BEDANYA ULAMA ZAMAN DULU DENGAN ULAMA ZAMAN SEKARANG
Dulu : merka ulama satukan anak bangsa tebar risalah dengan amanah adab dan ahlak santun tutur "hikmah"..terucap...
SEKARANG: ulama pisahkan anak bangsa, pecah belah nusantara "dikotak kotakan" adanya..kasar ucap tiada tercermin "adab waris" rasulillah..."berlepas pula hikmah adanya"...hingga mencaci ulama lainnya... "ULAMA ZAMAN NOW" kah..???
Kata anak muda mah...
"sruputtt.." edisi ngahuleung...bari ngopi..
Alumni Arabia: Dulu Pejuang Nasionalisme, Kini Anti-Nasionalisme
Jika kita perhatikan ada perbedaan yang sangat mendasar antara para ulama alumni Arabia atau santri yang belajar di “Tanah Arab” dulu dan sekarang dalam hal sikap mereka terhadap gagasan nasionalisme.
SEKARANG: ulama pisahkan anak bangsa, pecah belah nusantara "dikotak kotakan" adanya..kasar ucap tiada tercermin "adab waris" rasulillah..."berlepas pula hikmah adanya"...hingga mencaci ulama lainnya... "ULAMA ZAMAN NOW" kah..???
Kata anak muda mah...
"sruputtt.." edisi ngahuleung...bari ngopi..
Alumni Arabia: Dulu Pejuang Nasionalisme, Kini Anti-Nasionalisme
Jika kita perhatikan ada perbedaan yang sangat mendasar antara para ulama alumni Arabia atau santri yang belajar di “Tanah Arab” dulu dan sekarang dalam hal sikap mereka terhadap gagasan nasionalisme.
Sejarah mencatat, dulu kaum cerdik-pandai dan para ulama hebat
Nusantara (dan santri) di Tanah Arab, khususnya Arabia (Makkah) tetapi
juga Mesir (Al-Azhar), seperti Syeikh Yusuf Makasar, Abdus Samad
al-Falimbani, Ahmad Khatib Minangkabau, Notonegoro (Muchtar bin Attarid)
serta para ulama pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dan masih banyak lagi,
begitu gigih dan heroik memperjuangkan Tanah Air mereka dari penjajahan
Belanda. Beberapa di antaranya bahkan tidak hanya berdiskusi tetapi
langsung memimpin protes dan gerakan anti-kolonialisme. Mereka juga
gigih memperjuangkan Tanah Air-nya menjadi negara yang merdeka,
independen, dan berdaulat. (Baca juga: Ditangan Orang Alim Islam Itu
Damai, Ditangan Orang Jahil Islam Itu Sulit)
Pada waktu itu para intelektual, ulama, dan santri Nusantara di Makkah juga mendirikan Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia di kota suci umat Islam ini. Madrasah di Makah seperti Shaulatiyah (didirikan oleh Syeikh Muhammad Rahmatullah al-Hindi) dan Darul Ulum (didirikan oleh ulama Nusantara: Sayyid Muhsin bin Ali Al-Musawa dan Syeikh Muhammad Yasin al-Fadani) menjadi tempat perkumpulan dan pergumulan para santri Nusantara. (Baca juga: Grand Syeikh Al Azhar: Agama Diturunkan Bukan Untuk Pecah Belah Umat)
Disinilah mereka dulu dengan leluasa membahas dan berdiskusi tentang masalah-masalah kepolitikan, nasionalisme, dan anti-kolonialisme yang turut memberi kontribusi bagi pendirian Negara-Bangsa Indonesia. Bukan hanya ulama dan santri, para jamaah haji juga banyak terlibat dalam pergumulan nasionalisme dan perwujudan kemerdekaan Indonesia. Saat itu, Makkah menjelma menjadi semacam “melting pot” berbagai suku-bangsa di Nusantara, menjadi area yang nyaman-aman untuk membicarakan isu-isu penting ini sesuatu yang dilarang oleh Belanda di “Nusantara”.
Lain dulu lain sekarang. Kini, saya menyaksikan para santri dan alumni Arab Saudi (meski tidak semuanya) bukannya gigih membela Tanah Air Indonesia dan mempertahankan spirit nasionalisme yang telah ditanamkan dan diperjuangkan dengan susah payah oleh para ulama “pendahulu” mereka, malah justru sebaliknya: heroik propaganda anti-nasionalisme dan kebangsaan serta anti-dasar negara dengan dalih tidak Islami lah, kafir lah. Makhluk macam apa mereka ini?
Pada waktu itu para intelektual, ulama, dan santri Nusantara di Makkah juga mendirikan Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia di kota suci umat Islam ini. Madrasah di Makah seperti Shaulatiyah (didirikan oleh Syeikh Muhammad Rahmatullah al-Hindi) dan Darul Ulum (didirikan oleh ulama Nusantara: Sayyid Muhsin bin Ali Al-Musawa dan Syeikh Muhammad Yasin al-Fadani) menjadi tempat perkumpulan dan pergumulan para santri Nusantara. (Baca juga: Grand Syeikh Al Azhar: Agama Diturunkan Bukan Untuk Pecah Belah Umat)
Disinilah mereka dulu dengan leluasa membahas dan berdiskusi tentang masalah-masalah kepolitikan, nasionalisme, dan anti-kolonialisme yang turut memberi kontribusi bagi pendirian Negara-Bangsa Indonesia. Bukan hanya ulama dan santri, para jamaah haji juga banyak terlibat dalam pergumulan nasionalisme dan perwujudan kemerdekaan Indonesia. Saat itu, Makkah menjelma menjadi semacam “melting pot” berbagai suku-bangsa di Nusantara, menjadi area yang nyaman-aman untuk membicarakan isu-isu penting ini sesuatu yang dilarang oleh Belanda di “Nusantara”.
Lain dulu lain sekarang. Kini, saya menyaksikan para santri dan alumni Arab Saudi (meski tidak semuanya) bukannya gigih membela Tanah Air Indonesia dan mempertahankan spirit nasionalisme yang telah ditanamkan dan diperjuangkan dengan susah payah oleh para ulama “pendahulu” mereka, malah justru sebaliknya: heroik propaganda anti-nasionalisme dan kebangsaan serta anti-dasar negara dengan dalih tidak Islami lah, kafir lah. Makhluk macam apa mereka ini?
Post a Comment