Membaca Ulang Sejarah Konflik Israel dengan Palestina
Oleh Moh. Salapudin
Setelah Presiden Amerika Donald Trump secara sepihak mengakui
Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan mengumumkan pemindahan Kedutaan
Besar Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Yerusalem, pemberitaan mengenai
konflik Israel dengan Palestina kembali memanas.
Konflik
antara Israel dengan Palestina sebenarnya bukanlah berita baru. Dalam
narasi sejarah, konflik antara Israel dengan -bahkan tidak hanya
Palestina, melainkan negara-negara Arab- tertulis dengan gamblang.
Sebagaimana ditulis Tom Segev dalam buku berjudul “1967, Israel, The War, And The Year That Transformed The Middle East”,
Israel pernah terlibat konflik dengan Mesir pada Juni 1967. Kala itu,
183 pesawat pembom tempur Israel secara bergelombang menggempur Mesir.
Mesir
kalah. Namun kekalahan dalam perang 1967 itu membuat hubungan Mesir
dengan Suriah, negara yang sebelumnya juga terlibat konflik dengan
Israel, makin erat. Presiden Mesir saat itu, Anwar Sadat, dan Presiden
Suriah, Hafez al-Assad sepakat menggempur Israel secara bersamaan.
Perang pun pecah kembali pada 1973.
Suriah
menggempur Israel dari Utara dan Mesir menggempurnya dari selatan.
Setelah pecah perang selama 19 hari, 7.000 tentara Mesir tewas dan
terluka, 11.600 tentara Israel tewas dan terluka, dan 9.100 tentara
Suriah tewas dan terluka. Mesir kehilangan 1.100 tanknya, Israel
kehilangan 840 tank, dan Suriah paling banyak, yakni 1.200 tank.
Konflik antara Israel dengan Palestina sendiri, bermula ketika gagasan pendirian tanah air (homeland)
Yahudi mengemuka di kalangan tokoh Zionis. Tokoh paling berpengaruh
dalam Zionisme selama abad ke-19 adalah Theodor Herzl (1860-1904). Pada
1896, ia menerbitkan buku berjudul “The Jewish State: an Attempt at a Modern Solution to the Jewish Question”.
Menurut
Herzl, satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah Yahudi di Eropa
adalah dengan menciptakan “homeland” Yahudi. Sebenarnya, wilayah yang
pertama kali ditunjuk untuk dijadikan “homeland” Yahudi bukanlah
Palestina. Dalam Kongres Zionis keenam pada 1903, setelah melalui
perdebatan panjang, gagasan Herzl untuk menjadikan Uganda sebagai
“homeland” Yahudi dipilih.
Gagasan Herzl
tersebut didukung oleh 295 suara melawan 177 suara menentang, sementara
100 suara abstain. Namun pada 1904 Herzl meninggal dunia dalam usianya
yang ke-44. Setahun setelah meninggalnya Herzl, Kongres Zionis ketujuh
akhirnya menolak apa yang disebut dengan “Rencana Uganda” yang
dicetuskan Herzl.
Pada 1905 dilakukan lagi
pemungutan suara dalam sebuah kongres dan mereka memutuskan Palestina
sebagai “homeland” kaum Yahudi. Dari sinilah persoalan dimulai. Karena
sejak Palestina mereka putuskan sebagai “homeland” bagi kaum Yahudi,
terjadilah gelombang imigrasi ke Palestina. Pembangunan “homeland”
Yahudi itu dipuncaki dengan pecahnya perang 1948 yang oleh Israel
disebut sebagai perang kemerdekaan Israel; sebaliknya, bagi bangsa Arab,
inilah awal perang penjajahan.
Jalur Gaza
Dalam
ingatan sejarah orang-orang Yahudi, sebenarnya Gaza dikenal sebagai
kota dengan banyak pesta, bergaya hidup hedonis, pusat perdagangan, dan
kemewahan dunia, sehingga bukanlah tempat ideal bagi orang-orang Yahudi
saleh. Namun menurut mereka Gaza juga satu pusaka milik suku Yehuda,
keturunan Yakub yang disebut juga Israel. Gaza adalah bagian dari Yudea,
sebutan wilayah yang dikuasai suku Yehuda. Catatan sejarah menunjukkan
bahwa pada zaman Raja Salomo, tahun 960 sampai 922 SM, Gaza menjadi
batas paling barat kerajaan tersebut.
Dogma
Yahudi juga sudah menahbikan bahwa bangsa Filistin adalah musuh
abadinya. Rivalitas bangsa Filistin dengan keturunan Yakub memang
memiliki cerita panjang. Salah satu cerita yang menarik dikemukakan di
sini adalah kisah Samson dan Delilah. Dikisahkan, Samson adalah
laki-laki perkasa dengan rambut gondrong yang tak pernah dicukur sejak
lahir.
Saking perkasanya, ia dapat mengalahkan
singa dengan tangan kosong. Namun, kisah cintanya dengan Delilah
menjadi awal petaka baginya. Delilah adalah gadis menawan Filistin yang
sengaja diumpankan para pemimpin Filistin kepada Samson yang dianggap
sebagai bahaya besar bagi mereka. Delilah dipesan untuk mencari tahu
rahasia kekuatan Samson dengan imbalan uang.
Samson
bertekuk lutut di hadapan Delilah dan menceritakan rahasia kekuatannya.
Ketika sudah diketahui kelemahan Samson (rahasia kekuatannya ada pada
rambutnya), Delilah menggoda Samson untuk tidur di pangkuannya. Setelah
Samson tertidur, Delilah memanggil seseorang untuk mencukur tujuh utas
rambutnya sehingga lenyaplah kekuatan Samson.
Apapun
alasannyadan siapa pun pemenangnya, peperangan selalu menyisakan
kerugian. Selama 22 hari ofensif militer yang dilancarkan Israel sejak
27 Desember 2008, The Palestinian Center for Human Rights
(PCHR) mencatat korban tewas di pihak Palestina mencapai 1.251 orang,
179 orang di antaranya adalah pejuang Hamas, 168 polisi, 292 anak-anak,
dan 97 perempuan.
Belum lagi korban luka-luka yang menurut Jaber Wishah, Deputy Direcor of The Palestinian Center for Human Rights,
mecapai 4.356 orang, di mana 1.133 di antaranya adalah anak-anak dan
735 korban lainnya adalah perempuan. Korban itu tidak sebanding dengan
korban di pihak Israel di mana menurut catatan Israel Defense Forces (IDF) tiga penduduk sipil dan 10 tentara Israel tewas.
Perang
Israel dengan Palestina memang bukanah perang yang sepadan. Perang
Israel dengan Palestina, meminjam bahasa Taufik Ismail (1989), adalah
perang laras baja melawan timpukan batu.
Penulis adalah Santri Futuhiyyah Mranggen Demak, Alumnus UIN Walisongo Semarang.
Post a Comment