TAKLUKAN DIRI, TAKLUKAN LINGKUNGAN DAN TAKLUKAN ALAM KUASAI ILMU PENGETAHUAN

Oleh: Maulana Fazlur Raman Ansari Al Qaderi rahimahullah


Muslim pada umumnya, mereka yang berpikir sempit dan berpendidikan Islam konservatif, menganggap pendidikan Barat, terutama pada level perguruan tinggi, sebagai pendidikan yang tidak diutamakan

Mereka tidak menuntut ilmu pengetahuan dari sudut pandang tawhid, atau tidak pula memperoleh pengetahuan demi kepentingan diri mereka sendiri, apalagi jika pengetahuan itu berasal dari lembaga pendidikan non-Muslim. Selama umat Islam paham dengan jelas tentang nilai-nilai Islam mereka, tidak perlu ada yang ditakutkan akan tingkat pengetahuan yang berasal dari sumber asing tersebut. Untuk mengejar ilmu pengetahuan atau pengetahuan yang berguna lainnya juga merupakan kewajiban dalam Islam dan harus dianggap demikian.

Tugas dalam Islam adalah penaklukan pada tiga tingka, yaitut:
  1. Penaklukan Diri Sendiri
  2. Penaklukan Lingkungan
  3. Penaklukan Alam
Acuan saya terhadap penaklukan komprehensif ini yaitu pada tingkat spiritual dan fisik.
Tingkat-tingkat penaklukan tersebut merupakan misi Islam dalam semua pengamalannya: apakah kita sholat lima waktu setiap hari atau berpuasa selama bulan Ramadan, dan sebagainya. Hal pertama adalah penaklukan terhadap bagian jiwa yang lebih rendah atau sifat duniawi (nafsu) oleh setiap individu.

Tazkiyah (pensucian) merupakan salah satu sasaran utama dalam pembelajaran Islam dan salah satu aspek yang paling penting dari misi Nabi Muhammad saw. Tazkiyah merupakan menyucikan diri demi pengembangan karakter. Tazkiyah awalnya bermakna pemangkasan tanaman, menghapus apa pun yang berbahaya bagi pertumbuhannya. Ketika istilah ini diterapkan pada kepribadian manusia, maka istilah itu bermakna untuk mempercantik diri dan menghapus semua jejak jahat dan penyakit rohani yang menjadi penghalang untuk merasakan keberadaan Allah SWT.
Ketika pensucian tersebut selesai dilakukan, maka kepribadian manusia yang tadi, yang terdiri dari bagian yang lebih rendah dan yang lebih tinggi, akan berfungsi di bawah komando bagian diri yang lebih tinggi.

Bagian diri yang lebih rendah (al nafs al ammara) berfungsi atas dasar insting; yakni, insting rasa lapar, seks, penghasilan, hasrat untuk menjadi kaya, penonjolan diri, dan lain sebagainya. Bagaimanapun, bagian diri yang lebih tinggi merindukan akan nilai-nilai kebenaran, keindahan, kesucian, keharmonisan dan terakhir kedekatan kepada Allah SWT. Ketika sifat duniawi tadi mengendalikan bagian diri yang lebih tinggi, seseorang – meskipun berbentuk manusia – akan bertingkah lebih dari seekor binatang dan kurang pantas disebut sebagai “wakil Tuhan” atau Khalifat-Allah.

Perjuangan penaklukan bagian diri yang lebih rendah ini (al nafs al ammara) merupakan perjuangan yang lebih besar (Jihad al Akbar). Dengan demikian, semua ibadah, latihan spiritual dan kegiatan belajar diarahkan terhadap jihad atau perjuangan ini demi menjinakkan sifat duniawi dan difungsikan di bawah komando bagian diri yang lebih tinggi. Perjuangan ini akan memungkinkan semua tindakan memiliki etika, dan bukannya sebuah dasar insting. Insting yang ada pada diri manusia menginginkan kekayaan, kekuatan, kesenangan, dll. Terkadang insting pada diri manusia muncul dalam bentuk badai yang mengamuk, kemudian manusia itu bertindak sangat brutal. Amatilah setiap manusia yang kemarahannya berada di luar kendali: orang seperti itu berperilaku seperti binatang.
Dorongan insting ini dapat mengarahkan manusia menuju neraka. Dua aspek dalam kehidupan ini secara jelas disebutkan di dalam Al Qur’an:

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia (jika dia terlalu bernafsu) ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka),.”Q.S At Tin, 95:4-5
 
Oleh karena itu, perjuangan ini ada dalam diri manusia. (lihat Q.S Asy Syams, 91:7-9)
Kepribadian manusia memiliki dua sisi (dimensi): terang dan gelap, baik dan jahat. Kita diberitahu: “dia yang mensucikannya dan membuatnya tetap suci, dia yang menumbuhkannya (mengembangkannya), dan terus-menerus merawatnya, dia telah mencapai kesuksesan.” – Q.S Asy Syams, 91:9 – dia telah mencapai takdirnya, dan “dia yang membiarkan kepribadiannya menjadi berhenti tumbuh atau menjadi sasaran kejahatan, adalah kegagalan tanpa harapan.” (Q.S Asy Syams, 91:10). Mereka adalah orang yang menjauhi takdir mereka.
Tujuan hidup manusia adalah mewujudkan potensi menjadi Khalifat-Allah; untuk mengikuti “jalan yang lurus” dan bukannya menyimpang. Hal ini bisa mungkin terjadi melalui Tawfiq (bantuan Ilahi) dari Allah SWT dan melalui kekuatan dan rahmat-Nya. Saat manusia melaksanakan fungsinya sebagai Khalifat-Allah, manusia itu menjadi tuan atas dirinya dan lingkungannya. Untuk mencapai hal ini dia harus menaklukkan bagian dirinya yang rendah (nafsu). Jadi, tingkat pertama adalah penaklukan diri sendiri, titik awal untuk menguasai yang lainnya.

Tingkat kedua adalah penaklukan lingkungan. Karena manusia hidup dalam sebuah tatanan sosial, oleh karena itu, pemeliharaan kesucian hidup suatu individu hanya mungkin terjadi jika lingkungannya juga suci. Jadi setiap manusia harus berjuang secara individu dan kolektif untuk memberantas semua jenis kejelekan moral dan spiritual. Kita diberitahu di dalam Al Qur’an:
“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk umat manusia. Kamu menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar dan kamu beriman kepada Allah. …”Q.S Ali Imran, 3:110
Tingkat ketiga adalah penaklukan alam. Potensi Khalifat-Allah ini hanya bisa diwujudkan melalui penaklukan alam sebagaimana yang dicontohkan dalam mi’raj-nya Nabi Muhammad saw. Tidak ada yang bisa menghalangi jalan beliau menuju kedekatannya kepada Penciptanya, bahkan kosmos sekalipun: Peristiwa ini membuktikan tatanan tertinggi Khalifat-Allah.
Apa itu Khalifat-Allah? Kita membaca di dalam Al Qur’an:

“Allah telah menciptakan (memberkahi manusia sebuah kekuatan) dasar dari segala hal yang ada di langit dan di bumi, sehingga bisa dikendalikan dan ditaklukan oleh manusia. Tuhan telah membuat ini sebagai tugas umat manusia, …” (Q.S Al Jatsiyah, 45:13)”sahara lakum” – “seluruh umat manusia” – tidak hanya umat Islam.

Setiap manusia adalah Khalifat-Allah yang potensial. Menurut hadits: “Seluruh umat manusia adalah keluarga Allah.” Allah Yang Maha Kuasa mencintai semua dan juga menghukum semua – entah itu Muslim atau non-Muslim. Dia bukan Tuhan milik golongan manapun, Dia adalah Tuhan Yang Maha Adil. Dia berfirman dalam Al Qur’an:

“… Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus.”Q.S Hud, 11:56
Dia adalah Tuhan Yang Maha Adil. Allah telah membuat prinsip dan memaksakan atas Diri-Nya sendiri untuk mengikuti prinsip-prinsip tersebut – meskipun Dia lah Yang menciptakan prinsip-prinsip itu. Oleh karena itu Dia mengajak kita untuk melakukan hal yang sama dan berdo’a kepada-Nya:

“Tunjukilah kami jalan yang lurus.”Q.S Al Fatihah, 1:6
 
Kita juga harus berjalan di atas jalan yang lurus. Garis terpendek antara dua titik adalah garis lurus. Karena itu tujuannya bisa dilihat dari titik awalnya. Ayatnya melanjutkan:
“… pada yang demikian itu adalah pedoman bagi mereka yang menggunakan kekuatan intelektualnya.” (Q.S Al Jatsiyah, 45:13) atau kekuatan pemikiran, untuk menyelidiki lebih dalam misteri-misteri hukum alam.

Manusia berbicara tentang mendarat di bulan, Al Qur’an telah menyebutkan tentang orang-orang yang bepergian jauh:

“Dan bulan, apabila kamu menemukan air di atasnya, maka kamu akan bepergian dari satu daerah ke daerah lain.”Q.S Al Insyiqaq, 84: 18-19
 
Konsep dualitas (diarki) yang membagi kehidupan menjadi dua kompartemen bukanlah Islami. Konsep ilmu pengetahuan di dalam agama lain bersifat dualistik: ada bentuk pengetahuan yang sakral dan ada pula yang berbentuk duniawi.

Al Qur’an berbicara tentang sistem nilai dan sebagaimana yang kita tahu bahwa setiap kultur didasarkan pada susunan nilai tertentu. Kepribadian manusia memiliki lima tingkat kesadaran dan karena itu juga memiliki lima nilai yang sesuai dengan lima tingkat tersebut:
  1. Spiritual (kesadaran Transendental)
  2. Estetika
  3. Intelektual
  4. Moral
  5. Jasmani
Terkadang, sebuah komunitas hanya menyadari beberapa dari lima nilai di atas, akibatnya sistem nilainya tidak sempurna, dan kultur yang muncul darinya juga tidak sempurna. Sebuah ideologi bisa saja mengetahui lima nilai tersebut, namun urutannya salah. Masalah yang dialami kultur lainnya adalah masalah gradasi nilai; yakni beberapa nilai lebih diperioritaskan daripada nilai lainnya. Budaya permisif modern memiliki masalah karena memberi prioritas pada tingkat kesadaran fisik, meletakkannya di atas tingkat yang lebih tinggi daripada yang lainnya.
Al Qur’an dan Hadits sudah secara jelas menyatakan hal ini, misalnya pada ayat Al Qur’an:
“…mereka yang diberikan kehormatan oleh Allah adalah orang-orang yang menumbuhkan keimanan dan orang-orang yang menumbuhkan pengetahuan…” [berbagai cabang pengetahuan – semua pengetahuan].Q.S Al Mujadilah, 58:11
Nabi Muhammad saw diutus dengan dua peran dalam sejarah manusia:
  1. Beliau diutus untuk menutup era kenabian,
  2. Beliau membuka era sains modern. Bukti ini bisa ditemukan saat kita membaca Al Qur’an dan Hadits dan sejarah sains.
R. Briffault, dalam bukunya yang berjudul; “The Making of Humanity”, mengatakan: “Ilmu pengetahuan sebelum Islam tidak ilmiah. Dunia tidak mengenal sains sebelum kemunculan Islam.”
Ilmu sebelum Islam didasarkan pada metode deduktif yang merupakan metode penelitian yang tidak tepat. Metode yang dimiliki Nabi Muhammad saw adalah metode ilmiah; beliau menganjurkan eksperimen atau metode induktif.
Dasar-dasar ilmu fisika didasarkan pada tiga prinsip:
  1. Kesatuan umat manusia
  2. Kesatuan pengetahuan
  3. Kesatuan alam
Orang pertama yang memberikan prinsip kesatuan ini (Tawhid) adalah Nabi Muhammad saww. Mengapa tiga-per-empat ayat-ayat Al Qur’an merujuk pada fenomena alam? Setelah ayat-ayat itu kita diberitahu:
“… sesungguhnya pedoman tersebut terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.”
Nabi Muhammad saw bersabda:
“keutamaan orang yang memupuk pengetahuan atas orang yang melakukan ibadah seperti keutamaanku atas setiap kalian”
Beliau adalah orang, di antara para penegak keimanan, yang mengatakan bahwa:
“tinta ilmuan lebih suci daripada darah orang yang syahid.”
Beliau juga mengajarkan:
“setiap bagian pengetahuan adalah harta yang hilang dari orang beriman”
Dan juga:
“tuntutlah ilmu hingga ke negeri China”
Namun, di era degenerasi ini, kita diajari bahwa pengetahuan hanya terdiri dari tiga jenis:
  1. Fiqh
  2. Tafsir, dan
  3. Hadits
Siapapun yang mempelajari hal selain tiga di atas dianggap setan. Ini diproklamirkan sendiri oleh orang-orang yang disebut Muslim yang saleh. Nabi Muhammad saw meletakkan dasar dan prinsip-prinsip ilmu fisika.
Mari kita baca Al Qur’an:
“Kuda, bagal dan keledai ini telah diciptakan untuk kamu, sebagai sarana pengangkutan dan hiasan untuk kandangmu, namun di masa depan Tuhan akan membuat terciptanya kendaraan yang tidak dapat kamu saksikan sekarang ”Q.S An Nahl, 16:8
Hingga abad ke-12 semua ilmuan percaya bahwa alam semesta adalah alam semesta yang statis, namun Al Qur’an mengatakan pada kita:
“… Allah Yang Maha Kuasa terus-menerus menambahkan rahmat ke alam semesta ini sebagaimana yang dikehendaki-Nya …”Q.S Faathir, 35:1
Ini adalah sebuah perluasan alam semesta, bukannya alam semesta “blok” yang dipercayai Newton dan lainnya. Sebagaimana seorang guru yang terkenal berkata: “bagian-bagian dasar kebijaksanaan yang ditemukan oleh para filsuf dan ilmuan abad ini, diberikan oleh Nabi Muhammad saw hanya dengan begitu saja.
Saat ini dunia sains terbagi karena masalah apakah ada makhluk hidup di planet lain, namun Al Qur’an menyatakan:
“Di antara (ayat-ayat) tanda-tanda-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan makhluk-makhluk yang melata Yang Dia sebarkan pada keduanya. Dan Dia Maha Kuasa mempertemukan semuanya apabila dikehendaki-Nya.”Q.S Asy Syuura, 42:29
Di dalam Islam, tidak ada pembagian antara ilmu yang sakral dan ilmu yang duniawi, dan akibatnya menuntut ilmu fisika merupakan ‘ibādah. Memang benar bahwa pengetahuan Dīn adalah tingkatan pengetahuan yang paling tinggi, namun dalam prosesnya anda tidak dapat memahami pengetahuan yang paling tinggi kecuali jika anda membina tingkat pengetahuan yang lebih rendah.
Jika kita membaca sejarah Islam tentang pendidikan Islam, kita akan menemukan bahwa sumber pendidikan didalamnya itu seluas dan selengkap mungkin. Pengetahuan disusun dalam istilah Kesatuan (Tawhīd). Kita pikir seorang yang ‘Alim adalah orang yang hanya mempelajari fiqh, tafsir dan Hadits. Betapa kelirunya kita! Tahukah anda bahwa Imam Abu Hanifa menulis sebuah risalah ilmiah dengan persamaan matematis dan risalah tersebut tersedia di Perpustakaan Internasional di Perancis? Imam Ghazzali, Imam Fakhruddin Ar-Razi, Imam Syafi’i merupakan tokoh besar intelektual dalam berbagai cabang ilmu dan mereka adalah orang-orang yang saleh dan suci.
Oleh karena itu, umat Islam pada masa awal menyelesaikan tugas dengan memberikan pondasi ilmu pengetahuan modern dengan mengklasifikasikan berbagai cabang ilmu pengetahuan dan menghapus yang batil dari kebenaran. Mereka memberikan sains dalam bentuk yang murni dan meletakkan pondasi beberapa sains yang tepat, misalnya Aljabar (dinamai menurut nama Sheikh Jabir bin Hayyan), kordinat geometri, pengukuran, tentang darah, logam, langit dan bumi, dll.
Kemudian dua peristiwa yang tidak diharapkan terjadi pada Dunia Islam:
  1. Pengusiran umat Islam dari Spanyol, dan
  2. Runtuhnya Baghdad
Daerah di atas merupakan pusat atau kedudukan pembelajaran ilmiah dan musuh memastikan kehancuran semua jejak prestasi Islam. Setelah itu umat Islam secara kultur menjadi lemah.
Itu lah perkembangan menuju Khalifat-Allah, yakni penaklukan diri sendiri, penaklukan lingkungan dan penaklukan alam, namun umat Islam mengasingkan diri mereka dari penaklukan alam dan akibatnya gagal di dunia.
Ajaran palsu muncul dan umat Islam kembali dari laboratorium ke muşallā. Membaca seribu tasbīhs setiap malam dan melakukan jutaan thawāb! Akhirnya, kita jadi begitu lemah dalam hal teknologi hingga musuh bisa menciptakan senjata yang lebih baik dan menyerang dunia Islam seperti runtuhnya sebuah rumah kartu. Ketika runtuh, umat Islam menjadi budak mereka. Hal ini dikarenakan kita menganggap Pendidikan Sains sebagai pendidikan yang tidak Islami.
Jika kita terus kehilangan kesempatan dan tidak paham penekanan ílm – kita akan hancur. Mengapa kita membuat Islam menjadi lelucon dan mendapati diri kita lemah dan hina? Di setiap komunitas kita mendapati “umat Islam” – ada yang melakukan pembunuhan, pemerkosaan, penipuan, menjual narkoba, dan sebagainya. Apakah mereka melakukan hal yang baik atas nama Islam? Saya pikir mereka adalah penjahat terburuk terhadap nama Islam. Hampir di seluruh dunia, umat Islam memliki pendidikan yang terbelakang! Mereka adalah pengikut seseorang yang bersabda:
“menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap laki-laki dan perempuan muslim.”
Namun, mereka tidak mau mempelajari Al Qur’an dan Hadits dan tetap ingin berada di selokan. Beberapa Muslim kini mengatakan: “Kami ingin menciptakan Negara Islam sekali lagi.” Bagaimana? Dengan apa? Jika kita memeriksa motifnya, kita menemukan bahwa pendekatan mereka bersifat sosial, historis, ritualistik dan politis. Dengan materil apa kita ingin membuat perubahan?
Nabi Muhammad saw mendirikan Negara Islam dengan materil seperti Sayyidina Abu Bakr (ra), Sayyidina Umar Faruq (ra), Sayyidina ‘Utsman (ra), Sayyidina ‘Ali (ra), dan sebagainya. Bagaimana bisa kita mendirikan Negara Islam tanpa menciptakan kelompok atau geng seperti itu? Dan siapa yang ingin membuat perubahan dan dengan apa? Slogan, berperang satu sama lain, satu organisasi melawan organisasi lainnya! Kita diperingatkan di dalam Al Qur’an:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, …” (Q.S Al Baqarah, 2:208) yakni berIslam secara komprehensif. Allah SWT berfirman:
“… apakah kamu hanya beriman terhadap sebagian firman dan mengingkari sebagian lainnya? …”Q.S Al Baqarah, 2:85
Jika anda merusak agama, hukumannya adalah bahwa “anda akan direndahkan di dunia ini.” Anda tidak akan memperoleh kehormatan! Apakah kita tidak sedang berada dalam keadaan ini? Seharusnya kita bangkit dari hal-hal kecil dan mengatasi kekurangan kita. Membawa label Islam tidaklah cukup; kita akan mendapatkan pukulan sepanjang waktu.
Yaa Muslim, berhati-hatilah sebelum Islam menjadi kenangan masa lalu. Kecuali kita dapat mengorganisir pendidikan sesuai dengan konsep Islam, dan menghasilkan umat yang takut kepada Tuhan, secara moral terintegritas, ditinggikan secara spiritual, umat yang tercerahkan secara intelektual dalam komunitas ini, kita akan memiliki masa depan.
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
Sumber:
Fazlur Raman Ansari, Islam to The Modern Mind, hal 23

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.