TAIWAN DARI SUDUT LAIN

 Sejarah Taiwan telah ada sejak puluhan ribu tahun yang lalu dari bukti terawal yang dikenal mengenai keberadaan pemukiman manusia di sana.Kemunculan mendadak sebuah kebudayaan agraris sekitar tahun 3000 SM dipercayai mencerminkan kedatangan dari leluhur aborigin Taiwan sekarang ini.[3] Pulau Taiwan dikolonisasi oleh Belanda pada abad ke-17, diikuti dengan gelombang masuk Suku Han termasuk imigran orang Hakka dari wilayah Fujian dan Guangdong dari Tiongkok daratan, menyeberangi Selat Taiwan. Spanyol juga membangun sebuah pemukiman di utara untuk periode singkat, namun diusir oleh Belanda pada tahun 1642.

Pada tahun 1662 [4], Koxinga, seorang loyalis dari Dinasti Ming, yang telah kehilangan kekuasaan di Tiongkok daratan pada tahun 1644, mengalahkan Belanda dan mendirikan basis operasi di pulau. Pasukannya dikalahkan oleh Dinasti Qing pada tahun 1683[5], dan sebagian Taiwan menjadi semakin terintegrasi dalam kekaisaran Qing. Setelah Perang Tiongkok-Jepang Pertama tahun 1895, Qing menyerahkan Pulau Taiwan berikut Penghu kepada Kekaisaran Jepang. Taiwan menghasilan beras dan gula untuk diekspor ke Kekaisaran Jepang, dan juga berperan sebagai basis untuk ekspansi kolonial Jepang ke Asia Tenggara dan Pasifik selama Perang Dunia II. Pendidikan kekaisaran Jepang diimplementasikan di Taiwan dan banyak orang Taiwan juga bertempur untuk Jepang selama perang tersebut.

Pada tahun 1945, setelah berakhirnya Perang Dunia II, Republik Tiongkok, yang dipimpin oleh Kuomintang (KMT), mengambil alih Taiwan. Pada tahun 1949, setelah kehilangan kekuasaan atas Tiongkok daratan dalam Perang Saudara Tiongkok, pemerintah Republik Tiongkok di bawah KMT mundur ke Pulau Taiwan dan Chiang Kai-shek mendeklarasikan keadaan darurat militer. KMT memerintah Taiwan (termasuk juga Kinmen, Wuchiu, dan Kepulauan Matsu di seberang Selat Taiwan) sebagai negara satu-partai selama empat puluh tahun, sampai reformasi demokrasi pada tahun 1980-an, yang menuntun kepada pemilihan presiden pertama yang pernah langsung pada tahun 1996. Selama periode pasca-perang, Taiwan mengalami industrialisasi yang pesat dan pertumbuhan ekonomi, dan dikenal sebagai salah satu dari "Empat Macan Asia".


Pada zaman Pleistosen Akhir, permukaan laut sekitar 140 m lebih rendah daripada saat ini, menampakkan dasar dangkal Selat Taiwan sebagai jembatan tanah yang dilintasi fauna daratan Tiongkok.[6] Bukti tertua kehadiran manusia di Taiwan terdiri dari tiga fragmen tengkorak dan sebuah gigi geraham yang ditemukan di Chouqu dan Gangzilin, di Distrik Zuozhen, Tainan, yang diperkirakan berumur antara 20.000 dan 30.000 tahun.Artefak tertua adalah peralatan batu kebudayaan Paleolitikum yang ditemukan di empat gua di Changbin, Taitung, antara 15.000 sampai dengan 5.000 tahun yang lalu, dan mirip dengan situs kontemporer di Fujian. Kebudayaan yang sama ditemukan di situs di Eluanbi, di ujung selatan Taiwan, yang bertahan sampai 5.000 tahun yang lalu.[Pada awal zaman Holosen 10.000 tahun yang lalu, permukaan air laut naik, membentuk Selat Taiwan dan memisahkan Pulau Taiwan dari daratan Asia.

Sekitar tahun 3.000 SM, kebudayaan Dapenkeng Neolitikum tiba-tiba muncul dan dengan cepat menyebar di seluruh pesisir pulau tersebut. Situs-situs tersebut dtandai dengan tembikar "corded-ware", kapak dari batu asah dan poin batusabak. Penduduk membudidayakan padi dan milet, tetapi juga sangat bergantung pada kerang laut dan ikan. Kebanyakan ahli percaya kebudayaan ini tidak berasal dari Changbinian, tapi dibawa melintasi selat oleh nenek moyang penduduk asli Taiwan saat ini, yang berbicara dalam bahasa Austronesia awal.Beberapa suku bangsa ini kemudian bermigrasi dari Taiwan ke pulau-pulau di Asia Tenggara dan dari sana ke seluruh Pasifik dan Samudra Hindia. Bahasa Melayu-Polinesia sekarang digunakan dalam wilayah besar yang membentang dari Madagaskar ke Hawaii, Pulau Paskah, dan Selandia Baru, tetapi hanya membentuk satu cabang dari keluarga Austronesia, cabang selebihnya hanya ditemukan di Taiwan.



Seorang teman berkebangsaan Jerman pernah bertanya kepada saya tentang status kedaulatan Taiwan, dan saya mengatakan kepadanya bahwa Taiwan adalah sebuah negara karena kami memilih presiden dan anggota legislatif kami sendiri. Kami juga memiliki mata uang dan paspor sendiri.

Teman saya percaya pada apa yang saya katakan, tetapi istrinya tidak. Istrinya adalah seorang ilmuwan politik, dan menurutnya, berdasarkan apa yang dia dengar tentang Taiwan, hubungan antara Tiongkok dan Taiwan memiliki lebih banyak kesamaan dengan hubungan antara Jerman Timur dan Jerman Barat. Artinya, oleh sebab rakyat Tiongkok dan Taiwan berkomunikasi dalam bahasa Mandarin dan miripnya kebudayaan kedua negara tersebut, akan masuk akal bagi Tiongkok dan Taiwan untuk mengejar reunifikasi setelah Perang Dingin berakhir.

Saya membantah dengan mengatakan bahwa perbandingan yang lebih cocok adalah hubungan antara Inggris dan Amerika Serikat. Orang Inggris dan orang Amerika mempunyai bahasa yang serupa, dan sekian persen orang Amerika dulu sebetulnya adalah orang Inggris sebelum perang kemerdekaan mereka. Namun, orang Amerika mengklaim bahwa kemerdekaan mereka adalah karena mereka—atau setidaknya pendiri mereka—menganut ideologi politik yang berbeda. Begitu pula Taiwan yang menganut sistem politik demokratis, sementara kerangka politik Tiongkok adalah sistem  republik sosialis yang dipimpin oleh Partai Komunis Tiongkok (PKT). Tiongkok adalah negara besar. Seperti banyak negara di dunia, Taiwan juga ingin menjalin persahabatan dengan Tiongkok. Akan tetapi, di antara 23,4 juta rakyat Taiwan, banyak yang lebih suka untuk tidak bersatu dengan Tiongkok karena Taiwan dan Tiongkok menganut sistem politik yang berbeda. Apa yang telah terjadi pada Hong Kong dan Tiongkok membuktikan bahwa reunifikasi tidak akan membuahkan hasil.

Tiongkok, atau Republik Rakyat Tiongkok (RRT), selalu mengklaim bahwa sejak awal Taiwan sudah menjadi bagian dari Tiongkok, tetapi hal ini tidak benar jika kita kembali mengecek catatan sejarah. Taiwan menjadi bagian dari Tiongkok selama periode Dinasti Qing pada tahun 1683, dan pemerintah Qing tidak memerintah Taiwan dengan sungguh-sungguh, melainkan semata-mata mengumpulkan pajak tinggi dari rakyat Taiwan dan menggunakan kekuatan militernya untuk menindas ‘para pemberontak’. Baru 204 tahun kemudianlah, pada tahun 1887, Taiwan dijadikan sebuah provinsi.

Bahkan, jika Taiwan tidak diserang Prancis selama Perang Sino-Prancis (1883- 1885), pemerintah Qing mungkin tidak akan pernah memberikan status keprovinsian kepada Taiwan. Namun, Perang Sino-Prancis menyingkapkan kerapuhan pemerintahan Qing serta posisi strategis Taiwan sebagai benteng pertahanan di Pasifik Barat terhadap negara-negara Asia lain yang memiliki kekuatan militer yang tangguh. Delapan tahun kemudian, pada tahun 1895, setelah Perang Sino-Prancis yang pertama, pemerintah Qing terpaksa menyerahkan Taiwan kepada Jepang.

Pada akhir Perang Dunia II (PD II), Republik Tiongkok mengambil alih Taiwan setelah Jepang menyerah. Taiwan saat itu adalah jajahan Jepang saat Gerakan Kominka atau Proses Japanisasi subjek dari Kekaisaran Jepang terjadi. Karena Jepang adalah musuh Tiongkok selama PD II, pemerintah Republik Tiongkok mengalami kesulitan menganggap rakyat Taiwan sebagai rekan senegara mereka. Padahal rakyat Taiwan pun bahkan tidak berbahasa Mandarin saat itu.

Selama Perang Saudara Tiongkok (1946-1950), Kuomintang (KMT), yang dipimpin oleh Chiang Kai- Shek, memutuskan untuk mengkonsolidasi kekuatan pemerintahan terasing miliknya di Taiwan setelah pemerintahan tersebut dikalahkan oleh Tentara Pembebasan Rakyat di Tiongkok milik PKT pada tahun 1949. Selama periode Teror Putih (1949-1987) dan setelahnya, gerakan demokrasi Taiwan menghabiskan satu dekade untuk membangun sebuah masyarakat yang bebas dan demokratis. Mereka akhirnya berhasil, dan dalam pencarian mereka untuk sebuah masyarakat baru, tertempalah sebuah identitas bangsa Taiwan yang baru dan agak berbeda dengan Tiongkok.

Sebelum tahun 1683, Taiwan dihuni oleh suku pribumi Taiwan yang sangat bangga akan peran mereka dalam sejarah Polinesia. Penelitian tentang genetika, gaya tembikar, bahasa-bahasa, dan keberadaan tanaman-tanaman seperti murbei kertas Pasifik menunjukkan bahwa Lapita, nenek moyang mereka yang saat itu akan mendiami Polinesia dan Mikronesia, sangat mungkin tinggal di Taiwan sebelum mereka bepergian ke pulau-pulau lain. Bagi rakyat Taiwan, pertanyaan tentang menemukan garis keturunan pribumi di silsilah kami merupakan inti pembahasan kemerdekaan Taiwan, karena ada bukti bahwa sangat sedikit suku Tiongkok Han yang pindah ke Taiwan selama periode Dinasti Qing saat itu adalah perempuan.

Mendasari perdebatan tentang garis keturunan merupakan sebuah gagasan tentang berbagai sudut pandang sejarah dan perannya dalam membentuk identitas nasional. Sejarah Taiwan secara umum dilihat dari dua perskpektif yang berbeda, yaitu berpusat pada Tiongkok, dan yang satu lagi berpusat pada Taiwan. Menurut versi yang berpusat pada Tiongkok, Tiongkok saat itu sudah cukup baik untuk membawa Taiwan kembali pada keluarga mereka setelah PD II. Sedangkan menurut versi yang perpusat pada Taiwan, Kekasairan Tiongkok dan Jepang adalah penjajah.

Meskipun begitu, marilah kita kembali pada pertanyaan: apakah Taiwan adalah sebuah negara, pulau berpemerintahan sendiri, atau wilayah Tiongkok yang memisahkan diri, atau sebuah provinsi di Tiongkok? Ini adalah pertanyaan sulit bagi para diplomat dan jurnalis. Bahkan bagi orang Taiwan sendiri pun, ini bukanlah pertanyaan mudah.

Tidak ada yang mengatakan Mongolia adalah bagian dari Tiongkok karena itu terjadi lebih dari 100 tahun yang lalu. Meskipun begitu, masih saja ada yang bersikeras menyebut Taiwan sebagai provinsi di Tiongkok karena Tiongkok mengklaim begitu. Banyak instansi yang masih menggunakan rumus ‘Taiwan, Provinsi Tiongkok’, baik karena ketidak tahuan mereka maupun karena mereka memang menikmati hubungan dekat dengan Tiongkok. Untuk membalas pendapat yang berpusat pada Tiongkok, beberapa rakyat Taiwan menghabiskan sangat banyak waktu  menulis kepada instansi-instansi ini untuk mengajak mereka supaya menggunakan istilah ‘Taiwan’, tanpa embel-embel politik lain.

Istilah ‘pulau berpemerintahan sendiri’ dan ‘wilayah yang memisahkan diri’ lebih sering digunakan dalam laporan media internasional yang mengacu pada status kedaulatan Taiwan. ‘Pulau berpermerintahan sendiri’ setidaknya bersifat relatif netral tetapi juga tidak tepat karena wilayah Taiwan sendiri terdiri dari beberapa pulau. ‘Wilayah yang memisahkan diri’ (atau ’provinsi yang membangkang’) adalah  sebuah sebutan yang berasal dari dunia berbahasa Inggris. Berdasarkan sudut pandang sejarah yang berpusat pada Tiongkok, hal ini bukannya tidak benar. Namun, ini menghalangi pandangan sejarah versi berpusat pada Taiwan. Di Taiwan, ini mungkin akan menyinggung masyarakat yang pro-kemerdekaan.

Status kedaulatan Taiwan rumit dalam banyak hal. Meskipun kami orang Taiwan memiliki hampir setiap ciri dari sebuah ‘bangsa’, kami memiliki sedikit sekali sekutu diplomatik. Taiwan diakui oleh hanya 22 negara sebagai negara yang berdaulat. Selain itu sekutu diplomatik RRT diminta dengan sangat untuk tidak mengakui Taiwan sebagai negara berdaulat, bahkan dalam acara non-diplomatik internasional seperti festival film sekalipun. Akibatnya, Taiwan tidak menjadi anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) maupun Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan jarang artikel media internasional arus utama yang yang melihat Taiwan sebagai sebuah ‘negara’.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.