HANCURKAN NASIONALISME DAN IDEOLOGI DENGAN PERANG ASIMETRIS
“Perang Asimetris ini adalah jenis perang yang lain, baru dalam intensitasnya, kuno dalam asal-mulanya. Perang oleh gerilyawan, pemberontak, pengacau, pembunuh; perang dengan dadakan, bukan dengan pertempuran terorganisir; dengan penyusupan, bukan dengan agresi; mencari kemenangan dengan merontokkan dan menyusutkan musuh, bukan dengan menghadapinya…Mereka memanfaatkan kerusuhan ekonomi dan konflik etnis, mereka berusaha berada dalam situasi yang harus kita masuki. Ini adalah tantangan yang ada di depan kita jika kebebasan harus diselamatkan; suatu strategi yang seluruhnya baru, jenis kekuatan yang seluruhnya berbeda, dan oleh karena itu memerlukan bentuk pelatihan militer yang baru sama sekali.” (Dikutip dari Buffaloe – 2006).
Kutipan diatas tidak diucapkan oleh
Presiden Obama untuk mengomentari keonaran di berbagai belahan dunia,
namun oleh Presiden John F. Kennedy saat memberikan sambutan di West
Point tahun 1962.
Perang Asimetris sudah ada sejak ribuan tahun lalu
Pada masa kini, perang jenis baru ini kemudian dikenal sebagai Perang Asimetris atau Asymmetric warfare, atau Asymmetric engagement,
yaitu perang antar dua pihak dengan kekuatan yang kurang lebih
seimbang, menggunakan strategi dan taktik yang kurang lebih sama, hanya
teknis operasional dan kemampuan memanfaatkan medan yang menentukan
siapa pihak yang menang.
Sebetulnya fenomena Perang Asimetris
sudah muncul sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu, karena semua
perang pada dasarnya asimetris, yaitu pihak pertama berusaha
mengeksploitasi kekuatan pihak lain yang lebih besar sambil menyerang
kelemahannya. Namun istilah perang asimetris semakin populer melalui
artikel Andrew JR Mack berjudul Why Big Nations Lose Small Wars dalam jurnal World Politics (1975).
Pertanyaan retorik Mack tersebut
didasarkan pada pengamatannya bahwa beberapa negara Eropa yang mempunyai
kekuatan militer jauh lebih besar daripada negara-negara Asia dan
Afrika yang dijajahnya, ternyata harus angkat kaki menerima kekalahan
atas negara-negara kecil tersebut. Beberapa kasus yang disebutkan
adalah: Indochina (1946-54), Indonesia (1947-1949), Aljazair, Siprus,
Aden, Maroko, dan Tunisia.
Ditambahkan oleh Mack bahwa kekuatan
besar yang dikalahkan kekuatan kecil bukanlah fenomena kolonialisme
semata, seperti ditunjukkan oleh kasus Vietnam yang bisa mengusir
Amerika Serikat yang bukan penjajahnya.
Perang Asimetris Pasca Perang Dunia II
Perang asimetris skala besar yang terjadi
pada era setelah Perang Dunia II, selain perang Vietnam diantaranya
adalah Perang Saudara Sri Lanka, Perang antara Israel dan Palestina, dan
Perang Saudara di Suriah. (sumber: Wikipedia tentang Asymmetric
Warfare)
Berikut adalah uraian singkat tentang ke
tiga perang asimetris tersebut. Sebagai catatan perang asimetris yang
paling dahsyat pada 20 tahun terakhir ini adalah kejadian 11 September
2001 di New York, dimana sekelompok orang menabrakkan pesawat terbang
komersial yang dibajaknya ke dua gedung kembar yang menjadi lambang
keperkasaan (ekonomi) Amerika Serikat, yang menelan korban sekitar 3.000
orang.
- Perang Saudara di Sri Lanka, meletus pada tahun 1983, antara pemerintah Sri Lanka dan Tentara Pembebasan Tamil Eelam (LTTE). Perang dimulai dengan pemberontakan LTTE terhadap Pemerintah dan berkembang menjadi konflik besar-besaran, melibatkan perang gerilya dan perang konvensional. LTTE mempelopori penggunaan bom, yang puncaknya dilakukan oleh pembom bunuh diri pria atau wanita, baik di dalam maupun di luar medan perang; menggunakan perahu yang penuh dengan bahan peledak untuk menghancurkan kapal-kapal militer; serta penggunaan pesawat-pesawat ringan yang menargetkan instalasi militer. Hasil akhirnya, pemberontakan dapat diatasi dan Sri Langka tetap utuh.
- Perang antara Israel dan Palestina, yang sudah berlangsung selama puluhan tahun adalah kasus klasik perang asimetris yang berkepanjangan. Israel memiliki tentara angkatan darat, udara dan laut yang kuat, dengan alutsista canggih yang dapat mengalahkan Palestina (khususnya Hamas). Namun, Palestina menggunakan taktik asimetris, seperti serbuan dadakan, tembakan lintas-perbatasan, serangan roket, bom bunuh diri, dan menurut PM Israel Benyamin Netanyahu (Fitch, 2014): “We use missiles to protect civilians; Hamas use civilians to protect their missiles.” Hingga saat ini, konflik Israel-Palestina masih berlangsung.
- Perang di Suriah, yang terjadi sejak tahun 2012 lalu hingga sekarang, juga merupakan perang asimetris. Koalisi Nasional Suriah bersama dengan Mujahidin dan Partai Uni Demokratik Kurdi berjuang melawan Pemerintah Suriah melalui cara-cara asimetris untuk menumbangkan kekuasaan Presiden Hafez al As’ad. Para pemberontak tidak mampu terlibat secara simetris menghadapi tentara Suriah sehingga melakukan taktik non-konvensional seperti bom bunuh diri, penyerbuan target-target tertentu, dsb. Konflik antara pemerintah dengan pemberontak berlangsung lama, sampai kemudian muncul ISIS yang memerangi pemerintah Suriah dan Irak sekaligus untuk mendirikan negara sendiri. Sampai saat ini, perang di Suriah juga masih berlangsung.
Fenomena perang asimetris di berbagai
negara tersebut mendorong tumbuhnya pemikiran bagaimana menjelaskan
“keunggulan” pihak lemah sehingga dapat memenangkan peperangan dengan
pihak yang lebih kuat.
Konsep Perang Asimetris
Dalam berbagai literatur pertahanan dan
hubungan internasional, istilah asimetris diartikan sebagai perbedaan
yang signifikan dalam “kekuatan” dari aktor-aktor yang berlawanan dalam
suatu konflik. Kekuatan tersebut diartikan sebagai kekuatan material,
seperti tentara profesional berjumlah besar, senjata canggih, ekonomi
maju, dan sebagainya. Perang asimetris mencakup konflik antarnegara dan
antarkelompok (biasa disebut perang sipil atau perang saudara).
Sedangkan perang simetris, di mana dua
pihak memiliki kekuatan militer dan sumber daya yang sama, menggunakan
taktik yang mirip secara keseluruhan, hanya berbeda dalam detail dan
eksekusinya. Perang asimetris sering disebut juga dengan perang gerilya, pemberontakan, terorisme, konflik intensitas rendah, perang generasi ke 4, perang irreguler, dsb.
Perang asimetris juga merupakan konflik
yang melibatkan kekerasan, antara militer formal di satu pihak melawan
pihak lain yang informal dan tidak didukung pasukan bersenjata lengkap
namun memiliki militansi yang tinggi. Dalam perang asimetris, kedua
pihak berusaha untuk mengeksploitasi kelemahan lawan dengan menggunakan
strategi dan taktik perang konvensional maupun non-konvensional.
Pihak yang lebih lemah berusaha
menggunakan strategi yang lebih jitu untuk mengimbangi kekurangannya
dalam kuantitas atau kualitas militer. Strategi pihak yang lemah
menghindari tindakan secara militer, yang merupakan kekuatan pihak
lawan.
Bagi pihak yang lebih kuat, berperang di
negara lain ada batas atau limitasinya. Mereka tidak dapat menggunakan
sumber daya melebihi tingkat tertentu, karena berperang memerlukan
sumber daya seperti prajurit, dana, dukungan politik, dll. yang
diperlukan untuk mengejar tujuan-tujuan lainnya. Tanpa kemenangan cepat,
perang bagi negara besar menciptakan potensi terjadinya persoalan
politik yang dapat menggeser keseimbangan kekuatan yang mengarah pada
penyudahan perang.
Bagi pihak yang lebih lemah, invasi atau
penjajahan oleh negara besar menumbuhkan kohesi, meminimalkan kendala
dalam menyatukan tekad, dan memaksimalkan kesediaan untuk menanggung
bersama biaya yang diperlukan. Negara kecil tidak harus mempertaruhkan
kepentingan untuk bertahan, dan melakukan perang tidak selalu menjadi
prioritas utama, karena ada tujuan sosial, politik, dan ekonomi lainnya
yang harus diperjuangkan. Hal ini membuat negara kecil lebih kuat secara
mental, sosial dan politik; walau secara militer dan ekonomi lemah.
Bagaimana negara kecil bisa mengalahkan
negara besar dijelaskan oleh Mack (1975). Menurutnya, kemenangan negara
kecil atas negara besar disebabkan oleh ketidakmauan negara kecil
menghadapi negara besar sesuai terminologi negara besar. Sebaliknya,
negara kecil menggunakan terminologi perang yang tidak konvensional
dalam menghadapi negara besar, yaitu perang gerilya, terorisme kota,
atau bahkan tindakan non-kekerasan.
Namun selain itu, penyebab kekalahan
negara besar dari negara kecil adalah menurunnya kapabilitas politik
negara besar itu untuk berperang. Kapabilitas politik yang menurun itu
antara lain disebabkan oleh meningkatnya aksi sosial menentang perang,
seperti yang terjadi di AS pada tahun 1960an.
Kapabilitas politik untuk berperang juga
dapat merosot jika peperangan yang tidak seimbang secara militer
tersebut berlangsung dalam waktu yang lama, dengan digunakannya
cara-cara yang tidak konvensional oleh pihak yang lebih lemah. Perang
gerilya yang berlangsung lama membutuhkan biaya yang besar bagi negara
besar sekalipun. Maka ada batasan bagi negara besar sejauh apa biaya ini
dapat ditoleransi.
Biaya perang yang dianggap berlebihan
akan mendorong upaya pembatasan perang dalam diri pemerintah. Sementara
itu, publikasi korban yang bukan pelaku perang (non-kombatan) akibat
penggunaan senjata canggih yang salah sasaran membangkitkan sisi
kemanusiaan masyarakat di negara besar untuk menolak dan kemudian
mengakhiri perang. Inilah yang terjadi antara Vietnam dan AS pada tahun
1960an.
Selain faktor politik, faktor ekonomi
juga dapat menjadi sebab suatu perang asimetris dimenangkan oleh negara
besar. Menurut Mack (1975), Belanda mundur dari Indonesia karena AS
mengancam Belanda tidak akan memberi bantuan pembangunan Marshall Plan
jika tidak menyelesaikan masalahnya dengan Indonesia yang baru merdeka.
Kesiapan menghadapi Perang Asimetris
Dari mempelajari pengalaman banyak negara menghadapi perang asimetris, Robinson et al. (2014)
menyimpulkan perlunya penyesuaian terhadap praktek dan sistem yang ada
sebelumnya. Perubahan itu setidaknya meliputi aspek-aspek perencanaan,
kelembagaan, operasi, insentif, keterampilan, kekuatan sipil dan
koordinasi. Tabel berikut menguraikan tindakan yang diperlukan untuk
menghadapi perang asimetris yang perlu dilakukan oleh pihak yang lebih
kuat.
Lembaga dan Pasukan Khusus
Pada tahun 2006 Gordon R. Sullivan (Jenderal Purn. AS) menyatakan bahwa:
Warfare today has taken on a new form and
grown to new levels. The type of warfare is not new, and few of the
tactics are new. What is new is that this type of war has recently
reached a global level—and the United States and its allies have found
themselves ill prepared. Many strategists and theorists have attempted
to grasp the concept of the war we are facing today, yet none have
adequately given it definition and understanding. (sumber: kata pengantar untuk buku Buffaloe (2006))
Menyadari kekurang-siapan ini, berbagai
upaya pembenahan dan penyesuaian dilakukan untuk terus meningkatkan
kesiapan Angkatan Bersenjata AS dalam menghadapi perang asimetris.
Center for Asymmetric Warfare (CAW) dan Asymmetric Warfare Group (AWG)
adalah contoh upaya yang dilakukan AS menghadapi perang asimetris.
Center for Asymmetric Warfare
The Center for Asymmetric Warfare
(CAW) didirikan pada tahun 1999, dua tahun sebelum peristiwa 11
September 2001. CAW adalah suatu satuan kerja di Angkatan Laut AS yang
dibentuk untuk memperkuat angkatan bersenjata, negara bagian, pemerintah
kota, organisasi federal, dan lain-lain dalam melawan, mengendalikan
dan mendukung perang global melawan terorisme.
CAW menjadi unit khusus terdepan dalam
menghadapi perang asimetris, dengan memberikan pendidikan dan pelatihan,
integrasi teknologi, pengujian, dan evaluasi program; dan pengukuran
kemampuan untuk berbagai organisasi, termasuk dunia usaha dan LSM,
akademia, dan lembaga pemerintah negara lain.
Misi CAW adalah melakukan penelitian,
menyelenggarakan pelatihan terfokus, eksperimen lapangan, pengujian dan
penilaian untuk meningkatkan kemampuan personel militer dan sipil di
semua tingkatan kelembagaannya dalam rangka mencegah, mengurangi,
menghadapi, atau merespon, serta melakukan pemulihan terhadap dampak
dari ancaman asimetris terhadap ketahanan negara dan keamanan nasional
dan global.
Sedangkan visi CAW adalah meningkatnya
keselamatan dan keamanan negara dan rakyat Amerika Serikat termasuk
sekutu strategisnya melalui pelatihan, eksperimen, perumusan program
strategis, taktis, operasional dan lain-lain. CAW mengupayakan berbagai
organisasi lintas sektor dan lintas komando, berbagi intelijen dan
informasi operasional, berkomunikasi dan berkoordinasi satu sama lain,
melakukan perencanaan mengantisipasi ancaman, melaksanakan tindakan
operasi pemulihan, dan sebagainya.
Asymmetric Warfare Group
The Asymmetric Warfare Group
(AWG) adalah unit khusus di bawah Angkatan Darat AS yang mempunyai misi
memberikan bantuan konsultasi operasional kepada Angkatan Darat dan para
Komandan Angkatan Gabungan (Joint Force Commanders) untuk
meningkatkan efektivitas tempur menghadapi ancaman asimetris. AWG
memaparkan observasi dan perspektif penting bagi para komandan senior
untuk dipertimbangkan ketika membuat kebijakan dan keputusan mengenai
sumber daya pertahanan.
AWG terdiri dari tentara, pegawai sipil
Angkatan Darat, dan spesialis yang dikontrak. Setiap anggota AWG
diseleksi dan dipilih berdasarkan kemampuan khusus dan pengalaman
operasional dengan menggunakan proses nominatif untuk memastikan satuan
ini diisi oleh personel yang sangat profesional. AWG mengerahkan
pasukannya ke berbagai pelosok dunia untuk mengamati, mengukur,
dan menganalisis informasi tentang situasi kejadian kontemporer yang muncul, khususnya ancaman asimetris dan penanggulangannya secara efektif.
dan menganalisis informasi tentang situasi kejadian kontemporer yang muncul, khususnya ancaman asimetris dan penanggulangannya secara efektif.
Tugas utama AWG adalah:
- Mengidentifikasi, mengembangkan, dan mengkampanyekan solusi mengatasi ancaman melalui praktek-praktek terbaik, peningkatan kemampuan memecahkan masalah, dan penguasaan teknologi penanggulangan ancaman.
- Mendukung Angkatan Darat dan para Komandan Angkatan Gabungan dengan memberikan saran dan membantu persiapan operasi di wilayah perang untuk mengurangi kerentanan dalam menghadapi ancaman yang ada dan yang akan muncul.
- Menggelar pasukan AWG ke berbagai pelosok dunia untuk mengamati perkembangan ancaman dan untuk mengidentifikasi tindakan penanganan secara ofensif atau defensif untuk mengalahkan ancaman.
- Meningkatkan inovasi dan adaptasi kekuatan operasi Angkatan Darat agar menjadi lebih lincah, fleksibel dan mematikan.
- Mengembangkan pemimpin yang mampu beradaptasi melalui pengembangan organisasi pembelajaran yang terus menerus. AWG memberikan dukungan konsultasi operasional bagi komandan pasukan gabungan dan masing-masing angkatan untuk meningkatkan ketahanan hidup, efektivitas tempur, dan keterampilan teknik mengatasi ancaman dan lain sebagainya.
Penutup
Perang dan damai adalah suatu spektrum,
seperti pelangi, namun dapat berubah sewaktu-waktu. Suasana damai yang
lama dapat berubah menjadi kerusuhan secara tiba-tiba, karena kebebasan
dan demokrasi memungkinkan terjadinya polarisasi dan pengelompokan orang
atas dasar apapun: kesamaan ideologi, kesamaan nasib, kesamaan wilayah,
dsan lain-lain. Pencetusan gagasan yang dilakukan dengan kekerasan
perlu dicegah sejak awal agar tidak membesar menjadi perang asimetris
yang dapat membahayakan kedaulatan negara.
Perang asimetris dapat dihadapi oleh
negara manapun, baik dalam posisi sebagai negara kuat menghadapi negara
atau kekuatan lain yang lebih lemah, maupun dalam posisi sebagai negara
lemah dalam menghadapi negara atau kekuatan lain yang lebih besar. Yang
kemungkinan akan sering terjadi adalah suatu negara menghadapi kekuatan
separatis, teroris, pengacau keamanan, dsb. Karena itu setiap negara
perlu mengantisipasi dan mempersiapkan diri menghadapinya.
Angkatan bersenjata perlu menjadi lebih
gesit, tangguh dan ulet; siap menyesuaikan taktik dan teknik operasional
dengan situasi yang dikondisikan pihak yang lebih lemah namun militan
dan bisa menggunakan segala macam cara. Tentara harus lebih mampu dan
siap bekerjasama dengan berbagai pihak untuk melawan pihak yang lemah
namun sering berlindung di tengah kerumunan orang banyak.
Pasukan khusus untuk menghadapi perang
asimetris harus siap melakukan operasi gabungan antar matra, termasuk
dengan pasukan reguler dan para-militer. Pasukan khusus perlu mengadopsi
teknologi baru untuk meningkatkan mobilitas, ketangguhan, waspada
terhadap dinamika sosial, didukung dengan persenjataan yang cocok:
memojokkan, mengejutkan, melumpuhkan, memingsankan, dan lain sebagainya.
Kekuatan material negara perlu bertumpu
pada upaya militer yang cepat tanggap, didukung kapabilitas intelijen
yang cermat dan awas setiap saat.
_________________
(Sumber: Herry Darwanto (penulis adalah PNS senior Kementerian Pertahanan)
Post a Comment