MEMAKNAI PERANG DAGANG CHINA AMERIKA

Sejak 24 September lalu Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengenakan tarif masuk sebesar 10% atas berbagai produk China. Tindakan tersebut merupakan respons Amerika atas defisit perdagangannya dengan Tiongkok yang dari tahun ke tahun semakin melebar. Untuk menekan produsen manufaktur asal Tiongkok, Trump malah sudah berencana akan menaikan tarif tersebut menjadi 25% di akhir tahun ini. Kejadian itu sontak menghebohkan dunia, termasuk Indonesia yang sedikit banyaknya bakal terpengaruh. Kebijakan Trump yang disebut para ekonom sebagai pemicu perang dagang itu, sebenarnya berkebalikan dengan semangat Amerika yang menginginkan keterbukaan ekonomi. Kalau kita ingat pada dekade 1970-an, Amerika Serikat-lah yang meminta China agar membuka pasarnya bagi produk-produk luar. Sejumlah perjanjian antara China dengan negara lain ditandatangani sebagai respons permintaan dunia atas kebijakan pemerintahan komunis yang tertutup. Setelah mendorong China membuka pasarnya, Amerika kemudian mengajak negara tersebut bergabung ke dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Tahun 2001, China akhirnya mau bergabung ke dalam WTO, dengan harapan akan menguntungkan mereka.

Seiring dengan keikutsertaan China di organisasi tersebut, banyak peraturan yang sebelumnya cenderung tertutup, kemudian diratifikasi. Negara tirai bambu itu meliberalisasikan sektor jasanya, serta membuka kesempatan bagi investor asing untuk menginvestasikan dananya. Berdasarkan data Thomson Reuters, pada tahun 2013 China menerima dana asing (foreign direct investment) sebesar USD 245 miliar. Angka ini naik 6,5 kali lipat dibandingkan tahun 1997 yang cuma USD 45 miliar. Karena kebijakan pemerintahnya yang pro-pengusaha lokal, derasnya dana asing yang masuk ke China disertai pula dengan meningkatnya transfer teknologi dan kemampuan manajerial. Dengan membanjirnya modal asing, teknologi yang mumpuni, serta manajemen yang baik, banyak perusahaan manufaktur yang sebelumnya merakit produknya di negara maju beralih ke daratan China. Akibatnya industri manufaktur berkembang cukup pesat, dan ekonomi China-pun bertumbuh dua digit selama dwi dasawarsa.

Faktor Pertumbuhan Tiongkok

Ada beberapa faktor yang menyebabkan cepatnya pertumbuhan Tiongkok. Diantaranya adalah kebijakan moneternya yang cenderung manipulatif, serta biaya produksinya yang relatif rendah. Perlu disampaikan bahwa murahnya produk-produk China di pasaran, disebabkan oleh kapasitas produksi mereka yang terlanjur besar. Anda bisa bayangkan dengan pasar domestik mencapai 1,35 miliar jiwa, betapa besarnya kapasitas produksi yang perlu mereka siapkan. Namun seiring berjalannya waktu, kapasitas yang terlanjur besar itu menjadi mubazir. Dikarenakan biaya overhead yang mereka keluarkan tak terlampau jauh — baik memproduksi sedikit ataupun banyak, akhirnya mereka memutuskan untuk memproduksi barang secara massal. Simpelnya, memproduksi 1.000 unit, biayanya tak akan selisih jauh dengan memproduksi 10.000 unit.

Selain kapasitas produksi, biaya upah yang rendah juga menjadi faktor murahnya barang-barang buatan China. Sejak tahun 1998, China bersama negara-negara ASEAN dan India, telah menjadi pusat alih daya (outsourcing) kegiatan manufaktur. Hal ini dikarenakan upah tenaga kerja di negara-negara tersebut yang relatif murah. Sebenarnya kegiatan outsourcing itu juga merupakan ide dari para pengusaha Amerika. Mereka memindahkan basis produksinya dari Amerika ke daratan China, dikarenakan upah buruh di negeri Paman Sam sudah terlampau tinggi. Jadi membanjirnya produk-produk murah China diseluruh dunia, secara tak langsung juga disebabkan oleh ulah para kapitalis Amerika yang hendak mencari keuntungan sebesar-besarnya. Beberapa perusahaan Amerika yang melakukan alih daya antara lain Nike, Apple, IBM, Wal-Mart, dan Cisco Systems.

Faktor berikutnya yang menjadi masalah dan memicu kemarahan Amerika adalah aksi devaluasi mata uang. Dengan menurunkan nilai yuan terhadap mata uang utama lainnya, maka harga barang made in China menjadi lebih kompetitif. Caranya, Bank Sentral China mengguyur yuan ke pasar melalui cadangan devisanya yang besar itu. Sejak tahun 2003-2014, China merupakan manipulator mata uang terbesar di dunia. Pada periode ini, ekonom Fred Bergsten menilai setiap tahunnya China telah mengucurkan sekitar USD 300 miliar untuk menjaga mata uangnya agar tetap rendah. Akibat aksi tersebut, Amerika melayangkan protes diplomatik ke pemerintahan China. Di tahun 2014, China sempat menghentikan aksinya tersebut. Namun satu tahun kemudian dikarenakan ekspor China yang terus melemah, bank sentral mereka kembali menurunkan nilai yuan sebanyak 2%. Dengan pelemahan ini, harga produk-produk mereka bisa kembali bersaing di pasaran, dan kegiatan ekspor China mulai menggeliat. Pada tahun 2015, tercatat ekspor Tiongkok ke Amerika mencapai USD 483,2 miliar, naik dibanding tahun sebelumnya yang cuma USD 468,5 miliar. Meski di tahun 2016 mengalami penurunan, namun pada tahun 2017 ekspor China ke Amerika kembali meningkat, dan defisit perdagangannya-pun mencapai titik tertinggi.



Reaksi Amerika Serikat

Defisit Perdagangan AS-China

Melihat defisit perdagangan yang semakin menganga — seperti yang telah disampaikan di awal, Amerika melakukan pengenaan tarif kepada produk-produk China. Saat ini total bea masuk yang dikenakan Amerika untuk impor produk-produk Tiongkok sudah mencapai USD 250 miliar. Sementara total bea masuk yang diterapkan China untuk produk-produk Amerika hanya sebesar USD 110 miliar. Seperti yang dilansir CNBC Indonesia, Trump nampaknya merasa yakin bahwa Amerika akan memenangkan friksi ini. Pernyataan Trump tersebut boleh jadi ada benarnya, kalau kita melihat beberapa indikator dalam enam bulan terakhir. Indikator pertama yang bisa digunkan adalah Purchasing Managers Index (PMI) yang menggambarkan ekspansi dunia usaha. Sejak Mei 2018, nilai PMI China terus menurun dan mencapai 50,8 pada bulan lalu. Jika dilihat tren selama 6 bulan terakhir, maka kecenderungannya terus menurun. Indikator kedua ialah dari tingkat inflasi yang cenderung meningkat. Dimana pada bulan September lalu, tingkat inflasi konsumen berada di angka 2,5% year-on-year (YoY), naik dibandingkan bulan sebelumnya yang cuma 2,3% YoY.

Indikator ketiga adalah data laba perusahaan manufaktur di China yang terus melambat. Pada bulan Agustus, pertumbuhan laba mereka hanya sebesar 9,2% YoY, menurun dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 16,2%. Indikator keempat ialah pertumbuhan produksi industri, dimana bulan lalu cuma sebesar 6,1% YoY. Angka ini merosot cukup tajam jika dibandingkan pertumbuhan pada bulan Februari yang mencapai 7,2%. Long Guoqiang, Wakil Kepala Pusat Kajian Pembangunan China mengungkapkan “Beberapa perusahaan mungkin akan mengurangi produksi. Sedangkan yang lain bisa mengurangi karyawan, bahkan ada yang sampai tutup.” Apabila korporasi China terus melemah, maka dampaknya terhadap rumah tangga tinggal menunggu waktu. Jika ekspor, investasi, dan konsumsi terus melambat, maka pertumbuhan ekonomi China-pun berada di ujung tanduk. Konsensus yang dihimpun Reuters memperkirakan pertumbuhan ekonomi China pada kuartal III-2018 sebesar 6,6%, melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang berada di level 6,7%. Indikator kelima adalah semakin mengecilnya defisit perdagangan Amerika terhadap China. Walau negeri tirai bambu itu telah memperlemah mata uangnya hingga ke level 7%, namun berdasarkan data United States Census Bureau, di bulan Juli 2018 lalu defisit perdagangan Amerika tinggal USD 222,6 miliar. Angka ini menurun cukup besar jika dibandingkan tahun 2017 yang mencapai USD 375,5 miliar. Meski data-data di atas masih terlalu dini untuk menyimpulkan kalau China kalah dalam peperangan ini, namun sebagai indikator awal, data tersebut bisa menjadi penanda arah pertumbuhan ekonomi Tiongkok ke depan.



* * *

Walau untuk sementara Amerika mampu memenangkan pertarungan, namun permainan ini harus disikapi secara hati-hati. Tiongkok bisa saja membalikan keadaan dan mengendalikan ritme permainan. Terlebih, mereka merupakan pemegang terbesar surat hutang Amerika (US Treasury Notes) yang mencapai USD 1,17 triliun. Jika saja mereka melepas surat hutang tersebut ke pasaran, maka tingkat suku bunga Amerika langsung melonjak, dan ini akan mendorong negeri Paman Sam ke jurang resesi. Meski China bisa saja mengambil opsi tersebut, namun nampaknya pemerintahan Xi Jinping lebih bertindak diplomatis dan memikirkan kepentingan jangka panjang. Disamping memperhatikan kebijakan moneter yang diambil pemerintahan Trump, Tiongkok mesti segera memperdalam hubungan dagang dengan mitra-mitra lain dari Uni Eropa, Asia Tenggara, Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Selatan. Karena kunci kemenangan Amerika selama ini adalah kemitraan dan aliansi yang kuat dengan pemain-pemain utama dunia. Amerika tak segan-segan memberikan kredit lunak kepada para mitranya, untuk mendorong pembelian produk-produk mereka. Meski China juga telah melakukan hal yang sama, namun terlihat kalau mereka masih kalah pamor. Saat ini baru negara-negara Afrika yang menerima Tiongkok dengan setulus hati. Beberapa negara lain masih menaruh curiga atas kebaikan yang mereka tawarkan. Inilah saatnya bagi China untuk memperlihatkan kepiawaian diplomasinya, meyakinkan para mitra bahwa pinjaman yang dikucurkan semata-mata untuk pembangunan ekonomi dan keuntungan bersama.

Disamping itu, yang perlu diwaspadai oleh pemerintah China adalah bagaimana melemahnya perekonomian Jepang pasca pengenaan tarif oleh Amerika. Ya, di awal dekade 1980-an, Amerika juga pernah melakukan aksi yang sama terhadap Jepang. Ketika itu Amerika merasa industri manufakturnya mulai berdarah-darah disebabkan oleh membanjirnya produk-produk Jepang. Dengan membesarnya ekspor Jepang ke Amerika, Produk Domestik Bruto (PDB) Jepang-pun hampir mendekati 70% PDB Amerika. Untuk menghentikan defisit perdagangan, Amerika kemudian mengenakan tarif yang cukup tinggi terhadap produk-produk baja dan otomotif yang diimpor dari negeri sakura. Meski ditentang oleh banyak pihak, namun strategi pemerintahan Ronald Reagen tersebut ternyata berbuah hasil. Jepang mengalami pelambatan ekonomi, memasuki masa resesi, yang pada akhirnya menunda ambisi mereka untuk menjadi ekonomi terbesar di dunia.

Kini negeri Paman Sam juga melakukan hal yang sama terhadap Tiongkok, ketika PDB mereka hampir mencapai 70% PDB Amerika. Itulah mengapa perang dagang terjadi di tahun ini. 70% mungkin angka yang sangat sensitif bagi Amerika. Karena jika China terus bertumbuh di level rata-rata 6,5% — sementara Amerika hanya 2%, maka dalam sebelas tahun ke depan negara tirai bambu itu akan melampaui Amerika. Itulah mengapa Amerika kebat-kebit dan harus menahan laju pertumbuhan tersebut. Seperti yang dilakukan oleh Ronald Reagen terhadap Jepang, inti dari perang dagang ini sebenarnya adalah untuk menghambat laju Tiongkok. Karena jika China telah menjadi negara ekonomi terbesar, maka tahap mereka untuk menjadi superpower tinggal selangkah lagi. Dan Amerika tak menginginkan itu terjadi.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.