Covid-19, Flu Spanyol, dan Sejarah Kejahatan Militer AS
Pandemik 1918
Timur Tengah, termasuk Semenanjung Arab, pada tahun 1918 pernah terjangkit pandemik yang di dunia Barat disebut “Flu Spanyol”. Di Arab, tahun 1918 disebut sebagai “Tahun Pengampunan” atau “Tahun Demam”. Demikian ditulis oleh Guido Steinberg, orang Jerman spesialis (peneliti) Arab, yang telah menulis dua artikel tentang dampak flu ini di Semenanjung Arab dan Suriah.
Steinberg menulis, dalam beberapa bulan, flu menyebar di berbagai kota dan desa, dan secara dramatis mengurangi populasi di kawasan itu karena banyaknya orang yang meninggal. Warga kemudian menggunakan selimut untuk memindahkan mayat ke masjid untuk disholatkan dan dimakamkan. Penggali kubur bekerja tak henti sepanjang hari, kecuali di waktu sholat. [1]
Secara total, di seluruh dunia ada 50 juta orang yang tewas akibat flu tahun 1918 ini.
Bagaimana asal muasal munculnya Pandemi Flu 1918 ini?
Berikut ini penjelasan dari Gareth Porter dalam tulisannya yang berjudul “How Generals Fueled 1918 Flu Pandemic to Win Their World War” [2]
Pandemi yang muncul tahun 1918 itu disebut “flu Spanyol” karena, AS, Inggris dan Perancis menyensor semua berita tentang penyebaran pandemi di negara mereka untuk menjaga semangat juang dalam negeri. Sebaliknya, media massa netral Spanyol malah melaporkan dengan bebas kasus influenza di sana, sehingga seolah Spanyol-lah asal mula flu tersebut. Padahal kenyataannya, gelombang pertama infeksi di AS berasal dari kamp pelatihan militer yang didirikan untuk persiapan perang.
Banyak bukti dokumentasi menunjukkan pandemi 1918 sebenarnya bermula di Haskell Country, Kansas, pada awal 1918, saat banyak warga yang terjangkit tipe influenza parah yang tidak biasa. Beberapa warga kemudian dikirim ke Kamp Funston di Fort Riley, kamp pelatihan militer terbesar di Kansas, melatih 50.000 rekrutmen dalam satu waktu untuk siap berperang. Dalam dua minggu, ribuan tentara di kamp jatuh sakit akibat virus influenza baru tersebut, 38 meninggal.
Serdadu yang baru direkrut di 14 kamp dari 32 kamp pelatihan militer besar yang didirikan untuk memenuhi kebutuhan perang AS di Eropa, tak lama kemudian dilaporkan tertular wabah virus influenza yang sama, muncul akibat beberapa pasukan dari kamp Funston dikirim ke sana. Pada Mei 1918, ratusan ribuan pasukan, banyak dari mereka telah terinfeksi, mulai menaiki kapal menuju Eropa, dan kepadatan di kapal menciptakan kondisi ideal bagi virus untuk berkembang lebih jauh.
Di parit-parit (trench) di Perancis, makin banyak pasukan AS sakit terserang virus. Pada mulanya sakit ringan dan relatif sedikit memakan korban, namun pengelola perang hanya mengevakuasi serdadu yang sakit, dan membawa pasukan baru pengganti, menyebabkan virus beradaptasi dan bermutasi menjadi lebih ganas dan lebih mematikan.
Konsekuensi dari pengelolaan perang seperti itu mulai terungkap setelah 27 Agustus 1918 di pelabuhan Boston, saat pengunjung datang membawa lebih banyak virus jahat dengan tipe mematikan; segera menyebar di kota Boston sendiri, dan pada 8 September, kasusnya muncul di Kamp Devens di luar kota. Dalam sepuluh hari di kamp, ribuan tentara jatuh sakit akibat virus tipe baru, dan beberapa di antara yang sudah terinfeksi di kamp diberangkatkan dengan kapal menuju ke Eropa.
Sementara itu flu tipe baru yang mematikan menyebar dari Kamp Devens melintasi Amerika sepanjang September dan Oktober. Membinasakan satu kota ke kota selanjutnya. Mulai September berlangsung, komandan AS di Prancis, dipimpin oleh Jendral John Pershing, dan pengelola pada Departemen Perang di Washington, sangat menyadari bahwa sangat banyak pasukan AS di Eropa dan masyarakat di AS yang terjangkit flu parah dan sebagiannya meninggal.
Namun demikian, Pershing tetap melanjutkan meminta pasukan pengganti dalam jumlah besar, untuk menggantikan serdadu yang tumbang di garis depan. Ia juga meminta dibentuk divisi baru yang direncakan untuk serangan besar akhir tahun. Pada surat untuk Departemen Perang tanggal 3 September, Pershing meminta tambahan 179.000 pasukan.
Perdebatan internal terjadi menindaklanjuti permintaan tersebut, diceritakan kembali oleh sejarahwan Carol R. Byerly. Inilah dokumen pengabaian mengerikan dari Pershing dan birokrasi militer di Washington atas nasib pasukan Amerika yang rencananya akan dikirim untuk perang. Setelah menyaksikan kengeriaan infeksi mematikan yang menewaskan tentara akibat sesak nafas di kamp yang terinfeksi, pejabat Departemen Medis Angkatan Darat, Jenderal Charles Richard dengan tegas menyarankan Kepala Staf Angkatan Darat Payton March pada akhir September agar menolak pengiriman pasukan dari kamp yang terinfeksi ke Prancis sampai pandemi dapat dikendalikan di satu wilayah, dan March awalnya menyetujui.
Pengiriman Pasukan Pengidap Flu Demi Perang
Richard lalu meminta penghentian wajib militer bagi para pemuda yang akan menuju kamp yang diketahui telah terinfeksi. Namun, meski wajib militer ditiadakan pada Oktober, pada bulan November dimulai lagi. Departemen Perang mengakui banyaknya pasukan AS yang jadi korban dalam pandemi dalam dokumen tertanggal 10 Oktober yang mengabarkan pada Pershing bahwa ia akan mendapatkan pasukan tambahan pada 30 November, “..seandainya tidak terhenti akibat influenza, dimana kini telah mencapai angka 200.000.”
Richard selanjutnya meminta pasukan untuk dikarantina sebelum dikirim ke Eropa, dan kapal angkut pasukan hanya diisi setengah dari kapasitas untuk mengurangi kepadatan. Saat itu March menolak, karena menjadi tidak mungkin baginya untuk memenuhi target Pershing, Richard lalu menyarankan agar semua pengiriman pasukan ditunda setelah pandemi infuenza dapat dikendalikan, “kecuali seperti permintaan untuk kebutuhan militer yang mendesak.”
Namun Kepala Staf Angkatan Darat, March, menolak kebijakan itu dan mengadu ke Gedung Putih, menemui Presiden Woodrow Wilson. Wilson, yang jelas mengetahui apa akibat bila terus maju dalam kondisi ini, bertanya, “.. mengapa Anda menolak untuk menghentikan pengiriman pasukan selama pandemi?”
March berargumen bahwa Jerman akan lebih berani menyerang bila tahu keadaan bahwa pasukan dari AS tidak akan datang. Wilson akhirnya menyetujui untuk melanjutkan pengiriman pasukan demi rencana Pershing. Meski akhirnya rencana ini terhenti karena Jerman menyetujui gencatan senjata tanggal 11 November, kejadian ini menunjukkan karakter elit AS yang mengerikan, yang tidak peduli pada keselamatan pasukannya, dan hanya mengejar tujuan perang belaka. Selama Perang Dunia I ini ada lebih banyak jumlah tentara yang tewas akibat influenza (63.114 orang) dibanding yang tewas akibat pertempuran (53.402). Dan diperkirakan 340.000 tentara Amerika dirawat karena sakit influenza/pneumonia, dibanding 227.000 dirawat akibat serangan Jerman.
Ketidakpedulian yang sama muncul dalam berbagai perang lainnya, mulai dari Perang Vietnam, Afghanistan, dan Irak. Kini terungkap lagi respon amat tak berperasaan dari Pentagon dalam pandemi virus corona (Covid-19).
Sejarah yang Berulang: Covid-19
Meski ada ancaman wabah Covid-19, Pentagon (Kementerian Pertahanan AS), dan utamanya Angkatan Laut, telah menolak menarik pasukannya, meskipun terancam tertular virus ini. Angkatan Darat dan Angkatan Laut telah mengubah proses rekrutmen, dari secara cara làngsung manjadi rekrutmen virtual. Namun Pentagon tetap mengirim orang-orang yang baru direkrut jadi tentara ke kamp pendidikan dasar, dimana mereka dipastikan tidak dapat menerapkankan social distancing.
Pada April 2020, Kapten Brett Crozier dipecat karena menulis surat (dan terungkap ke publik) bahwa pasukannya terancam tertular Covid-19. Dalam surat itu, Crozier meminta agar pasukan di kapal induk Theodore Roosevelt yang saat ini berada di perairan Guam segera dipulangkan karena ada 100 tentara yang tertular Covid. Di kapal yang berisi 5000 pasukan itu tidak memungkinkan dilakukan karantina atau social distancing.
Menteri Pertahanan Mark Esper menolak menghentikan aktivitas militer dengan alasan “diperlukan untuk keamanan nasional.” Namun adakah orang yang percaya bahwa ada ancaman militer di luar sana yang mengharuskan Pentagon bersiap-siap saat ini? Secara luas orang di luar Pentagon mengetahui bahwa ancaman nyata bagi keamanan adalah virus corona itu sendiri.
Keputusan Esper mencerminkan kebiasaan Pentagon yang telah berurat berakar, yaitu melindungi kepentingan militer secara picik dengan mengorbankan keselamatan pasukan Amerika, dan juga keselamatan manusia di seluruh dunia.
Pada 12 Maret 2020, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian, mengatakan, kemungkinan tentara AS yang datang ke Wuhan untuk mengikuti Military World Games pada 18-27 Oktober 2019 telah menderita Covid-19, dan kemudian menulari warga Wuhan. Dalam pertandingan militer itu, tentara AS tidak memenangkan satu medali pun. [3]
—
[1] https://www.arabnews.com/node/1649051/saudi-arabia
[2] https://www.theamericanconservative.com/articles/how-generals-fueled-1918-flu-pandemic-to-win-their-world-war/
[3] https://www.military.com/daily-news/2020/03/12/chinese-official-says-us-army-may-have-brought-epidemic-wuhan.html
Diterjemahkan oleh Nita H, diolah oleh redaksi ICMES.
Timur Tengah, termasuk Semenanjung Arab, pada tahun 1918 pernah terjangkit pandemik yang di dunia Barat disebut “Flu Spanyol”. Di Arab, tahun 1918 disebut sebagai “Tahun Pengampunan” atau “Tahun Demam”. Demikian ditulis oleh Guido Steinberg, orang Jerman spesialis (peneliti) Arab, yang telah menulis dua artikel tentang dampak flu ini di Semenanjung Arab dan Suriah.
Steinberg menulis, dalam beberapa bulan, flu menyebar di berbagai kota dan desa, dan secara dramatis mengurangi populasi di kawasan itu karena banyaknya orang yang meninggal. Warga kemudian menggunakan selimut untuk memindahkan mayat ke masjid untuk disholatkan dan dimakamkan. Penggali kubur bekerja tak henti sepanjang hari, kecuali di waktu sholat. [1]
Secara total, di seluruh dunia ada 50 juta orang yang tewas akibat flu tahun 1918 ini.
Bagaimana asal muasal munculnya Pandemi Flu 1918 ini?
Berikut ini penjelasan dari Gareth Porter dalam tulisannya yang berjudul “How Generals Fueled 1918 Flu Pandemic to Win Their World War” [2]
Pandemi yang muncul tahun 1918 itu disebut “flu Spanyol” karena, AS, Inggris dan Perancis menyensor semua berita tentang penyebaran pandemi di negara mereka untuk menjaga semangat juang dalam negeri. Sebaliknya, media massa netral Spanyol malah melaporkan dengan bebas kasus influenza di sana, sehingga seolah Spanyol-lah asal mula flu tersebut. Padahal kenyataannya, gelombang pertama infeksi di AS berasal dari kamp pelatihan militer yang didirikan untuk persiapan perang.
Banyak bukti dokumentasi menunjukkan pandemi 1918 sebenarnya bermula di Haskell Country, Kansas, pada awal 1918, saat banyak warga yang terjangkit tipe influenza parah yang tidak biasa. Beberapa warga kemudian dikirim ke Kamp Funston di Fort Riley, kamp pelatihan militer terbesar di Kansas, melatih 50.000 rekrutmen dalam satu waktu untuk siap berperang. Dalam dua minggu, ribuan tentara di kamp jatuh sakit akibat virus influenza baru tersebut, 38 meninggal.
Serdadu yang baru direkrut di 14 kamp dari 32 kamp pelatihan militer besar yang didirikan untuk memenuhi kebutuhan perang AS di Eropa, tak lama kemudian dilaporkan tertular wabah virus influenza yang sama, muncul akibat beberapa pasukan dari kamp Funston dikirim ke sana. Pada Mei 1918, ratusan ribuan pasukan, banyak dari mereka telah terinfeksi, mulai menaiki kapal menuju Eropa, dan kepadatan di kapal menciptakan kondisi ideal bagi virus untuk berkembang lebih jauh.
Di parit-parit (trench) di Perancis, makin banyak pasukan AS sakit terserang virus. Pada mulanya sakit ringan dan relatif sedikit memakan korban, namun pengelola perang hanya mengevakuasi serdadu yang sakit, dan membawa pasukan baru pengganti, menyebabkan virus beradaptasi dan bermutasi menjadi lebih ganas dan lebih mematikan.
Konsekuensi dari pengelolaan perang seperti itu mulai terungkap setelah 27 Agustus 1918 di pelabuhan Boston, saat pengunjung datang membawa lebih banyak virus jahat dengan tipe mematikan; segera menyebar di kota Boston sendiri, dan pada 8 September, kasusnya muncul di Kamp Devens di luar kota. Dalam sepuluh hari di kamp, ribuan tentara jatuh sakit akibat virus tipe baru, dan beberapa di antara yang sudah terinfeksi di kamp diberangkatkan dengan kapal menuju ke Eropa.
Sementara itu flu tipe baru yang mematikan menyebar dari Kamp Devens melintasi Amerika sepanjang September dan Oktober. Membinasakan satu kota ke kota selanjutnya. Mulai September berlangsung, komandan AS di Prancis, dipimpin oleh Jendral John Pershing, dan pengelola pada Departemen Perang di Washington, sangat menyadari bahwa sangat banyak pasukan AS di Eropa dan masyarakat di AS yang terjangkit flu parah dan sebagiannya meninggal.
Namun demikian, Pershing tetap melanjutkan meminta pasukan pengganti dalam jumlah besar, untuk menggantikan serdadu yang tumbang di garis depan. Ia juga meminta dibentuk divisi baru yang direncakan untuk serangan besar akhir tahun. Pada surat untuk Departemen Perang tanggal 3 September, Pershing meminta tambahan 179.000 pasukan.
Perdebatan internal terjadi menindaklanjuti permintaan tersebut, diceritakan kembali oleh sejarahwan Carol R. Byerly. Inilah dokumen pengabaian mengerikan dari Pershing dan birokrasi militer di Washington atas nasib pasukan Amerika yang rencananya akan dikirim untuk perang. Setelah menyaksikan kengeriaan infeksi mematikan yang menewaskan tentara akibat sesak nafas di kamp yang terinfeksi, pejabat Departemen Medis Angkatan Darat, Jenderal Charles Richard dengan tegas menyarankan Kepala Staf Angkatan Darat Payton March pada akhir September agar menolak pengiriman pasukan dari kamp yang terinfeksi ke Prancis sampai pandemi dapat dikendalikan di satu wilayah, dan March awalnya menyetujui.
Pengiriman Pasukan Pengidap Flu Demi Perang
Richard lalu meminta penghentian wajib militer bagi para pemuda yang akan menuju kamp yang diketahui telah terinfeksi. Namun, meski wajib militer ditiadakan pada Oktober, pada bulan November dimulai lagi. Departemen Perang mengakui banyaknya pasukan AS yang jadi korban dalam pandemi dalam dokumen tertanggal 10 Oktober yang mengabarkan pada Pershing bahwa ia akan mendapatkan pasukan tambahan pada 30 November, “..seandainya tidak terhenti akibat influenza, dimana kini telah mencapai angka 200.000.”
Richard selanjutnya meminta pasukan untuk dikarantina sebelum dikirim ke Eropa, dan kapal angkut pasukan hanya diisi setengah dari kapasitas untuk mengurangi kepadatan. Saat itu March menolak, karena menjadi tidak mungkin baginya untuk memenuhi target Pershing, Richard lalu menyarankan agar semua pengiriman pasukan ditunda setelah pandemi infuenza dapat dikendalikan, “kecuali seperti permintaan untuk kebutuhan militer yang mendesak.”
Namun Kepala Staf Angkatan Darat, March, menolak kebijakan itu dan mengadu ke Gedung Putih, menemui Presiden Woodrow Wilson. Wilson, yang jelas mengetahui apa akibat bila terus maju dalam kondisi ini, bertanya, “.. mengapa Anda menolak untuk menghentikan pengiriman pasukan selama pandemi?”
March berargumen bahwa Jerman akan lebih berani menyerang bila tahu keadaan bahwa pasukan dari AS tidak akan datang. Wilson akhirnya menyetujui untuk melanjutkan pengiriman pasukan demi rencana Pershing. Meski akhirnya rencana ini terhenti karena Jerman menyetujui gencatan senjata tanggal 11 November, kejadian ini menunjukkan karakter elit AS yang mengerikan, yang tidak peduli pada keselamatan pasukannya, dan hanya mengejar tujuan perang belaka. Selama Perang Dunia I ini ada lebih banyak jumlah tentara yang tewas akibat influenza (63.114 orang) dibanding yang tewas akibat pertempuran (53.402). Dan diperkirakan 340.000 tentara Amerika dirawat karena sakit influenza/pneumonia, dibanding 227.000 dirawat akibat serangan Jerman.
Ketidakpedulian yang sama muncul dalam berbagai perang lainnya, mulai dari Perang Vietnam, Afghanistan, dan Irak. Kini terungkap lagi respon amat tak berperasaan dari Pentagon dalam pandemi virus corona (Covid-19).
Sejarah yang Berulang: Covid-19
Meski ada ancaman wabah Covid-19, Pentagon (Kementerian Pertahanan AS), dan utamanya Angkatan Laut, telah menolak menarik pasukannya, meskipun terancam tertular virus ini. Angkatan Darat dan Angkatan Laut telah mengubah proses rekrutmen, dari secara cara làngsung manjadi rekrutmen virtual. Namun Pentagon tetap mengirim orang-orang yang baru direkrut jadi tentara ke kamp pendidikan dasar, dimana mereka dipastikan tidak dapat menerapkankan social distancing.
Pada April 2020, Kapten Brett Crozier dipecat karena menulis surat (dan terungkap ke publik) bahwa pasukannya terancam tertular Covid-19. Dalam surat itu, Crozier meminta agar pasukan di kapal induk Theodore Roosevelt yang saat ini berada di perairan Guam segera dipulangkan karena ada 100 tentara yang tertular Covid. Di kapal yang berisi 5000 pasukan itu tidak memungkinkan dilakukan karantina atau social distancing.
Menteri Pertahanan Mark Esper menolak menghentikan aktivitas militer dengan alasan “diperlukan untuk keamanan nasional.” Namun adakah orang yang percaya bahwa ada ancaman militer di luar sana yang mengharuskan Pentagon bersiap-siap saat ini? Secara luas orang di luar Pentagon mengetahui bahwa ancaman nyata bagi keamanan adalah virus corona itu sendiri.
Keputusan Esper mencerminkan kebiasaan Pentagon yang telah berurat berakar, yaitu melindungi kepentingan militer secara picik dengan mengorbankan keselamatan pasukan Amerika, dan juga keselamatan manusia di seluruh dunia.
Pada 12 Maret 2020, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian, mengatakan, kemungkinan tentara AS yang datang ke Wuhan untuk mengikuti Military World Games pada 18-27 Oktober 2019 telah menderita Covid-19, dan kemudian menulari warga Wuhan. Dalam pertandingan militer itu, tentara AS tidak memenangkan satu medali pun. [3]
—
[1] https://www.arabnews.com/node/1649051/saudi-arabia
[2] https://www.theamericanconservative.com/articles/how-generals-fueled-1918-flu-pandemic-to-win-their-world-war/
[3] https://www.military.com/daily-news/2020/03/12/chinese-official-says-us-army-may-have-brought-epidemic-wuhan.html
Diterjemahkan oleh Nita H, diolah oleh redaksi ICMES.
Post a Comment