PERANG DAGANG AMERIKA JEPANG 1980

Pada tahun 1980, Jepang melakukan pembelian besar-besaran di Amerika Serikat, menelan aset Amerika kanan kiri. Pembelian ini dimulai dari Detroit, yaitu pembelian sparepart mobil Amerika. Namun justru dari sana, terjadi peningkatan yang pesat.

Berikut ini urutan belanja Jepang kepada Amerika Serikat:

1980: Jepang membeli spareparts mobil di Detroit -- busi, gigi roda, as roda, dan ban.

1982: Jepang membeli Perusahaan Rouge Steel Corp. di Detroit yang merupakan milik Ford. Perusahaan besar ini memproduksi 2.5 juta ton besi setiap tahunnya dan mempekerjakan 6000 buruh.

1986: Shuwa Corp, sebuah developer real estate Jepang mengumpulkan lebih dari $2 miliar kepemilikan Amerika Serikat dan membuat kesepakatan untuk membeli kantor perusahaan ABC, serta Arco Plaza di Los Angeles, CA.

1987: Jepang membeli kantor pusat Mobil Oil di New York seharga $250 juta.

1988: Jepang membeli Firestone Tire & Rubber Co. seharga $2.5 juta.

1989: Perusahaan Sony dari Jepang membeli Columbia Pictures milik Amerika seharga $3.4 juta (tunai) untuk menandai akuisisi terbesar di Amerika Serikat oleh perusahaan Jepang.

1989: Perusahaan Mitsubishi membeli Rockfeller Center seharga $846 juta.


Jepang Sukses Merajai Amerika Tahun 1980, Ini Fakta-faktanya!




Sushi, Kartun, dan Pornografi

Seiring dengan tingginya belanja Jepang di Amerika Serikat, begitu juga dengan kebudayaan dan prinsip bisnisnya.

Antara 1979-1982, posisi Jepang di layar lebar dan layar kaca di AS meningkat sebanyak 50%, yang menampilkan kartun-kartun ikonik seperti Thunder Cats dan Transformers kepada anak-anak muda di Amerika.

Hollywood mulai memperkenalkan sosok bos Jepang di film blockbuster seperti Back to The Future 2. Penggambaran ini tercermin di masa depan dimana para pekerja Amerika memiliki bos dan mendapat perintah dari Jepang.

Pengaruh Jepang juga bisa terlihat di film Die Hard yang diperankan Bruce Willis, dan sebagian besar film menampilkan Nakatomi Tower, rumah bagi kantor perdagangan Nakatomi Trading di L.A.

Dalam sebuah artikel oleh koran New York Times tahun 1982 berjudul, "Culture of Japan Blossoming in America", yang membahas perubahan kebudayaan ini secara dalam dan menyebutkan sushi, arsitektur, pornografi, dan seni sebagai area yang terpengaruh.


Kaizen: Filosofi Bisnis Jepang untuk Terus Menerus Maju

Meskipun ada beberapa praktek dan filosofi bisnis Jepang yang berhasil masuk ke ruang rapat Amerika, Kaizen telah menjadi yang paling monumental.

Tahun 1986, Masaaki Imai menulis "Kaizen: Kunci Sukses Jepang pada Tahun 1986", yang menyoroti filosofi bisnis Jepang ini yang diterjemahkan menjadi "kemajuan terus menerus".

Kaizen fokus membuat lingkungan kerja jadi lebih efektif dan efisien dengan menciptakan atmosfir tim yang berpusat pada kemajuan yang konstan.

Saat ini, filosofi Kaizen digunakan perusahaan Ford, Starbucks, dan Nestle. Walaupun pada akhirnya Jepang tidak menguasai Amerika Serikat, masih ada restoran sushi di setiap sudut jalan.

 Istilah “perang dagang” muncul di berbagai pemberitaan media massa global dan lokal selama dua bulan terakhir.

Ini dipicu ketegangan ekonomi antara Amerika Serikat dan Cina terkait kegiatan ekspor - impor kedua negara, yang cenderung menguntungkan Cina hingga sekitar US$375 miliar atau sekitar Rp5200 triliun per tahun.

Baca: Baca: Perang Dagang, Media Cina Yakin Bakal Menang Lawan Amerika

"Pada 1930an AS pernah mengeluarkan kebijakan tarif untuk proteksi pabrik domestik," begitu dilansir CNBC pada awal April 2018.

CNN melansir istilah perang dagang berarti situasi kompetisi antar-negara yang ditunjukkan dengan satu negara mengenakan hambatan perdagangan berupa kenaikan tarif atau pembatasan kuota terhadap produk impor dari negara lain. Ini menimbulkan aksi balasan dari negara yang merasa dirugikan.


Pernyataan Presiden AS, Donald Trump, pada Maret 2018, yang mengenakan kenaikan tarif impor 25 persen dan 10 persen atas produk baja dan aluminium, memicu terjadinya ini.

Cina membalas, seperti dilansir Reuters, dengan menaikkan tarif impor untuk produk pertanian AS dengan kisaran sama. Dan ini melebar ke ribuan daftar produk antarkedua negara seperti elektronik, komponen mobil hingga pesawat terbang.


Ini bukan pertama kalinya AS terlibat perang dagang. Pada 1930 an, Amerika juga melakukan kebijakan proteksionis. Kongres membuat peraturan soal tarif yang dikenal sebagai Smoot-Hawley Tariff Act. Ini dilakukan untuk melindungi pabrik-pabrik di AS yang kalah bersaing dengan pabrik dari berbagai negara untuk menjual produk di pasar AS sendiri.

Negara-negara Eropa yang terkena imbas undang-undang itu lalu membalas mengenakan pajak tinggi untuk berbagai produk impor asal AS. “Bukannya membangkitkan ekonomi, ini malah memperparah Great Depression (era Depresi Besar). Ini membuat AS semakin sulit untuk keluar dari krisis ekonomi saat itu,” begitu dilansir CNBC pada awal April 2018.

Perang dagang ini meluas dengan munculnya berbagai retorika nasionalistik dari berbagai tokoh di berbagai negara hingga akhirnya berdampak terjadinya perang bersenjata dengan dimulainya Perang Dunia II pada 1940an.

AS juga kembali terlibat perang dagang dengan Jepang pada era 1980 an dengan mengenakan tarif tinggi untuk sejumlah barang impor pada era Presiden Ronald Reagan. Ini seperti produk baja dan mobil dari Jepang, yang laku keras di AS. Sejumlah pabrik baja AS menjadi tutup.

“Defisit perdagangan AS dengan Jepang naik dari US$9,1 miliar (sekitar Rp126 triliun) menjadi US$37 miliar (sekitar Rp513 triliun) dari 1979 sampai 1984,” begitu dilansir Japan Times.

Untuk menghindari berkembangnya perang dagang ini, negara-negara menyetujui aturan yang lebih ketat oleh World Trade Organization.

Komoditas baja kembali menjadi ‘bintang’ pada perang dagang antara AS dan Eropa pada 2002. Saat itu, Presiden George W. Bush, mengenakan tarif hingga 30 persen untuk impor baja. “Tapi tarif itu segera dicabut hanya dalam waktu dua tahun dari rencana tiga tahun karena mendapat ancaman dari rekan bisnis perusahaan Eropa,” begitu dilansir CNBC.

Bekas Menteri Perdagangan, Carlos Gutierrez, era Presiden Bush senior, mempertanyakan upaya pemerintahan Trump saat ini untuk menyelamatkan industri baja dan aluminium. Pada awal Mearet, Trump mulai mengumumkan kenaikan tarif impor baja dan aluminium sekitar 25 dan 10 persen untuk melindungi para pekerja pabrik baja dan aluminium di AS.

Menurut Gutierrez dalam wawancara dengan CNBC, serapan tenaga kerja kedua industri ini telah menurun sejak puncaknya pada 1953.

“Berpikir kita akan bisa mengembalikan industri ini ke masa jayanya agak naif,” kata Guiterrez, yang sekarang menjabat sebagai ketua Albright Stonebridge Group. “Mengapa mencoba mengembalikan industri yang telah turun selama beberapa dekade dan bukanya menciptakan industri baru.”

Belakangan Cina dan AS menjajaki pertemuan untuk membahas tarif impor kedua negara untuk menghindari melebarnya perang dagang, yang bisa berdampak pada melambatnya pertumbuhan ekonomi global. 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.