MAFIA HUTAN DI PAPUA PAPUA UNTUK SIAPA ?

PAPUA semakin sering dibicarakan. Tetapi hanya bahan mainan, tanpa kesungguhan dan derajat kemendesakan. Papua boleh banjir kebijakan, tetapi kering kejujuran dan penyelesaian.

Satu-satunya wilayah di Indonesia yang tidak diakui kehendak politiknya adalah Papua. Dan Papua adalah salah satu bagian sejarah Indonesia yang gelap dari pengetahuan banyak orang.

Pada 26 Februari 1999, kelompok 100 Papua, dipimpin oleh Tom Beanal, bertemu Presiden B. J. Habibie untuk menegaskan kehendak merdeka. Sebulan sebelumnya, presiden memberikan opsi Referendum pada Timor Leste. Kini Timor Leste sudah merdeka, dan Papua masih terus menuntut kemerdekaan. Tetapi negara sudah menganggapnya final, tanpa pernah ada pertandingan final yang fair. Berbagai kehendak politik orang Papua hanya dianggap angin lalu.

Sebagian orang-orang Papua telah sejak awal menuntut kemerdekaan sebelum diintegrasikan ke wilayah Indonesia—tanpa menghilangkan kenyataan orang-orang yang juga setuju berintegrasi dengan Indonesia. Faktanya, hingga saat ini, Bintang Kejora terus menjadi simbol kekuatan pembebasan orang-orang Papua. Tak sedikit yang rela berkorban hidup demi berkibarnya bendera itu. Tanpa pengakuan ini, selamanya moncong senjata dan ketidakadilan menjadi makanan pokok yang diberikan negara pada Papua.

Dialog selalu digadangkan sebagai solusi. Dialog tidak membunuh, demikian Muridan Widjojo menegaskan. Tetapi kematian datang semakin cepat, baik oleh senjata maupun oleh penyakit-penyakit yang dibiarkan tanpa penanganan sungguh-sungguh.

Syarat dialog tak mau atau dihindari jadi bahan diskusi. Bagaimana mau berdialog jika tidak ada kebebasan di Papua? Bagaimana bisa berdialog bila tidak ada pengakuan bahwa Papua MEMANG memiliki masalah kebangsaan, dan NKRI harga nyawa adalah sumber masalahnya?

Pembebasan beberapa Tapol adalah satu-satunya tindakan berbeda di era pemerintahan ini. Tetapi rehabilitasi tidak ada. Kenapa banyak orang-orang Papua menjadi tahanan politik? Mengapa persoalan politiknya tidak pernah mau dibicarakan? Bukankah disanalah letak kegagalan pendekatan ‘pembangunan’ itu? Bukankah dari sanalah sumber kecurigaan, stigma dan ketakutan terhadap separatisme berasal? Tidakkah bangsa Indonesia, seharusnya, sudah bisa lebih dewasa karena sudah punya pengalaman menangani Aceh dan Timor Leste? Kenapa memelihara paranoia?

Kenapa ‘khawatir’ dengan aspirasi itu dan berpikir: kalau merdeka nanti akan lebih buruk; orang-orang Papua akan berkelahi satu sama lain; orang Papua tidak mampu mengurusi perkara mereka sendiri. Kenapa bertindak sebagai hakim? Kenapa Papua tidak boleh merdeka, jika kenyataannya negara tidak sanggup memenuhi kehendak dan cita-cita orang-orang Papua? Tidakkah orang Papua boleh mencoba peruntungan lainnya? Tidakkah Indonesia merdeka dalam keadaan jauh lebih miskin dari Papua saat ini?

Tapi baiklah jika negara menganggap NKRI harga mati, dan kita begitu sayang Papua berpisah dari Indonesia.

Bila demikian, mengapa meningkatnya kematian dan penyakit yang sudah bisa disembuhkan di Papua tidak mengkhawatirkan banyak orang? Mengapa BPS tidak mendata (percepatan) kematian orang-orang Papua asli? Mengapa lebih banyak orang-orang Papua asli menghuni penjara-penjara Papua? Mengapa lebih banyak orang-orang Papua asli yang tidak bisa sekolah? Mengapa setelah puluhan tahun tidak bertambah signifikan jumlah orang-orang Papua yang menjadi sarjana ahli, selain sarjana-sarjana pemerintahan dan tentara?

Hasil puluhan tahun ‘pembangunan’ di Papua justru menurunnya populasi orang Papua asli yang kini tinggal berjumlah 1.7 juta jiwa, berbanding 1.980 juta jiwa pendatang.

Mengapa para pejabat Papua asli juga tidak banyak yang menganggap persoalan ini mendesak? Mengapa celah-celah di dalam UU Otsus, walau banyak kekurangan di sana sini, tidak digunakan untuk mengatasi kematian, melindungi yang tersisa dan menegakkan keadilan?

Kini, sedikitnya 677.000 hektar hutan telah, sedang, dan akan dialihfungsikan menjadi HPH dan perkebunan, terutama Sawit, serta pertambangan di Sorong, Sorong Selatan, Teluk Wondama, Teluk Bintuni dan Fak Fak. Jumlah itu hanya yang tercatat dan dapat dideteksi. Di Merauke, seluas 2,5 juta hektar sudah diperuntukkan bagi proyek MIFEE (Merauke Integrated Food & Energy Estate) dan 1,2 juta hektar untuk Kawasan Sentra Produksi Pertanian. Belum terhitung jutaan hektar yang sudah lebih dulu diduduki PT. Freeport Indonesia.

Lahan seluas MIFEE diduduki oleh 33 perusahaan. Sementara lahan lainnya diduduki oleh kelompok-kelompok korporasi nasional dan internasional, seperti Musim Mas Group milik Bachtiar Karim; Raja Garuda Mas Group milik Sukanto Tanoto; Sinar Mas Group milik Eka Tjipta Widjaja; Salim Group milik Anthony Salim; Rajawali Group milik Peter Sondakh; Austindo Nusantara Jaya Group (ANJ) milik George Tahija; Perusahaan Kayu Lapis Indonesia; Medco Group; Korindo Group; Tadmax; Pacific Interlink; The Lion Group; Noble Group; Carson Cumberbatch; PTPN II Arso; dan Yong Jing Investment.

Dalam banyak kasus, perusahaan sudah mengantongi izin dan hak pengelolaan tanah hutan tanpa musyawarah dan persetujuan masyarakat. Perusahaan sering menggunakan cara-cara ‘tipu-tipu’ atau intimidasi, melibatkan oknum aparat pemerintah dan keamanan maupun lembaga perantara berasal dari warga setempat. Sangat mudah bagi perusahaan menciptakan konflik dalam masyarakat dengan cara memecah-belah mereka menjadi pro dan kontra demi keuntungan perusahaan (Pusaka: 2015).

Di dalam lansekap inilah pendekatan keamanan dan kesejahteraan terus diulang-ulang sebagai solusi Papua. Setiap pemerintahan menjanjikan dan membuat kebijakan yang menurutnya lebih baik dari pemerintahan sebelumnya.

Lalu dalam hal apa janji Jokowi pada Papua lebih baik dari program-program UP4B (Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat) era SBY? Mantan Deputi Bidang Pengembangan Ekonomi dan Infrastruktur UP4B, Ferrianto H Djais, mengatakan bahwa kesalahan pembangunan di Papua karena tidak seusai dengan kebutuhan masyarakat; fokus infrastruktur tidak melibatkan masyarakat asli sehingga masyarakat Papua hanya jadi penonton.

Pada Maret 1949, Van Eechoud, pejabat Belanda di Papua, menolak laporan memorandum rahasia yang dibuat Komisi Studi Nieuw Guinea tentang potensi ekonomi di Papua. Ia menolak anggapan bahwa secara ekonomis orang Papua belum mampu membangun infrastruktur demi pembangunan ekonomi. Menurutnya orang Papua tidak malas dan bodoh. Banyak orang berpaham dangkal dalam melihat Papua dan tidak memahami persoalan akulturasi yang dihadapi mereka. Pendidikan untuk meningkatkan keterampilan yang paling dibutuhkan, karena mereka juga menginginkan kehidupan yang lebih baik. (Meteray: 2012)

Lima puluh tiga tahun sudah Papua diintegrasikan ke dalam NKRI, bagaimana mungkin pengetahuan sederhana dari pejabat kolonial seperti Eechoud tidak dimiliki pengambil keputusan di negara Indonesia merdeka?

Program-program infrastruktur yang menjadi kebanggaan pemerintah Jokowi telah membuat orang-orang Papua mati rasa. Tentu orang-orang Papua membutuhkan jalan yang menghubungkan antar kampung/distrik/kabupaten/propinsi. Tetapi mengapa jalan-jalan hanya dibangun di jalur-jalur perusahaan? Mengapa jalan-jalan yang sudah ada pun hanya untuk lalu lalang mobil dan truk perusahaan?

Tol laut macam apa yang sedang disiapkan pemerintah agar bisa membawa Mama Mama memasarkan hasil kebun seperti pisang, kasbi, talas dan pinang? Hingga saat ini hasil-hasil kebun masyarakat Teluk Wondama dibawa dengan kapal penumpang biasa ke Manokwari, berganti kapal untuk lanjut ke Biak demi membawa pulang uang beberapa ratus ribu saja—yang habis untuk biaya perjalanan dan ongkos angkut-angkut. Apakah kapal-kapal itu yang disebut tol laut?

Mengapa tak kunjung dibangun pasar bagi Mama Mama Pedagang Asli Papua? Ketika pembangunan 1 pasar saja tak berhasil dalam satu tahun, harus menunggu berapa puluh tahun lagi agar sekolah dan pusat layanan kesehatan berdiri di kampung-kampung? Mengapa 1200 orang begitu cepat datang untuk Ekspedisi NKRI tapi tak ada yang bisa tinggal di kampung untuk mengobati orang?

Mengapa tidak mengakui ada pelanggaran HAM di Tanah Papua? Mengapa tidak punya keinginan melakukan penyelidikan dan peradilan terhadap berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di Papua sejak 1960-an? Di empat wilayah saja: Biak, Manokwari, Paniai, dan Sorong, terdapat 749 jenis kejahatan HAM terhadap 312 laki-laki dan 56 perempuan yang berhasil dihimpun. Belum termasuk 4146 korban jiwa lainnya selama operasi militer 1977-1978 di sekitar Wamena, Pegunungan Tengah, Propinsi Papua.

Kejahatan HAM di Papua adalah kenyataan, bukan kendaraan politik untuk minta merdeka, seperti tuduhan jahat Komisi I DPR, Tantowi Yahya. Mengapa Jokowi masih saja diam seribu bahasa atas puluhan ribu pusara tanpa nama itu?

Lalu, masih sajakah Anda tidak rela jika semua ini telah dan sedang mengeraskan perjuangan orang-orang Papua untuk merdeka? Dan tidakkah itu jauh lebih baik ketimbang menunggu hingga punah dari tanahnya sendiri?***

Sepertinya bukan lagi rahasia soal Papua yang konon katanya ngebet ingin keluar dari Indonesia dan bikin negara sendiri. Kehidupan yang belum membaik, sampai seolah tak pernah digubris, jadi segelintir dari banyak alasan kenapa Papua ingin merdeka. Menghadapi yang semacam ini Pemerintah selalu melakukan upaya defensif dengan melakukan berbagai pendekatan. Walaupun itu tak kunjung meredam gejolak salah satu pihak untuk keukeuh memutuskan hubungan.

Tentu kita semua tak berharap Papua akan benar-benar lepas. Tapi, semisal hal tersebut benar akan terwujud nantinya, lalu kira-kira apa yang akan terjadi selanjutnya? Apakah Indonesia akan benar-benar Merugi? Atau apakah Papua akan benar-benar langsung makmur? Pertanyaan ini sukar dijawab, tapi kita bisa menerawangnya.

Sejak sistem uang masuk ke Tanah Papua, tatanan hidup masyarakat adat Papua telah banyak berubah secara drastis. Alih-alih positif, ternyata perlahan malah merusak pemerintahan asli, kearifan lokal atau norma adat yang selama ribuan tahun telah terbukti berjalan dengan baik, terutama dalam hal pemanfaatan sumber daya alam (SDA) dan pengaturan hak-hak masyarakat. Tatanan ini perlahan tergantikan oleh sistem ekonomi baru yang membuat individu dalam setiap suku/marga mulai berpikir untuk lebih mementingkan sumber daya-nya sendiri ketimbang milik bersama (komunal).

Mulai mengenal praktik jual-beli hingga sewa tanah dari skala kecil maupun besar, awalnya menjual barang hanya untuk kebutuhan yang sangat mendesak. Namun banyak kasus terjadi di beberapa suku praktik ini tidak terkontrol, bahkan ada pihak yang sampai kehilangan tanahnya kemudian ia terpaksa harus menumpang kembali di tanah yang ia jual kepada pihak lain.

Kebanyakan masyarakat adat Papua tidak mengerti bahwa saat ia melepaskan lahan dan hutan akan berdampak pada pupusnya hak atas tanah dan hutan tersebut, serta yang lebih fatal yakni hilangnya akses terhadap sumber daya alam dimana hutan selama ini menjadi sumber pangan dan bahan papan serta kebudayaan menjadi identitas dirinya.

 Arti Hutan Bagi Rakyat Papua?

Hutan dan tanah itu diibaratkan sebagai íbu’ bagi masyarakat adat Papua. Ia menyediakan makan dan minum di kehidupan sehari-hari, bahan untuk membuat rumah hingga peralatan, serta menjadi sumber obat-obatan tradisional

Maka berdasarkan wilayah dimana ia tinggal, masyarakat adat Papua secara kearifan lokal membagi zona ekologi tradisional sesuai pemanfaatannya. Tanah, hutan dan air (darat dan laut) adalah identitas dan jati diri, karena itu harga diri masyarakat adat akan sangat lengkap jika mampu mengatur kepemilikan (hak) dan penggunaan sumber daya ini dengan baik.

Sistem pemerintahan adat terdapat struktur yang secara khusus berwenang mengatur hak-hak kepemilikan yang berlaku turun temurun (warisan) di setiap keluarga/marga dan juga mengatur sumber daya yang dikelola untuk kepentingan bersama di dalam suku tersebut. Hukum adat mengakui sistem ini agar tidak terjadi pelanggaran atas hak dan batas yang sudah disepakati turun temurun.

Pengakuan hukum adat atas konsep hak milik dan pengaturan pengelolaan sumber daya alam serta keanekaragaman hayati ini membuat  suku dan marga terikat dan sangat bergantung pada ketersediaan dan keberlanjutan sumber daya tersebut.

Papua harus mendapatkan Pengakuan Hutan Adat dari Negara

Meski melimpah atas sumber daya alam, namun masyarakat adat Papua hingga saat ini belum memiliki kepastian akses untuk mengelola hutan adatnya, sehingga membuat posisi tawar mereka lemah secara hukum terkait kedudukan hak atas tanah dan sumber daya alam yang dimiliki dan dikuasainya selama turun-temurun. Situasi ini membuat begitu mudahnya pemerintah memberikan hak pengelolaan atau Izin Usaha Perkebunan dan Hak Guna Usaha (HGU) kepada swasta perkebunan sawit dan Hasil Pengusahaan Hutan/Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Hutan Alam.

Meski Mahkamah Konstitusi telah menyatakan ‘’hutan adat bukan hutan negara’’ (Putusan MK No. 35 Tahun 2012). Kemudian ditindaklanjuti Permendagri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan Masyarakat Hukum Adat, namun pengakuan hak masyarakat adat di Tanah Papua berjalan sangat lambat. Hingga kini hanya terdapat dua kabupaten yang mengakui secara hukum keberadaan masyarakat adat-nya yaitu; Masyarakat Adat Moi (Kabupaten Sorong) sekaligus dengan wilayah adatnya, kemudian pengakuan bagi 9 sembilan suku beserta wilayah adatnya di Kabupaten Jayapura.

Pengakuan hak masyarakat adat atas tanah dan wilayah adatnya merupakan bentuk perlindungan terhadap hak-hak mereka. Ia  memberikan posisi tawar yang sejajar saat pemerintah, investor maupun pihak luar lainnya yang ingin bermitra dengan masyarakat adat membangun tanah Papua. Tanpa pengakuan tersebut dipastikan posisi masyarakat adat secara hukum sangat lemah sehingga investasi atau kegiatan pemanfaatan sumber daya alam cenderung merugikan masyarakat asli Papua.

Hutan Papua Korban Keserakahan Industri Sawit
Proyek Tanah Merahtak lain rencana mengeruk uang miliaran dolar AS dari pembabatan hutan tak tersentuh. Kawasan ini merupakan hamparan hutan terluas tersisa di Asia Pasifik. Hutan bakal jadi kebun sawit.
(Gecko Project/Mongabay: Kesepakatan Rahasia Hancurkan Hutan Papua )

Investasi berbasis lahan seperti perkebunan sawit selalu disandingkan dengan pertumbuhan pendapatan daerah, pertumbuhan infrastruktur dan perubahan kehidupan ekonomi masyarakat adat Papua, baik selaku pemilik hak ulayat maupun selaku petani plasma sawit. Meski demikian, praktik pertanian monokultur secara modern dan masif belum mampu diadopsi oleh masyarakat adat yang pada umumnya masih bertani sub-sistem untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, seraya menjaga hubungan kelestarian alam serta praktik kebudayaannya.

Awalnya perusahaan memulai komitmen bersama masyarakat adat sebagai pemilik hak, kemudian menjanjikan bahwa setelah perusahaan resmi beroperasi maka mereka akan mulai dengan membangun sejumlah fasilitas social, termasuk merekrut masyarakat setempat sebagai karyawan. Situasi ini memberi harapan bagi masyarakat adat Papua tentang perubahan dan kehidupan yang lebih baik. Sayangnya, cerita perkebunan sawit di Tanah Papua lebih banyak potret buramnya.

Perkebunan sawit baru hadir pada era 1980-an dimulai dari kehadiran PTPN II Tanjung Morawa yang mengakuisisi lebih dari 50.000 hektar tanah milik masyarakat adat Arso dan Prafi di Manokwari. Masyarakat adat tersebut kehilangan puluhan ribu hektar tanah tanpa ganti rugi biaya atas tanah.

Pembelajaran 20 tahun terakhir hadirnya perkebunan sawit di tanah Papua menunjukan bahwa kehadiran investasi berbasis lahan ini tidak berdampak positif bagi peningkatan kualitas kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat adat Papua. Semua pembiayaan seperti pajak bumi bangunan disetor/dibayarkan oleh perusahaan langsung ke kas negara, sehingga secara finansial pemerintah pusat yang banyak diuntungkan.

Fakta lain menunjukan kehadiran investasi perkebunan sawit telah merampas tanah, hutan dan ruang hidup masyarakat adat Papua. Kehidupan secara ekonomi tidak berubah namun mereka harus merasakan pahit hilangnya tanah dan hutan tempat praktek kearifan hidup dan budaya.

Ketika masyarakat adat bangkit menuntut perusahaan atas hak-haknya yang dilanggar dalam perjanjian, mereka akan berhadapan dengan kekuasaan negara (pemerintah) dan alat negara (TNI/Polri). Hal ini terjadi karena kehadiran investasi berbasis lahan sering tidak transparan dalam proses perizinan. Proses penerbitan izin-izin industri berbasis lahan seperti pertambangan, perkebunan sawit dan kehutanan seringkali diputuskan di ‘ruang gelap’ tanpa melalui proses permintaan persetujuan/penolakan tanpa paksaan (PADIATAPA) atau Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) terutama masyarakat adat di lokasi industri itu beroperasi. Hal ini mengakibatkan konflik antara perusahaan dengan masyarakat adat/lokal.

Izin-izin yang akan ataupun sudah diterbitkan juga tidak pernah dipublikasikan pemerintah, baik di situs resmi Organisasi Perangkat Daerah (OPD) maupun di media lainnya. Ketika publik hendak mengakses data-data perizinan tersebut, OPD sangat tertutup dan tidak bersedia membuka data. Dalam 2 tahun terakhir sering terjadi sengketa informasi antara masyarakat dengan OPD yang berakhir pada putusan sidang Komisi Informasi.

Buruknya Tata Kelola Kehutanan dan Transparansi di Papua

LBH Papua bersengketa informasi dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Papua terkait tidak diberikannya dokumen HGU perkebunan sawit di provinsi Papua yang diminta LBH Papua. Setelah beberapa kali sidang di Komisi Informasi Provinsi (KIP) Papua, LBH Papua memenangkan sengketa dan KIP Papua memerintahkan BPN untuk membuka seluruh dokumen HGU yang diminta LBH Papua pada 29 Mei 2018.

Tidak transparannya izin-izin pertambangan, perkebunan sawit dan kehutanan ini merupakan salah satu alasan pentingnya membangun sistem transparansi perizinan di Tanah Papua. Sekalipun tidak ada data resmi yang dipublikasikan pemerintah terkait berapa banyak konflik tenurial di Tanah Papua, namun di beberapa tempat konflik tersebut terjadi. Di Kabupaten Keerom misalnya, terjadi konflik tenurial seluas 1.300 hektar di tiga lokasi antara masyarakat adat suku Merap dengan perusahaan sawit PTPN II. Contoh lain di Kabupaten Nabire dimana masyarakat suku Yerisiam Gua menggugat PT. Nabire Baru ke PTUN akibat perampasan tanah adat mereka yang ditanami menjadi perkebunan sawit.

IUPHHK-HTI juga tidak bebas dari konflik dengan masyarakat. PT. Medco Papua Industri Lestari di Merauke yang beroperasi sejak tahun 2007 berkonflik dengan masyarakat di Distrik Kaptel Kabupaten Merauke akibat dari penolakan tuntutan ganti rugi lahan seluas 2.800 hektar. Masih banyak contoh-contoh lainnya yang bisa dituliskan disini, namun konflik-konflik tersebut menegaskan bahwa  izin-izin yang penerbitannya bermasalah perlu dikaji ulang.

Saat ini di tanah Papua beroperasi 75 usaha perkebunan sawit di provinsi Papua dan 18 usaha perkebunan sawit di provinsi Papua Barat dengan total lahan mencapai 3 juta hektar. Kita tidak ingin bicara tentang prosedur perizinan ataupun kompensasi yang diterima oleh masyarakat adat selaku pemilik hak ulayat. Karena perusahaan selalu menjadikan itu sebagai tameng bahwa seluruh persyaratan perizinan telah terpenuhi, termasuk alasan masyarakat adat telah menerima ganti rugi atau tali asih. Kita ingin bicara tentang pembangunan berkelanjutan, hilangnya hak atas tanah, terputusnya akses terhadap hutan dan gambaran masa depan yang suram dan konflik antar masyarakat adat Papua. Sistem investasi yang tidak berpihak pada masyarakat adat sehingga mereka terpaksa melepaskan tanah dan hutannya untuk dijadikan areal perkebunan sawit.



Policy Brief Pt.PPMA Papua : Pengakuan Adalah Keadilan Bagi MHA di Kab. Jayapura, September 2018

Kertas Kebijakan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Tata Ruang Papua : Menyelamatkan Hutan dan Masyarakat Adat di Tanah Papua, Oktober 2018

Jurnal Wacana, No.33 Tahun 2014.


Hutan Indonesia dirusak secara sistematis dan terorganisir oleh para pejabat dan investor nakal. Aksi mafia kehutanan ini terorganisir dan terjadi di seluruh Indonesia.

Praktek korupsi di sektor kehutanan terjadi di seluruh Indonesia. Praktek ini tidak hanya illegal logging, tapi juga korupsi perizinan yang mengakibatkan hilangnya hutan (deforestasi). Deforestasi terjadi terutama karena praktek konversi dan alih fungsi kawasan hutan yang melanggar aturan (illegal). Konversi dilakukan dengan merubah hutan menjadi perkebunan dan pertambangan. Di Kalimantan Tengah, 7,8 juta hektar hutan telah berubah menjadi perkebunan sawit, areal tambang, dan bentang alam lainnya yang bukan hutan (Laporan Tim Terpadu Revisi RTRWP Kalteng, 2009).

Bappeda Propinsi Lampung menyebutkan bahwa lebih dari 80 persen hutan lindung, 67,5 persen hutan produksi terbatas, dan 76 persen hutan produksi di propinsi tersebut telah rusak pada tahun 2007 (www.koran-jakarta.com). Secara keseluruhan, deforestasi terjadi seluas 1.08 juta ha per tahun di Indonesia (Dephut, 2007). Selain perubahan hutan menjadi perkebunan dan pertambangan, ada juga alokasi hutan gambut menjadi hutan produksi (HP) yang memberikan dampakekologis yang luar biasa. Pemberian izin HTI kepada PT RAPP (RGM group) yang berada di hutan rawa gambut semenanjung Kampar jelas dilakukan dengan praktek pengeluaran izin yang tidak prosedural.

Dampak dan kerugian akibat perusakan hutan sungguh luar biasa. Illegal logging mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 30 triliun per tahun (data Dephut). Kerugian negara akibat korupsi perizinan Azmun Jafar, mantan Bupati Pelalawan Propinsi Riau, mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 1,2 trilyun. Praktek korupsi Surya Dumai Group dalam konversi hutan di Kalimantan Timur merugikan negara sebesar Rp 346,823 milyar.

Banjir, kekeringan, dan bencara ekologis semakin kerap melanda daerah-daerah di Indonesia. Konversi hutan ini pun mengakibatkan hilangnya sumber mata pencaharian 48,8 juta penduduk yang tinggal di sekitar hutan Indonesia (Dephut,2004).

Terdapat sejumlah permasalahan penerapan hukum dan kebijakan yang mengakibatkan praktek kejahatan kehutanan – alih fungsi hutan masih tetap berlangsung:
1. Daya penegakan kebijakan masih lemah (hukum dan penegak hukum)
2. Lemahnya Komitmen Pemerintah dan Pengusaha
3. Ketimpangan kepentingan dalam penerapan kebijakan
4. Kepentingan Pemerintah atas Kebijakan Pelepasan Kawasan Hutan untuk Pengembangan Perkebunan Besar
5. Dominasi Kepentingan Pengusaha atas Penerapan Kebijakan PelepasanKawasan Hutan

Selain itu juga muncul tumpang tindih otoritas dan konversi hutan. Hal ini dibuktikan dengan tidak harmonis dan tidak sinkronnya hukum dan kebijakan. Disharmonis kebijakan perundang-undangan (perkebunan, kehutanan, Lingkungan, Tata Ruang, Otonomi Daerah) menghasilkan tumpang tindih otoritas.Sehingga pemerintah sulit untuk melakukan perlindungan, perencanaan, Pengelolaan, pengawasan, penegakanhukum dan Pemulihan.

Euforia otonomi daerah mengakibatkan pemerintah daerah kebablasan mengeluarkan izin-izin perkebunan dan pertambangan. Data Save Our Borneo dan Silvagama menunjukkan adanya pelanggaran izin perkebunan dan atau pertambangan yang dikeluarkan oleh seluruh Bupati di Kalimantan Tengah. Bahkan di konsesi HPH Austral Byna di Barito Utara, Kalimantan Tengah juga diberikan 23 izin usaha perkebunan dan 47 kuasa pertambangan oleh Bupati setempat. Di Riau, 4 bupati mengeluarkan 37 izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman (dulu bernama HTI) yang melanggar ketentuan.

Seakan tak mau ketinggalan menabrak aturan, Menteri Kehutanan melegalkan izin yang telah dikeluarkan oleh Bupati tersebut termasuk memberikan dispensasi terhadap perusahaan di Riau tanpa melalui proses verifikasi yang dipersyaratkan dalam aturannya. Kasus lain, Menteri Kehutanan juga ikut melegalisasi perusakan hutan dengan menerbitkan izin hutan kemasyarakatan (HKm) seluas 12.000 hektar dalam hutan lindung di Kabupaten Tanggamus, Lampung.

Paparan di atas menunjukkan bahwa komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi sebesar 26% yang diyakini berperan penting dalam menurunkan suhu bumi, telah di khianati setidaknya oleh Kementerian Kehutanan dan Kementerian ESDM . Terbukti, hingga 100 hari pertama periode SBY – Boediono, tidak ada satu pun perusahaan perusak hutan yang ditindak secara hukum. Padahal, sebagai negara peng-emisi (emiten) ke-3 terbesar di dunia, emisi tersebut berasal dari praktek konversi lahan baik hutan alam maupun hutan rawa gambut untuk kepentingan investasi.

Pada sisi lain disinyalir Kuat, bahwa lemahnya penerapan dan penegakan hukum erat kaitannya dengan pungutan liar (Korupsi). Data Sawit Watch menyebutkan bahwa biaya penerbitan izin lokasiuntuk setiap hektarnya sebesar Rp. 500.000- Rp. 1 juta/ha (rata-rata Rp. 750 jt untuk izin lokasi seluas 1.000 ha). Bahkan dalam temuan lain, untuk menerbitkan izin lokasi seluas 1.000 ha berbiaya sampai Rp. 3 Milyar.

Fakta lain, aparat penegak hukum yang lebih berpihak ke Perusahaan perkebunan sawit dalam menindak lanjuti laporan pengaduan. Kepolisian lebih melayani laporan Perusahaan sawit. Keberpihakanyang sama juga di perpraktekan oleh pengadilan yang dicerminkan melalui putusan-putusannya. Bahkan Laporan pemerintah atas kejahatan perusahaanpun dikalahkan oleh pengadilan. Selain aparat penegak hukum, aparatur negara yang lain juga terbukti melanggengakan pelanggaran yang ada. Ini dapat di buktikan salah satunya dengan ketelibatan oknum pegawai Badan Pertanahan Nasional yang merangkap sebagai Karyawan Perusahaan .

Oleh karena itu, tidak ada pilihan selain menindak tegas master mind mafia kehutanan, yang diduga terdiri dari: Korporasi, pejabat yang mengeluarkan izin tingkat nasional dan daerah yang melakukan pensiasatan hukum untuk meloloskan izin/konsensi hutan tertentu, atau aktor penegak hukum yang bermain dengan koorporasi dan pejabat negara/daerah.

PPNS Dephut, Polisi, dan Kejaksaan terbukti gagal menangkap para dalang terorganisir (masterminds) perusakan hutan Indonesia. PPATK pun sama saja. Karenanya, KPK menjadi harapan terakhir.

Perusakan hutan Indonesia berlangsung secara sistematis, massif, dan terorganisir. Illegal logging dikendalikan oleh para penjahat kelas kakap dan antarnegara (trans-national crime). Perusakan yang lebih parah terjadi oleh konversi hutan illegal yang digerakkan oleh para investor nakal dengan dibantu para pejabat. Konversi ini dilakukan dengan merubah hutan menjadi perkebunan dan pertambangan.

Konversi illegal ini terjadi di seluruh propinsi di Indonesia. Di Kalimantan Tengah, 7,8 juta hektar hutan telah berubah menjadi kebun sawit, areal tambang, dan bentang alam lainnya yang bukan hutan (Laporan Tim Terpadu Revisi RTRWP Kalteng, 2009). Di propinsi ini, seluruh bupati terdata memfasilitasi perusakan hutan oleh perusahaan-perusahaan jahat perusak hutan dengan menerbitkan ijin usaha perkebunan dan atau kuasa pertambangan.

Balai Pemantapan Kawasan Hutan Departemen Kehutanan menyebutkan bahwa dalam 6 tahun terakhir 5,8 juta hektar hutan Papua rusak (www.bpkhpapua.org). Bahkan, diperkirakan hutan Papua akan habis pada tahun 2020.

Ironisnya, para dalang (masterminds) perusakan hutan tersebut kebal hukum. Dalang ini terdiri atas pengusaha-pengusaha besar yang ber-kongkalikong dengan para pejabat penerbit ijin dan penegak hukum. Hal inilah yang mengakibatkan sejarah penegakan hukum pelestarian hutan sama dengan riwayat panjang kegagalan.

Abdul Rasyid yang pernah merajalela merusak Taman Nasional Tanjung Puting bahkan tidak pernah menjadi tersangka polisi. Ali Jambi melenggang bebas di Singapura (EIA/Telapak, 2007). Komisaris Polisi MR yang menerima milyaran rupiah dari pengusaha yang diduga pelaku illegal logging divonis bebas pengadilan karena pembuktian jaksa yang lemah. Bahkan, putusan yang menusuk rasa keadilan publik ini menjadi semakin kukuh hanya karena jaksa terlambat mengajukan banding.

Investor perkebunan dan pertambangan perusak hutan skala besar pun sama merajalela. Pejabat Penyidik Departemen Kehutanan (PPNS Dephut) sama sekali tidak pernah mengajukan perusahaan pengkonversi hutan illegal ke persidangan. Kasus yang terkait dengan PT. RAPP di Riau hingga kini tidak jelas penangangannya. Bahkan, dugaan pembalakan liar perusahaan ini justru di-SP3 oleh polisi. Demikian juga dengan pelanggaran RKT oleh HPH Austral Byna di Kalimantan Tengah pun tidak pernah disidik sama sekali.

Pencaplokan wilayah HPH oleh PT. Antang Ganda Utama (MAKIN Group) di Kalimantan Tengah tidak diusut sama sekali. Puluhan ijin pertambangan yang dikeluarkan Bupati Barito Utara di atas lahan konsesi HPH Austral Byna pun bebas melenggang.

Sementara itu, kerap disebut bahwa para perusak hutan ini akan bisa disidik dengan menggunakan undang-undang anti pencucian uang yang telah mencantumkan kejahatan kehutanan sebagai salah satu kejahatan asal (proceeds of crime) pencucian uang. Akan tetapi, hingga saat ini tidak satu pun perusak hutan yang dihukum dengan menggunakan undang-undang ini. Malah, polisi justru dengan sengaja memisahkan penggunaan pasal ini saat menyidik Adelin Lis yang merusak hutan secara massif di Sumatera Utara.

Maka, kini harapan satu-satunya yang bisa mendobrak keleluasaan para masterminds perusak hutan tinggal KPK. Menggunakan undang-undang tindak pidana korupsi dengan sendirinya memungkinkan menghukum sekaligus pejabat, investor, dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam perusakan hutan. Inilah yang sudah dibuktikan KPK dengan menindak Surya Dumai Group di Kalimantan Timur yang berdalih membangun perkebunan sawit untuk menghabiskan kayu di lahan konsesi illegalnya. Dalam kasus ini, Gubernur Kalimantan Timur Suwarna AF juga menjadi pihak yang turut bertanggung jawab. Hal sama juga dilakukan KPK saat menyidik Azmun Jafar, mantan Bupati Pelalawan, Riau yang juga menyeret para investor yang terlibat.

Selain itu, pengembalian kerugian negara dari korupsi sektor kehutanan pun sangat signifikan. Hingga saat ini, pengembalian kerugian negara yang terbesar oleh KPK adalah dari sektor kehutanan, yakni Azmun Jafar, cs yang harus mengembalikan Rp 1,2 trilyun, dan Surya Dumai Group yang harus mengembalikan Rp 346,823 milyar.
Semakin maraknya perusakan hutan dan tetap berlanjutnya bisnis militer dalam iklim impunitas yang berlaku di Indonesia adalah penyebab meningkatnya perkiraan pelanggaran HAM di Papua Barat. Hal ini terkait dengan aktivitas industri penebangan kayu di tempat itu.

Pada bulan Juli 2002, ELSHAM (lembaga hak asasi manusia di Papua Barat) melaporkan terjadinya serangkaian tindak pelanggaran HAM yang dilakukan anggota pasukan keamanan Indonesia yang ditugaskan di beberapa kecamatan di Jayapura. Pelanggaran tersebut terjadi dalam rentang waktu antara bulan Februari dan Juni 2002. Laporan itu mencatat sejumlah kasus dimana orang-orang Papua dipaksa menyerahkan kayu-kayu tebangan kepada pihak militer. Mereka diancam dengan senjata, dipukuli, dan dalam satu kasus, dipaksa merangkak dan memakan tanah.

Para pelaku pelanggaran adalah anggota pasukan khusus, Kopassus, dan anggota Batalion Infantri 126 Bukit Barisan. ELSHAM juga mencantumkan nama-nama sebelas korban perkosaan yang usianya berkisar antara 15 dan 28 tahun. Disebutkan juga bahwa pasukan yang ditugaskan di desa Yetti meracuni sungai penduduk dengan menggunakan bahan kimia beracun untuk menangkap ikan. Di Arso, batalion Infantri 126 Bukit Barisan yang ditugaskan di wilayah tersebut sejak Oktober 2001 terlibat dalam suatu bisnis rahasia penebangan kayu. Dengan menggunakan truk-truk sipil dan militer, mereka mengangkut kayu curian ke kota.

Dalam peristiwa yang terjadi pada bulan Juni lalu, dikabarkan anggota Kopassus telah menghentikan truk yang membawa kayu milik Pendeta Augustinus Jibu Franz, ketua yayasan setempat. Tujuannya adalah merampas kayu yang sedang diangkut. Dalam aksinya, pasukan itu menggunakan kendaraan mobil milik perusahaan penebangan Bumi Iriana Perkasa. Dalam perkara itu, "seorang anggota Kopassus menodongkan pistolnya kepada Pendeta, sementara yang lainnya berusaha mencegah penembakan." Pasukan Kopassus kemudian meminta bantuan polisi untuk mencegah truk itu sampai ke kota (Laporan ELSHAM. Army's Tainted Logging Business in Papua, melalui email 21/Juli/02)

Uraian di atas adalah contoh terbaru tentang sejarah panjang penuh kekerasan praktek penjarahan negara di Papua Barat terhadap kekayaan mineral, kayu, tanah dan sumber daya laut milik orang-orang Papua. Kekayaan tersebut dieksploitasi secara sistematik, baik oleh perusahaan-perusahaan Indonesia maupun milik asing selama lebih dari tiga dekade berselang. Sampai sekarang, pendapatan yang dihasilkan mengalir ke Jakarta. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya gerakan perlawanan mendalam di Papua Barat dan dorongan perkembangan gerakan kemerdekaan. Jelas sekali bahwa pihak militer dan kepolisian Indonesia memainkan peran kunci dalam proses ini: baik dengan cara kekerasan yang melanggengkan perampasan hak milik tanah orang-orang Papua pribumi untuk kepentingan perusahaan komersial di luar Papua juga dengan membentuk bisnis patungan yang mengeksploitasi kekayaan alam Papua. Peluang-peluang yang menguntungkan itu menjadi latar belakang kuat yang mendorong militer menciptakan situasi konflik di Papua Barat. Tujuannya adalah pembenaran atas kehadiran mereka di tempat itu. Laporan terbaru oleh International Crisis Group (ICG) yang mengekplorasi sumber daya dan konflik di Papua menjelaskannya sebagai berikut:

"..Indonesia tidak memberikan dana anggaran yang cukup untuk keperluan militer dan kepolisian. Akibatnya kedua lembaga tersebut mencari pendapatannya sendiri melalui pemerasan dan kejahatan lainnya, termasuk penebangan kayu ilegal dan pertambangan. Keterlibatan dengan pencari-rente dan ilegalitas adalah sangat berbahaya karena hal itu memberikan pihak keamanan landasan kepentingan dalam konflik serta, seperti yang dikemukakan beberapa pihak, menjadi alasan membiarkan berlangsungnya konflik-konflik .." (Indonesia: Resources and Conflict in Papua, ICG, p.29)

Negara hanya menyediakan sekitar 25%-30% anggaran militer. Sisanya didapat melalui "aktivitas ekstra anggaran." Termasuk dalam kategori ini adalah perampokan (seperti yang diuraikan dalam laporan ELSHAM) dan penghasilan yang didapat sebagai penjaga keamanan usaha pertambangan, minyak dan usaha penebangan kayu. Di Papua Barat, pihak keamanan juga terlibat dalam perdagangan ilegal hewan-hewan liar yang dilindungi.

Menurut seorang tentara yang pernyataannya dikutip dalam laporan ELSHAM, setiap orang hanya mendapat jatah Rp. 7.000 setiap hari. Oleh karena itu, atasan mereka di Papua mengijinkan mereka terlibat dalam perdagangan dan penebangan kayu untuk mencukupi kekurangan biaya hidup mereka. Khususnya di Papua, mereka juga mendapatkan uang secara illegal dengan menerapkan 'uang jalan' yang bekisar antara Rp. 10.000 sampai Rp. 50.000 atas kayu yang diangkut oleh perusahaan kayu dan orang-orang setempat sepanjang pos-pos penjagaan.

Dalam kegiatan bisnisnya, pihak militer mendapatkan keuntungan dari penebangan kayu melalui penanaman modal campuran - yang sebagian besar dilakukan melalui jaringan yayasan. Pihak militer Indonesia memiliki kepentingan di sekitar 250 perusahaan yang bergerak secara nasional dalam kegiatan usaha tanpa aturan dan tidak transparan. Di Papua Barat, Yayasan pasukan elit Kopassus memiliki sebagian saham PT Hanurata, yang beroperasi di sebelah selatan ibukota, Jayapura.

Para perwira militer juga dilaporkan menjadi pemegang saham di salah satu perusahaan penebangan kayu terbesar di Indonesia - yaitu kelompok Jayanti (Lihat box di bawah). Disamping itu, terdapat pula hubungan kuat dengan kelompok politik lama: baik Jayanti dan Hanurata adalah perusahaan-perusahaan yang dimiliki keluarga Suharto. ICG melaporkan bahwa pihak militer terlibat dalam kegiatan pembangunan jalan yang menghubungkan tempat-tempat penebangan. Dengan ini, mereka mendapat imbalan dengan mengijinkan perusahaan konstruksi menjual kayu dari pohon-pohon yang ditebang selama proses pembangunan jalan. Ada dugaan bahwa komandan militer di Sorong ternyata menjalankan usaha penggergajian kayu di sebuah pulau lepas pantai barat Papua.

Persoalan yang lebih rumit juga muncul dalam hal ini. Terdapat suatu jalinan hubungan rumit antara penebangan kayu dan organisasi pro-kemerdekaan di Papua, yaitu Presidium Dewan Papua. Media massa menyebutkan laporannya tentang hubungan finansial antara PT Hanurata dan Jayanti dengan Theys Eluay, pimpinan PDP yang dibunuh tahun lalu dan para perwira Kopassus diyakini sebagai pihak yang membunuh Theys. Meskipun demikian, ada pula anggapan banyak orang yang mengatakan kaitan antara pembunuhan dengan persoalan penebangan kayu sebagai upaya untuk mengalihkan perhatian atas kecurigaan dasar bahwa kasus pembunuhan Theys adalah pembunuhan politik dan bagian seksama penyingkiran tokoh utama Papua yang menentang kekuasaan Jakarta.


Kekerasan dan Intimidasi:

Kasus-Kasus Mutakhir Yang Melibatkan Perusahaan-Perusahaan Kayu

PT Darma Mukti Persada: Perusahaan ini beroperasi di kecamatan Wasior, Kabupaten Manokwari. Sejak lama ia telah bersengketa dengan penduduk lokal yang menuntut kompensasi yang adil bagi mereka. Pada bulan Maret 2001, sekelompok orang bersenjata menembak mati tiga orang staf mereka di wilayah penebangan kayu perusahaan tersebut. Para anggota Brimob, yang terkenal dengan tindakannya yang brutal, dan pasukan angkatan darat menuduh sayap bersenjata organisasi kemerdekaan, OPM, sebagai pihak yang bertanggungjawab. Mereka kemudian melancarkan operasi memburu para pembunuh. Hasilnya adalah serangkaian pembunuhan balasan, penangkapan dan penyiksaan terhadap penduduk serta pembakaran rumah-rumah di desa setempat. Sementara itu, organisasi pembela HAM dan pihak gereja tidak diperbolehkan untuk memasuki wilayah tersebut. Pada bulan Juni 2001, lima anggota Brimob dibunuh oleh orang-orang bersenjata. Pasukan Brimob tersebut ditempatkan di desa Wondiboi di base-camp perusahaan penebangan kayu lainnya. Dalam laporan lain, disebutkan bahwa nama perusahaan tersebut adalah PT Prima Jaya Sukses Lestari dan Vatika Papuana Perkasa. Peristiwa itu berakibat dilakukannya operasi Brimob/Tentara yang menteror seluruh wilayah tersebut selama berbulan-bulan. Baru-baru ini Amnesty International telah mengeluarkan laporan tentang peristiwa yang berkaitan dengan masalah ini. Untuk lebih jelas, lihat www.amnesty.org.

Jayanti: perusahaan-perusahaan penebangan kayu milik perusahaan konglomerat ini beroperasi di wilayah Teluk Bintuni. Mereka terlibat dalam serangkaian kasus intimidasi terhadap penduduk di sekitar wilayah penebangan. Laporan ICG mengatakan bahwa penduduk desa di Tofoi telah menjadi korban intimidasi anggota-anggota Brimob yang ditempatkan di base-camp Jayanti. Perusahaan itu adalah pemegang HPH seluas 420.000, termasuk di dalamnya 100.000 hektar lahan yang siap ditanam untuk dijadikan kebun kelapa sawit. Menurut Far Eastern Economic Review, Jayanti membayar 20 anggota polisi dari detasemen yang ditugaskan disana, "untuk memaksa pengambilan lahan dari penduduk lokal." Jayanti juga mengoperasikan perusahaan perikanan dan perkebunan di Papua Barat. Termasuk di antara para pemegang saham perusahaan ini adalah keponakan Suharto, Sudwikatmono dan beberapa mantan pejabat dan perwira tinggi militer. Kelompok ini sekarang mengalami kesulitan keuangan yang parah (lihat Forests, People and Rights, Debt and the forestry industry, hal. 33) dan belum lama ini, bupati Fakfak menuduh perusahaan itu telah melakukan penebangan ilegal diluar wilayah HPH mereka. (FEER 27/Dec/01; ICG Sep/02 dan sumber lainnya).

PT Wapoga Mutiara Timber: anggota Kopassus yang ditugaskan menjaga perusahaan penebangan kayu ini menembak mati seorang perempuan di kantor perusahaan itu dalam suatu sengketa antara perusahaan dengan seorang pria lokal bernama Martinus Maware. Menurut ELSHAM, Maware ditembak dibagian kakinya dan segera dilarikan ke rumah sakit. Sedangkan perempuan yang bernama Lesi Iba, yang bekerja sebagai bendahara perusahaan itu, ditembak di bagian mulut dan tewas seketika di Bongko, sekitar 130 kilometer dari Jayapura barat. (AFP 22/Jan/02)



Boom Kayu - 14 tahun lagi?

Papua Barat masih memiliki wilayah hutan yang luas - yang diperhitungkan meliputi lahan seluas 33 juta hektar pada tahun 1997 - atau lebih dari tiga perempat wilayah permukaan tanah. Saat ini terdapat 53 pemegang HPH skala besar di Papua Barat, yang menguasai lahan seluas 11 dan 13 juta hektar, ditambah ratusan HPH skala kecil yang dikeluarkan sejak tahun 1998.*

Kebanyakan HPH besar diberikan kepada kelompok bisnis dan militer yang memiliki hubungan dengan era Suharto. Tetapi, sulitnya akses ke wilayah tersebut, selain juga fakta bahwa kayu-kayu di wilayah ini kurang memiliki nilai komersial menyebabkan penebangan berjalan lebih lambat dibandingkan di Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi. Beberapa perusahaan juga berhadapan dengan perlawanan para pemilik tanah pribumi. Akibatnya, meskipun terdapat insentif pajak tambahan untuk mendorong kegiatan penebangan di Papua Barat, tingkat penggundulan hutan masih lebih rendah dibandingkan wilayah-wilayah lain yang kaya dengan kayu.

Antara tahun 1985 dan 1997, luas hutan di Papua telah berkurang sekitar 1,8 juta hektar dibandingkan Kalimantan (10 juta hektar) dan Sumatra (6,5 juta hektar). Tahun lalu, harian Kompas melaporkan bahwa 45 dari 54 pemegang HPH aktif, masing-masing menebang sekitar 25.000 meter kubik kayu setiap tahunnya. Jumlah ini mencapai 22% dari target penebangan (angka ini tidak termasuk penebangan pohon yang dilakukan secara ilegal). Produksi kayu tebangan dari Papua Barat antara 1995-2000 adalah 1,7 juta meter kubik setiap tahunnya, atau 37% dari target sebanyak 4,5 juta kubik setiap tahun. Kebanyakan kayu tebangan dikirim ke pulau lain untuk diolah. Dengan demikian, dibandingkan wilayah lainnya, perkembangan usaha perkayuan tidak terlalu menonjol dan perkembangan perkebunan berjalan lebih lambat.

Namun, sekarang ini Papua Barat tengah mengalami boom penebangan kayu. Penyebabnya sebagian besar juga dikarenakan kelangkaan kayu yang dihasilkan dari pulau lain. Bank Dunia pada tahun 1999 memperkirakan bahwa hutan-hutan komersial di dataran rendah Sumatra dan Kalimantan akan terkuras habis dalam waktu lima sampai sepuluh tahun. Tiga tahun berikutnya, pengalihan penebangan ke wilayah timur seakan-akan menjadi proses yang tak terhindarkan. ICG melaporkan bahwa perusahaan-perusahaan yang menebang kayu di Kalimantan sekarang ini mulai terlihat di Papua Barat. Fokus wilayah boom bisnis perkayuaan terjadi di wilayah Kepala Burung, sebelah barat Papua, seiring meningkatnya pesanan importir kayu asal Malaysia dan Cina. Kamar-kamar hotel di pelabuhan Sorong dikabarkan banyak dipesan orang-orang asing, para importir kayu, sebagai bagian dari bisnis perkayuan yang mereka jalankan. Jenis kayu merbau (Intsia bijuga) -sejenis kayu besi- merupakan komoditi yang paling dicari: ini adalah kayu yang juga ditebang di pulau lainnya.

Perusahaan-perusahaan kayu Asia tidak hanya membeli sejumlah besar kayu dari Papua Barat, tetapi juga terlibat dalam kegiatan eksploitasi. Tahun lalu, laporan yang beredar menyatakan bahwa perusahaan Korea telah membuat kesepakatan dengan pemerintah Papua untuk membiayai proyek jalan utama dengan menebangi lintas hutan sejauh 5 kilo meter di masing-masing tepi jalan. Perusahaan Korea lainnya, You Liem Sari, adalah satu diantara perusahaan milik asing yang telah lama memegang HPH di Papua Barat. Lainnya, Kodeco, dilaporkan menebangi hutan untuk perkebunan kelapa sawit di wilayah Mamberamo, di sebelah utara Papua.

Jika, andaikata ramalan kelompok lingkungan hidup WALHI benar, maka hutan yang luas di Papua hanya akan bisa bertahan selama 14 tahun dari sekarang. (Lihat WALHI, Moratorium mendukung industri yang efisien, Juli 2001.)

*Angka-angka berbeda menurut sumber. ICG menampilkan angka total wilayah HPH kayu sejumlah 13 juta hektar di tahun 2001, FWI/GFW 11,5 pada tahun 1998. Jumlah total lahan di Papua Barat sekitar 41 juta hektar.


Data-Data Hutan di Papua Barat

          Sumber
Tutupan Hutan (1997)    33,4 juta ha    (FWI/WRI 2002)*
Persentase luas hutan atas lahan    81%    (FWI/WRI 2002)
Wilayah yang termasuk HPH 2001        
(54 HPH)    13 juta ha    (ICG 2002)
Tingkat deforestasi (sampai 1997)    117.523 ha/year    (MI 7/Nov/01)
Konversi hutan    2,7 juta ha    (FWI/WRI 2002)
Area perkebunan yang disetujui    292.780    (FWI/WRI 2002)
Area yg. Dialokasikan Untuk perusahaan kayu HTI (10 perusahaan)    1,6 juta ha   
- area yang ditanami    0 ha    (FWI/WRI 2002)


The State of the Forest: Indonesia, Forest Watch Indonesia/ Global Forest Watch, 2002.

HPH Skala Kecil

Menambah deretan para pemegang HPH dalam boom penebangan kayu belakang ini adalah lahirnya usaha-usaha penebangan yang memegang ijin HPH skala kecil dengan sebutan IHPHH (Ijin Hak Pemungutan Hasil Hutan). Ratusan HPH ini telah dikeluarkan para bupati di Papua Barat atas dasar kebijakan desentralisasi pemerintahan. Sesuai dengan ketentuan, HPH seluas 100 hektar tersebut seharusnya dikelola oleh masyarakat lokal melalui koperasi (Kopermas). Tetapi dalam kenyataan praktek ini sering dimanipulasi, atau hak itu dibeli oleh para pengusaha kayu dengan bantuan pejabat-pejabat lokal. Karena tidak adanya pengawasan atau pemetaan yang akurat, sistem IHPHH ternyata pada akhirnya lebih merusak dibandingkan makna yang terkandung dalam istilah 'penebangan skala kecil.' Pemerintah pusat telah memerintahkan agar para bupati menghentikan penerbitan ijin tersebut. Namun nampaknya perintah itu diabaikan begitu saja. (Untuk informasi lebih lanjut tentang HPH skala kecil, lihat laporan khusus DTE Forests, People and Rights, hal. 31).

Menurut anggota DPRD Papua, Sam Rusoeboen, berbagai perusahaan memanipulasi kebijakan Kopermas dengan membayar orang menebang sebanyak mungkin kayu. Praktek ini menjadi sulit dicegah karena hampir semua pejabat lokal terlibat di dalam kegiatan ini.

Di wilayah Kepala Burung dan pulau Raja Ampat, kolusi antara pejabat-pejabat lokal, polisi/militer dan perusahaan-perusahaan kayu lokal - atau bisa disebut sebagai 'mafia kayu' Sorong-telah menyebabkan peningkatan tajam perusakan hutan. Hal ini terjadi bukan saja di wilayah-wilayah yang masuk dalam ijin HPH, tetapi juga termasuk wilayah hutan lindung atau hutan cadangan alam. Berdasarkan satu laporan, Bupati Sorong, John Piet Wanane, telah mengeluarkan IHPHH untuk wilayah cadangan alam di Pulau Raja Ampat. Terumbu karang yang terkenal di pulau itu dilaporkan merana hampir mati akibat erosi tanah yang disebabkan penebangan kayu.

Di beberapa wilayah lainnya, para transmigran dibayar oleh orang-orang kota untuk melakukan penebangan di sekitar lahan dekat tempat transmigrasi, baik secara ilegal maupun melalui koperasi. Hutan-hutan dekat wilayah transmigrasi, yang dihubungkan dengan jalan-jalan menuju kota, seringkali merupakan wilayah yang lebih mudah dimasuki dibandingkan hutan lainnya. Dengan demikian, pengangkutan kayu keluar wilayah akan menjadi lebih mudah. Proses ini kemungkinan akan menyebabkan ketegangan antara pemilik tanah tradisional Papua dan pemukim non-Papua.



Ekspor Ilegal
Merajalelanya korupsi di Sorong menyebabkan larangan ekspor kayu gelondongan yang ditetapkan oleh pemerintah Jakarta akhir Oktober lalu terus-menerus dilanggar. Dibawah tekanan cukong-cukong kayu, gubernur Papua, Jaap Salossa, dilaporkan telah mengeluarkan peraturan pada bulan Juli lalu yang memperbolehkan ekspor kayu merbau. Hal ini serta-merta menyebabkan menteri kehutanan Prakosa segera menghimbau gubernur untuk menarik peraturan yang dikeluarkannya. Sejak bulan Oktober tahun lalu, beberapa kapal yang mengangkut kayu ilegal dari Papua telah ditahan dekat Sorong dan kemudian dilepaskan lagi (dengan kayu tetap masih di atas kapal). Meskipun terdapat berbagai laporan tentang tuntutan hukum dalam waktu dekat, tak satupun kasus tersebut muncul di pengadilan. (Lihat bagian dibawah untuk kasus yang paling mutakhir).



Otonomi Khusus
Kemelut sekitar pelarangan ekspor mencerminkan pertarungan lama yang memiliki dimensi lebih luas antara pemerintah pusat dan wilayah-wilayah yang kaya dengan sumber daya alam. Hal ini mencirikan berlangsungnya proses desentralisasi di Indonesia secara keseluruhan. Paket 'Otonomi Khusus' yang berlaku secara efektif sejak tanggal 1 Januari tahun ini, memang menawarkan keuntungan lebih besar dibanding otonomi 'biasa' yang diberikan oleh pemerintah Indonesia. Dalam paket tersebut, pemerintah memberikan Papua Barat 70% dari royalti minyak dan gas (yang akan dikaji ulang kembali setelah 25 tahun berikutnya), 80% royalti pertambangan, hutan dan perikanan (lihat DTE 51), serta membentuk Majelis Rakyat Papua untuk melindungi hak-hak adat masyarakat Papua. Meskipun demikian, sesungguhnya kebijakan Otonomi Khusus sama sekali bukan berarti suatu pengalihan kekuasaan politik yang berarti bagi wilayah tersebut, dan juga bukan menjadi landasan terjadinya proses de-militerisasi. Sementara itu, pasukan keamanan terus melanjutkan tindakan-tindakan kekerasan terhadap oposisi politik Papua Barat dan para pembela HAM, dan melakukan 'aktivitas bisnis' tanpa terjangkau hukum (impunitas). Dalam kondisi seperti ini, nampaknya Otonomi Khusus sama sekali tidak memiliki pengaruh yang bisa meredam meluasnya gerakan kemerdekaan di Papua Barat.

Hak atas Tanah dan HAM
Hal yang penting dalam konflik tentang sumber daya di Papua Barat adalah fakta bahwa hak-hak adat orang Papua (dan kelompok masyarakat adat lainnya di Indonesia) terhadap wilayah hutan ditundukkan oleh kepentingan 'pembangunan' - yang dijalankan oleh perusahaan negara atau swasta seperti transmigrasi, penebangan kayu, pertambangan, perikanan komersial dan pengembangan perkebunan. Sudah menjadi kebiasaan bahwa komunitas-komunitas itu ditawari sejumlah ganti rugi dan dipaksa untuk melepas klaim mereka kepada pihak luar. Perusahaan-perusahaan ini kemudian membayar unit-unit militer dan Brimob untuk memaksa pendudukan tanah-tanah masyarakat adat. Orang-orang yang melawan akan dituduh sebagai anggota kelompok pro-kemerdekaan OPM dan menjadi sasaran penangkapan, dan/atau sasaran pelanggaran HAM, atau, biasanya, dibunuh.

Otonomi Khusus memang memberikan beberapa lingkup yang lebih luas bagi kontrol masyarakat adat terhadap tanah, namun draft pertama undang-undang yang dibuat oleh orang-orang Papua di Papua Barat diabaikan begitu saja di Jakarta sebelum sampai ke parlemen. Ada juga hal yang tidak biasa yaitu bahwa masyarakat-masyarakat itu menggunakan Otonomi Khusus yang menekankan tentang hak adat untuk berhadapan dengan perusahaan-perusahaan kayu: laporan The Australian menyebutkan bahwa bulan Januari tahun ini satu komunitas lokal berhasil memaksa PT Hanurata untuk menyerahkan kembali lahan hutan seluas 10.000 hektar dan sekarang ini mencoba untuk mendapatkan kembali seluruh lahan seluas 185.000 hektar. Meskipun demikian, dalam kondisi sekarang ini, tidak terdapat cukup ruang bagi masyarakat adat untuk mendapatkan kembali kontrol mereka atas tanah.

Untuk keterangan lengkap tentang perusahaan-perusahaan pemegang HPH di Papua Barat, lihat situs web kami dte.gn.apc.org/cihph.htm yang diedarkan oleh Forest Watch Indonesia, fwi-skrn@indo.net.id


ICG Merekomendasikan Moratorium Penebangan Kayu

Laporan ICG, Indonesia: Resources and Conflict in Papua, menunjukkan adanya hubungan kuat antara pengelolaan sumber daya alam, kepentingan keuangan dari pihak keamanan dan konflik yang terus berlanjut di Papua. Laporan itu menimbang dampak Otonomi Khusus, peran adat dan memberikan perhatian khusus terhadap industri penebangan kayu, tambang Freeport dan proyek gas Tangguh milik BP di Teluk Bintuni.

Laporan itu berangkat dari posisi bahwa "[p]erjuangan atas tanah dan hak-hak sumber daya alam adalah aspek kunci dari konflik di Papua, yang membuat negara Indonesia berhadapan dengan gerakan kemerdekaan yang didukung oleh sebagian besar penduduk pribumi." Laporan itu mengemukakan bahwa orang-orang Papua tidak serta merta menentang penebangan hutan atau eksploitasi sumber daya alam (SDA), tapi lebih mempersoalkan terhadap bagaimana SDA diperlakukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut.

Di antara beberapa rekomendasi yang dikeluarkan ICG adalah:

    Penghentian keterlibatan militer dalam pengelolaan sumber daya alam;
    Penghentian penebangan komersial hingga ada kebijakan kehutanan baru yang memberikan peran penting kepada lembaga-lembaga adat, tekanan pada keberlanjutan dan memasukkan kajian ulang mekanisme-mekanisme yang secara mendasar melibatkan masyarakat setempat;
    Pembentukan dewan untuk menilai semua proposal investasi dan menjamin bahwa proposal-proposal tersebut bertanggungjawab secara sosial dan lingkungan, serta memasukan konsultasi awal yang berarti dengan masyarakat yang akan mengalami dampak proyek-proyek ini;
    Penegakan yang sungguh terhadap larangan ekspor kayu gelondongan.

Laporan lengkap tersedia dalam format pdf di situs web ICG: www.crisisweb.org


Kasus-Kasus Terakhir Penebangan Liar atau Ekspor Ilegal dari Papua

    1 April 2000: Raja Ampat. Tim kepolisian daerah menyita sejumlah peralatan berat yang digunakan untuk menebang kayu didalam Hutan Alam Batanta di sebelah barat Pulau Batanta, kabupaten Sorong. PT. Maju Wahana Papua adalah salah satu dari perusahaan penebangan kayu di wilayah itu yang beroperasi tanpa memiliki ijin resmi untuk menggunakan perangkat atau memasuki wilayah hutan alam. (Eco Papua Alliance: ecopapua@sorong.wasantara.net.id)

    September 2001: para pemimpin lokal mengeluhkan bahwa para cukong kayu asing menggunakan perusahaan koperasi yang dijalankan oleh para istri pegawai negeri di Sorong sebagai tameng. Polisi menyita kapal, tetapi dilepaskan kembali bersama kayu muatannya. Sejak Oktober 2001, lima kapal pengangkut kayu disita oleh angkatan laut di lepas pantai Sorong. (ICG, 2002)
    Oktober 2001:Sekretaris Jendral APHI (Asosiasi Pengelola Hutan Indonesia) untuk Kalimantan Timur, Achmad Husry, mengatakan bahwa kayu merbau dari Papua Barat diselundupkan ke Malaysia dan Cina. (Kompas, 13/Okt/01)

    Oktober 2001: tiga kapal dengan bendera Malaysia, Thailand dan China berlabuh di Sorong. Kapal-kapal tersebut ditahan oleh polisi karena tidak memiliki dokumen-dokumen yang lengkap, tapi kemudian diijinkan untuk berlayar kembali. Menurut anggota DPRD Tk II, Rusoeboen, hal ini terjadi setiap bulannya. Polisi biasanya membuat alasan bahwa kapal-kapal itu kabur begitu saja. Rusoeboen menyerukan dikeluarkannya peraturan daerah yang melarang ekspor kayu gelondongan dari Papua Barat. (Kompas 1/Nov/01)

    November 2001:Batam, Propinsi Riau. Polisi pabean berhasil mendapat jejak sekitar 2.500 ton (350 kayu gelondongan) kayu merbau dari Papua di kapal yang berlabuh di Port Klang, Malaysia. Kayu tersebut diangkut dari Papua pada tanggal 29 Oktober dan dipesan oleh pengusaha kayu Malaysia bernama Mukhtar. Kapten kapal, Hamadi, mengatakan bahwa ia mendapat bayaran sebesar 3.000 ringgit (US$ 790) untuk mengangkut kayu tersebut. (Kompas 19/Nov/01)

    November 2001: PT Papuan Nabire Development Holding dan PT Prabu Alaska adalah dua dari sembilan perusahaan kayu yang mendapat dispensasi dari kementrian industri dan direktur jendral perdagangan internasional, Riyanto B. Yosokumoro, untuk mengekspor 15.000 meter kubik kayu melalui Sorong, padahal pada bulan Oktober 2001 larangan ekspor diterapkan. (Bisnis Indonesia 27/Nov/ 01; Jakarta Post 30/Nov/01)

    April 2002: Penduduk desa Kaliyam, Salawati utara, meminta LSM lokal, PEACE, untuk melakukan penyelidikan terhadap mafia penebangan kayu yang sedang mempersiapkan pengapalan lebih dari 5.000 meter kubik kayu merbau dari hutan cagar alam Salawati. PEACE menemukan bahwa dari uraian Mr. Ch. Y. WH., pedagang kayu dari Malaysia, bahwa kayu-kayu tersebut siap diangkut ke Malaysia. Ribuan gelondongan disimpan di tiga lokasi. Masalah ini dilaporkan kepada Dinas Kehutanan Kabupaten Sorong dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam setempat. (Sumber: Jujur Bicara, 28 Maret - 2 April 2002, diterjemahkan oleh PEACE)

    Awal 2002: empat kapal asing -MV Ever Wise, Afrika, Sukaria Bersama dan Asean Primer - ditangkap di perairan Sorong oleh angkatan laut Indonesia saat melakukan penyelundupan kayu dari Papua Barat. Pihak angkatan laut menyerahkan keempat kapal itu kepada polisi Sorong. Afrika segera dilepaskan setelah mereka membongkar muatan barangnya di Sorong. Tetapi belum jelas apa yang terjadi dengan kayu yang mereka angkut. Pada bulan April 2002, polisi Sorong melepaskan Ever Wise dan menyatakan bahwa kasus tersebut berada dalam wilayah yurisdiksi kepolisian Manokwari. Menyusul pelepasan dua kapal tersebut, departemen kehutanan melakukan pencarian terhadap kapal-kapal yang hilang, tapi mereka mendapatkan laporan bahwa kapal itu telah berlayar menuju Cina berkat bantuan polisi. Pada bulan Mei 2002, kepolisian Sorong juga melepaskan Sukaria Bersama berdasarkan bahwa pejabat kehutanan memerintahkan mereka menghentikan penyidikan terhadap kasus itu. DPRD Papua dilaporkan terkejut dan marah atas peristiwa tersebut. Mentri Kehutanan Prakosa menyerukan agar kasus itu diselidiki kembali (Majalah Tempo: Juni 11-17/02)

    Juni 2002: Jayapura. Kepala kantor kehutanan Jayawijaya, Ir. Yusuf Momot mengatakan sejumlah perusahaan pemegang HPH dicurigai dengan kuat melakukan penebangan di wilayah Taman Nasional Lorentz, yang merupakan Situs Warisan Dunia UNESCO. Pejabat tersebut mendapat berita dari masyarakat lokal bahwa perusahaan-perusahaan itu berbasis di Merauke, Timika dan Jayapura. (Antara 22/Jun/02 via www.westpapua.net)

    September 2002: ICG melaporkan bahwa Bupati Sorong, John Piet Wanane, dicurigai membuat klaim palsu bahwa masyarakat lokal menyetujui sejumlah ijin penebangan yang dikeluarkannya. Beberapa ijin itu kemudian dibatalkan oleh Gubernur Salossa. Meskipun demikian, Wanane kembali terpilih sebagai bupati pada awal 2002. (ICG, September 2002)

    September 2002: Pusat Informasi Kehutanan melaporkan bahwa 3.500 meter kubik kayu merbau dan 17 buah perangkat berat disita di desa Kalobo, kecamatan Samate, Sorong. Tiga orang dituduh secara ilegal membawa dan menggunakan peralatan tersebut, yaitu Ir. MI, direktur PT STKM, Sorong; dan HK serta RKS dari PT WTK, Sorong. (Pusat Informasi Kehutanan press release, 12/Sep/02)

(Laporan ini banyak mengambil sumber dari Indonesia: Resources and Conflict in Papua, ICG Asia Report No 39, Jakarta/Brussels, Sep/02. Sumber-sumber lainnya: ICG Indonesia: next steps in military reform, Oct/01; Forest Peoples Association 22/Mar/02 yang dapat dibaca di www.westpapua.net; Kompas 1/Nov/01, 4/Sep/01;Australian 31/Jan/02)


Pertemuan Solidaritas Papua Barat menyerukan penghentian kekerasan

Pertemuan Solidaritas Internasional Ketiga tentang Papua Barat, yang mengadakan pertemuannya di London pada bulan Oktober, menyerukan tekanan terhadap pemerintah Indonesia untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM oleh perusahaan-perusahaan transnasional, termasuk Freeport, Rio Tinto dan BP. Selain itu, diserukan juga agar pemerintah Indonesia menghentikan pemberian HPH di atas tanah adat milik masyarakat adat Papua.

Lebih dari 20 organisasi dari 15 negara mengikuti pertemuan yang diadakan di London pada bulan Oktober. Dalam pernyataan yang dikeluarkan, para peserta menegaskan dukungan mereka bagi penentuan nasib sendiri dan menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk mengadakan dialog damai dengan pemimpin Papua Barat, termasuk Dewan Presidium Papua, dan dimediasi oleh pihak ketiga. Pernyataan itu juga menyerukan dukungan bagi proposal yang menyatakan Papua Barat sebagai "Zona Damai", dan penarikan militer Indonesia dan polisi Brimob dari Papua Barat. Pertemuan itu juga menyerukan kepada negara-negara anggota PBB untuk meminta Sekjen PBB, Kofi Annan untuk mengkaji ulang keputusan PBB dalam kaitannya dengan Perpera ("Act Of Free Choice") tahun 1968-9 yang telah dideskreditkan dan menyatakan solidaritasnya dengan Solidaritas Nasional untuk Papua, yang berbasis di Jakarta. Pernyataan itu melontarkan keprihatinan terhadap upaya menjadikan pembela HAM sebagai sasaran dan menyerukan suatu kampanye untuk mengemukakan kekerasan terhadap perempuan Papua, termasuk perkosaan oleh pasukan keamanan dan tingkat kekerasan domestik yang tinggi.

(Statement, Third International Solidarity Meeting on West Papua, October 6, 2002 - salinan pernyataan tersebut dapat diperoleh melalui dte@gn.apc.org)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.