PERANG CANDU DAN HONGKONG

Setiap negara pasti memiliki sejarah yang panjang. Sejarah yang panjang ini, selain dipenuhi dengan segala kegemilangan, juga kerah diselipi banyak kekelaman. Adanya dua jenis perisitiwa semacam itu adalah hal yang lumrah dalam dinamika sejarah suatu negara. Ketiadaan salah satu jenis (masa kelam) adalah mustahil dan kekonsistenan satu jenis (kejayaan) adalah pula utopis. Keduanya mesti ada sebagai dasar pembentuk suatu negara.

Cina sebagai sebuah negara besar—tidak bisa dimungkiri—juga punya narasi sejarah yang sama. Sebagai sebuah negara besar, sejarah Cina tentu punya cerita tersendiri yang mesti menarik perhatian. Cerita kegemilangan tentang kekaisarannya jauh berabad-abad sebelum ini adalah hal yang akrab di telinga masyarakat pada umumnya. Akan tetapi, cerita kelam tentang kejatuhan Cina di masa yang terdahulu adalah hal yang mungkin masih asing terdengar di telinga. Untuk itu, adalah menjadi menarik untuk mencari tahu kejatuhan atau masa kelam negara Cina di suatu masa yang sudah lama lalu.

Dengan ketertarikan yang demikian, tulisan ini kemudian dibuat. Perang Opium yang terjadi di pertengahan abad ke-19 adalah peristiwa yang diangkat dalam tulisan ini. Peristiwa ini menjadi menarik, sebab peristiwa inilah yang bisa dikatakan menjadi kejatuhan era kekaisaran Cina dan menjadi awal dari proses terbentuknya negara Cina yang ada saat ini. Terlepas dari itu, keingintahuan tentang Hong Kong pada khususnya dan Cina pada umumnya juga menjadi salah satu motif[1] penulis untuk menulis tulisan ini. Oleh karena itu, tulisan ini akan mengulas secara ringkas hubungan antara perang Opium dan Hong Kong di masa kini.

Perang Opium, Sekilas Pandang[2]

 Perang opium sama seperti namanya adalah perang yang punya kaitan erat dengan opium. Perang ini juga bisa disebutkan sebagai perang antara Barat(Inggris pada khususnya) dengan Cina.[3] Dalam catatan sejarah, perang opium sendiri terjadi dua kali dalam kurun waktu yang tidak terlalu jauh. Perang Opium pertama sendiri terjadi pada tahun 1840, sedangkan perang opium kedua terjadi pada pertengahan tahun 1850-an.[4] Kedua perang ini berakhir dengan kekalahan Cina beserta berbagai macam kerugian yang diperolehnya. Masa-masa yang datang setelahnya adalah masa kelam Cina sebagai sebuah negara jajahan. Meminjam salah satu istilah di suatu artikel, masa setelah perang opium ini adalah masa penghinaan (Century of Humiliation).[5]

Adapun secara umum, latar belakang perang ini dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu perspektif Cina dan Inggris. Cina di satu sisi melihat alasan perang ini adalah usaha Inggris untuk menjajah serta menaklukkan Cina, sedangkan Inggris melihat ini sebagai usaha menegakkan harga dirinya sebagai suatu negara yang diperhitungkan dunia saat itu.[6] Secara lebih spesifik, Inggris merujuk pada kejadian di mana konsulat Inggris mesti bersujud di hadapan kaisar. Inggri sendiri memaknai ini sebagai penghinaan terhadap negara.[7] Hal ini tentu adalah ironis, sebab telah menjadi nyata bahwa alasan utama di balik tindakan penyerangan Inggris adalah permasalahan ekonomis semata. Telah banyak sumber atau catatan yang mengatakan bahwa defisit neraca perdagangan antar Inggris dan Cina dalam hal teh dan perak adalah alasan utama.[8] Untuk mengatasi hal tersebut, Inggris mengambil jalan pintas dengan menggunakan opium sebagai pertukaran dengan komoditas teh. Akibatnya, selain mengurangi defisit perdagangan Inggris secara drastic, para penduduk Cina mengalami kecanduan dan kemunduran. Tidak terima dengan hal tersebut, pemerintah Cina mengambil langkah tegas dengan membakar dan melarang pengedaran opium. Menanggapi hal tersebut, Inggris meresponnya sebagai pelarangan terhadap perdagangan. Dari sana, terjadilah perang antara kedua belah pihak. Karena itu pulalah, nama perang ini dinamakan perang opium.

Hong Kong

Jauh sebelum perang opium ini terjadi, Cina adalah suatu kekaisaran yang tertutup dan misterius bagi dunia. Kendati telah sangat terkenal dengan segala kebesarannya, Cina sendiri tidak dengan mudah membuka diri terhadap hubungan dengan kerajan atau negara lain. Hal ini kemudian menimbulkan suatu keseganan serta keingintahuan tersendiri bagi bangsa yang berada di luar Cina. Satu-satunya daerah yang bisa dijadikan tempat perdagangan dengan bangsa luar adalah Guangzhou (Hong Kong) dan Makau. Karena itu, tidaklah mengherankan jika Eropa sendiri melihat Cina sebagai bangsa sebuah bangsa yang solid dan tak tertembus.[9]

Kendati demikian, seiring berjalannya waktu, kondisi internal kekaisaran Cina yang dipenuhi dengan pemberontakan memicu banyak hal buruk terjadi. Melihat hal yang demikian, Inggris memanfaatkan hal tersebut dengan memulai pertikaian. Diakibatkan kemajuan teknologi yang dimiliki Inggris serta kondisi internal Cina yang buruk, kekalahan bahkan keruntuhan kekaisaran Cina (Dinasti Ming) tak dapat dielakkan lagi.

  Perang opium—baik yang pertama maupun yang kedua—yang telah disebutkan tadi, tidak bisa tidak membawa banyak kerugian bagi Cina. Kerugian yang paling mencolok saat itu ialah penyerahan beberapa daerah Cina ke tangan Inggris. Penyerahan ini daerah ini umumnya dapat berupa penyerahan pemerintahan serta pembebasan wilayah perdagangan. Hong Kong (Guangzhou) adalah salah satu daerah yang mencakup kedua bentuk penyerahan tadi.[10]Dalam penjelasannya yang lebih spesifik, Inggris sendiri kemudian dalam catatan serta perjanjiannya menyatakan bahwa Hong Kong akan menjadi daerah khusus perdagangan Inggris dan wilayah tinggal orang Inggris di Cina.[11]Hal tersebut bahkan terus berlangsung setelah Cina merdeka. Hong Kong sendiri baru kembali menjadi wilayah Cina pada tahun 1997 dengan berbagai macam syarat. Salah satu di antaranya terkait dengan otonomi Hong Kong dalam memilih sistem pemerintahannya sendiri dan memiliki keistimewaan dalam penggunaan bahasanya sendiri (Kanton).[12]

Perang Opium dan Hong Kong

  Dari dua poin di atas, telah menjadi jelas bahwa antara perang opium secara langsung merupakan cikal bakal berdirinya Hong Kong saat ini. Keadaan Hong Kong yang baru-baru ini sedang panas dengan demonstrasi massanya juga bisa dijelaskan dari perspektif ini. Dari dua poin yang sebelumya telah saya sebutkan, penulis mengetahui bahwa sejatinya masalah yang baru-baru ini terjadi punya akar sejarah yang cukup panjang. Penulis tidak ingin mengulas terlalu dalam tentang permasalahan tersebut. Penulis hanya ingin memaparkan satu permasalahan dasar yang ada dalam Hong Kong saat ini.

Permasalahan tersebut adalah menyoal identitas masyarakat Hong Kong sendiri sebagai sebuah masyarakat suatu negara[13]. Salah satu permasalahan yang cukup serius adalah menyoal identitas mereka. Hong Kong setelah 156 tahun di bawah pengaruh Inggris mempunyai identitas mereka sendiri. Baik itu dari segi masyarakat secara sosial maupun sistem politik pemerintahan. Pelepasan Hong Kong ke tangan Tiongkok pada tahun 1997 sebenarnya riskan sekali dalam kaitannya dengan perubahan sosial politik. Akan tetapi, untuk mengatasi hal tersebut, perjanjian antara Cina dan Inggris menyepakati bahwa setelah 50 tahun (1997-2047) dululah Cina boleh sepenuhnya berkuasa atas Hong Kong (dalam artian sistem politik). Sebelum jangka waktu tersebut, pemerintah Cina mesti memberikan otonomi serta perlakuan khusus terhadap Hong Kong.[14]

Kendati demikian, keadaan Cina dan Hong Kong saat ini tidak begitu kondusif. Usaha represi pemerintah Cina dalam banyak kasus dapat dilihat sebagai bentuk pelanggaran atas perjanjian yang telah disepakati antara Cina dan Inggris. Dalam istilah yang lebih spesifik, Cina berusaha menghapuskan batas-batas yang telah ada antara Cina dan Hong Kong sebelum waktunya. Karena itu, tidaklah sebagai reaksi atas hal tersebut, tidaklah mengherankan jika warga Hong Kong sendiri merasa terasing dengan bangsanya sendiri, yaitu Cina. Bahkan, berdasarkan data, kebanyakan orang Hong Kong saat ini lebih senang mengidentifikasikan diri mereka sebagai orang Hong Kong ketimbang sebagai orang Cina.[15] Hal ini tentu akan menjadi permasalahan yang lebih serius ke depannya, cepat atau lambat. Mungkin saja permasalahan demonstrasi besar-besaran yang dilakukan di Hong Kong itu erat kaitannya dengan permasalahan usaha penghapusan batas represif dari Cina terhadap Hong Kong.

Penutup

 Untuk itu, adalah sangat menarik serentak melihat serta mengetahui fenomena sejarah Cina di masa silam. Keruntuhan dinasti Qing akibat perang opium adalah salah satu masa kelam Cina yang telah tercatat dalam sejarah. Kendati demikian, hal tersebut tidak serta merta menjadi peristiwa sejarah tersebut buruk seluruhnya. Jika ingin ditilik baik-baik, meminjam istilah beberapa pakar, Cina modern tidak akan pernah lahir tanpa adanya perang opium yang terjadi di masa lampau. Terlepas dari begitu banyaknya kerugian yang dialami oleh Cina, mempelajari peristiwa sejarah semacam ini adalah perlu untuk dilihat kacamata yang lebih netral. Sebab, hal tersebut akan membantu untuk melihat masa kini dengan pemahaman yang lebih komperhensif serta kompleks di satu sisi.



[1] Sebenarnya, salah satu dorongan saya menulis ini adalah karena tugas yang diberikan. Akan tetapi, saya tidak ingin melihat ini semata sebagai beban, tetapi lebih jauh melihat ini sebagai usaha untuk memahami serta meningkatkan pengetahuan saya terhadap Cina pada khususnya dan hubungan Internasional.

[2] Pada bagian  ini, saya mengelaborasikan  beberapa bagian dari beberapa sumber. Untuk itu, penyebutan untuk suatu sumber secara spesifik akan jarang saya lakukan. Akan tetapi, pada bagian akhir, akan saya tetap cantumkan sumber pustakanya.

[3] Bdk.  Unknown. (2017, Mei). Perang Candu Cina. https://www.hariansejarah.id/2017/05/pe­rang-ca­ndu-ci­na-1839-1860-m.h­tml?m=1, d­iakses tanggal 23 Agustus 2019 pukul 21.36

[4]  I­bid.

[5]  Bdk. Ramzy, Austin. (2018, Juli). How Britain Went to War With China Over Opium. https://www.nytimes.com/­2018/07/03/world/asia/opium-war-book-china-britain.html, diakses tanggal 23 Agustus 2019, pukul 8.25

[6] Bdk. Lau, Joyce.( 2011, Agustus). Highlighting Differences in Interpretations of the Opium War. https://www.nytimes.com/2011/08/19/arts/19iht-opium19.html?action=click&module=R­elatedCoverag­e&pgtype=Ar­ticle&region=Footer&mtrref=www.nytimes.com&assetType=REGIWALL&auth=login-email,di­ak­ses tanggal 24 Agustus 2019 pukul 17.5

[7] Op.cit.

[8]  Waktu itu, di Inggris, teh, porselin, dan sutra adalah  komoditas yang paling diminati di Inggris. Fakta bahwa the hanya bisa dihasilkan di Cina menampilkan dua konsekuensi. Pertama, keuntungan bagi Cina. Kedua, ketergantungan Inggris pada Cina. Sebagai pertukarannya pada saat itu, kaisar Cina hanya ingin perak sebagai pertukaran atas komoditas seperti the, sutra, dan porselin Bdk. He, Tao. (n.d.). British Imperialism in China, A Legacy of  Commerce, Addition, and Gunboat Diplomacy. http://blogs.bu.edu/guidedhistory/moderneurope/tao-he/, diakses tanggal 19 Agustus 2019 pukul 10.47

[9] Bdk. Ramzy, Austin. (2018, Juli). How Britain Went to War With China Over Opium. https://www.nytimes.com/­2018/07/03/world/asia/opium-war-book-china-britain.html, diakses tanggal 23 Agustus 2019, pukul 8.25

[10] Bdk.  Unknown. (2017, Mei). Perang Candu Cina. https://www.hariansejarah.id/2017/05/pe­rang-ca­ndu-ci­na-1839-1860-m.h­tml?m=1, d­iakses tanggal 23 Agustus 2019 pukul 21.36

[11]  Dalam salah satu perjanjiannya, Inggris bahkan menempatkan tenggat waktu 99 tahun penguasaan atas Hong Kong. Bahkan , lebih jauh, mempertimbangkan untuk menjadi koloninya selama mungkin. Bdk. Johnny. (2018, Juli). How 156 Years of British Rule Shaped Hong Kong [Video File]. https://www.yout­ube.com/watch?v=StW7oG­SR_M­g­, diakses tanggal 23 Agustus 2019 pukul 21.44­

[12] Bdk. Johnny. (2018, July). China Is Erasing Border With Hong Kong[Video File]. https://www.youtube.com/wat­ch­?v=MQ­yx­G4vTyZ8, diakses tanggal  24 Agustus 2019 pukul 21.44

[13] Istilah yang tepat untuk menyebutkan apa sebenarnya Hong Kong itu tidak saya ketahui secara pasti. Kali ini, saya akan menyebutnya sebagai negara saja.

[14] Ibid.

[15] Ibid.



Daftar Pustaka

He, Tao. (n.d.).British Imperialism in China, A Legacy of  Commerce, Addition, and Gunboat Diplomacy.http://blogs.bu.edu/guidedhistory/moderneurope/tao-he/,diakses tanggal 19 Agustus 2019 pukul 10.47

Johnny.(2018,July).China Is Erasing Border With Hong Kong[Video File]. https://www.youtube.com/wat¬ch-?v=MQ¬yx¬G4vTyZ8,diakses tanggal 24 Agustus 2019 pukul 21.44

Johnny. (2018, Juli).How 156 Years of British Rule Shaped Hong Kong [Video File]. https://www.yout-ube.com/watch?v=StW7oG¬SR_M¬g¬,diakses tanggal 23 Agustus 2019 pukul 21.44

Lau, Joyce.( 2011, Agustus). Highlighting Differences in Interpretations of the Opium War. https://www.nytimes.com/2011/08/19/arts/19iht,diakses tanggal 24 Agustus 2019 pukul 17.52

Ramzy, Austin.(2018, Juli).How Britain Went to War With China Over Opium. https://www.ny­times.com/2018/07/03/world/asia/opium-war-book-china-britain.html,diakses ta­n­­g­­gal 23 Agustus 2019, pukul 8.25

Unknown. (2017, Mei). Perang Candu Cina. https://www.hariansejarah.id/2017/05/perang-candu c­ina 1839-1860 .html?m=1, diakses tanggal 23 Agustus 2019 pukul 21.36


Perang Candu di Cina (1839-1860 M)
By Rifai Shodiq Fathoni / 31 Jan, 2017 / Sejarah Dunia

Nafsu dunia dapat membutakan akal dan hati manusia. Segala cara dapat ditempuh untuk mendapatkan kekayaan di dunia. Tidak peduli itu cara yang baik atau jahat, asalkan dapat memperoleh harta maka itu bukan lah suatu persoalan. Salah satu peristiwa masa lalu yang menggambarkan fenomena ini adalah Perang Candu (opium).

Perang Candu merupakan dua perang yang terjadi pada pertengahan abad ke-19, antara orang China dan Inggris di kedaulatan China. Pada perang tersebut pedagang Eropa menggunakan kekuatan adiktif candu untuk memperoleh hubungan dagang penting dengan Cina, negara yang mengisolasi diri dari dunia luar.

Latar Belakang Perang Candu

Selama ratusan tahun, Orang-orang Cina tidak berhubungan dengan kegiatan ekonomi dunia lain. Meskipun demikian, banyak pedagang Eropa sangat ingin berdagang di Cina. Wilayah Cina saat itu terkenal sebagai produsen sutera, rempah-rempah, teh, dan porselan berkualitas. Komoditi tersebut sangat populer di Eropa. Namun, pemerintah Cina di bawah Dinasti Qing hanya mengizinkan perdagangan dilaksanakan di satu pelabuhan, yakni di Guangzhou (Kanton).

Di sisi lain, pengembangan East India Company oleh Inggris berarti menjadikan candu dalam jumlah besar yang diproduksi di Bengali, India membutuhkan pasar baru.  Untuk menyiasati kebijakan pemerintah Cina, pedagang Inggris mulai merencakan strategi agar Cina mau membuka perdagangan dengan mereka.

Para pedagang asing mulai menyelendupkan candu ke negara Cina, sehingga penduduk Cina terpaksa menjual barang-barang berharga mereka untuk ditukar dengan candu. Bangsa Cina sendiri sebenarnya telah mengenal candu sejak abad ke-15, namun Dinasti Qing melarang penghisapan candu pada tahun 1729, karena efeknya yang merusak.

Perdagangan candu sebelumnya dipelopori oleh bangsa India di bawah daulah Mughal, di mana perdagangan candu ilegal melalui Cina Selatan mendatangkan keuntungan besar. Ketika Inggris menguasai India, mereka melihat perdagangan candu sebagai peluang emas untuk memperbesar devisa.

Penyelundupan candu ke Cina meningkat pesat pada abad ke-18. Pada tahun 1730, 15 ton candu diselendupkan dan pada tahun 1773 mengalami peningkatan menjadi 75 ton. Candu-candu diselundupkan melalui laut dalam ribuan peti, yang masing-masing memuat sekitar 64 kilogram.

Membanjirnya candu di cina melemahkan rakyat Cina, jumlah pencandu mengalami peningkatan. Puncaknya ketika seorang pangeran menjadi pecandu, hal ini membuka mata Kaisar Daoguang akan bahaya terlarang ini. Pelarangan candu pun kembali ditegaskan pada tahun 1799, dan pada tahun 1810 dikeluarkan lah titah pelarangan dari kaisar.

Meskipun demikian, letak pusat pemerintahan yag terlalu jauh di sebelah utara, menyebabkan kerajaan tidak sanggup mengendalikan para pedagang dan pejabat korup yang menyelundupkan candu lewat Cina Selatan. Minimnya tindakan pemerintah menyebabkan penyelundupan candu terus mengalami peningkatan. Tercatat pada tahun 1820-an, penyelundupan candu meningkat drastis mencapai 900 ton per tahun.

Untuk mengatasi kondisi memprihatinkan masyarakat, pada tahun 1838 pemerintah Cina menjatuhkan hukuman mati bagi para penyelundup candu lokal. Penyelundupan saat itu telah mencapai angka 1.400 ton.

Pada bulan Maret tahun 1839, Kaisar mengangkat pejabat bernama Lin-Zexu untuk mengatasi penyelundupan candu di Kanton dengan kekuasaan penuh. Komisioner Tinggi Cina di Goungzhou, Lin Zexu segera mendatangi gudang penyimpanan candu Inggris.  Lin meminta pihak Inggris agar menyerahkan candu di tempat tersebut.

Namun, Charles Elliot, kepala perdagangan Inggris, menolak tuntutan ini. Akibatnya, Lin mengepung gudang tempat penyimpanan candu, yang  di dalamnya terdapat 300 pekerja. Pengepungan berlangsung selama 40 hari, para pekerja baru menyerah setelah menderita kelaparan.

Selanjutnya, candu sebanyak 22.291 peti ditenggelamkan ke laut. Lin juga memaksa Inggris agar menanda-tangani perjanjian untuk tidak menyelundupkan candu lagi. Pada bulan Mei 1839, seluruh pejabat East India Company dipaksa meninggalkan Kanton.

 Inggris menganggap tindakan pemerintah Cina sebagai penyitaan properti milik pribadi dan tidak dapat dibenarkan. Maka, Inggris mengirim kapal-kapal perang untuk mengancam pemerintah Cina dan mengepung pelabuhan.

Cina menolak membayar kompensasi, dan tetap melarang perdagangan dengan bangsa Inggris. Pada bulan November 1839, kapal perang Cina tanpa pernyataan perang ditembaki oleh kapal perang Inggris yang dikirim dari India. Akibatnya, Perang Candu I (1839-1842) antara Cina dan Inggris pun dimulai.

Perang Candu I (1839-1842) dan Perjanjian Nanjing

Perang Candu I sebagaian besar berlangsung di pantai dan di laut. Pada perang tersebut kapal-kapal Inggris yang notabene lebih modern dari kapal-kapal Cina, membombardir pantai tenggara Cina

Keunggulan persenjataan membuat armada Inggris dengan mudah menguasai kota-kota pelabuhan Xianggang (Hongkong), Kanton, Xiamen, Ningbo, Fuzho dan Shanghai. Bahkan, pada bulan Agustus 1842, dengan kekuatan 80 kapal perang, mereka maju menuju Nanjing.

Di tengah kondisi Cina yang semakin terdesak. Kaisar Daoguang tidak menemukan jalan yang lebih baik selain menyerah kepada pihak Inggris. Pemerintah Cina dipaksa menyetujui Perjanjian Nanjing, yang banyak merugikan mereka.

Berikut point-point penting dari perjanjian Nanjing:

    Cina menyewakan Xianggang (Hongkong) pada Inggris.
    Pelabuhan-pelabuhan Kanton, Xiamen, Ningbo, Fuzhou, dan Shanghai harus dibuka bagi perdagangan dengan pihak Inggris.
    Cina diwajibkan membayar kerugian perang sebesar 21 juta mata uang perak.
    Memberikan hak istimewa bagi Inggris, serta membuka daerah khusus (ekstrateritorial) sebagai tempat tinggal warga Inggris.
    Hubungan antara pejabat-pejabat Cina dan Inggris harus berdasarkan asas sama rata.
    Inggris berhak mengangkat konsul di tiap-tiap pelabuhan yang dibuka bagi aktivitas perdagangan mereka.

Perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 29 Agustus 1842, sama sekali tidak menyelesaikan masalah penyelundupan candu. Penyelundupan masih berlangsung, meskipun secara resmi tetap dilarang.

Setelah perjanjian Nanjing tercetus, Amerika Serikat juga menuntut hak yang sama dengan Inggris. Amerika mengirimkan utusan bernama Caleb Cushing untuk merundingkan hal itu dengan pemerintah Cina. Usaha Cushing berhasil, Cina dan Amerika menyepakati perjanjian bilateral pada tahun 1844. Perjanjian tersebut membuat Amerika mendapatkan pula seluruh hak istimewa yang didapatkan Inggris.

Di dalam perjanjian bilateral ini, hakim-hakim Cina tidak memiliki wewenang untuk mengadili warga Amerika yang melakukan pelanggaran hukum dan harus menyerahkannya pada pengadilan konsulat Amerika.

Selain Amerika, Prancis juga menyusul mendakan perjanjian bilateral dengan Cina pada tahun yang sama guna memperoleh hak-hak istimewa. Sebagai hasilnya, Cina mengizinkan penyebaran agama Katolik dan mengembalikan hak milik gereja yang telah dilarang seabad sebelumnya.

Perang Candu II (1856-1860 M)

Perang Candu II dapat dianggap sebagai kelanjutan dari ambisi imperialisme Eropa di Cina. Pihak Eropa yang telah mendapatkan hak-hak dagang khusus di Cina, masih berambisi untuk memperluas kekuasaannya.

Pihak Inggris ingin memperkuat pengaruhnya di Cina dengan memaksa Dinasti Qing memperluas wilayah perjanjian Nanjing. Pada tahun 1854, mereka menuntut seluruh Cina dijadikan wilayah dagang terbuka bagi East India Company, perdagangan candu dilegalkan, dan diperbolehkannya duta besar Inggris ditempatkan di Beijing.

Tuntutan serupa juga datang dari Amerika Serikat dan Prancis. Akan tetapi, pemerintah Dinasti Qing menolak semua tuntutan tersebut, sehingga hubungan Cina dan Barat menjadi memanas.

Meskipun demikian, Perang Candu II secara khusus dipicu oleh tindakan pejabat Dinasti Qing yang menghentikan kapal bernama Arrow, kapal Cina yag telah diregistrasi di Hongkong (kapal tersebut dikapteni orang Inggris dan seluruh awaknya merupakan warga Cina). Telah menjadi kebiasaan, jika kapalTiongkok hendak menyelundupkan sesuatu, mereka meregistrasikan terlebih dulu kapalnya di Hongkong, sehingga dapat berlayar di bawah bendera Inggris dan terhindar dari jeratan hukum Cina.

Pada tanggal 8 Oktober 1856 kapal tersebut berlabuh di Kanton. Pada pagi harinya, mereka dihentikan oleh 4 pejabat dan 60 pasukan bersenjata. Mereka mencurigai Arrow hendak menyelundupkan sesuatu ke wilayah Cina.

Kapten kapal mendatangi konsulat Inggris untuk melaporkan penahanan yang dilakukan pejabat Cina. Konsul Inggris, Harry Parkes, segera meresponnya dengan mendatangi pejabat Cina yang melakukan penahanan serta memprotes tindakan mreka.

Meskipun telah diprotes, 12 orang di antara awak kapal itu tetap ditahan karena dianggap melakukan tindak kriminal penyelundupan. Pihak Inggris ngotot, bahwa kapal itu telah diregistrasi di Hongkong, oleh karena itu hukum khusus berlaku terhadap mereka, dan meminta agar kapal dan awaknya dibebaskan.

Pihak Cina menolak permintaan Parker, karena gagal membebaskan para awak Konsul Inggris kembali ke kantornya dan menyurati Gubernur Ye Mingchen. Ia membuat tuduhan bahwa para pejabat Cina telah menghina bendera Inggris. Selain itu, ia juga menuduh pihak Cina telah melanggar perjanjian ekstrateritorial dengan Inggris.

Parker juga mengirimkan surat kepada Gubernur Sir John Bowring dan Admiral Sir Michael Seymour di Hongkong, meminta Inggris menuntut permintaan maaf Cina. Mungkin Parker melihat peristiwa ini sebagai salah satu kesempatan untuk memperluas imperialisme Inggris di Cina.

Dari hasil penyelidikan pejabat Cina yang berwenang mendapati bahwa sembilan di antara dua belas orang yang ditangkap tidak bersalah. Gubernur Ye dengan tenang dan sopan menjawab tuntutan sepihak Inggris. Dijelaskannya alasan penangkapan serta penyesalan terhadap kesalah-pahaman yang terjadi.

Ia juga mengatakan tidak ada sedikit pun keinginan untuk menghina bendera Inggris. Gubernur Ye lalu menawarkan untuk menyerahkan 12 orang yang di tahan itu pada tanggal 12 Oktober 1856.

Akan tetapi, Parker menolak tawaran tersebut meskipun pihak Cina telah menyampaikan rasa penyesalan. Ia tetap bersikeras agar Gubernur Ye mengeluarkan permintaan maaf secara tertulis serta pembebasan awak kapal yang tidak bersalah dengan segera.

Ye merespon kesombongan pihak Inggris dengan menyatakan bahwa hukum ekstrateritorial hanya berlaku bagi kapal Inggris, sedangkan Arrow adalah kapal Tiongkok. Ia juga mempertanyakan kewenangan pihak Inggris untuk ikut campur urusan penangkapan warga negara Cina oleh pejabat berwenangan Cina, apalagi saat itu kapal juga berada di perairan Cina. Gubernur menyimpulkan insiden tersebut bukan lah merupakan pelanggaran perjanjian apa pun.

Pihak Inggris menolak penjelasan pihak Cina di aas, meskipun bukti-bukti dan saksi menguatkan pembelaan Ye. Mereka tetap ngotot bahwa kapal itu tetap kapal Inggris dan warga negara mana pun yang berada di atas kapal Inggris berada di bawah naungan hukum Inggris.

Polemik ini terus berlanjut hingga tanggal 21 Oktober 1856, di mana sekali lagi Parker menuntut permintaan maf Cina. Keesokan harinya, Gubernur Ye mengirim para tahanan itu ke konsulat Inggris, termasuk yang terbukti bersalah melakukan penyelundupan, namun pihak Inggris menanggapi dingin usaha tersebut. Gubernur Ye tetap bersikeras tidak perlu mengeluarkan permintaan maaf, karena tidak ada pelanggaran yang dilakukan.

Setelah Cina tidak kunjung meminta maaf, arogansi Inggris pun semakin menjadi. Mereka mengerahkan angkatan perangnya pada tahun 1857 untuk menggempur Kanton. Prancis ikut bergabung dengan Inggris setelah hukuman mati yang dijatuhkan terhadap seorang misionaris Prancis bernama August Chapdelaine.

Kanton berhasil dirbeut dan mereka bergerak menuju Beijing. Sementara itu, Kaisar Xianfeng (1851-1860) yang ketakutan melarikan diri ke Jehol. Perang Candu II baru berakhir setelah pihak Cina bersedia menandatangani Perjanjian Tianjin pada bulan Juni 1858. Berikut isi dari perjanjian Tianjin:

    Inggris, Prancis, Amerika, dan Rusia diizinkan membuka kedutaan di Beijing, yang saat itu merupakan kota tertutup bagi orang asing.
    Sepuluh pelabuhan baru dibuka bagi bangsa Barat, termasuk Danshui, Hankou, Niuzhuang, dan Nanjing.
    Pemberian izin kunjungan orang asing ke pedalaman Cina, baik untuk urusan dagang atau kegiatan misionaris.
    Cina harus membayar kerugian perang sebesar 4 juta tail perak pada Inggris dan 2 jut apada Prancis.
    Pelarangan menyebut bangsa Barat sebagai yi (barbar).

Walaupun perjanjian telah ditandatangani, kerajaan tetap tidak mengizinkan pendirian kedutaan di Beijing. Oleh karena itu, pada tahun 1860, kekuatan gabungan Inggris dan Prancis kembali melancarkan serangan, dan berhasil menaklukan  Beijing pada tanggal 6 Oktober 1860.

Kaisar Xiangfeng kembali melarikan diri ke istananya di Chengde, di mana sebelumnya ia telah memerintahkan Pangerang Gong untuk bernegosiasi dengan bangsa Barat.

Di saat yang bersamaan, bangsa Barat membakar istana kekaisaran dan menjarahnya. Untuk meredam kekejaman bangsa Barat, pangerang Gong menyampaikan kembali kesediaan Dinasti Qing untuk menjalankan seluruh isi perjanjian Tianjin dalam wujud Konvensi Beijing yang diratifikasi pada tanggal 18 Oktober 1860. Adapun isi dari ratifikasi adalah sebagai berikut:

Cina mengakui kembali Perjanjian Tianjin.
Menjadikan Tianjin sebagai pelabuhan terbuka.
Kerugian yang harus diganti Cina kepada Inggris dan Prancis ditingkatkan menjadi 8 juta nail perak.
Perdagangan candu dilegalkan.Dengan keluarnya ratifikasi ini sekaligus mengakhiri sepenuhnya Perang Candu dan menjadikan candu sebagai barang yang legal di dataran Cina.

BIBLIOGRAFI

Erlangga. 2009. China: Sebuah Potret Bangsa, Alam, dan Budaya. Jakarta: Erlangga.

Gifford, Clive . 2009. Ensiklopedia Sejarah dan Budaya : Sejarah Dunia Jilid V. Terj. Nino Oktorino. Jakarta: Lentera Abadi.

Mittler, Rana.2011. China Modern Menguasai Dunia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Taniputera, Ivan. 2011. History of China. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.