LIEM SIOE LIONG DAN SOEHARTO

Siapa yang tidak kenal dengan Liem Sioe Liong atau Sudono Salim yang terkenal sebagai salah satu taipan terkenal sekaligus cukong Soeharto pada zaman Orde Baru. Pasangan suami-istri Nancy Chng dan Richard Borsuk dalam bukunya "Liem Sioe Liong's Salim Group: The Business Pillar of Suharto's Indonesia" menjelaskan secara detail bagaimana taipan tersebut menjadi penyokong pendanaan pemerintahan Suharto pada masanya. 

Dalam buku tersebut di mana kedua mantan wartawan tersebut secara langsung mewawancarai Liem, dia mengingat kembali pertemuan pertamanya dengan Soeharto, yaitu pada saat perang kemerdekaan. Soeharto masih menjadi perwira yang ditempatkan di Jawa Tengah sementara Liem adalah pedagang yang menyediakan bahan makanan untuk para prajurit di unit Soeharto.

Penempatan Soeharto sebagai komandan Divisi Diponegoro di Semarang pada tahun 1956 merekatkan kembali hubungannya dengan Liem yang saat itu sudah pindah ke Jakarta dari tempat tinggal sebelumnya yaitu di Kudus. Beberapa ajudan Soeharto, waktu itu, bertanggung jawab atas keuangan divisi tersebut, membuat hubungan Soeharto dengan Liem kembali erat.

Kepercayaan yang dibangun oleh Liem kepada ajudan-ajudan teratas Soeharto menjadi berguna pada saat Soeharto menjadi presiden dan tengah mencari pengusaha untuk diajak bekerja sama. Pada awal hubungan mereka, Liem mengatakan mengutip filosofi Presiden China waktu itu kepada Soeharto, "Pemimpin yang bagus harus menyediakan empat kebutuhan dasar pada rakyatnya - sandang, pangan, papan dan transportasi." Hal tersebut juga sejalan dengan filosofi Jawa yang mengutamakan sandang, pangan dan papan sebagai kebutuhan pokok.

"Anda butuh uang, saya bisa membantu mendapatkannya," ujar Liem kepada Soeharto. Liem juga menambahkan bahwa hubungannya dengan Soeharto waktu itu "seperti saudara."

Hubungan tersebut semakin erat karena Soeharto selalu mencari Liem sebagai teman diskusi pada saat dia menjabat sebagai presiden. Selain itu, Liem juga menjadi pengunjung tetap Cendana.

Ketertarikan Soeharto untuk berbisnis sudah lama muncul, yaitu pada saat dia berkarir di bidang militer. Seperti komando resimen lainnya, Soeharto waktu itu juga diharapkan bisa mendapatkan pemasukan tambahan untuk membayar prajuritnya.

Pada awal tahun 1950an, Soeharto mempunyai beberapa ajudan dan pengusaha terpercaya seperti Sudjono Humardani dan Mohamad "Bob" Hasan yang bergabung membentuk usaha yang menghasilkan uang. Usaha awal mereka antara lain adalah menukar gula dari Jawa dengan beras.

Namun, antusiasme Soeharto dalam mengumpulkan uang tersebut berujung getir, karena dia terkena teguran dan diberhentikan sebagai Panglima Jawa Tengah tahun 1959.

Puas! Mungkin begitu ungkapan yang tepat setelah saya membaca buku Liem Sioe Liong dan Salim Group, Pilar Bisnis Soeharto karya Richard Borsuk dan Nancy Chng. Buku ini sebenarnya sudah saya selesaikan setahun lepas, namun baru bisa meresensikannya sekarang. Buku terbitan ISEAS-Yusof Ishak Institute (2014) itu bercerita tentang kehidupan orang terkaya di Indonesia pada zaman Orde Baru : Liem Sioe Liong. Dari masa kecilnya di Fuqing, merantau ke Kudus kemudian Jakarta, hingga berpindah dan wafat di Singapura. Karena Liem adalah cukong utama Soeharto, kisahnya juga memberikan gambaran tentang bagaimana presiden kedua itu bisa bertahan di puncak kekuasaan selama tiga dekade. Meski tergolong ilmiah, namun buku ini enak dibaca. Mengalir seperti kisah-kisah pada cerita fiksi. Terlebih sang penulis bisa menempatkan dirinya secara independen, sehingga karya ini cukup objektif. Buku ini juga bisa membantu Anda untuk menilai bagaimana sosok Liem yang sebenarnya, yang sejak era Reformasi terlanjur dicitrakan negatif. Lebih jauh buku ini juga memberikan wawasan kepada kita bagaimana Soeharto melakukan praktik kroniisme. Praktik yang sedikit banyaknya masih berlangsung hingga hari ini.

Proyek tentang Liem Sioe Liong dan Salim Group ini dikerjakan dengan melakukan penelitian di sejumlah kota dimana Liem pernah menjejakkan kakinya. Selain berkunjung ke Jakarta, Singapura, Kudus, Semarang, Hongkong, dan Fuqing, Borsuk dan Chng juga memperoleh informasi dari sumber-sumber primer. Mereka mewawancarai sejumlah orang dekat Liem, dari mantan rekan bisnisnya Sudwikatmono dan Ibrahim Risjad, Benny Santoso (Direktur Eksekutif Salim Group), serta anggota keluarganya yang ada di Tiongkok, Indonesia, dan Singapura. Menurut penulis, buku ini tak kan hadir tanpa bantuan Anthony Salim, putra Liem yang kemudian melanjutkan bisnis ayahnya di Indonesia. Buku ini terbagi ke dalam 22 bagian, yang masing-masing terdiri dari 20-40 halaman. Saya akan mengutip beberapa bagian yang dianggap penting, sebagai pertimbangan Anda sebelum membeli buku setebal 592 halaman itu.

* * *

58 tahun setelah menjejakkan kaki di pantai Jawa — nyaris hanya dengan pakaian yang melekat di badan, Liem Sioe Liong adalah bos konglomerasi terbesar di Indonesia. Namanya beberapa kali tampil dalam daftar majalah yang memuat orang terkaya di dunia. Di puncak kesuksesannya, Liem bertengger di atas imperium bisnis raksasa, yang oleh sementara kalangan diperkirakan meliputi 600 perusahaan afiliasi dan merupakan pendorong dalam banyak industri strategis. Pada pertengahan 1990-an, lebih dari 200.000 orang bekerja di perusahaan miliknya. Di tahun 1996, sebelum krisis keuangan Asia menghantam Salim hingga babak belur, pendapatan kelompok ini diperkirakan mencapai 22 miliar dollar AS, hampir tiga kali lebih besar dari kelompok peringkat kedua, Astra. Liem sendiri tidak suka menyibukkan diri dengan indikator kekayaan. Dia merasa tidak nyaman dengan gambaran dirinya sebagai pebisnis terkaya di Asia Tenggara. Di sebuah negara dimana secara historis orang Tionghoa menjadi sasaran diskriminasi dan kekerasan berkala, bisa dimaklumi kalau taipan ini lebih suka tak tampil mencolok.

Liem dan Soeharto memiliki banyak kesamaan, termasuk minat kuat mencari uang. Bagi orang kuat itu, uang setara dengan kekuasaan dan dia perlu membangun basis kekuasaannya. Para pebisnis Tionghoa merogoh pundi-pundi setiap kali Soeharto dan para jenderalnya membutuhkan dana, entah untuk keperluan politis ataupun pribadi. Liem selalu siap setiap kali dipanggil dan berhasil memenuhi permintaan. Keuntungan timbal baliknya luar biasa. Berkat patronase yang diterimanya, Liem menjadi kaya bukan kepalang, sementara kesuksesannya adalah menjaga pemimpin otoriter tersebut berkuasa selama 30 tahun lebih. Praktik patronase tidak diawali oleh Soeharto. Semasa Soekarno, para pengusaha – dan tidak terbatas orang Tionghoa — juga menikmati perlakukan istimewa. Namun Soeharto mengasah praktik ini menjadi seni. Pemberian perlakuan istimewa kepada kroni-kroninya dilakukan dengan pemahaman bahwa itu semua ada imbalannya. Dalam beberapa bisnis, imbalan itu bisa berupa saham yang diberikan langsung kepada anggota keluarga. Liem tak pernah mengeluh dalam membantu Cendana (sebutan lazim waktu itu, merujuk kepada nama jalan kediaman presiden). Bahkan Liem enteng saja memberikan saham kepada presiden dan anggota keluarganya, termasuk 30% saham bank andalannya.

Liem membesarkan Salim Group menjadi salah satu perusahaan multinasional Asia Tenggara yang pertama. Kemampuannya memiliki mitra yang cakap, sungguh mencengangkan. Dan dia bisa menarik jaringan luas rekan-rekan sesama Tionghoa perantauannya untuk mendapatkan modal maupun keahlian. Pada awalnya yang terbentuk adalah jaringan dengan kelompok dialeknya komunitas Hokchia, lalu dengan militer Indonesia, dan dengan – tentunya yang paling kuat dari semua itu : Soeharto. Liem memiliki kepribadian yang menarik. Dia memadukan kerendahan hati dan kemurahan hati, dua kualitas yang dihargai Soeharto dan pihak-pihak lain yang diuntungkan. Ciri khas kepribadiannya itu terbukti bermanfaat dikemudian hari. Berkat para mitra yang cakap, Liem mampu merambah bisnis yang berada di luar keahliannya. Dia juga bekerja keras untuk membuktikan bahwa dirinya bisa dipercaya.

Liem pertama kali berkenalan dengan Soeharto di perbukitan Jawa Tengah semasa Perang Kemerdekaan. Ketika itu pasukan Republik bertempur melawan Belanda yang berniat kembali mengontrol jajahannya seusai Perang Dunia II. Waktu itu Liem hanyalah salah seorang dari sekian pedagang Tionghoa yang memasok kebutuhan pokok tentara. Penempatan Soeharto pada tahun 1956 sebagai komandan divisi menyegarkan kembali perkenalan itu, walaupun Liem sudah pindah ke Jakarta. Kepercayaan yang didapat Liem dari beberapa pembantu dekat Soeharto ternyata berguna ketika Soeharto menjadi presiden dan mencari pengusaha untuk dijadikan rekanan. Pada masa-masa awal Soeharto menjadi presiden, dia sering ngobrol dengan Liem yang sering bertamu ke kediamannya. Namun Liem sudah melihat gambaran akan mengembangkan kelompok bisnisnya yang melampaui koneksi sang presiden.

Pada Bab 1 kita bisa membaca bagaimana awal mula persahabatan Liem dengan Soeharto. Dua tokoh itu sama-sama punya naluri bagus tentang orang, dan menghargai kesetiaan. Kesamaan latar yang lain antara Liem dan Soeharto adalah minat dan kepercayaan mereka pada mistisisme. Liem sangat percaya takhayul, sering meminta saran para rahib Budha dan peramal Tao sebelum memulai usaha. Kepatuhan pada prinsip-prinsip fengsui menyebabkan dia sangat berhati-hati untuk tidak melakukan perubahan yang tidak perlu. Dia sering membiarkan segala sesuatunya seperti adanya agar sekadar hoki. Sedangkan Soeharto adalah penganut kebatinan – mistisisme Jawa – dan sering berkonsultasi kepada dukun. Keduanya cukup familiar dengan tempat-tempat keramat di Jawa. Salah satu tempat yang sering mereka ziarahi adalah Gunung Kawi di Jawa Timur. Bahkan Liem banyak sekali menyumbang bagi pemeliharaan kawasan itu dan membangun penginapan bagi peziarah.

Pada hari-hari pertama kepresidenannya, Liem menyarankan Soeharto untuk mengupayakan empat kebutuhan rakyat : pakaian, makanan, tempat tinggal, dan transportasi. Dari keempat bidang tersebut, Liem ditugasi Soeharto di ketiga bidang kecuali sandang. Setelah penugasan itu, ia kemudian mendirikan pabrik tepung Bogasari, pabrik semen Indocement, dan perusahaan perakitan Indomobil. Pilar lainnya adalah perbankan, dimana Liem memimpin lewat Bank Central Asia (BCA). Dengan bantuan bankir andal Mochtar Riady, BCA menjadi raksasa dan bank swasta terbesar di Indonesia. Liem mengalokasikan 30% saham bank tersebut untuk Soeharto, dengan menggunakan nama dua anaknya, Sigit Haryoyudanto dan Siti Hardiyanti Hastuti Rukmana. Kelompok bisnisnya : Salim, kemudian melebarkan sayap menjangkau banyak bidang lain termasuk industri kimia, perkebunan tebu dan kelapa sawit, pertambangan, kehutanan, farmasi, perkapalan, distribusi dan retail, komunikasi, dan industri hiburan. Salim tidak berpuas diri dengan hanya menjadi pemain domestik. Pada tahun 1971 setelah kepulangan Anthony dari studinya di Inggris, Salim aktif melancarkan ekspansi geografis keluar Indonesia agar tidak menaruh satu telur dalam satu keranjang. Setelah kejatuhan Soeharto pada tahun 1998, telur-telur yang ditaruh Salim diluar Indonesia itu terbukti sangat membantu upaya-upaya mengatasi utang dan menjaga Salim tetap di Indofood.
LSL Bertemu Soeharto



Untuk mengetahui akar serta asal usul Liem Sioe Liong, di Bab 2 dijelaskan mengenai riwayat keluarga serta masa kecilnya. Dia lahir dalam keluarga petani di sebuah desa kecil, 12 km sebelah timur Kota Fuqing, Fuzhou, Provinsi Fujian, China. Masyarakat di daerah itu berbicara dalam dialek Fuqing, lazim disebut Hokchia. Seperti banyak anak-anak desa di Tiongkok pada masa itu, dia menjalani hidup yang keras. Pada tahun 1937, Jepang menginvasi Tiongkok. Hukum dan ketertiban runtuh di banyak bagian negeri. Pada tahun 1938, perang sampai di daerah Liem. Dia kehilangan ayahnya setahun sebelumnya dan kini menghadapi wajib militer di depan mata. Sang ibu tak rela anak laki-laki kesayangannya pergi. Dihadang kenyataan seperti itu, mereka sepakat bahwa Liem harus bergabung dengan kakaknya, Sioe Hie, yang sudah berada di Jawa bersama paman mereka.

Di Jawa, keluarga Liem tinggal di Kudus. Ketika ia tiba di kota kecil itu, dia mulai berjualan pakaian yang dibawa dalam keranjang pikulan. Liem mendapati Kudus kota yang sangat menyenangkan, santai, dan berbeda dari desanya di Tiongkok. Tidak seperti di kampung halamannya, Liem merasakan buah langsung dari ketekunannya. Walaupun Kudus adalah kediamannya, Semarang-lah tempat Liem membangun kontak-kontak penting yang akan sangat membantunya berpuluh-puluh tahun kemudian. Keunggulan Liem dalam bisnis sangat dibantu oleh solidaritas kuat klan dialeknya, Hokchia. Klan Hokchia membangun reputasi orang-orang yang tangguh, banyak akal, dan bernyali. Mereka adalah pengambil risiko alami. Menurut Michael Beckman dalam bukunya Asian Eclipse, orang-orang dari daerah Fuzhou, meliputi kelompok Hokchia-Henghua-Hokchiu, mungkin tak sampai 5% total populasi Tionghoa perantauan di dunia, tetapi banyak pengusaha China perantauan paling besar dan paling sukses diantara mereka. Di Indonesia, pengusaha “kelompok Fuzhou” terkemuka termasuk mitra Liem sejak lama, Djuhar Sutanto. Dua orang Hokchia lain yang terkenal adalah mendiang pendiri dua pabrik rokok kretek Oei Wie Gwan (Djarum) dan Surya Wonowidjojo (Gudang Garam). Orang Hokchia-Indonesia terkenal lainnya adalah The Ning King pemilik Argo Manunggal Group.

Meski telah melakukan perniagaan dan memiliki pelanggan di Kudus serta Semarang, pada tahun 1952 Liem memutuskan untuk pindah ke Jakarta. Bagi Liem tindakan ini didorong oleh hasrat untuk mendapatkan uang lebih banyak daripada hanya mengandalkan untung tak seberapa dalam usaha perdagangan. Rumahnya pertama di Jakarta adalah Hotel Chiao Tung di kawasan pecinan Jalan Hayam Wuruk. Dari sana dia pindah ke Petojo dan kemudian membeli sebuah rumah di Jalan Gunung Sahari IV. Di kota inilah ia berkenalan dengan banyak tokoh-tokoh penting yang menjadi relasinya dalam berbisnis. Pada masa pemerintahan Soekarno, ada beberapa mitranya yang cukup penting. Salah satunya ialah Hasan Din, mertua presiden Soekarno, yang pernah ia bantu pada masa revolusi fisik. Sejak saat itu Liem berteman akrab dengan Datuk (sapaan kehormatan Hasan) dan menjadi relasi bisnis pribumi pertamanya. Meski bersahabat dengan mertua presiden, namun pada masa Orde Lama Liem tak mendapatkan perlakuan istimewa apapun. Pada tahun 1965, dengan bendera PT Mega ia bersama Hasan menjadi importir cengkeh. Untuk memperkuat hubungan mereka, Hasan juga menjadi komisaris serta direktur di beberapa perusahaan Liem. Sebelum Hasan wafat di tahun 1974, Liem membeli seluruh saham Hasan pada PT Mega. Pada tahun 1970-an, perusahaan inilah yang menjadi cash cow bagi Liem, karena ia beroleh lisensi impor cengkeh – bersama PT Mercubuana milik Probosutedjo – dari pemerintah.

Selanjutnya dalam Bab 6 kita akan melihat mitra penting Liem lainnya yang dikenal dengan “Geng Empat Serangkai”. Geng ini menjadi kelompok bisnis paling kuat selama era Soeharto. Selain Liem, geng ini diisi oleh Djuhar Sutanto, Ibrahim Risjad, dan Sudwikatmono. Pada akhir 1960-an, ketika empat orang ini mulai bekerjasama, kantor mereka hanyalah ruangan tak ber-AC seluas 8 meter persegi di Jalan Asemka. Pada mulanya kantor hanya punya satu meja dan dua kursi, sehingga jika keempat mitra mengadakan rapat, dua orang harus berdiri sedangkan dua lainnya duduk. Konglomerat yang muncul dari permulaan bersahaja ini lazim disebut Salim Group, pada dasarnya adalah ciptaan Soeharto. Soeharto menempatkan Liem bersama Dwi, dan menyarankan Liem agar bergabung dengan Djuhar. Mencomblangi mitra-mitra bisnis tampaknya menjadi aktivitas yang disukai pemimpin baru itu. Selain dengan Djuhar (Liem Oen Kian), sebenarnya Soeharto juga menyarankan agar Liem mengikutsertakan Jantje Liem. Namun karena perbedaan visi, kepribadian, serta latar belakang budaya (Jantje seorang peranakan yang tidak berbahasa China, sedangkan Liem dan Djuhar keduanya totok), Jantje tak jadi bergabung.

Dalam perjalanannya, keempat orang itu memberi sumbangan dan kekuatan yang berbeda-beda. Liem adalah pemimpin mereka semua, merekatkan kelompok. Dwi memiliki jalur ke puncak tertinggi dan menjalin hubungan baik dengan para pembantu presiden. Risjad adalah pedagang yang cakap, sedangkan Djuhar manajer yang energik dan fasilitator yang penuh perhatian. Pada masa-masa awal, Liem dan Djuhar masing-masing mendapat jatah 45% saham dalam kemitraan, sedangkan Dwi dan Risjad masing-masing mendapat jatah 5%. Ketentuan ini kemudian diubah menjadi masing-masing 40% untuk Liem dan Djuhar, dan masing-masing 10% untuk Dwi dan Risjad. Perlakuan istimewa yang diberikan kepada kelompok bisnis itu oleh pemerintahan Soeharto memungkinkan Salim berkembang luar biasa pesat. Karena menjangkau banyak sektor strategis dalam perekonomian Indonesia, keempat orang itu semuanya kaya raya pada awal 1990-an.

Meski mempunyai anak-anak perusahaan yang terus bertambah di bawah perusahaan induk, Geng Empat Serangkai tidak membatasi investasi dan aktivitas bisnis masing-masing anggota. Perkembangan bisnis independen milik para anggota Geng tak berpengaruh apapun pada kelompok bisnis tersebut. Liem punya bisnis sendiri yang sangat besar. Meski kecil, Djuhar juga punya bisnis sendiri. Begitu pula dengan Dwi dan Risjad masing-masing juga punya bisnis pribadi. Risjad memulai kelompok bisnisnya sendiri, Risjadson, pada tahun 1989 bersama kedua anaknya. Pada pertengahan 1990-an, kelompok ini memiliki 60 perusahaan yang meliputi properti, industri almunium, perbankan dan keuangan, agrobisnis, serat ban, dan film kemasan. Risjad dan Dwi bermitra di berbagai investasi diluar payung Salim, beberapa diantaranya melibatkan anggota keluarga besar Liem dan Djuhar. Pada tahun 1994, Risjad bersama Henry Liem (keponakan Liem) dan Andry Pribadi (sepupu Djuhar) membeli sebuah perusahaan perkebunan milik Inggris di Medan, London Sumatera. Seperti Dwi dan Liem, Risjad juga terjun ke bisnis perbankan. Banknya, Risjad Salim International, pada awalnya tak ada hubungannya dengan Salim Group. Namun saat krisis keuangan, Salim membantu dengan menyuntikkan dana kepada bank tersebut.

Sedangkan Dwi, ketika empat anaknya beranjak dewasa, masing-masing menerjuni bisnis dengan bantuannya. Dwi menyarankan agar anak-anaknya untuk bergabung dengan generasi kedua Salim Group, terutama Anthony Salim. Namun mereka memilih menempuh jalan sendiri. Dwi membantu investasi putrinya di restoran waralaba Amerika seperti Lawry’s, Planet Hollywood, dan Tony Roma’s. Anak laki-lakinya Agus Lasmono menjadi pemimpin sebuah kelompok bisnis batu bara, minyak, dan gas bernama Indika Energy yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta pada tahun 2004. Ketika krisis keuangan menghantam pada tahun 1997, bisnis Dwi sempoyongan. Dia berselisih dengan beberapa mitra lama termasuk Henry Pribadi pemilik Napan Group, sepupu Djuhar. Pertikaian lain timbul dengan Bambang Sutrisno, mitranya di jaringan supermarket Golden Truly dan Bank Surya yang kabur meninggalkan Jakarta pada tahun 1997. Pada April 1998, tujuh pekan sebelum Soeharto lengser, BPPN membekukan izin Bank Surya dan Bank Subentra milik Dwi.

Setelah membaca awal perkenalan Liem dengan Soeharto, selanjutnya pada fase kedua tulisan ini kita akan melihat tahap-tahap perjalanan Liem dalam membangun imperium bisnisnya. Pada fase akhir tulisan ini, saya juga akan mencuplik merosotnya dominasi Salim pasca kejatuhan Soeharto, serta kehidupan senja sang taipan. Namun sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya kita melihat suatu kejadian yang ditulis pada Bab 7. Dalam sub-bab yang berjudul “Kejadian yang Mengerikan di Rumah”, diceritakan tentang tragedi yang terjadi di rumah Liem pada bulan Juni 1966. Ketika itu Liem sedang pergi ke Singapura, menjadi anggota delegasi tak resmi Soeharto yang ingin mengakhiri politik konfrontasi yang ditempuh pendahulunya. Liem menuturkan kejadian tersebut: “Suatu sore sekitar pukul 16.30, seorang laki-laki berseragam marinir datang ke rumah mencari saya. Istri saya menyangka dia datang untuk minta uang, dan mempersilahkannya masuk. Tante (istri Liem) memberi tahu kalau saya sedang di Singapura. Lalu Tante masuk ke kamar untuk mengambil uang dan orang itu mengikutinya. Tetapi langkah orang itu terhalang oleh engsel pintu kasa yang rusak. Tante mendengar suara pintu dan membalikkan badan, dia tertegun melihat laki-laki itu memegang senjata api. Tante berteriak : “Jangan Pak!” Orang itu menembak dua kali, satu tembakan kena lengan Tante, satunya lagi kena perut. Tampaknya peluru itu meleset mengenai jantung dan menembus punggungnya. Benar-benar suatu kemujuran, kalau tidak Tante pasti sudah meninggal. Seandainya saya di rumah, saya pasti sudah dibunuh.” Ini untuk kedua kalinya Liem selamat dari maut, setelah sebelumnya di tahun 1949 ia juga selamat dari kecelakaan lalu lintas yang menewaskan dua penumpang yang semobil dengannya.

Pada bab ini kita juga bisa menengok sosok Anthony Salim, putra ketiga Liem, yang menyelesaikan pendidikan tingginya di Inggris. Dengan bekalnya itu, Anthony banyak memberikan ide-ide bisnis yang tak terpikirkan oleh ayahnya. Liem pernah mengatakan, bahwa anak laki-laki termudanya itu bijaksana melebihi umurnya. Dan Anthony menunjukkan kualitas itu dengan tidak berusaha tampil lebih bersinar dari ayahnya atau merebut sesuatu darinya. Bahkan setelah bertahun-tahun duduk di balik kemudi, Anthony terus menyampaikan laporan singkat kepada ayahnya tentang semua aspek rencana-rencana bisnis. Seperti ayahnya, Anthony paham cara kerja sistem patronase licik Orde Baru. Dan ia sadar betul bahwa patronase politik yang dinikmati ayahnya terbatas masa hidupnya. Sejak akhir 1970-an, dia sudah meyakinkan ayahnya tentang pentingnya berinvestasi di luar negeri dan mendorong Salim Group untuk mengeksplorasi peluang di luar Indonesia. Seiring tahun berlalu, Anthony membuat banyak kesalahan, sebagaimana yang terus terang diakuinya. Dia memberi satu contoh, kesalahan besar bisnis pertamanya adalah ketika mengimpor semen dari Korea Utara.


Dalam Bab 9 diterangkan bagaimana Liem memulai usaha pabrik semen. Hal ini bermula dari keinginan Soeharto yang tak ingin bergantung dari produsen asing. Pada tahun 1995, dalam sebuah pidato tanpa teks di Tapos, Bogor, sang presiden mengklarifikasi dugaan-dugaan yang berkembang di masyarakat dimana ia berkolusi dengan Liem dalam bisnis semen. Dia mengeluhkan bahwa suatu saat seorang investor Amerika berjanji ingin membangun dua pabrik, asalkan Soeharto tidak memberikan ijin bagi pabrik semen lain. Seandainya rencana itu diikuti, Indonesia harus mengandalkan impor dari pabrik Amerika Serikat dan “kita tidak akan pernah merdeka di bidang semen”, ungkap Soeharto. “Lalu saya memanggil Liem dan bertanya, ‘Kamu sanggup membangun pabrik semen’? dan dia menjawab, ‘Ya, saya sanggup’.

Investor Amerika itu pastilah Kaiser Cement & Gypsum, yang mulai membangun pabrik pada tahun 1971. Pada akhir 1980-an Kaiser menjual usaha patungannya, Semen Cibinong, dan pemegang saham utamanya adalah Hashim Djojohadikusumo. Semasa Soeharto, Kaiser Cement adalah investor swasta pertama di bidang semen, lalu di tahun 1973 Liem masuk dengan PT Distinct Indonesia Cement Enterprise. Pada tahun 1985, bisnis semen yang ia kendalikan membutuhkan suntikan modal. Soeharto yang dapat membuat peraturan apa saja sesuai kehendaknya, memberikan talangan dengan menyuntikkan modal sebesar Rp 364,33 miliar ke PT Indocement Tunggal Prakasa. Inilah perusahaan baru yang mengonsolidasikan pabrik-pabrik semen milik Liem. Para pengkritik menyayangkan talangan itu akan menjadi preseden, dimana pemerintah membantu bisnis swasta menggarap “komoditas vital”. Benar saja, skema peraturan seperti ini terulang kembali, ketika cengkeh dinyatakan sebagai komoditas vital yang menguntungkan Tommy Soeharto.

Dalam berbisnis, Liem tak takut mengambil risiko dan menjelajahi wilayah yang dia tidak tahu banyak. Modus operandinya adalah menemukan mitra yang tepat yang bisa menjalankan usaha baru untuknya. Bakat Liem adalah memastikan mana orang yang cakap dan berpengalaman yang bisa membantu mengembangkan kelompok bisnisnya. Mochtar Riady membawa perubahan dalam perbankan selama hampir 15 tahun. Robert Kuok sangat penting dalam pembangunan pabrik tepung, sementara di bidang semen Liem mendapat bantuan dari seorang mitra Taiwan yang diperkenalkan Chin Sophonpanich pemilik Bangkok Bank. Bidang lain dimana Liem membangun persahabatan yang indah adalah properti, dimana dia bergabung dengan pengembang piawai, Ciputra. Bisnis lainnya yang juga ikut digeluti Liem adalah otomotif, dimana ia kemudian mendirikan Indomobil, dan juga membeli sedikit saham Astra International.

Meski sudah memberikan banyak saham kosong kepada putra-putri presiden, pada akhir 1980-an Salim bekerja sama dengan Tutut di perusahaan jalan tol, Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP). CMNP adalah salah satu kasus awal yang menambah ketidaksukaan publik terhadap keluarga Soeharto. Salim juga menjalin berbagai hubungan bisnis dengan anak tengah Soeharto, Bambang, antara lain di bidang perkebunan tebu dan produksi penyedap masakan. Sebagai upaya mewujudkan segitiga pertumbuhan Singapura-Johor-Riau, Salim menggandeng Bambang dalam beberapa proyek di Kepulauan Riau. Pada saat usaha Salim-Bambang mulai mewujud, hampir semua bisnis di Batam ada kaitannya dengan keterlibatan keluarga Habibie. Soeharto menunjuk Habibie sebagai ketua Badan Otorita Batam, setelah “raja minyak” Ibnu Sutowo gagal menjalankan instruksi presiden.

Tak cuma di dalam negeri, Salim juga terjun ke kancah internasional. Pada awal 1970-an, Liem tak pernah berniat untuk melakukan bisnis pada tataran regional, karena peluang di Indonesia melimpah ruah. Kendati demikian, mempunyai kedudukan di pusat-pusat keuangan Singapura dan Hongkong terbukti penting bagi pertumbuhan. Ekspansi Salim ke luar negeri terutama didorong oleh keinginan Anthony yang tak ingin bergantung pada sang patron. Rencana ini kemudian bisa terwujud ketika pada tahun 1981, ia bekerjasama dengan seorang bankir Filipina, Manny Palinganan, mendirikan perusahaan First Pacific. Dalam perjalanannya perusahaan itu mengalami pasang surut seperti halnya hubungan Manny dan Anthony. Di akhir 1980-an, First Pacific mendayung ke banyak tempat. Disamping First Pacific yang berbasis di Hongkong, Liem juga memiliki kendaraan lainnya yang berbasis di Singapura: KMP. Walaupun Singapura merupakan simpul jaringan penting (Liem punya rumah disana pada tahun 1970-an), negara itu baru menjadi tempat investasi Liem sejak tahun 1990. Beberapa faktor yang berperan dalam peningkatan aktivitas Salim di Singapura ialah karena kedekatannya dengan Batam, dimana investasi kelompok itu berkembang pesat.

Geng Empat Serangkai : Liem, Dwi, Djuhar, dan Ibrahim (sumber : tribunnews.com)
Yang menarik dari semua bisnis Salim adalah industri mie. Kisah bagaimana Salim menjadi raksasa mie mencerminkan bagaimana kuatnya kelompok ini pada masa Orde Baru. Empat tahun setelah Bogasari mulai menggiling tepung, Salim tak berusaha membuat apapun dengan tepung yang diproduksinya. Menurut Anthony, Salim masuk bisnis mie karena kebetulan. Walaupun mie instan – merek Supermie dan Indomie — sering dihubungkan dengan Salim, namun asal mulanya justru tak ada sangkut pautnya dengan kelompok tersebut. Pada tahun 1968, sebuah perusahaan bernama Lima Satu Sankyu mempelopori produksi pertama mie instan buatan Indonesia, “Supermie”. Dua tahun kemudian produsen mie lainnya Djajadi Djaja mendirikan PT Sanmaru Food Manufacturing yang mulai menggunakan mereknya sendiri, “Indomie”. Sembilan tahun berikutnya giliran Salim mendirikan PT Sarami Asli Jaya, dengan merek “Sarimi”. Langkah Salim ikut memproduksi mie, didorong oleh kelangkaan beras di akhir dekade 1970-an. Dengan gerak ambisius, Salim lalu memesan 20 lini produksi dari sebuah pemasok Jepang. Setiap lini bisa memproduksi 100 juta bungkus mie instan per tahunnya.

Pada awal 1980-an, produksi beras di Indonesia mulai membaik, dan pemerintah tak mau lagi membeli mie dari kelompok ini. Dihadapkan pada kapasitas produksi yang berlebih dari jumlah mie yang dihasilkan, Salim menimbang-nimbang opsi lain. Akhirnya kelompok ini memutuskan untuk mendekati Djajadi, pemilik Indomie. Mengenai langkah ini Anthony menuturkan, “maka kami-pun mendatangi Indomie dan berkata, ‘kalian konsumen (tepung) saya, kami punya kelebihan lini … Bisakan kalian melakukan sesuatu? Sebab saya tidak mau bersaing dengan kalian”. Namun Djajadi tidak menginginkan lini itu, yang berbeda operasi dengan lini Indomie miliknya. Jadilah Sarimi-nya Salim bertarung dengan Indomie milik Djajadi. Salim mengeluarkan biaya lebih dari USD 10 juta untuk memasarkan merek barunya dan memasang harga persis di bawah Indomie. Dalam setahun Sarimi memperoleh 40% pangsa pasar, karena lebih murah dari merek-merek lain. Djajadi merasakan keperkasaan Salim dan kemudian menyerah. Pada tahun 1984, mereka membentuk sebuah usaha patungan, PT Indofood Interna, dimana Djajadi memegang 57,5% saham dan Salim 42,5%. Dalam dua tahun perkawinan Indomie dan Sarimi, mereka sudah cukup kuat untuk mengakuisisi Supermie. Bagi Salim, perjalanan dari tidak punya peran di industri mie menjadi memiliki 42,5% saham sebuah perusahaan yang mengontrol tiga merek ternama adalah perjalanan yang cepat.

Dalam periode beberapa tahun menyusul pembentukan Indofood Interna, kontrol bergeser dari Djajadi ke tangan Salim. Hal ini dikarenakan pertikaian internal di kubu Djajadi, yang akhirnya sebagian dari mereka menjual sahamnya ke pihak Salim. Sosok kunci dalam pergeseran saham adalah saudara ipar Djajadi, Pandji Kusuma, yang juga menjadi pemegang saham di perusahaan yang dipimpin Salim, PT Panganjaya Intikusuma yang kemudian menjadi PT Indofood Sukses Makmur. Tahun 1992 Djajadi kembali mendapat pukulan telak. Salim memutuskan untuk berhenti menggunakan perusahaan distribusi Wicaksana miliknya, dan mengalihkan pekerjaan itu ke Indomarco Prima. Pada tahun 1998, tujuh bulan setelah Soeharto turun, Djajadi menggugat Indofood, Anthony, dan Geng Empat Serangkai. Dalam gugatannya, pengusaha asal Medan itu menyatakan bahwa 11 merek dagang makanan miliknya – tiga diantaranya yang paling populer pada saat itu – dipaksa dijual kepada tergugat seharga Rp 30.000. Pada Februari 2000, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan putusan yang mementahkan gugatan Djajadi. Dan putusan yang sama juga dinyatakan oleh Mahkamah Agung, setelah Djajadi mengajukan banding ke lembaga tersebut.

 Pada Mei 1998, saat kerusuhan meledak, keluarga Salim merupakan salah satu pihak yang diincar. Laporan Tempo menyebutkan, rumah Liem di Gunung Sahari, Jakarta Pusat dibakar oleh sekelompok preman. Dalam Bab 17, diceritakan bagaimana Anthony menghadapi situasi mencekam itu. Ketika kerusuhan melanda Jakarta, semua anggota keluarga – kecuali Anthony – tidak berada di Indonesia. Liem berada di Los Angeles untuk operasi mata, ditemani istri dan anak perempuannya. Istri dan anak-anak Anthony berada di Singapura. Begitupula dengan Andree yang telah memindahkan keluarganya untuk berjaga-jaga dari kemungkinan kekerasan. Malam hari tanggal 13 Mei, Anthony tidak langsung pulang ke rumah dari kantornya di Wisma Indocement. Dia mengikuti eksekutif kepercayaannya, Benny Santoso, untuk bermalam di Hotel Shangri-La, tak jauh dari kantornya. Tetapi di tengah malam, setelah merasa aman, Anthony memutuskan untuk pulang ke rumah. Pada fajar tanggal 14 Mei, situasi di kawasan Jakarta Utara semakin mencekam. Seorang satpam yang bekerja di rumah Salim, menyarankan Anthony untuk meninggalkan rumah segera. Dia lalu memilih untuk menuju kantornya.

Beberapa jam di Wisma Indocement, Anthony mendapat telepon dari rumah. Kabarnya di depan rumah ada beberapa truk yang menurunkan sekelompok pemuda bertampang garang, memaksa masuk ke dalam rumah. Melalui sambungan telepon, Anthony memutuskan untuk tak menghalangi gerombolan tersebut. Mereka akhirnya diizinkan masuk oleh seorang anggota keluarga, Sutoyo, kerabat istri Liem yang mengawasi kompleks itu bersama seorang penjaga. Kemudian secara sistematis, mereka mulai membakar mobil di garasi, lalu masuk rumah dan membakar furnitur. Mereka juga mencopot lukisan dari dinding dan mengobrak-abrik kamar-kamar. Tak ada yang terluka dalam serangan tersebut. Untuk membuktikan rumah kroni Soeharto sudah diserang, orang-orang itu menyeret ke jalan foto besar Liem dan istrinya, dan mereka mencabik-cabiknya dan berparade berkeliling memamerkan bingkai remuk. Gambar-gambar adegan itu beredar luas, termasuk yang ditampilkan oleh mingguan Tempo.

Setelah pengunduran diri Soeharto, gerakan reformasi memberikan tekanan bagi perubahan sistem politik. Bagi banyak orang Indonesia yang hidup di bawah rezim autokrat yang represif, harapan bagi reformasi semakin lantang diserukan. Sementara itu, di bidang bisnis para saingan Liem mengasah golok bersiap sedia menebas privilese yang diberikan kepadanya. Dihadapkan pada samudra perubahan, beberapa eksekutif Salim tidak yakin dengan masa depan kelompok bisnis mereka. Andree Halim merasa permusuhan yang diperlihatkan setelah Soeharto turun membuatnya ingin berhenti bekerja di Indonesia. Jadilah perjuangan menyelamatkan Salim menjadi beban Anthony sendirian. Dia kemudian mulai menyusun strategi yang mengharuskannya untuk menjalin hubungan baik dengan Habibie – presiden pasca-Soeharto — seraya menjaga agar serangan balik anti-Liem tak merebut semua aset miliknya. Dari “centre of crisis” di Singapura, Anthony memusatkan pikiran pada rencana kembali ke Jakarta dan memperjuangkan kelangsungan hidup bisnis Salim Group.

Pada tanggal 21 Agustus 1998, pemerintah mengumumkan rencana rekonstruksi perbankan nasional, yang meliputi merger empat bank besar milik negara. Rekonstruksi itu juga mengharuskan Liem untuk melepaskan bank andalannya, Bank Central Asia (BCA). Pada saat krisis 1998, BCA memang tergolong tidak sehat. Para pejabat pemerintah mengisyaratkan bahwa setidak-tidaknya separuh utang bank tersebut merupakan utang intra-kelompok. Angka ini jauh di atas level 20% dari yang diperbolehkan. Untuk menyelesaikan utang-utang tersebut, Liem diberi waktu hingga 21 September. Pada hari yang ditentukan, Salim menandatangani kesepakatan untuk menyelesaikan utang yang diambil perusahaan-perusahaannya. Setelah meneken komitmen pelunasan utang tersebut, Anthony mengintensifkan perundingan dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Untuk mencapai kesepakatan penyelesaian utang, Anthony menyampaikan semua daftar aset Salim kepada juru runding pemerintah. Pendekatannya kata Anthony, “apa saja yang ingin Anda ambil, sejauh masih milik keluarga Salim, bisa kita rundingkan“. Namun dia berusaha agar aset-aset yang sudah diagunkan ke bank tidak diperhitungkan. Strategi inilah yang kemudian menolongnya untuk tetap mengontrol Indofood, dimana sebagian besar sahamnya ketika itu diagunkan sebagai jaminan utang perusahaan.

Pada masa Orde Baru, imperium Salim dibangun di atas tiga pilar : perbankan (BCA), bahan bangunan (Indocement), dan makanan (Bogasari dan Indofood). Kejatuhan Soeharto pada Mei 1998 membahayakan ketiga pilar itu, dimana seperti yang telah diterangkan di atas, pilar perbankan ambruk tak lama setelah lengsernya sang penguasa. Pilar semen roboh agak perlahan. Namun Anthony mendapatkan jalan untuk menyelamatkan pilar ketiganya, makanan, dan itu memungkinkan Salim untuk tetap menjadi konglomerasi besar. Anthony berusaha bertahan pada Indofood melebihi yang lain-lainnya. Dia begitu mencintai lini bisnis ini. Ada alasan mendesak untuk mempertahankan genggaman atas Indofood, yakni arus kas. Ketika ekonomi menyusut 13% pada tahun 1998, arus kas Indofood tetap kuat. Itulah mengapa ketika mereka butuh bantuan untuk melunasi utang-utang grup, Anthony berusaha mati-matian menolak Nissin (produsen mie terbesar di Jepang) menjadi pengendali Indofood. Anthony memilih melepaskan sebagian sahamnya kepada First Pacific, dimana Salim juga menjadi salah satu pengendalinya.

Seperti halnya fase alamiah kehidupan manusia, tibalah masa dimana akhir senja kala sang taipan. Dalam tahun-tahun sesudah kejatuhan patronnya, Liem menghabiskan sebagian besar waktunya di Singapura. Dia menjalani kehidupan yang lebih banyak menyendiri, jauh dari hari-harinya sebagai salah seorang yang paling dikenali di dunia korporat Indonesia. Tidak seperti di Jakarta dimana dia terus-menerus dikejar orang, dia bisa bergerak kemana-mana di republik pulau itu nyaris tanpa gangguan. Selain rutin berkantor – meski tak ada lagi bisnis riil yang ia lakukan, Liem sesekali pergi ke Tiongkok sejauh kesehatannya mengizinkan. Dia sangat menikmati pergi ke kampung halamannya, Fuqing, yang menyambutnya dengan tangan terbuka. Sebelum kesehatannya merosot, Liem kadang-kadang juga melakukan kunjungan singkat ke Jakarta, dan jika memungkinkan dia akan mampir ke Jalan Cendana untuk menemui teman lamanya, Soeharto. Liem mengenang kunjungannya ke Cendana pada akhir 2006, “Kami mengucapkan selamat berpisah di pintu, dan Pak Harto menangis”. Tak lama setelah itu sang patron wafat. Dan empat setengah tahun kemudian — yakni pada 10 Juni 2012 – Liem meninggal dunia di Rumah Sakit Raffles Singapura.


Meninggalnya Liem mengundang pernyataan belasungkawa yang jarang-jarang terlihat di Singapura untuk tokoh non-politik. Orang dari seluruh penjuru kawasan datang berduyun-duyun menghadiri sepekan perkabungannya. Permintaan karangan bunga begitu besar hingga terjadi kekurangan bunga segar di negara itu selama beberapa hari. Teman-teman dan rekanan bisnis membanjiri surat kabar Indonesia dan Singapura dengan pernyataan turut berbelasungkawa. Pada perkabungan, tenda-tenda dilengkapi AC, dan hotel Mandarin Orchard Singapore – dikendalikan oleh Lippo Group, menyediakan makanan bintang lima bagi para tamu. Para tamu dari Indonesia meliputi mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, Titiek dan Mamiek Soeharto, serta Prabowo Subianto. Eulogi berbunga-bunga datang dari Tiongkok, terutama dari provinsi asal Liem : Fujian. Meski agak sunyi, penghargaan atas Liem juga muncul di beberapa bagian surat kabar Indonesia. Salah satunya ialah Jakarta Post yang memuat ulasan Jusuf Wanandi. Dalam rubrik pada surat kabar berpengaruh tersebut Jusuf mengatakan: “Dia selalu pro-Indonesia, walaupun tidak pernah melupakan asal usul Tiongkoknya. Dia tahu rotinya diolesi mentega di Indonesia dan dia menjadikan negeri ini tanah air barunya.”

Apapun penilaian Anda tentang sosok Liem, benar apa yang disampaikan Endy Bayuni, mantan pemimpin redaksi Jakarta Post: “Baik atau buruk, Liem adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah bangsa”.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.