Major Themes of the Qur’an

Tema-Tema Pokok al-Qur’an (Major Themes of the Qur’an) karya Fazlur Rahman (1919-1988) terbit pertama kali tahun 1980.[1] Sejauh bacaan saya, jenis pendekatan terhadap al-Qur’an seperti karya ini belum pernah ada dalam khazanah literatur Islam di mana pun dan di zaman apa pun.

Umumnya al-Qur’an diterjemahkan dan ditafsirkan ayat demi ayat, dan bila perlu diberi ulasan agar pembaca lebih memahaminya. Keunikan karya ini terletak pada kemampuan penulisnya untuk memetakan pesan-pesan al-Qur’an itu secara sintetik berdasarkan tema-tema utama tentang: Tuhan, Manusia sebagai Individu, Manusia dalam Masyarakat, Alam, Kenabian dan Wahyu, Eskatologi, Setan dan Kejahatan, dan Bangkitnya Komunitas Muslim. Tulisan ini mencoba membicarakan secara ringkas tema-tema itu.



Di Balik Penulisan Tema-Tema Pokok Al-Qur’an



Dikatakan bahwa karya ini merupakan jawaban mendesak untuk sebuah pengantar terhadap tema-tema utama al-Qur’an yang tidak dijumpai dalam karya-karya yang ditulis sekian jauh oleh para sarjana Muslim dan sarjana non-Muslim agar orang dapat mengenal tema-tema di atas dengan membiarkan Kitab Suci berbica sendiri tentang dirinya.[2] Tentu saja, pemahaman penulisnya tentang al-Qur’an tidak lepas dari pengaruh latar belakang pendidikan dan pengalaman spiritual dan intelektualnya, baik di Pakistan, di Universitas Cambridge, Inggris, dan kemudian melalui interakasinya yang luas dan intens dengan peradaban Barat modern.

    “Karya yang kita bicarakan ini ditulis saat Rahman bertugas sebagai guru besar pada Universitas Chicago sejak 1969 sampai wafat pada 1988. Di kampus inilah Rahman berhasil mengembangkan pemikiran keislamannya secara bebas, sesuatu yang tidak didapatinya di Pakistan.”

Dikatakan oleh penulisnya bahwa melalui pemaparan sintetik sajalah sebagai satu-satunya cara yang dapat memberikan kepada pembaca cita-rasa sejati terhadap al-Qur’an sebagai perintah Tuhan untuk manusia.[3] Karya-karya sarjana Barat sekalipun berguna untuk diikuti, pendekatan yang mereka gunakan tidak memungkinkan pembaca untuk memahami dan menghayati al-Qur’an secara benar, jujur, dalam, dan komprehensif. Sama halnya, tafsir-tafsir al-Qur’an oleh kalangan sarjana Muslim lainnya akan berbeda sama sekali pendekatannya dibandingkan dengan karya Rahman ini. Sayang usia Rahman tidak cukup panjang untuk menulis sebuah karya yang lebih luas tentang pandangan dunia al-Qur’an, sesuatu yang sebenarnya juga mendesak untuk menembus jalan buntu yang tengah dihadapi peradaban Muslim kontemporer.

Selanjunya, berikut ini tema-tema utama al-Qur’an itu kita coba meringkaskannya, sekalipun pasti tidak akan mencakup substansinya secara utuh.

Delapan  Tema-Tema Pokok al-Qur’an

Pertama, Tuhan. Al-Qur’an adalah sebuah dokumen yang benar-benar ditujukan untuk manusia, atau sebagai “petunjuk bagi manusia” (2: 185). Dengan demikian, petunjuk itu sepenuhnya bersifat fungsional, punya nilai praktikal, baik untuk kehidupan perorangan maupun untuk kehidupan kolektif. Al-Qur’an bukanlah sebuah risalah tentang Tuhan dan sifat-Nya. Dia Pencipta, Pemelihara alam semesta dan manusia, dan khususnya Pemberi petunjuk kepada manusia dan pada saatnya mengadilinya, baik perorangan maupun kolektif, dengan keadilan yang penuh kasih sayang. Dia Tunggal, tidak berbagi dengan yang lain. “Dia adalah dimensi yang membuat dimensi-dimensi yang lain menjadi mungkin.”[4]



Mengapa harus Tuhan? Mengapa alam semesta, isi, dan prosesnya tidak berjalan dengan sendirinya tanpa menyambungkannya dengan wujud yang lebih tinggi-sesuatu yang hanya memperumit realitas dan meletakkan beban yang tidak perlu atas intelek dan jiwa manusia? Al-Qur’an menyebut ini sebagai “keyakinan dan kesadaran tentang yang gaib.” Tetapi yang gaib ini sampai kadar tertentu bagi orang-orang khusus seperti nabi menjadi “nyata” melalui wahyu, sekalipun hakekat wahyu ini tidak bisa diketahui sepenuhnya oleh siapa pun, kecuali oleh Tuhan. Kehadiran Tuhan dapat dirasakan oleh mereka yang melakukan perenungan, yaitu “orang yang takut kepada Yang Maha Pengasih dalam keadaan gaib dan menghadap dengan hati yang  bertaubat.” (50:33). Kasih sayang Tuhan tidak saja ditunjukkan dalam pengampunanNya terhadap dosa manusia, tetapi juga melalui apa yang dikurniakanNya kepada kita dalam bentuk bumi dan seisinya.



Maka seluruh rantai—penciptaan—pemeliharaan—pentunjuk—pengadilan, yang seluruhnya sebagai perwujudan kasih sayang Tuhan—menjadi sangat masuk akal sehingga al-Qur’an menyatakan keherannya mengapa masalah ini dipersoalkan. Dua masalah yang sering  dipertanyakan adalah yang awal dan yang akhir: peran Tuhan sebagai Pencipta dan peranNya sebagai Hakim.[5]  Manurut al-Qur’an, hanya tersedia satu jalan lurus menuju Tuhan, sedangkan yang lain itu bengkok (16-9).[6] Kepada jalan lurus inilah umat manusia diarahkan oleh al-Qur’an.

Kedua, manusia sebagai individu. Manusia adalah ciptaan Allah seperti makhluk ciptaan lainnya. Tetapi kelebihan manusia dengan makhluk yang lain karena Tuhan “meniupkan ruhNya kepadanya” (15:29; 38:72; 32:9).[7] Menurut Rahman, al-Qur’an tampaknya tidak mendukung teori dualisme jiwa-raga secara radikal, karena dua entitas itu dalam satu perpaduan, tidak bisa dipisahkan. Dalam kehidupan dunia, manusia diperintahkan untuk melakukan perjuangan moral tanpa henti. Dalam perjuangan ini, Tuhan bersama manusia dengan syarat manusia sebagai wakil Tuhan dengan pilihan bebasnya mau melakukan segala upaya yang perlu, demi terciptanya sebuah tatanan moral sosial di bumi.[8]



Untuk menghadapi setan sebagai kekuatan jahat, manusia perlu mengembangkan prilaku taqwâ (upaya melindungi diri seseorang menghadapi konsekuaensi-konsekuensi berbahya atau buruk dari perbuatan seseorang).[9] Setan adalah kekuatan anti-manusia, bukan anti-Tuhan. Tugasnya untuk memperdaya manusia agar tergelincir dari jalan yang lurus. Taqwâ memberikan kestabilan kepada manusia dalam menentukan pilihan moralnya. Di akhirat nanti, manusia mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya selama hidup di dunia di depan Tuhan sendiri-sendiri. Dengan demikian, hidup yang hanya sekali ini sangat menentukan nasib manusia di akhirat kelak.



Ketiga,  manusia dalam masyarakat. Tidak diragukan lagi bahwa tujuan utama al-Qur’an adalah membangun sebuah tatanan sosial yang dapat berlangsung terus di atas bumi yang didasarkan atas prinsip keadilan dan etika. Tidak pernah ada dalam sejarah manusia, individu tanpa masyarakat. Dalam perspektif ini, konsep perbuatan manusia, khususnya yang menyangkut taqwâ hanyalah punya arti dalam konteks sosial.[10]  Tujuan al-Qur’an tentang sebuah tatanan etika, egalitarian, dan adil diumumkan bersamaan dengan penolakan keras terhadap ketimpangan ekonomi  dan ketidakadilan sosial yang marak dalam masyarakat komersial Mekah pada saat itu. Merebaknya penyalahgunaan anak-anak perempuan, anak yatim, dan kaum perempuan, dan adanya lembaga perbudakan memerlukan perubahan yang berani.[11] Maka doktrin tauhid (monoteisme) yang diajarkan al-Qur’an bertaut rapat dengan perjuangan menegakkan keadilan dalam masyarakat. “Menghidupan kesadaran khususnya kesadaran kolektif menjadi sangat penting”, tulis Mohammad Mosa Barlass, dalam komentar review-nya terhadap karya Rahman ini. “Manusia dan masyarakat adalah tunggal, berkerja menuju sebuah tujuan yang lebih tinggi,”[12] tulis Barlass.



Keempat, alam semesta. Pembicaraan tentang kosmogoni tidak banyak dalam al-Qur’an. Berbeda dengan manusia dengan hal pilihan bebasnya, alam semesta hanya punya satu pilihan, yaitu tunduk kepada Tuhan melaui hukum-hukum yang telah ditetapkan. Itulah sebabnya alam semesta dikatakan Muslim, karena ketaatan dan ketundukannya kepada kemauan Tuhan.

    Alam semesta ini tidak bisa menjelaskan dirinya, tetapi ia “adalah sebuah tanda yang menunjuk kepada sesuatu ‘di luar’ dirinya, sesuatu yang tanpa itu alam semesta, dengan segala sebab alamiahnya, akan menjadi tiada dan hampa.[13]

Alam semesta dengan segala keteraturannya diciptakan untuk kepentingan manusia, tetapi tujuan manusia sendiri tidak lain selain untuk mengabdi kepada Tuhan, untuk berterima kasih kepadaNya, dan hanya semata-mata untuk menyembahNya.[14] Berterima kasih dan menyembah Tuhan bukan untuk kepentingan Tuhan, tetapi sepenuhnya untuk kepentingan manusia itu sendiri. Dan Tuhan menciptakan manusia dengan tujuan yang serius, bukan untuk untuk permainan. “Apakah kamu mengira bahwa Kami menciptkan kamu main-main, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami [untuk dimintai pertanggung jawaban?” (23: 115).[15]



Kelima, kenabian dan wahyu. Bab ini memaparkan tentang kenabian dan wahyu sebagai fenomena universal, di seluruh dunia telah diutus rasul-rasul Allah, baik yang disebut atau yang tidak disebut dalam al-Qur’an (40:78; 4: 164). Sebagian rasul itu terbatas untuk lingkungan kaumnya saja, tetapi pesan yang disampaikan itu tidak bersifat lokal, tetapi punya makna universal yang mesti dipercayai dan diikuti oleh seluruh manusia. Inilah yang dimaksud dengan konsep kesatuan kenabian. Melalui pesan kenabian, kesadaran manusia akan meningkat tinggi sehingga mereka akan mampu melihat secara jelas Tuhan sebagai Tuhan dan setan sebagai setan.[16] Dari daftar pada nabi dan rasul yang banyak itu, Muhammad adalah nabi penutup, dan tidak akan muncul lagi nabi sesudahnya, dan al-Qur’an sebagai wahyu terakhir. Ini menjadi tanggung jawab berat bagi mereka yang mengaku Muslim[17] untuk meneruskan risalah kenabian itu, demi kepentingan manusia sejagat.

Al-Qur’an memakai istilah nabi dan rasul sebagai utusan Tuhan kepada umat manusia. Istilah nabi dalam al-Qur’an berarti “seorang pemberi berita” bukan tentang masa depan, tetapi “seseorang yang memberi berita dari Tuhan.” Perkataan rasul berarti utusan Tuhan untuk manusia, sekalipun bisa juga dipakai untuk Malaikat penyampai wahyu.[18] Tentang betapa beratnya mengemban wahyu yang disampaikan kepada Muhammad, al-Qur’an menggambarkan hal itu berikut ini: “Sesungguhnya Kami akan memikulkan atas pundakmu sebuah panggilan [perkataan] yang berat” (73-5); itulah sebabnya Muhammad beribadah sepanjang malam, kecuali sedikit, dalam melakukan salat untuk mendekatkan diri kepada Allah[19] (73:2). Sebagai manusia pilihan dengan tingkat kepekaan nurani yang sangat tajam, Muhammad mencari solusi dalam do’a di Gua Hira’ terhadap masalah genting dalam masyarakat Mekah berupa ketidakadilan yang parah, di mana oligarki Quraisy sama sekali tidak menghiraukannya.  Al-Qur’an membenarkan kebingungan nabi dalam mencari solusi ini: “Dia [Tuhan] mendapatkan engkau dalam keadaan bingung lalu Dia memberi petunjuk” (93:7).

Mengenai proses turunnya wahyu, al-Qur’an menjelaskan: “Ruh yang Dipercaya telah membawanya [al-Qur’an] turun ke dalam hatimu agar engkau menjadi seorang pemberi peringatan” (26:193-194).[20] Lalu Rahman menolak cerita  hadis yang melukiskan Jibril sebagai seorang figur publik yang bercakap dengan nabi serta disaksikan oleh para sahabat. Ini “must be regarded as later fictions.”[21]



Keenam, eskatologi. Konsep hidup sesudah mati merupakan tema yang berulang disebutkan al-Qur’an. Kitab Suci ini berbicara tentang Hari Pengadilan sebagai al-âkhirah. Itulah momen kebenaran, di mana semua amal manusia semasa hidup di dunia akan diangkat. Semua rahasia akan dibongkar dan diperlihatkan. Al-Qur’an menggambarkan momen kebenaran sebagai berikut: “Sesungguhnya engkau dalam keadaan lalai yang dalam tentang ini (Momen kesadaran diri), tetapi sekarang Kami bukakan darimu tutup yang [menutupi matamu], maka penglihatnmu hari ini  tajam” (50:22).[22]  “Semua sengketa dan konflik tentang kepercayaan manusia dan orientasi lainnya”, tulis Barlass, “akan diselesaikan dan visi manusia yang kabur menjadi terang—di sinilah terletak tujuan Hari Akhir itu.”[23]



Ketujuh, setan dan kejahatan. Kejahatan (syarr) sebagai lawan kebaikan (khair) masuk dalam materi diskusi tentang perbuatan manusia secara individu dan kolektif. Sebagaimana telah disebutkan terdahulu bahwa setan adalah kekuatan anti-manusia. Prinsip kejahatan yang oleh al-Qur’an dipersonifikasi sebagai iblis atau setan, sekalipun personifikasi kedua lebih lemah dari yang pertama. Al-Qur’an, khususnya dalam surat-surat Makiyah, berkali-kali sebutan setan dalam bentuk jamak (syayâthîn), yang terkadang merujuk secara metaforis kepada manusia juga. Al-Qur’an menjamin bahwa godaan  setan iblis tidak akan mempan atas orang yang beriman dan yang menyerahkan kepada Tuhan: “Sesungguhnya dia [setan] tidak punya kekuasaan atas orang-orang yang beriman dan mereka yang berserah diri kepada Tuhannya” (16-99).[24]



Delapan, bangkitnya komunitas Muslim. Bab terakhir ini berbicara tentang Bangkitnya komunitas Muslim. Dijelaskan sejarah dan pembentukan bangunan umat Muslim. Sejarah ini meliputi penerimaan semua nabi terdahulu yang menyampaikan pesan yang sama, tetapi mengakui Islam sebagai agama terakhir yang sempurna. Umat Yahudi dan Kristen disebut sebagai Ahlu al-Kitâb, tetapi dipandang sebagai umat yang tidak sempurna dalam doktrin monoteismenya. Tetapi al-Qur’an mengakui keberadaan orang-orang baik di kalangan komunitas Yahudi, Kristen, dan Shabiin, sebagaimana mengakui orang-orang yang beriman dalam Islam: “Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah, Hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati” (2:62; 5:69).[25]



Inilah komentar Rahman tentang kedua ayat di atas: “Dalam kedua ayat tersebut, sebagian besar mufasir Muslim mencoba menghindar dari makna yang demikian terang: bahwa siapa pun—dari kelompok mana pun di antara umat manusia—yang beriman kepada Tuhan dan Hari Akhir serta berbuat baik akan diselamatkan.”[26]



Penutup



Tema-Tema Pokok al-Qur’an adalah sebuah terobosan berani penulisnya untuk memahami al-Qur’an dalam konteks zaman agar pesannya tetap relevan untuk menjawab semua tantangan yang tengah dihadapi umat manusia seluruhnya, terutama umat Muslim yang sedang berada di buritan peradaban. ( Ahmad Syafii Maarif)



(Tulisan ini pernah disampaikan untuk dua pertemuan: kajian eksekutif Jakarta, 21 Feb. 2018 dan bedah buku Tema-Tema Pokok al-Qur’an oleh Penerbit Mizan di Kampus UIN Sunankalijaga Yogyakarta, pada 28 Feb. 2018)



[1] Lih. Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an. Minneapolis-Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980, tebal 170 halaman plus indeks. Terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh Ervan Nurtawab dan Ahmad Baiquni, Tema-Tema Pokok al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2017) adalah edisi 2009 dengan izin The University of Chicago Press, 2009. Sekalipun pernah berguru langsung kepada F. Rahman di Universitas Chicago selama lebih empat tahun (1978-1982)  termasuk belajar memahami al-Qur’an, saya merasa pengenalan dan pemahaman terhadap Kitab Suci ini belum pernah mendalam betul, sekalipun telah dibantu oleh karya F. Rahman ini yang untuk sebagian telah disampaikan melalui kuliah-kuliahnya, baik di kampus mau pun di rumahnya. Kajian tentang karya ini untuk Indonesia dapat dibaca a.l. dalam disertasi Sa’dullah Assa’idi: “Major Themes of the Qur’an Karya Fazlur Rahman (Studi Tentang Pemikiran Tafsir),” Pasca Sarjana UIN Sunankalijaga, Yogyakarta, 2008, tebal 384 halaman.

[2] Ibid., hlm. vi.

[3] Ibid., hlm. vii.

[4] Ibid., hlm. 4.

[5] Ibid., hlm. 9.

[6] Ibid., hlm. 16.

[7] Ibid., hlm. 17. Aslinya berbuyi: “wa nafakhtu fîhi min rûhî.”

[8] Ibid., hlm. 18.

[9] Ibid., hlm. 29.

[10] Ibid., hlm. 37.

[11] Ibid.

[12]Lih.Mohammad Mosa Barlass, Major Themes of the Qur’an dalam http:www.montly-renaisance.com/issue/content.aspx?id=188#1 (accessed April 2014).

[13] F. Rahman, Major, hlm. 69.

[14] Ibid., hlm. 79.

[15] Ibid.

[16] Ibid., hlm. 80.

[17] Ibid., hlm. 81.

[18] Ibid., hlm. 82.

[19]Ibid., hlm. 84.

[20] Ibid., hlm. 97.

[21] Ibid.

[22] Ibid., hlm. 106.

[23] Lih. Barlass, op.cit. hlm. 4.

[24] [24] Ibid., hlm. 124. “Innahu laisa lahu sulthân ‘alâ alladzîna âmanû wa ‘alâ rabbihim yatawakkalûn.”

[25] Ibid., hlm. 166 saat membicarakan Lampiran II: “Ahli Kitab dan Kebinekaan “Agama-Agama”.

[26] Ibid.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.