejarah tidak lebih dari berita-berita tentang peristiwa-peristiwa, negara-negara, dan kejadian-kejadian pada abad-abad silam. Sementara secara batin, sejarah mengandung pengertian observasi dan usaha mencari kebenaran, keterangan yang mendalam tentang sebab dan asal mula kejadian serta pengertian dan pengetahuan tentang substansi, esensi, dan sebab-sebab terjadinya peristiwa. Dari aspek batin inilah muncul salah satu cabang filsafat atau hikmah.
Ibnu Khaldun dalam karyanya yang monumental Kitab Muqaddimah Ibnu Khaldun, memang tidak secara langsung menggunakan kata filsafat sejarah, tetapi justru menggunakan kata “al-umran al-basyari”. Secara bahasa, al-umran al-basyari berarti masyarakat manusia. Sementara itu, menurut Ibnu Khaldun, al-umran diartikan sebagai kebudayaan.
Dalam Grand Larousse Encyclopedique dikemukakan bahwa kebudayaan adalah seperangkat karakteristik yang berkenaan dengan kehidupan pikiran, artistik, moral, material, dan politik suatu negeri atau masyarakat tertentu. Ensiklopedia itu juga menambahkan bahwa kebudayaan merupakan salah satu objek pembahasan filsafat sejarah.
Perkembangan sejarah secara totalitas mengkaji kehidupan berbagai masyarakat dan kekaisaran serta berupaya untuk mengikhtisarkan hukum-hukum perkembangan dan keruntuhannya. Dengan demikian, kebudayaan atau yang disebut Ibnu Khaldun sebagai al-umran merupakan ilmu yang mengkaji filsafat sejarah.
Menurut Muhsin Mahdi dalam karyanya Ibnu Khaldun’s Philosophy of History tujuan kajian yang dilakukan Ibnu Khaldun adalah untuk mengkaji aspek internal dari peristiwa-peristiwa eksternal sejarah karena sejarah dan ilmu kebudayaan mengkaji dua aspek dari fakta yang sama. Ketika sejarah mengkaji peristiwa-peristiwa historis dari lahiriahnya, sementara ilmu kebudayaan membahas watak dan sebab peristiwa-peristiwa tersebut.
Dalam melakukan pengkajian filsafat sejarah, Ibnu Khaldun menggunakan metode utama berupa pengkajian berita-berita sejarah dengan mempergunakan hukum-hukum yang mengendalikan alam dan juga mengendalikan masyarakat. Dengan demikian ketika sebuah berita sejarah dan hukum-hukum tersebut bertentangan, maka berita tersebut dianggap tidak benar meskipun rangkaian penuturnya dapat diterima sebagaimana yang dianut para muhaditstsin.
Sebagai seorang pencipta ilmu sejarah memang tidak menggunakan metode ahli hadis secara mutlak, tetapi juga tidak meninggalkannya secara keseluruhan. Terbukti bahwa Ibnu Khaldun masih menggunakan metode ta’dil dan tajrib dalam mengkaji peristiwa sejarah. Kedua metode ini adalah metode untuk mengetahui kejujuran dan kebenaran penutur hadis.
Banyak ilmuwan barat yang mengatakan bahwa Ibnu Khaldun merupakan pengasas filsafat sejarah, sebab Ia melakukan sesuatu yang baru yang belum pernah dibaca dan dilihatnya dari karya-karya orang terdahulu, baik dari kalangan umat muslim maupun sumber-sumber Yunani.
Dalam Kitab Muqaddimah Ibnu Khaldun, Ia memang melakukan kritik terhadap filsafat yakni filsafat dalam kedudukannya sebagai metafisika yang bertolak dari kontemplasi murni, logika formal yang tidak ada kaitannya dengan kenyataan. Sedangkan filsafat sejarah yang dikembangkan Ibnu Khaldun sangat berpegang teguh kepada kajian yang didasarkan pada pengamatan indrawi dan analisis perbandingan data-data yang objektif.
Menurut Ibnu Khaldun, masyarakat merupakan makhluk historis yang hidup dan berkembang sesuai dengan hukum-hukum khusus, yang berkenaan dengannya hokum tersebut dapat diamati dan dibatasi lewat pengkajian terhadap fenomena sosial. Ia berpandangan bahwa ashabiyah merupakan asas berdirinya suatu negara, dan faktor terpenting yang menyebabkan terjadinya perkembangan masyarakat. Dari pendapat itu Ibnu Khaldun juga bias disebut tokoh pelopor materialisme jauh sebelum Karl Marx.
Ibnu Khaldun terkenal sebagai perintis dan pelopor The Culture Cycle Theory of History, yaitu satu teori filsafat sejarah yang telah mendapat pengakuan di dunia Timur dan barat tentang kematanganya. Ibnu Khaldun dengan teorinya berpendapat bahwa sejarah dunia itu adalah satu siklus dari setiap kebudayaan dan peradaban ia mengalami masa lahir, masa puncak, kemudian masa menurun dan akhirnya masa hancur. Khaldun mengistilahkan siklus itu dengan tiga tangga peradaban.
Teori Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun
Teori Perkembangan
Menurut Ibnu Khaldun, perkembangan setiap jenis makhluk-makhluk satu sama lainnya saling berjalin pada akhir rangkaian perkembangan. Perkembangan setiap jenis makhluk hidup menuju jenis yang lebih tinggi dan pada akhir perkembangannya kita mandapatkan manusia yang merupakan perkembangan dari kera. Teori perkembangan ini kemudian juga digunakan dalam memandang fenomena sosial.
Konsepsi gerak menurut Ibnu Khaldun terkandung dalam watak segala sesuatu, misalnya saja umur negara diserupakan dengan kehidupan manusia. Negara terus berkembang, sebab kehidupan itu sendiri berada dalam gerak dan perkembangan-perkembangan yang berkesinambungan. Perkembangan menurut Ibnu Khaldun mempunyai corak yang dialektis, yakni bahwa sejak penciptaannya, dalam diri makhluk hidup telah terkandung benih-benih kematian dan perkembangan yang tidak dapat dihentikan dan akan menuju pada kematian yang pasti.
Persoalan dialektis dari kehidupan dan kematian, atau kesatuan dan pertentangan antara keduanya yakni persoalan yang erat kaitannya dengan perkembangan setiap makhluk hidup sejak kelahirannya sampai kematiannya, menduduki posisi penting dalam konsepsi Ibnu Khaldun. Kenyataan sebagai keseluruhan tidaklah timbul dari tumpukan hal-hal yang berserakan dan bercerai berai, tetapi merupakan kumpulan fenomena-fenomena sejenis dan satu sama lain saling berjalin serta mempunyai dampak yang timbal balik.
Pemikiran Ibnu Khaldun mengandung dua karakteristik utama dari karakteristik dialektika[1] Hegelian. Pertama, prinsip saling mempengaruhi dan hubungan kosmis di antara semua fenomena, baik fenomena sosial maupun fenomena alam. Kedua, prinsip perubahan kosmis dan perkembangan yang selamanya tidak pernah berhenti.
Menurut Ibnu Khaldun, perkembangan memiliki gerak spiral ke depan. Maksudnya, perkembangan selalu muncul dari sesuatu yang sudah pernah ada sebelumnya dan penggantinya seringkali lebih tinggi atau lebih baik dari sebelumnya. Hal ini seiring dengan pandangan Ibnu Khaldun terhadap sejarah yang menurutnya merupakan kisah negara-negara yang muncul, tumbuh dan hancur. Kehancuran merupakan hal yang pasti pada setiap hal kecuali dalam perkembangan.
Teori perkembangan sejarah ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:
Ekonomi
Menurut Ibnu Khaldun, kegiatan ekonomi mampu menentukan bentuk kehidupan. Ia juga membedakan masyarakat primitive dan maju berdasarkan ekonomi. Jika masyarakat primitive mendasarkan kehidupannya pada pernggarapan tanah atau pemeliharaan tanah, maka masyarakat maju menggunakan industry dan perdagangan dalam mendasarkan kehidupan mereka. Lebih jauh lagi, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa begara tidak dapat ditegakkan oleh suatu bangsa kecuali dengan adanya suatu peringkat tertentu dalam kemajuan ekonomi. Maka dari itu tidak salah jika Ibnu Khaldun dalam filsafat sejarahnya berafiliasi dengan aliran ekonomi. Aliran ekonomi menginterpretasikan sejarah secara materialis dan menguraikan fenomena-fenomena sosial secara ekonomis. Di samping itu setiap perubahan dalam masyarakat, dan fenomena–fenomenanya, mengembalikan pada faktor ekonomi .Karl Marx adalah tokoh yang dianggap sebagai tokoh pengembang aliran filsafat sejarah kedua ini.
Dampak alam terhadap masyarakat-masyarakat manusia
Menurut Ibnu Khaldun, lingkungan fisik memiliki dampak yang besar terhadap masyarakat manusia, sebab sampai ke batas tertentu watak masyarakat dipengaruhi oleh bumi, posisinya, peringkat kesuburannya, jenis hasil buminya, dan bahan-bahan mentah yang dimilikinya. Kebudayaan tidak akan muncul kecuali adanya kawasan-kawasan tertentu. Ibnu Khaldun juga membagi bumi menjadi tujuh bagian. Bagian pertama dan ketujuh sangat panas, bagian kedua dan keenam sangat dingin, sementara bagian ketiga, keempat, dan kelima memiliki hawa sedang. Tiga bagian terakhir adalah tempat maraknya kebudayaan manusia.
Pengaruh ini tidak dapat dilepaskan dari aliran sejarah geografi yang memandang manusia sebagai putra alam lingungan, dan kondisi–kondisi alam di sekitarnya. Oleh karena itu dalam penyejarahan, seseorag, masyarakat-masyarakat dan tradisi– tradisinya dibentuk oleh lingkungan dan alam dimana ia berada. Alam dan lingkungan memiliki dampak terhadap kehidupan masyarakat, walaupun manusia sendiri juga dapat mempengaruhi dan berinteraksi dengan lingkunganya.
Dampak agama terhadap filsafat sejarah
Menurut Ibnu Khaldun, terdapat pengaruh Ilahi yang mengendalikan hukum-hukum yang mengendalikan hukum-hukum yang mengarahkan berbagai fenomena. Agama menurut Ibnu Khaldun kadang-kadang memiliki dampak yang besar atas bangsa-bangsa dan dampaknya kadang-kadang melebihi ashabiyah.
Hukum-Hukum Determinisme Sejarah
Determinisme adalah keyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi karena suatu kausa atau berbagai kausa dan semuanya itu tidak mungkin terjadi dalam bentuk yang berbeda kecuali apabila terjadi perbedaan di dalam kausa-kausanya. Hukum determinisme menurut Ibnu Khaldun ada tiga, yakni hukum kausalitas, peniruan, dan perbedaan.
Hukum kausalitas
Ibnu Khaldun meyakini adanya kausalitas antara kenyataan-kenyataan dan fenomena-fenomena. Ibnu Khaldun disebut-sebut terpengaruh dari al-Ghazali dan ada juga yang menyebutnya terpengaruh oleh Aristotelian. Hukum kausalitas yang dipahami Ibnu Khaldun bukan berarti manusia diliputi semua sebab. Karena hal tersebut mustahil dan mengarahkan pada ketidakmampuan akal dalam memahami. Ada beberapa pengecualian terhadap hukum kausalitas, yakni pada hal-hal yang luar biasa seperti mukjizat para nabi dan karomah para wali.
Hukum peniruan
Hukum peniruan terjadi karena menurut Ibnu Khaldun dari sebagian aspek semua masyarakat manusia adalah sama. Sementara jika terdapat perbedaan merupakan sebuah keistimewaan yang dikaruniakan oleh Allah Swt kepada orang-orang tertentu seperti nabi dan wali. Peniruan merupakan suatu hukum yang umum dan mendorong gerak perkembangan ke depan, sebab kadang-kadang peniruan dilakukan terhadap sesuatu yang baik.
Hukum perbedaan
Menurut Ibnu Khaldun, masyarakat-masyarakat tidak memiliki kesamaan yang mutlak, sehingga perbedaan-perbedaan yang ada harus diketahui oleh sejarawan. Perbedaan ini juga ditimbulkan dari proses peniruan dari satu masyarakat kepada masyarakat lainnya yang justru akan menimbulkan perbedaan secara total. Perbedaan dalam sebuah masyarakat tidak dapat dilepaskan dari adanya pengaruh geografis, fisik, ekonomi, politik, adat istiadat, tradisi, dan agama.
Dalam magnum opus-nya, al-‘Ibar, sering kali Ibnu Khaldun mengkritik penulisan-penulisan sejarah oleh tokoh-tokoh yang mendahuluinya. Hanya segelintir orang saja yang memiliki kecakapan yang diakui dan dapat menulis sejarah secara komprehensif, di antaranya adalah Ibnu Ishaq, al-Thabari, Ibnu al-Kalbi, Muhammad ibnu Umar al-Waqidi, Saif ibnu Umar al-Asadi, dan lainnya yang sudah terkenal dan memiliki keistimewaan sendiri.
Kendati demikian, menurutnya, karya-karya mereka masih terdapat ‘kecacatan’. Terlebih karya-karya dari sejarawan yang datang setelah mereka. Dalam salah satu kritikan di kitabnya, Muqaddimah (t.th), Ibnu Khaldun mendaftar kecacatan-kecacatan yang dimaksudnya, di antaranya: menempuh cara-cara taklid, miskin karakter dan akal, berpikiran jumud.
Sejarawan ini menurut Ibnu Khaldun “…hanya mengikuti pola-pola penulisan sejarah yang sudah ada dan lalai terhadap perubahan-perubahan masa dan tradisi-tradisinya dari generasi ke generasi, dari bangsa ke bangsa lain… Mereka hanya memuat informasi yang tak berguna karena tak jelas ujung pangkalnya. Yang mereka catat hanyalah peristiwa-peristiwa yang tidak jelas usulnya, atau pun bagian-bagian yang tak dapat ditarik kesimpulan umumnya, serta tak dapat diklasifikasikan secara sistematis.” (t.th: 11)
Setidaknya, secara garis besar terdapat empat penulisan sejarah dan penulisan narasi atau reportase yang Ibnu Khaldun kritisi, sebagaimana diteliti oleh Syed Farid al-Attas dalam karyanya, Ibn Khaldun (2013). Pertama, gosip dan laporan-laporan ciptaan yang dicampurkan dengan laporan-laporan yang benar.
Kedua, pelaporan terhadap peristiwa-peristiwa historis yang sering ditemukan error dan dugaan liar. Ketiga, [narasi ditulis oleh] orang-orang yang tidak memiliki kompetensi tetapi masuk ke dalam disiplin-disiplin akademis.
Keempat, taklid buta terhadap sejarah-sejarah yang telah lalu dari satu generasi ke generasi lainnya dan diterima tanpa pertanyaan (2013: 26).
Kritikan-kritikan terhadap model penulisan sejarah banyak didapati di Muqaddimah. Kritikan-kritikannya dalam beberapa hal sangat mendetail, sehingga pembaca dapat dengan mudah memahami kelemahan-kelemahan dari sejarah yang dia kritisi. Pertanyaannya, mengapa penulisan sejarah semacam ini dapat terjadi?
Menurut Ibnu Khaldun, setidaknya terdapat tujuh sumber prinsip error dalam sejarah. Pertama, sikap berat sebelah terhadap pendapat dan mazhab (aliran). Kedua, menggantungkan kepercayaan pada pembawa berita. Ketiga, kurangnya kesadaran terhadap tujuan dari suatu peristiwa.
Keempat, asumsi-asumsi tak berdasar yang dianggap sebagai kebenaran dari suatu peristiwa. Kelima, ketidaktahuan terhadap kesesuaian antara kondisi-kondisi dan peristiwa-peristiwa aktual. Keenam, “penjilat”. Ketujuh, ketidaktahuan terhadap sifat dari kondisi-kondisi masyarakat. (2013: 42-43)
Pada dasarnya, sejarah tidak hanya berkaitan dengan masa yang jauh dengan masa kita, bahkan kemarin dan apa yang baru kita lalui pun sejatinya adalah sejarah. Oleh sebab itu, kritik Ibnu Khaldun mengenai penulisan sejarah dapat berlaku pada penulisan reportase yang baru-baru saja terjadi.
Pertama, karena sama-sama berbicara mengenai apa yang sudah lalu. Kedua, karena sama-sama berkutat pada penulisan dan reportase atas apa yang telah terjadi. Dengan kata lain, tujuh sumber prinsip error dalam sejarah pada dasarnya adalah tujuh sumber prinsip error dalam reportase atas peristiwa yang telah terjadi.
Tujuh sumber prinsip error ini pada gilirannya mengambil bentuk menjadi berita yang tak akurat, tak berimbang, palsu (hoax), gosip, bahkan fitnah. Sayangnya, berita-berita semacam ini justru ‘menemukan habitatnya’ di lingkungan sekitar kita.
Boleh jadi, beberapa orang terjebak dalam dua, tiga, atau empat sumber prinsip error, tetapi tidak menutup kemungkinan beberapa orang terjebak dalam tujuh sumber prinsip error di atas. Imbasnya, mereka rentan diadu-domba, mudah konflik hanya karena perbedaan pendapat semata.
Patut diperhatikan bahwa untuk mendapat pengetahuan dan gambaran yang komplet mengenai suatu peristiwa, sejarawan dan pembaca fenomena sosial-politik membutuhkan banyak rujukan, sejumlah kecakapan, dan penalaran sekaligus ketelitian. Di antaranya mereka mesti mengetahui ilmu politik, karakter-karakter alam, perbedaaan bangsa-bangsa, kawasan dan zaman dalam hal perjalanan hidup, akhlak, tradisi mazhab, dan hal-hal lain. Fungsinya tidak lain adalah mendapatkan kebenaran dan menyelamatkan dari kesalahan dan penyimpangan.
Bahkan, tak cukup sampai di situ, mereka mesti kreatif. Sebagaimana terbersit dalam Muqaddimah, “ia harus menguasai masa sekarang untuk membandingkan masa lalu, mencari sisi-sisi persamaan dan sisi-sisi perbedaan antara keduanya, menggali latar belakang persamaan dan latar belakang perbedaan tersebut.” (t.th: 47)
Apabila kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip semacam ini sudah dimiliki, maka dengan mudah seseorang dapat menilai data-data informasi yang ia peroleh. Jika berita tersebut sesuai dengan kaidah-kaidah tersebut dan berjalan sesuai dengan hukum-hukumnya, maka berita tersebut adalah benar. Jika tidak demikian, maka ia mendustakannya dan meninggalkannya.
Ibnu Khaldun percaya bahwa suatu peristiwa memiliki karakter tersendiri, dan yang perlu dilakukan oleh pengamat adalah menemukan karakter ini dengan tentunya menyelidiki sebab dan asalnya, serta menyelidiki secara mendalam tentang bagaimana dan mengapa suatu peristiwa terjadi, hingga kemudian dapat disimpulkan suatu aturan umum yang dapat berlaku pada semua peristiwa yang serupa di masa lalu maupun sekarang.
Sebab dan asal serta mengapa dan bagaimana suatu peristiwa sifatnya tak tampak atau batin. Bagi Ibnu Khaldun, dengan mengetahui batiniah (sebab dan asal, bagaimana dan mengapa) suatu peristiwa, kita akan terhindar dari kesalahan. Dalam konteks ini, dia berpendapat bahwa suatu fenomena memiliki esensi (dzāt) dan aksiden (‘aradh).
Untuk mengetahui sesuatu, katanya, adalah untuk mengetahui esensinya dan dapat membedakan antara esensi dan properti-properti aksidentalnya. Jika diterapkan pada peristiwa yang telah lalu, hal ini bermakna bahwa pengamat mesti mengetahui sifat (tabiat) dari peristiwa-peristiwa, kondisi-kondisinya, serta syarat-syaratnya agar dapat dibedakan kebenaran dari kesalahan.
Ringkasnya, terdapat perbedaan mendasar antara reporter dengan perspektif kritis. Yang pertama hanya merekam dan menyebarkan apa yang telah ia kumpulkan, sementara yang kedua mensyaratkan untuk menguak makna batin dari peristiwa-peristiwa.
Begitulah perspektif kritis atau perspektif filsuf (yang direpresentasi oleh Ibnu Khaldun) dalam memperoleh dan menilai suatu berita atau informasi, memang agak berliku tapi potensi menghasilkan kesimpulan yang aman sangatlah tinggi. Sebab, tahapan penilaiannya terbilang ketat dan premis-premis yang digunakan sebisa mungkin valid dan aksiomatis. Artinya, metodenya tidak gampangan, sehingga rentan menghasilkan kesimpulan yang keliru dan sesat.
Pada akhirnya, dengan cara dan paradigma semacam ini, kita tak akan mudah percaya pada suatu berita, tak mudah dihasut atau diadu-domba, dan cenderung akan lebih berhati-hati dan tidak keburu-buru dalam menilai dan membuat kesimpulan.
Atau setidaknya, selama kita belum memiliki perangkat epistemologis yang dibutuhkan, sebaiknya kita menahan diri untuk menilai dan berkomentar dan rujuklah yang ahli di bidangnya. Seperti saran Sayyidina Ali bin Abi Thalib, “Andai yang tak berilmu diam sejenak, niscaya gugur perselisihan yang banyak.”
Simpulan
Waliyyuddin ‘Abd Rahman Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibnu Abi Bakr Muhammad Ibn al-Hasan Ibn Khaldun atau yang familiar dengan sebutan Ibnu Khaldun merupakan pengasas filsafat sejarah. Ia lahir di Tunisia pada tahun 732 H/ 1332 M dan wafat di Kairo pada 808 H/ 1406 M. Ia merupakan keluarga bani Khaldun yang masih memiliki nasab sampai ke sahabat Rasulullah saw.
Semasa hidupnya, Ibnu Khaldun menghabiskan waktu untuk menuntut ilmu dan berkecimpung dalam ranah politik sebagaimana yang ditempuh kakeknya. Ibnu Khaldun telah melakukan perjalanan ke berbagai daerah seperti Granada, Maghrib, Mesir, dan daerah lainnya.
Ibnu Khaldun secara gamblang memang tidak menyebutkan kata filsafat sejarah dalam Kitab Muqaddimah Ibnu Khaldun, namun Ia menggunakan kata al-umran al-basyari yang memiliki arti kebudayaan. Al-umran merupakan ilmu yang mengkaji filsafat sejarah.
Dalam kitab tersebut, Ibnu Khaldun juga telah mengungkapkan beberapa teori filsafat sejarah seperti teori perkembangan dan faktor yang mempengaruhi perkembangan tersebut, dan hukum determinisme yang mencakup hukum kausalitas, peniruan, serta perbedaan.
DAFTAR PUSTAKA
Biyanto. Teori Siklus Peradaban Perspektif Ibn Khaldun. Surabaya: LPAM, 2004.
Daliman, A. Pengantar Filsafat Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012.
Gazalba, Sidi. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1981.
Hasbullah, Moeflih. Filsafat Sejarah. Bandung: Pustaka Setia, 2012.
Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013.
Madjid, M. Dien dan Johan Wahyudhi. Ilmu Sejarah Sebuah Pengantar. Jakarta: Prenada Media Group, 2014.
Post a Comment