KONFIRASI BUSUK DI ROHINGNYA YANG SENGAJA DI GUSUR KE INDONESIA

Beberapa waktu ini konflik rohingnya diseret seret ke Indonesia..bahkan oleh nama nama petinggi partai..dengan cara menebar poto Hoax...

Berikut ada analisa ttg Rohingnya yan ditulis pada 2012 lalu..


 analisa ini ditulis pada 2012 YANG LALU TERBUKTI SKR


Rabu, 08 Agustus 2012
Tinjauan Geo-Politik dan Geo-Ekonomi China-Amerika Dibalik Konflik Rohingya
03.10 | Diposting oleh HmiFistek-SN |
Latar Belakang

Konflik antara etnik Rohingya dan Rakhine di Arakan yang terjadi pada pertengahan Juni lalu masih menyisakan teka-teki yang perlu analisis lebih mendalam. Menurut Hendrajit, Direktur Global Future Institute konflik Rohingya bukan lagi konflik horizontal. Beliau mengatakan bahwa konflik tersebut dimanfaatkan beberapa pihak yang memiliki kepentingan untuk menciptakan isu yang lebih besar sehingga perhatian dunia internasional tertuju pada daerah di tepi teluk Bengal tersebut. Beliau juga mengatakan bahwa Konflik ini sarat dengan kepentingan politik-ekonomi yang erat kaitannya dengan eksplorasi energy di kawasan sekitar Arakan dimana konflik tersebut terjadi.

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa Myanmar menerapkan aturan hukum yang ketat berkaitan dengan perlindungan sector eksplorasi dan pengembangan sumber daya alam di negaranya. Dengan masih berlakunya The Union of Myanmar Foreign Investment Law, korporasi-korporasi asing akan sulit untuk masuk dan mengeksplorasi sumber daya minyak di Myanmar. Dengan dasar konflik yang terus terjadi di daerah Arakan tersebut maka diperlukan adanya suatu advokasi dari LSM-LSM hak asasi manusia, sehingga korporasi asing dengan leluasa dapat masuk ke dalam territorial negara tersebut.

Namun di lain pihak China, sudah terlebih dahulu melakukan kerja sama terkait eksplorasi daerah Arakan tersebut. Bahkan sejak 2005 perusahaan gas China menandatangani kontrak gas dengan pemerintah Myanmar untuk mengelola eksplorasi minyak. Memang jika dilihat dari berbagai sudut pandang baik itu geografis, politik dan ekonomi China lebih diuntungkan dari pada Amerika. Keinginan Amerika dan negara Eropa Barat yang lain untuk masuk ke Myanmar tak lain adalah untuk penguasaan territorial bisnis, terutama di kawasan Asia Pasifik. Myanmar sebagai negara demokrasi baru pasca suksesnya demokratisasi oleh Aung San Suu Kyi banyak diincar investor-investor asing.

Persaingan antara dua negara super power yaitu China dan Amerika di kawasan Asia Pasifik pun tak terhindarkan, berbagai manuver politik dilakukan kedua negara untuk mencapai kepentingannya masing-masing. Isu terhangat mengenai naiknya harga minyak dunia beberapa bulan lalu mendorong negara-negara barat gencar menguasai daerah yang berpotensi masih memiliki cadangan minyak dan gas yang melimpah. Salah satu carannya adalah menguasai Kawasan Teluk Bengal di lepas pantai India-Bangladesh dan Arakan (Myanmar) yang masih cukup besar dan belum tereksplorasi oleh korporasi manapun.

Perseteruan itu semakin terkuak tatkala suatu tragedi kemanusiaan terjadi di Arakan, antara etnis Rohingya yaitu pendatang dari Bangladesh yang mayoritas Muslim dengan etnis Rakhine yang mayoritas Budha. Perang kepentingan bermain di sana, Amerika yang berusaha masuk dengan LSM-nya mengatasnamakan HAM dan kemanusiaan berusaha paling tidak bisa menyaingi rival mereka China yang sudah membangun pipa penyalur gas dari Sittwe, ibu kota Arakan ke daratan China.

Untuk itu melalu tulisan ini kita akan kaji lebih jauh tentang konflik Rohingya dengan tanpa memakai cara pandang sebagai konflik antar agama atau etnis. Akan tetapi lebih jauh lagi mengenai persaingan geo-politik dan geo-ekonomi antar dua negara super power yang memanfaatkan konflik antar etnis sehingga menyebabkan jatuhnya korban dan tersebarnya isu-isu SARA yang mengundang perhatian dunia internasional tersebut.


Teori Geopolitik dan Geoekonomi

Berdasarkan berbagai macam pemberitaan di media massa, konflik Arakan bukan merupakan konflik biasa. Konflik tersebut sudah lama terjadi di Myanmar, bahkan Rohingya sebagai salah satu etnis di sana tidak diakui keberadaannya oleh pemerintah Myanmar. Pemerintah Myanmar sangat membatasi pergerakan etnis yang berasal dari Bangladesh tersebut sehingga etnis Rohingya bisa disebut sebagai etnis yang stateless atau tidak memiliki negara.

Konflik yang terjadi di Arakan tersebut diduga menjadi bagian dari Asymmetry Strategy (strategi non militer) yang kini sedang gencar dilakukan oleh Amerika Serikat. Dalam strategi asimetri tersebut kondisi masyarakat serta model kebijakan warga semacam Rohingya di Myanmar, dapat disebut sebagai archilles (akiles) atau disebut titik kritis yang dapat “diletuskan” sewaktu-waktu karena asal mula konflik memang melekat pada sistem sosial.

Sesuai dengan pembahasan di atas, kenapa geopolitik dipilih sebagai perspektif dalam rangka menganalisa kasus ini, oleh sebab selain tua dan merupakan takdir suatu negara, kajian geopolitik tidak sebatas membahas di atas permukaan (subsurface) namun menelusuri what lies beneath the surface, apa yang terkandung di bawah permukaan, melihat hal tersirat dari yang tersurat.

Sebelum melangkah lebih jauh lagi, perlu dikenalkan dahulu tentang geopolitik walau secara sekilas. Menurut beberapa pakar seperti Prof Friedrich Ratzel (1844-19040), Prof Rudolf Kjellen (1864-1922) dan Sir Halford Mackinder (1861-1961), benang merah geopolitik memiliki kesamaan esensi yaitu: “It must be regarded as a science bordering on geography, history, political science and international relations. The politican, the military planner and the diplomat can use geopolitic s as a method to analyze how geographical factors can be of importants when planning, geopolitics as the destiny”.

Sebuah kombinasi dari faktor politik dan geografis yang memberikan ciri terhadap suatu negara atau wilayah tertentu (Purbo S. Suwondo, Teori Strategi, PKN UI, 30 Juni 2011). Geopolitik adalah sebuah takdir. Dalam perspektif geopolitik, Purbo Suwondo juga mengisyaratkan perlu telaah secara cermat atas “ciri khas” berkenaan dengan geografis serta dinamika politik. Artinya geopolitik suatu negara bisa jadi kekuatan atau justru kelemahan, menjadi peluang atau malah menjadi ancaman tergantung bagaimana mengelola.

Dan agaknya, dinamika politik di era globalisasi kini melahirkan realitas kembar yang tidak terpisahkan, yakni: geopolitik dan geo-ekonomi. Artinya bicara geopolitik tidak akan lepas dari bahasan geo-ekonomi pula. Sedang geo-ekonomi itu sendiri menurut Pak Purbo, adalah kombinasi faktor ekonomi dan geografis yang berkaitan dengan perdagangan internasional. Sesuatu yang ditandai oleh kondisi ekonomi atau politik yang dipengaruhi oleh faktor geografis dan eksis atau dilakukan di tingkat internasional.

Oleh karena itu memahami “tragedi kemanusiaan” di Myanmar, mutlak harus dimulai dari penemuan gas bumi di Shwe (emas) Blok A1-Teluk Bengal sekitar dekade 2004. Inilah ciri menonjol sebagaimana isyarat menurut Purbo tadi, dimana ketiga pakar geopolitik manca negara (Ratzel, Kjellen dan Mackinder) pada abad ke-19 menyebutnya sebagai “takdir”. Dalam hal ini Myanmar ditakdirkan sebagai negara kaya minyak dan gas bumi.

Geopolitik dan Geoekonomi China-Amerika Serikat

Tatkala prakiraan deposit gas mencapai 5,6 triliun kubik yang tidak akan habis dieksploitasi hingga 30-an tahun, maka semenjak itulah bentangan pantai sepanjang 1.500 km antara Teluk Bengal - batas laut Andaman, Thailand menarik perhatian negara-negara. Tercatat China, Jepang, India, Perancis, Singapura, Malaysia, Thailand, Korsel dan Rusia menyerbu Myanmar untuk eksplorasi serta eksploitasi penemuan tersebut. Tak terkecuali AS yang akhirnya diketahui ikut bersaing via Chevron dan Total-Perancis meskipun kehadirannya dalam perebutan territorial tersebut agak terlambat.

Yang patut dicatat dalam “penyerbuan ke Myanmar” ialah geliat China yaitu tekadnya membangun pipa sepanjang 2.300 km dari pelabuhan Sittwe, Teluk Bengal sampai Kunming, China Selatan. Jika kelak pipanisasi seharga 3 miliar dolar AS itu selesai, niscaya seluruh impor minyak dari Timur Tengah dan Afrika cukup dipompa melalui Sittwe ke salah satu kilangnya di Kunming. Lim Tai Wei, analisis dari Institute of International Affairs, Singapura mengatakan, apabila proyek itu selesai maka geopolitik di Asia Tenggara bakal berubah, terutama dalam hal distribusi minyak. Ibarat memangkas jarak pelayaran sejauh 1.820 mil laut (World Politics Review, 21/8/2006), bahkan lebih dari sekedar memangkas jarak, moda transportasi import minyak China dalam jalur sangat aman dan lebih murah.

Pintarnya China, selain memanfaatkan pertemuan antar negara-negara di Tepian Sungai Mekong atau sering disebut Greater Subregion Mekong (GSM) di Viantine, Laos (30/3) tentang kerjasama ekonomi, sosial, infrastruktur, jalan, irigasi dan pembangkit tenaga listrik, China juga membangun jalan raya trans-nasional menghubungkan Bangkok dan Yunan dengan dukungan Bank Pembangunan Asia. Mekong memang sungai lintas negara. Alirannya melewati Tibet, Yunnan, China - Myanmar - Thailand - Laos - Kamboja dan Vietnam sepanjang 795.000 km. Pada pertemuan GSM sepakat membangun jalan darat sepanjang 1800 km dari Kunming, China menuju Bangkok, Thailand.

Secara geo-ekonomi, karena kedekatan geografis interaksi di forum GSM saling menguntungkan. Sedang aspek geopolitik di satu sisi, khususnya bagi China dan Rusia yang berkepentingan atas pasokan gas dan mineral dari Myanmar, walau Rusia sendiri sebenarnya negara net oil exporter,sementara di sisi lain, Junta Militer Myanmar membutuhkan persenjataan dari kedua negara. Tak boleh dipungkiri, oil and arms interest di antara mereka ternyata sudah berjalan puluhan tahun, identik dengan “recycle petrodollar” Henry Kisinger di Arab Saudi. Kemiripan dua kebijakan dalam ujud riilnya bahwa China, Rusia dan AS membutuhkan minyak, sementara Myanmar dan Arab Saudi memerlukan senjata guna menciptakan stabilitas dalam negeri serta menghadapi ancaman kawasan.

Dekade 1990-an, China memasok 100 tank ukuran sedang, 100 light tank, 24 unit pesawat tempur, 250 kendaraan militer, sistem peluncur roket, howitzer, senjata anti pesawat terbang, dan keperluan militer ke Myanmar lainnya. Empat tahun kemudian, Myanmar memesan lagi kapal perang, helikopter, senjata ringan dan artileri. Hal ini ditambah pengiriman 200 truk militer dan 5 kapal perang baru serta kerjasama program pelatihan militer tahun 2002. Dan tahun 2005, dikirim lagi 400 truk militer untuk melengkapi 1500 truk yang dipesan oleh Myanmar.

Rusia tak mau ketinggalan, ia juga penyuplai senjata ke Myanmar. Data terbaru menunjukkan tahun 2002, Myanmar memesan 8 unit pesawat MiG-29 B-12 serta menyewa pelatih pesawat tempur dengan total nilai US$ 130 juta. Dan sejak 2001, Departemen Pertahanan dan Departemen Ristek mengirimkan lebih dari 1500 teknisi mengikuti pelatihan di Rusia. Bahkan lebih dari itu, Myanmar menandatangani program penelitian kapasitas berbasis reaktor nuklir dengan Rusia.

Dan pada bulan April 2004, mereka kembali melakukan kesepakatan selain minyak dan gas bumi, juga kerjasama penanggulangan obat-obat terlarang, trafficking, dan kesepakatan dalam hal menjaga informasi rahasia. Di samping kerjasama-kerjasama tersebut, perusahaan Rusia dan India (15 September 2006) menandatangani kontrak perjanjian bagi hasil dengan perusahaan nasional atau BUMN Myanmar untuk eksplorasi dan penambangan ekstraksi mineral di Mottama Offshore Block M-8.

Dua perusahaan China menandatangani kontrak mengelola eksplorasi minyak dan gas pada Blok M di Kyauk-Phru Township dan Blok A-4 di Arakan State. Selain itu telah pula ditandatangani MoU antara Petro China dengan junta militer Myanmar (7 Desember 2005) untuk membangun saluran pipa dari Arakan, Myanmar ke Provinsi Yunan di China. Ada kontrak bagi hasil eksplorasi antara Kementerian Energi Myanmar dengan perusahaan China di Blok No C-1 (Indaw-Yenan Region) dan Blok No C-2 (Shwebo-Monywa Region). Selain China, memang ada perusahaan nasional Korea Selatan juga memiliki ijin eksplorasi minyak dan gas lepas pantai.

Pada mapping geopolitik dan geo-ekonomi di atas, terlihat bahwa Rusia dan China lebih unggul dalam segala hal bahkan mendominasi dibandingkan negara-negara lain. Uncle Sam tertinggal dalam kompetisi perebutan ladang-ladang minyak dan gas alam di Myanmar. Selain gagal menerobos struktur domestik, Amerika kalah dalam mengakses ke Junta Militer. Kelompok Barat, dalam hal ini Perancis dan AS melalui Total hanya menguasai tambang di Adanna, sementara Cevron cuma memiliki 28% saham atas tambang tersebut. Betapa jauh konsesi yang diperoleh AS bila dibanding dengan negara-negara lain, terutama China dan Rusia.

Mencermati pola hegemoni AS selama ini, tak boleh lepas dari kajian strategis Deep Stoat tentang penempatan aspek minyak sebagai Agenda Kepentingan Nasional: “If you would understand world geopolitics today, follow the OIL”. Dalam beberapa hal, China merupakan rival berat AS sedang Beruang Merah belum dipersepsikan pesaing, dengan alasan selain Rusia itu net oil exporter,penyebab lain juga ditandai runtuhnya Uni Sovyet, bahwa benturan ideologi (komunis versus kapitalis) telah dianggap masa lalu oleh Paman Sam sebab banyak negara kini menerima demokrasi sebagai nilai-nilai universal.

China dianggap sebagai kompetitor berat, selain karena konsumsi minyaknya sudah separuh di pasar internasional, juga dari waktu ke waktu kompetisi keduanya kerapkali berlangsung ketat dalam penguasaan sumber-sumber minyak di berbagai negara. Hal ini membuat perbandingan bangkitnya Beruang Merah dan Negeri Tirai Bambu dari prospektif ancaman hegemoni AS, sepertinya China dianggap lebih membahayakan Kepentingan Nasional (minyak) AS. Sekali lagi, selain karena konsumsi minyak, banyak faktor lain dalam perkembangan China layak dianggap ancaman, seperti pertumbuhan ekonomi, militer, budaya dan lain-lain. Dalam perspektif hegemoni AS memang, siapapun negara yang berpotensi menjadi pesaing harus dibendung dari luar serta dilemahkan dari sisi internal dengan segala cara.

Berbagai dokumen Pentagon menguak, bahwa persaingan antara China dan AS semakin kuat mengental. Project for The New American Century and Its Implications (PNAC) 2002 misalnya,memprediksi persaingan antara AS - China meruncing 2017 serta konfrontasi terbuka mungkin tak bisa dielakkan. Kemudian dokumen National Inteligent Council (NIC) 2004 bertajuk Mapping The Global Future, dimana salah satu ramalan adalah Dovod World: “Kebangkitan ekonomi Asia, dengan China dan India bakal menjadi pemain penting ekonomi dan politik dunia”, dan lain-lain.

Setidaknya sejak kejadian WTC 11 September 2001, AS dan sekutu mendorong militerisasi di Selat Malaka dengan menggandeng militer laut India, Australia, Singapura, Jepang, Thailand dan lain-lain untuk latihan perang-perangan, dengan alasan sebagai kesiapan menanggulangi terorisme global. Bahkan Leon Panetta, Menhan AS menegaskan terus memperkuat posisi di Asia Pasifik dengan cara mengerahkan sebagian besar kapal perangnya di wilayah ini hingga 2020. "Di 2020 Angkatan Laut akan menambah pasukannya dari hari ini pembagian sekitar 50-50% antara Pasifik dan Atlantik menjadi 60-40 antara kedua samudera itu," katanya. Sebanyak 60% armada tempur akan dikerahkan ke wilayah Asia Pasifik sesuai dengan strategi baru AS untuk menguasai Asia, selaras dengan statemen Barack Obama bahwa wilayah Asia Pasifik merupakan “priotitas utama” (2/7/2012). Chinaenteng berpendapat, bahwa militerisasi di Selat Malaka merupakan skenario AS dalam rangka membendung China.

Dalam diskusi terbatas di Forum “Kepentingan Nasional RI” (KENARI) dimentori Dirgo D. Purbo, Ahli Geopolitik dan Geo-Ekonomi, ada asumsi berkembang bahwa conflict is protection oil flow and blockade somebody else oil flow. Dengar kata lain, peristiwa konflik bagi wilayah yang memiliki “ciri” terutama kawasan kaya minyak dan gas bumi, sering hanya bagian dari modus dan pola kolonialisme guna memasuki kedaulatan negara lain. Seperti paket DHL (demokrasi, HAM dan lingkungan hidup) yang artinya isue disebarkan dulu ke wilayah target kemudian disusul methode atau modus-modus lain. Di Tunisia, Mesir atau Yaman contohnya, isue kemiskinan dan korupsi ditebar duluan setelah itu timbul gerakan massa. Saat itu, kemiskinan dan korupsi adalah akiles atau titik kritis yang diolah menjadi tema gerakan para demonstran.

Terkait tragedi kemanusian di Myanmar, Hendrajit, penulis buku Tangan-Tangan Amerika di Pelbagai Belahan Dunia, melihat ada semacam permainan korporasi tertentu berkolaborasi dengan Junta Militer. Dalam skema global, masyarakat Birma-lah yang sejatinya menjadi korban, atau menjadi obyek semata. Artinya baik melalui HAM, atau berdalih pembiaran, maupun kelak bakal muncul stigma pelanggaran HAM, genosida dan lainnya. Skenario lanjutan kemungkinan memaksa Junta Militer melakukan negoisasi ulang atas berbagai kesepakatan minyak dan gas alam. Atau dugaan penulis justru melalui Resolusi PBB menghadirkan pasukan asing. Itulah kemungkinan skenario yang bakal dijalankan.

Penutup

Secara substansi, tragedi Arakan hanyalah pemicu belaka, oleh karena skema besar telah dipersiapkan jauh hari. Artinya bila skenario berjalan sukses, maka ibarat sodokan stick bilyar mengenai bola dua sekaligus. Pertama, selain penguasaan pipanisasi dan “merebut” kawasan kaya minyak serta gas bumi, seolah-olah pula legal sebab melalui lembaga internasional (PBB); Kedua ialah membendung China dari sisi perairan terutama melalui pelabuhan Sittwe, Teluk Bengal, terkait perebutan hegemoni para adidaya di Laut China Selatan.

Pada akhirnya semakin jelas terbaca bahwa konflik lokal (tragedi Rohingya) ialah bagian dari konflik global (AS versus China), sedang Myanmar hanya sebagai proxy war atau lapangan tempur belaka. Kita sebagai kader umat dan kader bangsa setidaknya harus mampu menyikapi berbagai isu global dengan arif sehingga tidak salah sasaran bahkan cenderung menyudutkan ke salah satu golongan.



Kasus pembantaian terhadap etnik Rohingya di Myanmar merupakan bentuk penindasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang sangat memalukan komunitas ASEAN. Etnis Rohingya dan Rakhine kerap saling menuduh soal siapa yang pertama kali melakukan serangan. Bentrokan menyusul insiden pemerkosaan dan pembunuhan seorang wanita pemeluk Budha setempat yang diduga dilakukan salah satu warga Rohingya. Serangan pembalasan pun dilakukan oleh massa Rakhine, 10 orang Muslim tewas pada tanggal awal Juni lalu. Hingga saat ini keadaan darurat masih berlaku di beberapa daerah.

Pada bulan Juni lalu dilaporkan bahwa bentrokan antara kaum Rohingya yang Muslim dan etnik Rakhine mengakibatkan paling tidak 80 orang tewas dan ribuan lainnya mengungsi. Namun, berdasarkan laporan terakhir menyebutkan sebanyak 650 dari satu juta Muslim Rohingya tewas selama bentrokan yang terjadi di wilayah barat Rakhine, dan 1.200 lainnya hilang dan 90.000 lebih telantar. Meskipun aparat keamanan berhasil meredam kerusuhan, puluhan-ribu orang masih berada di kamp-kamp penampungan pemerintah. Program Pangan PBB melaporkan mereka telah menyediakan makanan untuk sekitar 100 ribu orang.

Berbagai bentuk protes dilakukan sebagai wujud simpati dari berbagai negara yang mayoritas penduduknya Muslim, tak terkecuali Indonesia. Pun mahasiswa sebagai elemen pergerakan tidak henti-hentinya menyuarakan simpatinya, dengan identitas organisasi masing-masing. Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) secara serentak di penjuru negeri seperti dilansir oleh Harian Republika, Jumat 27 Juli lalu melakukan aksi unjuk rasa di depan Kantor Pemerintahan. Dalam aksinya tersebut puluhan anggota KAMMI menuntut Pemerintah Myanmar menghentikan penindasan dan diskriminasi terhadap Muslim Rohingya, menuntut Pemerintah Myanmar untuk menghentikan militerisme, serta meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memberikan suaka politik kepada para imigran Rohingya yang ada di Indonesia. Begitu pula yang dilakukan elemen mahasiswa lain di penjuru negeri, tak henti-hentinya melakukan aksi yang mengutuk keras negara yang termasuk dalam anggota ASEAN tersebut.

Keadaan yang terjadi pada etnik Rohingya merupakan salah satu dampak yang dimunculkan oleh masalah ketiadaan status kewarganegaraan. Seperti yang dikatakan Presiden Myanmar Thein Sein kepada Komisaris Tinggi PBB Urusan Pengungsi, Antonio Guiterres, “Myanmar akan mengirim kaum Rohingya pergi "jika ada negara ketiga yang mau menerima mereka. Kami akan mengambil tanggung jawab atas suku-suku etnik kami, tapi tidak mungkin menerima orang-orang Rohingya yang masuk secara ilegal, yang bukan termasuk etnik Myanmar," Munculnya status tanpa kewarganegaraan ini salah satunya disebabkan oleh peperangan, pernikahan sesama orang tanpa status warganegara, perdagangan orang.

Populasi Muslim Rohingya di Myanmar sekitar 4,0 persen atau hanya sekitar 1,7 juta jiwa dari total penduduk negara itu sekitar 42,7 juta jiwa. Jumlah itu menurun drastis dari catatan pada dokumen Images Asia 'Report On The Situasion For Muslim In Burma pada Mei 1997'yang dalam laporan itu umat Muslim mendekati tujuh juta jiwa Pemerintah Myanmar membatasi gerak dengan tidak memberikan hak atas tanah, pendidikan dan layanan public lainnya seperti yang dikatakan PBB. Hal ini menyebabkan banyak diantara mereka terpaksa mengungsi ke berbagai negara terdekat, seperti di Bangladesh sekitar 400 ribu jiwa, di Thailand 60 ribu jiwa, di Pakistan 40 ribu jiwa dan di Malaysia sekitar 40 ribu jiwa. Sedangkan menurut UNHCR, sebanyak satu juta etnis Rohingya kini tinggal di luar Myanmar dan masih belum ada satu negarapun yang menerima mereka.

Sejarah Singkat Muslim Rohingya

Sebenarnya apabila ditilik dari segi histori, Kaum Rohingya sudah ada sebelum negara Myanmar ada. Sebagai etnis, Muslim Rohingya sudah hidup di sana sejak abad 7 Masehi dengan nama kerajaan Arakan (1430-1784). Sekitar 3.5 abad Rohingya berada dalam kekuasaan Muslim hingga Kerajaan Burma menyerangdan dianeksasi oleh Inggris. Setelah itu Rohingya menjadi bagian dari British India yang saat itu juga belum merdeka. Dan berlanjut hingga tahun 1940-an ada 137 etnis yang terdapat di Burma sejak Burma merdeka (1948), sejak saat itu pula etnis Rohingya tidak diakui sebagai etnis yang ada di Burma.

Etnis Muslim Rohingya selama puluhan tahun mengalami diskriminasi hingga menyebabkan status mereka kini stateless atau tidak memiliki negara. Jauh sebelum konflik Rohingya pada 2012 ini menyita perhatian dunia, sebenarnya etnis Rohingya telah ditindas selama puluhan tahun, baik oleh negara maupun etnis mayoritas di Myanmar, yang kebetulan beragama Buddha. Heru Susetyo, pada wawancara dengan media online Hidayatullah. com, tertanggal 25 Juli 2012 menyatakan bahwa sejak sebelum Burma merdeka, tahun 1942, sudah ada aksi kekerasan kepada orang Rohingya. Ribuan orang Rohingya dibunuh. Baik oleh negara maupun etnis mayoritas, karena mereka dianggap minoritas dan bukan bagian dari Burma.


Kemudian kekerasan terhadap etnis Rohingya berulang terus setelah Burma merdeka, ada operasi-operasi tentara yang sering kali dilakukan sejak tahun 1950-an. Yang paling sadis adalah Na Sa Ka Operation di antaranya dengan metode kekerasan, pengusiran, Burmanisasi, halangan untuk menikah, dan pemerkosaan. Jadi ini adalah state violence,di mana negara melakukan genosida, etnic cleansing (pembantaian etnis), tapi kemudian berkembang menjadi kejahatan sipil antar orang Rohingya dengan orang Arakan lainnya yang non Muslim.

Analisa Berbagai Kalangan tentang Rohingya

Konflik Rohingya menyita perhatian umat di dunia bukan saja di Asia-Pasifik. Penindasan dan kekerasan yang dilakukan oleh Umat Buddha Myanmar kepada Umat Muslim Rohingya membuka mata atas sejarah sebagai salah satu etnis di Myanmar yang tidak diakui. Analisis social-politik bermunculan di berbagai media terkait dengan pemberitaan konflik di Rohingya yang ditengarai sarat dengan unsur politik di dalamnya. Diantaranya adalah Heru Susetyo seorang praktisi hukum yang peduli atas kezhaliman yang diderita umat maupun kelompok Islam di berbagai tempat. Heru Susetyo yang juga Sekretaris Program Pascasarjana Fakultas Hukum UI ini mendirikan Pusat Informasi dan Advokasi Rohingya-Arakan (PIARA) menegaskan bahwa sejauh data-data yang ia miliki, konflik di Rohingya selalu vertikal. Tapi menjadi horizontal karena ada-tokoh yang memprovokasi. Heru menuding media, pemerintah, dan agitasi dari tokoh-tokoh yang tidak bertanggung jawab adalah pihak-pihak yang selama ini memprovokasi sehingga timbul kekerasan seperti yang kemarin.

Pandangan yang lebih jauh diungkapkan oleh Hendrajit, Direktur Global Future Institute Jakarta. Hendrajit menolak bila konflik Rohingya dikatakan sebagai konflik antar agama dan sebagai bentuk “genosida”, dalam hal ini yaitu “muslim cleansing”. Hendarjit lebih cenderung kepada adanya tangan-tangan asing yang bermain pada konflik di Rohingya. Hendarjit berpendapat bahwa konflik di Rohingya sebagai pertarungan soal minyak dan gas bumi.

 “Pada tahun 2005, perusahaan gas Cina menandatangani kontrak gas dengan pemerintah Myanmar untuk mengelola eksplorasi minyak. Kita harus lihat, sebagaimana kasus yang terjadi di Indonesia seperti di Sampang, Mesuji dan lainnya yang menunjukkan bahwa konflik-konflik horizontal menandakan ada sesuatu yang yang diincar dari sisi geopolitik. Yang menarik dari sisi rezim militer di Myanmar dari era Ne Win hingga sekarang ini, ternyata melibatkan perusahaan asing semacam Chevron AS maupun Total Perancis, padahal kedua negara ini kan di permukaan mengangkat isu hak asasi manusia. Jelas ada pertarungan bisnis yang bermain melalui pintu belakang dari rezim militer Myanmar.” Demikian pendapat Hendarjit.

Pada tahun 1988, muncul sistem baru di Myanmar. Walaupun rezim otoriter militer yang memimpin, tapi Myanmar menggunakan sistem pasar. Ketika itu ada undang-undang baru yang namanya The Union of Myanmar Foreign Investment Law. Payung hukum ini adalah perlindungan terhadap sektor eksplorasi dan pengembangan sektor minyak dan gas alam yang melibatkan korporasi-korporasi asing. Cina dan beberapa negara yang diluar AS dan Eropa Barat kelihatannya lebih unggul. Sementara AS ketinggalan. Nah, yang menarik masalah Muslim di Arakan ini cenderung memberi ruang bagi pendekatan symmetric Bill Clinton yang diterapkan oleh Obama dan Hillary Clinton. Dengan dasar, konflik wilayah itu perlu advokasi hak asasi manusia sehingga LSM perlu masuk. Dari pintu ini, mereka masuk dengan memakai konflik Islam dan Budha tersebut. Tapi tampak sasaran strategisnya adalah sama yaitu penguasaan minyak dan gas bumi.

Pendapat senada juga diungkapkan oleh Jusman Dalle (Humas KAMMI Pusat). Seperti dikutip dari situs resmi KAMMI, Jusman Dalle mengungkapkan kecurigaan adanya pihak asing yang bermain di dalam konflik Rohingya. Dan ini akar masalah sebenarnya. Karenanya, Jusman Dalle menegaskan bahwa; tindakan tidak manusiawi terhadap etnis Rohingya tidaklah berlatar belakang etnis dan agama seperti yang digembar-gemborkan selama ini, namun lebih karena adanya kepentingan ekonomi. Bahkan tanpa sadar, rakyat Myanmar justru menjadi korban, diperalat oleh kepentingan hegemoni ekonomi China.

Rohingya, Suu Kyi dan Keterlibatan CIA

Banyak pihak mengendus aroma politik dalam peristiwa pembantaian kaum muslim di Rakhine wilayah barat itu, meskipun konon insiden tersebut jauh sebelumnya dipicu karena pemerkosaan terhadap seorang perempuan pemeluk agama Buddha oleh seorang lelaki muslim. Aroma politis itu setidak-tidaknya tercermin dari kehati-hatian sang pejuang demokrasi Myanmar yang saat ini kesohor, Aung San Suu Kyi, saat dirinya menjawab sejumlah pertanyaan para jurnalis ketika dimintai pendapatnya terkait pembantaian muslim di Rohingya tersebut.

Harian Republika Online tertanggal 27 Juli 2012 menurunkan berita perihal keengganan Aung San Suu Kyi berbicara mengenai pelanggaran yang dilakukan militer Myanmar pada Rohingya. Padahal Muslim Rohingya digambarkan oleh PBB sebagai salah satu kelompok paling teraniaya di dunia. Ironisnya, kasus Rohingya meruak beberapa hari setelah Suu Kyi menerima hadiah perdamaian. Suu Kyi justru mengatakan pada wartawan, ia tak mengetahui apakah Rohingya termasuk orang Myanmar atau tidak.

Komentar dan kritikan pedas menyeruak di berbagai media tentang sikap Suu Kyi tersebut. Sikap diam yang ditunjukkan Aung San Suu Kyi juga mengundang perhatian banyak pengamat untuk menganalisa sikapnya tersebut. Kebanyakan pengamat menunjuk kelambanan Suu Kyi terhadap kasus Rohingya bermotif politik. Sebab Liga Nasional Demokrasi berencana maju pada pemilihan umum di Myanmar 2015 mendatang. Analis mengatakan, Suu Kyi takut bahwa apabila ia mendukung minoritas Muslim Rohingya akan membahayakan bagi kampanyenya.

Bisa jadi, sikap hati-hati Aung San Suu Kyi saat dimintai pendapatnya tentang peristiwa berdarah yang telah menewaskan ribuan ummat Islam di Rohingnya di kawasan barat wilayah Rakhine, Myanmar, itu mungkin memang punya alasan yang cukup kuat dalam posisinya sebagai pemimpin oposisi Myanmar yang tengah berjuang mencari dukungan mayoritas rakyat Myanmar setelah ia dibebaskan dari sel tahanan pada tahun 2010 lalu itu.

Namun, bagaikan dilema, sikap diamnya Aung San Suu Kyi juga berbuah ketidakpercayaan dari konstituennya selama ini, yang nota bene para pejuang demorasi. Kelompok pro demokrasi bisa jadi akan ragu untuk memilihnya, sebab diamnya Aung San Suu Kyi sangat berlawanan dengan komitmen politik yang telah ia perjuangkan selama bertahun-tahun di Myanmar. Jadi Aung San Suu Kyi bak peribahasa menghadapi buah simalakama.

Di balik itu semua, ada kabar yang sangat menarik mengenai sikap acuh tak acuhnya seorang Suu Kyi. Tony Cartalucci, misalnya, dalam situs Endthelie.com pernah menulis artikel mengenai dukungan asing terhadap Aung San Suu Kyi selama ini. Ia menulis adanya aliran dana dari National Endowment for Democration (NED) kepada Aung San Suu Kyi. NED sendiri didirikan pada tahun 1984 dengan dukungan bipartisan selama pemerintahan Ronald Reagan, yang bertujuan untuk “mendorong infrastruktur demokrasi” di seluruh dunia. Presiden pertama NED, Allan Weistein mengemukakan bahwa apa yang dilakukan oleh NED hari ini, secara diam-diam telah dilakukan oleh CIA 25 tahun silam. Demikian yang tertulis pada artikel Michael Barker, seorang kandidat Doktor di Universitas Griffith, Australia.

Jadi, bila benar analisa kedua pakar tersebut, bahwa adanya aliran dana asing kepada Aung San Suu Kyi, yang merupakan perpanjangan tangan CIA, maka terjawab sudah sebab diamnya Aung San Suu Kyi. Aung San tak ingin suara vokalnya akan membuyarkan seluruh rencana yang telah disusun dengan rapihnya, seiring dengan popularitasnya yang mungkin saja menurun sebagai akibat kevokalannya dalam menghadapi konflik etnis Rohingya di Myanmar.

Penutup


Alhasil, terlepas dari hulu dan hilir masalah Rohingya, secara garis besar kita harus melihat kasus Rohingya sebagai kejahatan kemanusian yang dilakukan oleh rezim junta militer Myanmar. Tak peduli anda beragama atau bersuku apa, yang dizalimi beragama, bersuku atau berbangsa apa, kita sebagai bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi “Kemanusian Yang Adil Dan Beradab”, wajib menyatukan suara dan tekad untuk melawan segala bentuk kekerasan di Myanmar terhadap etnis Rohingya.

Dan kita bisa memulainya dari hal-hal kecil, seperti menulis artikel sebagai bentuk simpati terhadap etnis Rohingya, menyumbangkan harta atau pakaian bekas kepada berbagai LSM untuk disalurkan kepada para pengungsi etnis Rohingya, bahkan -dalam skala kecil- mendoakan agar penindasan terhadap etnis Rohingya segera berakhir dan diketemukan jalan keluar yang terbaik, mengingat etnis ini sedari dulu telah ditetapkan sebagai “ilegal citizen” oleh pemerintah Myanmar.

Jadi, tak perlu bagi kita untuk melebarkan konflik ini dengan cara-cara yang tak bijak, seperti menutup Vihara atau mencaci-maki umat Buddha di Indonesia. Walau harapan saya agar Walubi, sebagai perwakilan Buddha di Indonesia mendesak Myanmar agar membereskan serta menghentikan konflik dan penindasan terhadap etnis Rohingya.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.