EKONOMI ARAB SAUDI DIAMBANG KERUNTUHAN

WARGA MISKIN DI ARAB SAUDI
Selama delapan dekade terakhir Arab Saudi bersikap hati-hati. Dengan menggunakan kekayaan minyaknya yang amat besar, mereka diam-diam menyebar citra ultra-konservatif Islam-nya ke seluruh dunia Muslim, diam-diam menggerogoti rezim sekuler di kawasan, lalu bersembunyi di balik bayangan, sementara pihak lain bertempur dan sekarat. Adalah uang Saudi yang memicu gerakan Mujahidin di Afghanistan, mendanai invasi Saddam Hussein ke Iran, dan menjadi sumber uang bagi gerakan-gerakan Islam dan kelompok teroris di berbagai penjuru bumi, mulai dari Kaukasus hingga  Hindu Kush.

Namun hari ini, diplomasi sembunyi-sembunyi itu berada di ambang keruntuhan. Rezim Bani Saud terlihat dalam kondisi paling rentan sejak rezim itu didirikan pada tahun 1926. Kasus ini bisa kita analisis untuk mengetahui betapa keangkuhan, delusi dan ketidaklayakan perilaku feodal akan mengalahkan uang sebanyak apapun.

Sandungan pertama yang dialami kerajaan Saudi adalah keputusan yang diambil musim gugur tahun 2015 untuk melemahkan pesaing mereka dengan cara meningkatkan produksi minyak sehingga harga minyak jatuh. Mereka berpikir bahwa jika harga satu barel minyak turun dari $ 100 menjadi sekitar $ 80, pesaing mereka akan tercekik karena mengandalkan sumber yang lebih mahal dan teknologi baru, termasuk industri minyak AS, perusahaan pengeksplorasi Kutub Utara, dan produsen yang baru muncul seperti Brazil. Riyadh berharap, dengan cara ini mereka akan menguasai kembali pasar energi. Jatuhnya harga minyak juga akan merusak negara-negara yang bergantung pada minyak yang tidak disukai Saudi, seperti Rusia, Venezuela, Ekuador, dan Iran.

Di satu sisi strategi ini berhasil. Industri pengeboran minyak AS mundur kembali, eksploitasi pasir tar Kanada telah melambat dan banyak pengebor Arctic telah menutup tambangnya. Dan memang, negara-negara seperti Venezuela, Ekuador, Iran, dan Rusia telah mengalami pukulan ekonomi yang serius.

Tapi ‘keberhasilan’ yang terjadi malah ‘kebablasan’,  terutama karena perlambatan ekonomi China sehingga mereka mengurangi permintaan dan ini semakin menekan harga. Inilah yang tidak diprediksi oleh Saudi. Harga minyak turun dari $ 115 per barel pada bulan Juni 2014 menjadi sekitar $ 53-58 hari ini (Februari 2017, pada November 2015 sempat mencapai  $44).

Dengan biaya produksi kurang dari $ 10 per barel, Saudi membutuhkan harga antara $ 95 dan $ 105 untuk menyeimbangkan anggaran mereka. Para pemimpin Saudi yang memperkirakan bahwa harga tidak akan jatuh di bawah $ 80 per barel – dan itupun hanya untuk beberapa bulan – sekarang terpaksa membakar cadangan devisa mereka untuk menutupi defisit.

Meskipun harga minyak diperkirakan akan kembali naik, namun sulit kembali ke harga $115, paling tinggi berkisar $65. Sementara utang Saudi yang harus dibayar selalu meningkat setiap tahunnya (pada 2016, utang Saudi adalah 17,3% dari GDP-nya).

Negara ini kini menghabiskan cadangan devisanya sebesar $10 miliar per bulan untuk membayar berbagai pengeluaran dan meminjam uang kepada pasar uang internasional. IMF pada tahun 2015 sudah mengeluarkan peringatan bahwa cadangan devisa Saudi akan habis dalam 5 tahun jika mereka tidak memotong anggaran negara secara drastis.

Tetapi, sulit buat kerajaan untuk memotong anggaran besar-besaran karena ini berkaitan dengan stabilitas nasional. Ketika ‘Arab Spring’ melanda pada 2011, rezim Saudi mencegah kedatangannya dengan menggelontorkan $130 miliar untuk menggairahkan perekonomian, menaikkan gaji, memperbaiki pelayanan publik, serta membuka lapangan kerja untuk kaum muda. Arab Saudi memiliki populasi kaum muda terbanyak di Timur Tengah, dan banyak di antara mereka yang menganggur dan tidak terdidik. Sebanyak 25 % dari populasi hidup miskin. Uang bisa mencegah pemberontakan, namun sampai berapa lama?

Sementara itu, rezim Saudi juga mendapatkan penasehat politik luar negeri yang buruk yang mengakibatkan pengeluaran mereka melonjak gara-gara ikut campur pada urusan negara lain. Pada 26 Maret 2015 Saudi ikut campur dalam konflik internal Yaman karena mengira bahwa Iran ada di belakang konflik in; sebuah kesimpulan yang sebenarnya bahkan tidak disepakati oleh AS. Rezim Saudi melakukan serangan bom dari udara, memblokade laut, dan serangan darat terbatas ke Yaman.

Lagi-lagi, rezim Saudi salah kalkulasi. Rezim ini mengira bahwa perang tidak akan berlangsung lama karena adanya dukungan dari AS. AS memang mempersenjatai Saudi, menyuplai mereka dengan target-target pengeboman, mendukung blokade laut, dan menyuplai bahan bakar pesawat-pesawat perang di udara.

Namun, perang terus berlangsung hingga kini, dua tahun kemudian dan berubah menjadi sebuah jalan buntu. Di saat yang sama, lebih dari 12.000 orang tewas (termasuk anak-anak) dan belasan ribu lainnya terluka. Kota dan desa hancur, banyak warga yang harus menjadi pengungsi lokal. Ditambah lagi dengan krisis pangan dan medis, kondisi ini memberi kesempatan kepada ISIS dan al-Qaida untuk mengambil alih wilayah di selatan Yaman.

Perang adalah bisnis yang amat mahal, yang mungkin bisa dibayar Saudi jika mereka berada dalam keadaan normal, bukan di saat seperti sekarang ketika harga minya anjlok. Saudi, bersama Qatar dan Uni Emirat Arab, juga menanggung pengeluaran berbagai kelompok yang berupaya menggulingkan Presiden Suriah, Bashar Assad. Ketika protes anti pemerintah Suriah muncul pada 2011, Saudi, bersama AS dan Turki, memperkirakan bahwa Assad akan digulingkan dalam waktu singkat.

Tapi itu pemikiran ajaib. Seburuk-buruknya Assad, kebanyakan warga Suriah – terutama kelompok minoritas seperti Syiah, Kristen, dan Druze – jauh lebih memilihnya daripada harus hidup di bawah pemerintahan Al-Qaida dan ISIS. Karena itu perang pun berkepanjangan dan hingga kini menewaskan sekitar 250.000 orang.

Sekali lagi, Saudi salah perhitungan, walaupun mereka tidak sendirian. Pemerintah Suriah ternyata lebih tangguh dari yang dikira. Dan sikap keras Riyadh yang menginginkan penggulingan Assad malah berakhir dengan masuknya Iran dan Rusia ke dalam konflik, melawan intervensi langsung yang dilakukan oleh koalisi anti-Assad yang dipimpin AS. Setiap usaha untuk menciptakan ‘zona larangan terbang’ di Suriah saat ini harus menghadapi angkatan udara Rusia – sesuatu yang dihindari oleh presiden AS manapun.

Perang juga telah menghasilkan banjir pengungsi yang sangat mengkhawatirkan Uni Eropa, sehingga mereka akhirnya mendengarkan pendapat Moskow tentang konsekuensi dari agenda penggulingan Assad tanpa ada rencana jelas siapa yang akan mengambil alih.

Tujuan Saudi untuk mengisolasi Iran pun mengalami kegagalan. P5 + 1 (Amerika Serikat, Cina, Rusia, Inggris, Perancis dan Jerman) justru berhasil menyelesaikan perjanjian nuklir dengan Teheran, meskipun Saudi dan Israel berusaha menggagalkannya. Dan atas desakan Moskow, Washington kini malah menyetujui dilibatkannya Iran masuk dalam perundingan damai Suriah.

Selain terhalang di Suriah, terperosok di Yaman, dan kondisi keuangan yang semakin rapuh, kerajaan juga menghadapi kerusuhan dari minoritas Syiah yang selama ini terpinggirkan di timur dan selatan negara itu. Ditambah lagi, ISIS telah menyerukan “pembebasan” Mekah dari tangan Bani Saud dan meluncurkan aksi-aksi pengeboman.

Musim gugur 2015, Saudi juga menghadapi tragedi Mina dimana 2.100 peziarah tewas akibat terinjak-injak. Hal ini memprovokasi protes terhadap pemerintah Saudi dari negara-negara korban. Saudi mengklaim hanya 769 orang tewas, sebuah angka yang tidak diterima negara manapun. Dan ada rumor bahwa tragedi itu disebabkan polisi memblokir sebuah area agar ada akses khusus untuk sekelompok elit Saudi.

Beberapa di antara kesalahan langkah Saudi ini bisa dibilang kesalahan raja baru, Salman bin Abdulaziz al-Saud, dan anak-anak muda agresif yang ia tunjuk untuk posisi-posisi kunci. Tapi masalah Arab Saudi juga merupakan cerminan dari proses transisi di Timur Tengah yang juga tidak jelas akan pergi ke arah mana.

Iran telah melangkah keluar dari isolasi. Dengan penduduk terdidik yang besar, basis industri yang kuat dan sumber daya berlimpah energi, Iran siap untuk menjadi pemain utama di kawasan, atau bahkan di dunia internasional. Turki sedang berada di tengah-tengah pergolakan politik, dan banyak perlawanan di dalam negeri atas kebijakan Ergodan yang ikut campur tangan dalam konflik Suriah. Arab Saudi, di sisi lain, sedang tertusuk oleh kebijakannya sendiri, baik asing dan domestik.

“Kontrak sosial yang mahal antara keluarga Saudi dan rakyat akan menjadi semakin sulit, dan akhirnya tidak mungkin dipertahankan jika harga minyak tidak pulih seperti semula,” kata Meghan L. O’Sullivan, Direktur Geopolitik di Proyek Energi Universitas Harvard, kepada New York Times.

Namun, Bani Saud tidak punya pilihan lain, selain terus memompa minyaknya demi membiayai perang dan menjaga perdamaian internal. Sejak Januari 2017, Saudi telah mengurangi produksinya, namun harga tak beranjak naik signifikan. Meksipun Arab Saudi masih sangat kaya, ada banyak tagihan jatuh tempo. Tidak ada kejelasan apakah kerajaan memiliki modal atau kemampuan untuk menghadapi semua persoalan ini.[] (diterjemahkan oleh Dina Sulaeman DARI : Conn Hallinan adalah kolumnis di Foreign Policy. Sumber: http://www.post-gazette.com/…/The-Saud…/stories/201511220134 (ditulis thn 2015, sehingga data-data angka, misalnya harga minyak, diupdate oleh penerjemah).)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.