Agama Bukan Sumber Konflik, Agama Sumber Kedamaian
Oleh Ahmad Ishomuddin
Di
dunia ini telah nyata ada banyak keragaman agama sehingga tidak usah
mati-matian menyeragamkannya menjadi satu agama saja. Betapa pun sudah
malang melintang menghabiskan keseluruhan umur di medan dakwah, tetap
saja pasti gagal dan mustahil menyatukan seluruh manusia untuk beragama
Islam atau lainnya. Sesungguhnya penentu jalan petunjuk (hidayah) itu
merupakan hak mutlak Sang Pencipta.
Perbedaan itu sunnatullah,
keragaman itu kenyataan yang tidak bisa diingkari oleh setiap orang
yang berakal sehat. Dunia ini justru terlihat indah dan lebih indah
karena warna-warninya yang serasi. Hanya mereka yang melihat dunia dalam
warna hitam putih saja yang terkaget-kaget melihat kenyataan bahwa
dunia ini ternyata berwarna-warni, memiliki keragaman warna. Panorama
alam indah yang sedap dipandang mata pun wujudnya dapat dinikmati karena
keragaman warnanya.
Setiap agama yang benar
mengajarkan kedamaian, sedangkan setiap orang yang benar-benar beragama
selalu ingin meraih suasana hati yang tenteram, tenang dan hidup yang
damai. Beragama dengan sebenarnya berarti ingin selamat dengan cara
menjadi bagian dari keseluruhan hidup yang damai.
Saat
agama justru mengilhami penganutnya untuk menciptakan yang sebaliknya,
menyeret pemeluknya dalam kegaduhan sosial, kerusuhan atau pertumpahan
darah (perang), maka pasti ada yang keliru dalam memahami maksud agama.
Sebab, agama diturunkan untuk meraih berbagai kemaslahatan dan
menghindarkan para hamba dari setiap kemafsadatan.
Manusia
yang beragama dengan benar harus mencapai suatu keyakinan bahwa
kemaslahatan, kebajikan atau apa saja yang bermanfaat harus diraih dan
tidak boleh diabaikan, sedangkan setiap apa yang mafsadah (merusak),
keburukan, kejahatan atau apa saja yang merugikan wajib dihindari dan
tidak boleh mendekatinya. Agaknya butuh kecerdasan lebih dalam menjalani
hidup bersama dalam keragaman itu karena akal manusia beragama dituntut
untuk mampu membedakan bagian mana yang mashlahat (baik, bermanfaat)
dari yang sebaliknya, yakni mafsadah (kerusakan, kejahatan, dan apa saja yang sia-sia).
Kelanggengan
substansi ajaran agama itu tergantung kepada pencapaian tujuan yang
bersifat umum, seperti pemeliharaan dan kepatuhan kepada aturan hidup
manusia secara kolektif, peraihan kebajikan, penghindaran terhadap
setiap kerusakan, memperjuangkan kesetaraan dan menegakkan keadilan di
antara manusia. Keberlangsungan ajaran agama juga sangat tergantung
kepada pencapaian tujuan yang bersifat spesifik seperti untuk mewujudkan
sebuah keluarga diperlukan mekanisme akad perkawinan yang sah dan untuk
menghindarkan bahaya yang berkepanjangan dalam sebuah keluarga
diberlakukan dan dibolehkan menempuh langkah perceraian. Jadi,
kesemuanya itu tiada lain kecuali untuk mewujudkan kehidupan yang
tenteram dan damai.
Dengan kalimat lain dapat
dinyatakan, bahwa agama diadakan dan dianut pada dasarnya agar
manusianya memakmurkan bumi, memelihara aturan hidup bersama di muka
bumi ini, melanggengkan kemaslahatan penghuninya, melaksanakan apa saja
yang dibebankan berupa penegakan keadilan, istiqamah (konsisten) dalam
kebajikan, pencerdasan akal dan peningkatan amal, mewujudkan perdamaian,
menggali berbagai kekayaannya serta mengatur berbagai manfaat demi
kepentingan bersama.
Adapun jika yang terjadi
dari para penganut agama adalah sebaliknya dari apa yang telah
disebutkan di atas, berarti ada kesalahan dalam memahami substansi yang
ditujukan dari agama dan berarti ada krisis yang parah dan salah
menempuh jalan dari para penganut agama.
Dalam
beragama ada lima kebutuhan mutlak yang tidak boleh tidak harus dicapai
oleh para penganutnya, yaitu perlindungan terhadap agama, jiwa,
keturunan, harta dan akal. Selain kelima kebutuhan mutlak tersebut
manusia beragama juga wajib berusaha agar mencapai kelapangan hidup dan
terhindar dari kesulitan, meski ketiadaannya tidak mengakibatkan
terjadinya kerusakan yang bersifat umum dan bahaya yang parah. Lagi-lagi
kesemuanya itu dalam rangka untuk meraih kualitas hidup yang manusiawi,
lebih bermartabat dan damai.
Sesat jalanlah
jika karena beragama justru seseorang atau suatu komunitas itu keluar
dari keadilan menuju diskriminasi dan penindasan, minggat dari rasa
kasih sayang menuju kebencian berlebihan, permusuhan dan pertumpahan
darah, dari kebaikan menuju kejahatan, dan dari kebijaksanaan mengarah
kepada kesia-siaan.
Sangat memprihatinkan
seperti kini yang sedang marak banyak anak muda terjebak dalam
intoleransi, radikalisme hingga terorisme yang ajarannya adalah "dari
pengkafiran menuju pengeboman", sedangkan agama Islam sendiri sama
sekali tidak pernah mengajarkannya. Mereka tersesat jalan dan
menyesatkan banyak manusia lainnya dalam memahami dan menerapkan
ayat-ayat Al-Qur'an bukan pada tempat yang semestinya, misalnya
ayat-ayat tentang jihad karena tidak memahami konteks yang dan
menerapkannya dalam suasana damai.
Sudah
saatnya setiap orang beragama, apa pun agama yang dianutnya, berperan
aktif dalam menciptakan suasana kehidupan dunia yang lebih manusiawi,
beradab, penuh kepedulian, cinta kasih, harmonis dan lebih damai. Dalam
upaya mencapai hal yang universal tersebut para penganut agama berbeda
dapat bekerjasama sesuai kesepakatan, sedangkan dalam hal-hal yang
"terpaksa" berbeda sangat mungkin untuk saling berdialog dengan
mengedankan kesantunan dalam mencari titik kesepahaman dan jika tidak,
maka tiada jalan lain kecuali bersikap tasamuh (toleransi), yakni saling
menghormati karena sepakat untuk tidak sepakat.
Kita
harus sepakat bahwa agama tidak mengajarkan kekerasan dan sikap
berlebihan (melampaui batas), sedangkan kekerasan meskipun atas nama
agama bukanlah bagian integral dari agama. Dengan demikian, kaum
beragama tidak diperkenankan menjadikan agama sebagai sumber dan
penyebab konflik, pertikaian dan pertumpahan darah (perang), melainkan
sebagai sumber kasih sayang, keharmonisan dan kedamaian.
Penulis adalah Rais Syuriyah PBNU
Post a Comment