EVO MORALES DAN NASIONALISASI ASET

Januari 2002, seorang pribumi dikeluarkan dari parlemen Bolivia. 4 tahun kemudian, tepatnya Januari 2006, di gedung parlemen yang sama, orang tersebut diangkat menjadi Presiden Bolivia. Dia adalah Evo Morales.

Sejumlah pemimpin negara di Amerika Latin berani mengatakan "tidak" kepada kapitalisme global. Kebijakan mereka bisa menjadi sebuah pelajaran bagi Indonesia.

Indonesia adalah negeri dengan kekayaan alam yang melimpah. Begitu kayanya, kayu dan batu menjadi tanaman. Begitu ungkapan yang dilontarkan kelompok musik legendaris Koes Plus. Sayangnya, kekayaan yang dimiliki belum mampu menyejahterakan rakyat seperti yang diamanatkan dalam konstitusi Undang- Undang Dasar 1945.

Malah, kekayaan Indonesia lebih banyak dinikmati negara-negara lain yang mengantongi "izin konsumsi" (kontrak karya). Wajar jika kini muncul kerinduan pada sebagian besar masyarakat untuk memiliki pemimpin pemberani. Berani dalam mengambil kebijakan untuk kepentingan rakyat. Banyak contoh yang bisa disaksikan di belahan bumi lain mengenai sosok pemimpin pemberani yang memiliki integritas. Khususnya, keberanian untuk mengatakan "tidak" kepada kapitalisme global.
Sebut saja sejumlah pemimpin Amerika Latin seperti Fidel Castro (Kuba), Evo Morales (Bolivia), maupun Hugo Chavez (Venezuela). Castro misalnya, meski Kuba diembargo Amerika Serikat (AS) lebih dari 30 tahun, dirinya tetap tangguh melawan penindasan AS. Negeri Paman Sam itu sudah berganti 10 presiden sejak Castro berkuasa, tetapi selalu gagal menggulingkan El Comandante- begitu julukan Castro.

Kebijakan nasionalisasi aset-aset asing diterapkannya sebagai jawaban dari embargo perdagangan negeri adidaya itu. Hasilnya, negara cerutu ini menjadi mandiri. Buktinya hingga 2006 pertumbuhan ekonomi Kuba mencapai 7,5 persen. Tingkat pengangguran di negara ini bias dikatakan sangat rendah. Hanya 1,9 persen dari angkatan usia kerja.

Perekonomian Kuba lebih banyak ditopang dari industri gula. Sedikitnya, industri ini mampu menguasai 85 persen dari total ekspornya. Dengan kata lain, Kuba merupakan penghasil gula terbesar di dunia setelah Brasil. Kemandirian Kuba ini tidak lepas dari kebijakan politik ekonomi Castro.
Dia merupakan peletak dasar perekonomian Kuba. Sejak menjadi kepala negara pada 1959, Castro berupaya keras untuk melindungi aset-aset negaranya. Prinsip berdaulat 100 persen yang dia terapkan tidak hanya berlaku di bidang politik, tetapi juga ekonomi. Sejak menjadi orang nomor satu Kuba setelah menggulingkan rezim diktator Fulgencio Batista, Castro langsung melakukan nasionalisasi aset-aset perusahaan asing, terutama milik AS.

Salah satu langkah yang dikenal masyarakat luas, ketika 29 Juni-1 Juli 1960 dia mulai melakukan nasionalisasi kilang-kilang minyak milik Texaco, Esso, dan Shell, setelah perusahaan-perusahaan tersebut menolak dibeli pemerintahan Kuba. Langkah ini pun dibalas pemerintah AS dengan membatalkan pembelian 700.000 ton gula, seperti diperintahkan Presiden Eisenhower pada 6 Juli 1960.

Sebagai jawaban atas agresi ekonomi yang dilancarkan AS terhadap Kuba, pemerintahan revolusioner mendekritkan nasionalisasi perusahaan-perusahaan besar AS di Kuba pada 1961. Melihat keberanian Kuba di bawah kepemimpinan Castro, AS pun akhirnya melakukan embargo perdagangan terhadap Kuba. Di sektor ekonomi, kebijakan yang diambil Castro mampu mengangkat taraf perekonomian negaranya.

Berdasarkan data CIA World Factbook 2007, total PDB Kuba mencapai USD51,11 miliar, dengan tingkat pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 7 persen. Ini menunjukkan bahwa meskipun diembargo, kondisi perekonomian Kuba bisa dikatakan stabil. Hal ini bisa dilihat dari tingkat pengangguran yang hanya mencapai 1,9 persen dari total 4,853 juta angkatan kerja. Bahkan, dalam kebijakan sosial, Castro menerapkan pendidikan dan kesehatan gratis bagi rakyatnya.

Hasilnya, Kuba menjadi salah satu negara yang angka kesehatan penduduknya paling tinggi di dunia, sekaligus memiliki sekolah kedokteran yang termaju. Menemukan dokter di Kuba sama mudahnya seperti menemukan tukang rokok di Indonesia. Hampir ada di setiap tikungan. Ini juga karena kebijakan bidang kesehatan dan pendidikan yang menjadi hak gratis bagi seluruh warga negaranya. Contoh pemimpin berani lainnya diperlihatkan Hugo Chaves.

Di sektor ekonomi, baru-baru ini Chavez berani menasionalisasi sektor perbankan sebagai salah satu wujud sikap kritisnya terhadap kapitalisme. Salah satu bank terbesar asing di negaranya, Bank of Venezuela milik kelompok usaha Grupo Santander asal Spanyol, harus menghadapi kebijakan radikal Chavez. Melalui kebijakan semacam itu, Chavez mampu mengangkat perekonomian negaranya.
Menurut CIA World Fact Book 2007, tingkat pertumbuhan ekonomi Venezuela mencapai 8,8 persen dengan total PDB sebesar USD176,4 miliar. Pertumbuhan PDB lebih banyak disokong sektor jasa yang menyumbang 55,3 persen, sedangkan sektor industri 41 persen dan agrikultur 3,7 persen. Meski begitu, tingkat pengangguran di negara berpenduduk 26,6 juta jiwa ini masih terbilang tinggi.
Dari 12,5 juta angkatan kerja di Venezuela, 8,9 persen di antaranya masih termasuk kategori pengangguran. Otomatis realitas ini juga berpengaruh pada tingginya tingkat kemiskinan di Venezuela yang mencapai 37,9 persen. Pemimpin-pemimpin hebat tidak hanya terlahir di Amerika Latin. Pada periode 1981-2003, Malaysia pernah memiliki seorang pemimpin tangguh, yakni Mahathir Mohamad.

Kebijakan perdana menteri kelahiran 20 Desember 1925 yang paling terkenal, saat dia berani mematok nilai tukar dolar terhadap ringgit ketika krisis ekonom 1998. Perdana menteri keempat Malaysia ini lebih memilih menggunakan nilai tukar tetap dibandingkan menuruti International Monetary Fund (IMF) yang mengharapkan pembentukan nilai tukar diserahkan pada pasar.
Saat itu Mahathir menentukan nilai tukar mata uang negaranya berada di kisaran USD3,8 tiap ringgitnya. Langkah ini diambilnya untuk mengantisipasi anjloknya nilai tukar ringgit karena adanya spekulasi pasar. Lewat kebijakan tersebut, pemerintah Malaysia di bawah kepemimpinan Mahathir mampu lepas dari cengkeraman krisis lebih dulu dibandingkan negara ASEAN lainnya.

Selama 22 tahun mengabdi bagi negaranya, Mahathir telah memberikan kemajuan signifikan di bidang ekonomi. Hal ini terlihat dari PDB per kapita Malaysia USD14.400, yang menunjukkan tingginya kesejahteraan di Negeri Jiran. Laju pertumbuhan ekonomi di Malaysia juga tidak terlalu mengecewakan. Negeri yang berbatasan langsung dengan Indonesia ini mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi 5,7 persen pada 2007, dengan tingkat kemiskinan 5,1 persen.

Sementara angka pengangguran mampu ditekan menjadi 3,1 persen pada 2007 dari 10,91 juta penduduk usia kerja. Sebenarnya masih banyak lagi pemimpin dunia yang mampu menyejahterakan rakyatnya meskipun berada di bawah tekanan negara-negara maju. Selain nama-nama di atas, masih ada Mahmoud Ahmadinejad (Iran) dan Juan Evo Morales (Bolivia).

Kondisi ini jauh berbeda dengan Indonesia. Sosok-sosok pemimpin yang ada saat ini tidak mampu menjadi simbol "keberanian". Rasanya terlalu naif jika Indonesia harus menyewa seorang pemimpin asing layaknya sebuah klub sepak bola.

Inilah pertamakalinya Bolivia diperintah seorang Pribumi. Sebelumnya, jangankan boleh masuk ke pemerintahan, menginjak trotoar kota saja dilarang. Bahkan, ketika Evo Morales masih anak-anak, orang-orang asli Bolivia dilarang masuk ke kota. Ratusan tahun orang asli Bolivia tidak diakui di negerinya sendiri.

Dalam hal kekayaan alam, Bolivia nyaris punya segalanya: minyak, gas, emas, timah, hidrokarbon, dan lithium. Sayang, selama 400 tahun lebih kekayaan alam itu dikeruk tanpa henti oleh bangsa asing. Hingga, pada tahun 2002, terjadi protes atas kepemilikan asing terhadap gas Bolivia. Rezim neoliberal Bolivia menindas protes itu dan menyebabkan 60-an orang rakyat tewas.

Karenanya, begitu Evo Morales menjadi kandidat Presiden, salah satu janji kampanyenya adalah mengembalikan kedaulatan Bolivia atas kekayaan alamnya. Akhirnya, 1 Mei 2006, hanya tiga bulan setelah dilantik, Evo Morales mengeluarkan dekrit nasionalisasi perusahaan minyak dan migas.
Uniknya, nasionalisasi Bolivia berbeda dengan nasionalisasi pada umumnya. Di Bolivia, dekrit nasionalisasi tidak mengarah pada pengambil-alihan asset. Sebaliknya, pemerintah hanya menuntut pajak yang lebih tinggi, renegosiasi kontrak, dan pembangunan kembali perusahaan minyak dan gas negara.

Ketentuan baru mengharuskan kenaikan royalty 18% plus pajak 32%. Untuk gas alam, yang menghasilan 100 juta kaki kubik perhari, terjadi kenaikan pajak 32%. Selain itu, renegosiasi kontrak juga berlangsung terhadap 44 kontrak pertambangan. Proses renegosiasi hanya memakan waktu 6 bulan.

Di bawah aturan baru, perusahaan migas Bolivia, Yacimientos Petrolíferos Fiscales Bolivianos (YPFB), mulai diberi kepemilikan separuh saham di perusahaan-perusahaan asing. Memang, Bolivia tak sepenuhnya menendang keluar investor asing. Sebaliknya, Evo Morales bilang, “Bolivia menginginkan Mitra, bukan Tuan.”

Alhasil, langkah Evo Morales itu membawa berkah bagi rakyat Bolivia. Pendapatan migas Bolivia naik dari 173 juta dollar AS pada tahun 2002 (sebelum Evo Morales berkuasa) menjadi 1,57 milyar dollar AS pada tahun 2007. Sebagian besar keuntungan itu didistribusikan untuk pendidikan, kesehatan, penciptaan lapangan kerja, dan pembangunan infrastruktur.
Lebih dari separuh (60,6%) rakyat Bolivia hidup dalam kemiskinan. Setahun kemudian, Evo Morales telah menurunkannya hingga 48,5%. Kemiskinan ekstrem juga berkurang dari 38,2 persen menjadi 24,3 persen.

Evo Morales sudah melakukan empat kali nasionalisasi: nasionalisasi minyak dan gas tahun 2006; nasionalisasi perusahaan telekomunikasi tahun 2008; nasionalisasi pembangkit listrik tenaga air tahun 2010; dan nasionalisasi perusahaan listrik utama tahun 2012. Pemerintah Bolivia juga sudah mulai menasionalisasi perusahaan timah dan perak.

Kebijakan renegosiasi dan nasionalisasi Evo Morales berpijak pada empat pilar:
Pertama, memulihkan kontrol negara terhadap sumber daya alam. Ini menegaskan kontrol negara dalam segala aspek industri pertambangan: eksplorasi dan prospeksi, eksploitasi, ekstraksi, pemurnian, dan penjualan.

Kedua, menulis ulang hukum pertambangan. Sebelumnya, di bawah rezim neoliberal, Bolivia punya hukum pertambangan, tetapi sangat menguntungkan korporasi multinasional dan merugikan bangsa Bolivia sendiri.

Aspek utama dari perubahan itu meliputi: kenaikan pajak (dari 35% menjadi 50% dari keuntungan bersih), memberikan hak kepada perusahaan tambang negara (COMIBOL) untuk menjalankan dan mengelola tambang. Dan, terhadap tambang di bawah investor asing, didorong masuk dalam kemitraan 50-50 dengan COMIBOL.

Ketiga, memajukan industri tambang dalam dua hal: (1) teknologi: semua perusahaan asing wajib berbagi (alih-teknologi) dengan perusahaan negara dan membantu meningkatkan kapasitas teknologinya di semua lapangan industri. (2) pelatihan bagi koperasi penambang dan penambang tradisional.

Keempat, partisipasi rakyat dalam pengelolaan tambang. Evo Morales memanggil rakyat Bolivia, termasuk gerakan sosial dan komunitas, untuk duduk di meja bersama untuk mendiskusikan masa depan pertambangan Bolivia. Maklum, banyak perusahaan tambang di Bolivia yang merusak lingkungan dan memiskinkan rakyat sekitarnya.

Tantangan

Langkah nasionalisasi Evo Morales bukan tanpa hambatan. Bolivia berhadapan dengan ancaman destabilisasi yang dilancarkan oleh negeri-negeri imperialis. Maklum, sejumlah negara imperialis, yang perusahaannya terlempar keluar Bolivia, tidak senang dengan radikalisme Evo Morales.
Namun, di samping dari eksternal, Bolivia juga punya hambatan internal. Lebih dari 70% penduduk Bolivia diidentifikasi sebagai masyarakat asli. Mereka cukup lama diharamkan memasuki lembaga-lembaga pendidikan. Dengan demikian, Bolivia berhadapan dengan problem SDM yang rendah. Disamping juga ada problem teknologi dan kekurangan tenaga ahli.

Tidak seperti nasionalisasi perusahaan migas, telekomunikasi, listrik, dan hidrokarbon, upaya pemerintah Bolivia menasionalisasi menghadapi tantangan besar, khususnya koperasi penambang dan penambang tradisional.
Bolivia punya 50.000 koperasi penambang aktif. Sebagian besar mereka adalah bekas pekerja perusahaan tambang negara, COMIBOL, yang dipecat setelah perusaahaan tersebut diprivatisasi. Nah, ketika harga mineral dunia naik berlipat-lipat, keuntungan anggota koperasi tambang ini sampai 200 kali upah minimum.

Mereka tidak setuju dengan nasionalisasi. Pasalnya, mereka ketakutan jikalau program nasionalisasi akan menghilangkan pekerjaan mereka. Mereka pun terlibat konflik berdarah dengan pekerja tambang perusahaan negara.

Sebagian besar koperasi tambang ini menggunakan metode ekstraksi kuno yang merusak lingkungan. Mereka juga banyak mempekerjakan anak-anak. Meski begitu, koperasi penambang ini sangat politis. Mereka bisa menggalang aksi massa besar, melakukan blockade, dan bahkan pernah menguasai kota La Paz.

Baru-baru ini meletus konflik di Posokoni, terletak di Huanuni, provinsi Oruro, dimana penambang koperasi menentang kebijakan nasionalisasi Morales. Konflik berlangsung antara koperasi penambang (yang mempertahankan tambang) dengan pekerja tambang perusahaan negara. 16 orang tewas dan 115 orang terluka akibat konflik itu.

Evo Morales segera melakukan negosiasi dengan penambang koperasi. Dengan begitu, konflik pun bisa diredam. Namun, konflik serupa masih terus berpotensi terjadi. Dengan kenaikan harga mineral, para penambang koperasi tak mau kehilangan surga pendapatannya. Sedangkan, di pihak lain, negara juga mau menegaskan kontrol terhadap pengelolaan mineral.

Pelajaran buat Indonesia

Evo Morales tahu apa yang dikehendaki bangsanya. Dan, sebagai Presiden, ia menggunakan kekuasaannya untuk mewujudkan kehendak rakyat. Sebaliknya, pemerintahan SBY di Indonesia juga tahu kehendak rakyat, tetapi sengaja mengabaikannya dengan sejuta alasan.
Dari pengalaman Bolivia, kita menyadari, bahwa soal nasionalisasi adalah soal kemauan politik. Pemerintahan Evo Morales memang menegaskan cita-cita politiknya hendak memulihkan kedaulatan Bolivia atas sumber daya alamnya.

Akhirnya, sekalipun hanya bermodalkan dukungan rakyat, Evo Morales berani melakukan dekrit nasionalisasi. Sekalipun derajat nasionalisasinya berbeda dengan nasionalisasi pada umumnya. Namun, satu hal yang pasti, Bolivia mulai memulihkan kontrolnya terhadap SDA-nya.

Di Indonesia, ide nasionalisasi tak ada dalam kamus pemerintah. Dalam UU penanaman modal tahun 2007 ditegaskan bahwa pemerintah Indonesia menjamin tidak ada nasionalisasi atau pengambil-alihan hak kepemilikan penanam modal. Artinya, politik pemerintahan SBY memang anti-nasionalisasi.

Dari pengalaman Bolivia kita juga mengetahui, keterbatasan modal, teknologi, dan tenaga ahli tak bisa dijadikan alasan untuk gentar terhadap perusahaan asing. Bolivia justru melakukan nasionalisasi terlebih dahulu. Setelah itu, barulah pemerintah Bolivia mulai mendorong alih teknologi, pelatihan teknik, mengumpulkan kapital, dan lain-lain.

Indonesia jelas punya teknologi lebih unggul dari Bolivia. Juga, Indonesia punya lebih banyak tenaga terampil dan ahli dibanding Bolivia. Sayang, dalam kasus Blok Mahakam, misalnya, pemerintah selalu berkilah tidak mau mengambil-alih karena alasan teknologi, permodalan, dan tenaga ahli.
Saya setuju dengan Bung Hatta, bahwa alasan semacam itu bukanlah alasan sebenarnya, melainkan ungkapan mental “inferiority complex”—perasaan selalu merasa rendah diri dan tidak mampu dihadapan bangsa asing.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.