OBSESI NAFSU MEMBUAT NEGARA ISLAM

Obsesi Penegakan Syari’ah
Seperti diketahui, ide dan aspirasi pendirian negara Islam di Indonesia telah melahirkan beragam respon dan tafsiran di masyarakat, baik di kalangan Muslim maupun non-Muslim. Ada yang berpandangan, isu negara Islam sengaja dihembuskan untuk mendiskreditkan kelompok-kelompok Islam, tapi sebagian yang lain mengakui dengan terus terang bahwa ide dan aspirasi pendirian negara Islam dewasa ini benar-benar ada dan akan direalisasikan.[1] Secara historis, Negara Islam Indonesia (NII) atau Darul Islam (DI) pernah dideklarasikan oleh S. Maridjan Kartosuwirjo di Jawa Barat, yang kemudian diikuti oleh Daud Beureuh di Aceh dan Kahar Muzakkar[2] di Sulawesi Selatan. Saat ini, Aceh telah menerapkan hukum Islam, sementara beberapa daerah di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan juga telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Syari’ah Islam.
Apakah perkembangan di tiga daerah itu merupakan wujud dari gejala keberhasilan ide negara Islam, yang kelak akan diikuti oleh daerah lain melalui efek domino? Belum jelas benar, memang. Akan tetapi, isu penegakan syari’ah Islam seperti yang terlihat dalam kasus keluarnya Perda-perda Syari’ah memang telah memunculkan spekulasi yang mengarah pada ide pendirian negara Islam. Apalagi terbukti bahwa beberapa gerakan penegakan syari’ah tersebut mengaitkan dirinya dengan perjuangan NII atau DI, seperti di Cianjur (NII KW9) dan Sulawesi Selatan (melalui Komite Persiapan Penegakan Syari’ah Islam atau KPPSI yang dikaitkan dengan perjuangan Kahar Muzakkar).[3]
Penerapan syari’ah Islam secara formal jelas bertentangan dengan konstitusi. Namun ada celah yang bisa ditempuh untuk mencapai tujuan itu, yakni melalui wewenang otonomi daerah.[4] Para eksponen gerakan garis keras bekerjasama dengan politisi dan pejabat oportunis di daerah memanfaatkan otonomi daerah untuk memberlakukan syari’ah Islam secara formal melalui Perda-perda. Artinya, proses mengislamkan negara melalui penerapan syari’ah secara konstitusional adalah hal yang sulit untuk dilakukan. Maka strategi yang ditempuh adalah “desa mengepung kota,” yakni melalui formalisasi syari’ah di daerah-daerah dengan Perda-perda Syari’ah. Nantinya, ketika semakin banyak daerah di tanah air yang menerapkan syari’ah sebagai hukum regional, maka langkah menjadikan syari’ah sebagai hukum nasional dan pendirian Negara Islam hanya soal waktu saja. Hal ini bisa disimak dari statemen seorang proponen penegakan syari’ah bahwa, “Kalau masyarakat sudah Islami, syari’ah Islamnya jalan, maka jadi negara Islam dengan sendirinya tanpa diucapkan.”[5]
Saat ini tujuan mereka sudah semakin dekat, yang terlihat dengan pengakuan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2008 bahwa Perda-perda Syari’ah tidak inkonstitusional. Pengakuan MK memang bisa menjadi bukti legalitas formil bahwa Perda-perda Syari’ah konstitusional. Tetapi secara materiil harus disadar bahwa Perda-perda Syari’ah bersifat sektarian, tidak mewakili kepentingan bangsa Indonesia secara keseluruhan, hanya mengakomodasi kepentingan sekelompok kecil dari mayoritas umat Islam, bahkan mengabaikan minoritas non-Muslim. Pengakuan MK ini tentu tidak bisa dilepaskan dari atmosfer dan arah angin pemerintah lima tahun terakhir ini. Pengakuan MK ini juga menunjukkan bahwa Indonesia sekarang sepertinya sedang bergerak dan bergeser dari Ne- gara Pancasila menuju Negara Islam (baca: Islam versi garis keras).
Suasana di Indonesia saat ini bagaikan kodok dalam tempayan di atas tungku untuk direbus, dan sudah dimasukkan sejak air masih dingin. Secara perlahan tapi pasti, tanpa menyadari bahwa dirinya sedang menjalani proses pembunuhan, kodok diam saja dan rileks di dalam tempayan. Pada saat dia sadar, semua sudah terlambat. Penyusupan ideologi memang tidak dirasakan oleh banyak orang gerakan ideologi sering tidak dirasakan dan disadari oleh mereka yang dimasuki. Maka secara sistematis berkembang menjadi besar dan merasuk…. dengan demikian, gerakan ideologis seperti itu akan semakin mekar dan berekspansi secara sistemik, yang dikemudian hari baru dirasakan sebagai masalah serius tetapi keadaan sudah tidak dapat dicegah dan dikendalikan karena telah meluas sebagai gerakan yang dianut oleh banyak orang.[6]
Ada beberapa alasan mengapa akhir-akhir ini muncul tuntutan penerapan syari’ah secara legal formal. Di antara alasan itu, yang terpenting, adalah pandangan bahwa Islam merupakan agama sempurna yang meliputi semua cara hidup secara total.
Maka Islam harus dijadikan sebagai satu-satunya referensi dalam memecahkan berbagai permasalahan bangsa. Lalu lahirlah slogan semacam: “Selamatkan Indonesia dengan syari’ah” (HTI),[7]  atau “Penegakan syari’ah melalui institusi negara merupakan satu-satunya jalan keluar untuk mengatasi kemelut bangsa” (MMI),[8]  atau “krisis multidimensi akan berakhir dengan diberlakukannya syari’ah Islam” (FPI),[9] atau “Islam adalah solusi” (PKS),[10] yang menjadi obsesi kelompok-kelompok garis keras.
Selain itu, tuntutan penerapan hukum Islam juga didesak oleh keinginan yang kuat untuk menampilkan identitas keislaman yang khas di tengah percampuran identitas dalam arus globalisasi dunia.[11] Di samping itu, faktor korupsi, tidak adanya jaminan kepastian hukum, proses peradilan yang tidak independen dan sering direcoki berbagai kepentingan, juga telah memberi alasan pada kelompok-kelompok garis keras untuk menawarkan alternatif hukum, walau permasalahan yang sebenarnya bukan pada aspek diktum hukum melainkan aparat hukum.
Alasan-alasan di atas sangat rapuh sebagai dasar bagi tuntutan penegakkan syari’ah. Bahwa Islam merupakan agama sempurna dan harus menjadi referensi bagi penyelesaian semua persoalan hidup, semua orang Islam punya keyakinan seperti itu. Bahkan, setiap umat beragama meyakini kesempurnaan agamanya. Syari’ah pun sudah menjadi bagian integral kehidupan umat Islam Indonesia sehari-hari selama berabad-abad sejak Islam masuk ke Nusantara. Jadi, tuntutan penerapan syari’ah yang diteriakkan kelompok-kelompok garis keras sangat mengada-ada, seolah-olah umat Islam Indonesia selama ini tidak mengamalkan syari’ah Islam. Kecuali jika yang mereka maksud adalah fiqh yang diterapkan di beberapa negara lain seperti Arab Saudi, Afghanistan di bawah Taliban, dan lain-lain yang berpaham Wahabi. Jika ini yang dimaksudkan, memang “masuk akal” kalau muncul tuntutan yang begitu keras, karena jenis fiqh yang mereka yakini memang keras dan kaku serta menuntut penegakkan secara keras pula sebagai akibat ideologi totalitarian-sentralistik yang mereka adopsi dari kelompok-kelompok garis keras transnasional.
Paham Wahabi sendiri ditegakkan oleh Bani Sa’ud sejak abad 18 dengan kekerasan dan banjir darah. Ketika paham itu dibawamasuk ke Nusantara (Sumatera Barat) pada awal abad 19, meletuslah Perang Padri antara pengikut ajaran Wahabi melawan Muslim lokal, pemangku adat, dan guru-guru tarekat. Rezim Taliban di Afghanistan adalah contoh lain lagi dari penerapan hukuman
la Wahabi yang sangat ekstrem. Ketika berkuasa pada 1996-2001, rezim ini membentuk Departemen Amar Ma’ruf Nahy Munkar yang bertugas mengontrol pengamalan ajaran agama. Polisi agama berpatroli di kota-kota dengan cambuk dan senapan otomatis mencari warga yang melanggar fiqh Taliban. Jika kedapatan warga melanggar syari’ah maka ditangkap, dipukul, atau dipenjara. Aksi-aksi Front Pembela Islam (FPI) yang berperilaku seperti polisi agama dan berpatroli keliling kota sangat mirip dengan aktivitas polisi agama Afghanistan di bawah Taliban.[12]
Apakah tuntutan penegakkan syari’ah yang marak belakangan ini maksudnya adalah syari’ah a la Wahabi? Sangat mungkin. Apalagi jika diperhatikan, hampir semua kelompok garis keras yang menuntut penegakan syari’ah di tanah air berasal dari atau memiliki kaitan ideologis dengan— organisasi-organisasi garis keras transnasional yang lahir di arena konflik Timur-Tengah. Para pemimpin mereka pun kebanyakan keturunan Arab atau mereka yang pernah belajar di Arab Saudi atau negara lain di Timur Tengah yang kemudian kehilangan tradisi keberagamaannya dan menganut paham Wahabi dan Ikhwanul Muslimin atau Hizbut Tahrir. Jadi, yang mereka perjuangkan sebenarnya bukan syari’ah Islam seperti yang dipahami oleh mayoritas umat Islam Indonesia, melainkan “syari’ah Islam” versi Wahabi-Ikhwanul Muslimin. Itu sebabnya, kampanye penegakkan syari’ah oleh kelompok-kelompok garis keras selalu menimbulkan masalah dan keributan di manamana di kalangan umat Islam sendiri. Hal ini berbeda dengan dakwah Islam yang lazim disampaikan para ulama, yang menyampaikan “pesan Islam” yang esensial dan universal, yang memberi kesejukan, bukan keributan.
Sementara derasnya arus modernisasi dan globalisasi yang dianggap berdampak buruk terhadap kehidupan umat Islam juga menjadi alasan tuntutan formalisasi hukum Islam.[13] Sedangkan alasan lain yang dikemukakan adalah untuk membentengi diri dari arus globalisasi, namun yang ditampilkan justru penguatan identitas untuk menegaskan perbedaan dari yang lain. Adalah hak setiap orang untuk memelihara diri dari pengaruh luar, dan ini tidak menjadi masalah. Hal yang menjadi masalah adalah ketika itu dilakukan dengan menggunakan instrumen-instrumen negara yang merupakan milik publik untuk kepentingan sekelompok orang, seperti pemberlakuan Perda Syari’ah yang sering bertolak belakang dengan kemaslahatan umum. Maka, jika umat Islam lain menolak Perda Syari’ah, itu bukan sekadar suatu kewajaran, tetapi juga hak.
Bahkan menjadi kewajiban semua warga negara untuk menyelamatkan negeri ini dari pemaksaan kehendak oleh sekelompok orang dengan mengatasnamakan agama yang berpotensi memecah belah bangsa. Di sini harus ditegaskan pula bahwa itu bukanlah penolakan terhadap Islam itu sendiri, melainkan terhadap pemaksaan dan formalisasi pemahaman mereka tentang bagian tertentu dari Islam.
Kelompok-kelompok garis keras sangat bernafsu membatasikeluasan rahmat Allah, bahkan kebesaran Allah, ke dalam kotak kecil Perda Syari’ah. Lalu mereka memaksa semua orang tunduk pada syari’ah a la Wahabi yang mereka perjuangkan melalui perangkat undang-undang. Sambil memaksa orang lain, mereka mengklaim bahwa Islam adalah rahmat bagi semua orang (Islam rahrnatan liV&lamin). Dan dengan dalih itu mereka memaksa semua orang masuk ke dalam ‘rahmah’, padahal pemaksaan itu sendiri bertentangan dengan semangat rahmah. Alih-alih akan percaya, orang justru akan sinis dengan klaim itu. Akibatnya, doktrin Islam yang mulia itu (Islam rahrnatan lil-‘alamin) menjadi tercemar akibat berbagai tindakan mereka yang tidak segan-segan membajak agama untuk kepentingan kelompok sendiri. Mereka adalah diktator yang berusaha menipu umat Islam dengan bertopeng sebagai juru bicara Tuhan. Ini bukan saja tindakan subversif terhadap negara, melainkan juga bisa menjadi subversi terhadap kebesaran dan kekuasaan Allah subhanahu <wa ta’dld, karena Tuhan melarang pemaksaan dalam bentuk apa pun dalam agama (la ikrah fid-din), dan tidak pernah memberi mandat kepada siapa pun untuk menjadi juru bicara-Nya.
Keluarnya Perda-perda Syari’ah pada umumnya difasilitasi oleh fraksi partai-partai yang mengklaim sebagai partai Islam bekerjasama dengan politisi dan partai oportunis di DPRD daerah bersangkutan dengan dukungan atau desakan dari kelompok-kelompok garis keras. Di daerah seperti Sulawesi Selatan dan Sumatera Barat bahkan dibentuk Komite Persiapan Penegakan Syari’ah Islam atau KPPSI yang menghimpun berbagai elemen gerakan. Di daerah lain, desakan penerapan syari’ah Islam sering datang dari kalangan garis keras seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI) dan berbagai organisasi kelaskaran yang muncul dengan label Islam seperti Laskar Jihad, Laskar Jundullah, Laskar fi Sabilillah, dan lain-lain yang dari namanya saja tidak menimbulkan simpati pada mayoritas muslim dan umat yang lain. Tak jarang fraksi-fraksi par-tai berhaluan kebangsaan pun kesulitan menolak terlibat dalam proses persalinan Perda-perda Syari’ah tersebut, baik karena alasan mencari aman, takut dituduh anti-Islam, atau karena alasan-alasan pragmatis kekuasaan. Tidak adanya pemahaman yang mendalam dan menyeluruh tentang Islam juga menjadi salah satu alasan sulitnya menolak klaim-klaim dan desakan para agen garis keras.
Tuduhan anti-Islam yang dialamatkan oleh kelompok-kelompok garis keras kepada para penentang Perda Syari’ah pada dasarnya merupakan bentuk teror teologis yang memanfaatkan sentimen keagamaan. Tuduhan ini sangat efektif karena mencip- takan rasa takut di kalangan sebagian orang Islam. Amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Abu Bakar Ba’asyir bahkan pernah mengancam, “Jika pemberlakuan syari’ah Islam dihalang-halangi maka umat Islam wajib berjihad,”[14] tegasnya, seakan-akan semua orang Islam setuju dengan pandangannya. Terobsesi dengan pemberlakuan syari’ah Islam secara formal, Ba’asyir selalu mengulang-ulang penegasannya: “Berjihad untuk melawan kaum kuffdr yang menghalangi dan menentang berlakunya syari’ah Islam adalah wajib dan amal yang paling mulia.”[15]  Amir MMI itu menuding penentang Perda Syari’ah sebagai kafir.
Menghadapi tuduhan-tuduhan seperti di atas, anggota DPRD atau pemerintah daerah yang “lemah imannya” mungkin akan gentar mendengar ancaman semacam itu dan/atau sulit menjelaskan perbedaan besar antara Islam dan pemahaman atasnya. Tetapi para ulama yang memahami Islam secara mendalam dan menyeluruh, setia pada kebenaran, akan tahu sepenuhnya bahwa tuduhan itu hanyalah manuver politik semata yang sama sekali tidak memiliki bobot teologis. Ulama yang sejati tidak akan pernah mengkafirkanorang lain. Tuduhan kafir secara membabi buta di atas adalah bukti lain betapa pemahaman para agen garis keras tentang Islam sangat dangkal dan parsial.
Dari waktu ke waktu, grafik penerapan Perda Syari’ah menunjukkan peningkatan yang cukup tinggi. Jika pada tahun 2003 baru ada 7 daerah yang menerapkan Perda Syari’ah, maka hingga Maret 2007 sudah lebih dari 10 persen dari seluruh daerah di Indonesia yang menerapkan Perda Syari’ah,[16] dan jumlah ini terus bertambah. Bahkan, disahkannya UU APP telah berdampak negatif di beberapa daerah. Hal ini antara lain bisa dilihat dengan dikeluarkannya larangan tari Jaipong yang merupakan tarian khas daerah setempat oleh Gubernur Jawa Barat, H. Ahmad Haryawan, walaupun kemudian menampik telah melarang tarian tersebut. Jika hal semacam ini terus dibiarkan dan mayoritas daerah atas desakan kelompok-kelompok garis keras— menerapkan Perda Syari’ah, maka jalan menuju terbentuknya negara Islam Indonesia memang menjadi terbuka lebar. Padahal secara historis, formalisasi Islam sering atau nyaris tidak pernah menyelesaikan masalah. Bahkan di negara yang memproklamirkan diri sebagai Negara Islam pun, degradasi moral seperti korupsi dan sejenisnya tetap merajalela, kesejahteraan rakyat tetap tidak merata. Dalam ungkapan lain, apa yang dulu ditekan, seperti segmentasi etnis dan kesukuan, manuver-manuver politik, persaingan antarpribadi, spekulasi dan korupsi mencuat kembali pascaislamisasi tersebut.[17]
Sebenarnya, penentangan terhadap Perda-perda Syari’ah bukannya tidak ada. Pendiri Partai Kebangkitan Bangsa atau PKB, KH Abdurrahman Wahid, menyebut Perda-perda Syari’ah yang banyak bermunculan akhir-akhir ini sebagai kudeta terhadap Konstitusi.[18] Sementara tokoh Muhammadiyah Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif menanggapi maraknya Perda Syari’ah yang cenderung diskriminatif, menegaskan bahwa pemerintah pusat harus mengintervensi Perda-perda Syari’ah karena Konstitusi 1945 menjamin kebebasan beragama.[19]  Buya Syafi’i juga menyebut bahwa jika syari’ah Islam benar-benar diterapkan sebagai hukum negara maka perpecahan tidak hanya akan terjadi antara kelompok Muslim dan non-Muslim tetapi juga antarsesama umat Islam sendiri.[20]
Dengan menyebut kalangan non-Muslim, apakah Buya Syafi’i berlebihan? Sepertinya tidak. Dari kalangan non-Muslim, salah satu reaksi atas lahirnya Perda-perda Syari’ah adalah gagasan umat Kristiani untuk menjadikan Manokwari, Papua Barat, sebagai “Kota Injil,” beberapa waktu yang lalu. Kemudian bergulir juga wacana untuk menerapkan “Perda Hindu” di Bali, “Perda Kristen” di Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Timur yang mayoritas penduduknya Nasrani. Menanggapi lahirnya Perda-perda Agama ini Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi mensinyalir bahwa tanda-tanda disintegrasi bangsa sudah terlihat sebagai akibat dari upaya penerapan hukum agama yang dipaksakan.[21]
Organisasi Islam terbesar di dunia, Nahdlatul Ulama (NU), secara resmi menentang pemberlakuan Perda-perda Syari’ah. Rais Syuriah PBNU, KH Sahal Mahfudz mengatakan bahwa, “Kita (NU) menentang pemberlakuan Perda-perda Syari’ah karena akan menjurus kepada perpecahan bangsa. Syari’ah bisa dilaksanakantanpa perlu diformalkan.”[22] Senada dengan itu, KH Hasyim Muzadi menyebut bahwa bahaya kampanye penerapan syari’ah secara formal bukan hanya akan menyebabkan perpecahan bangsa akan tapi juga mengubah Indonesia menjadi negara Islam. [23]
Pihak pemerintah sendiri melalui Menteri Dalam Negeri (ketika itu Muhammad Ma’ruf) pernah menyatakan akan menginventarisasi Perda-perda Syari’ah yang banyak bermunculan di daerah. Menurutnya, Perda-perda itu akan dievaluasi dan diteliti mana yang berpegang pada konsensus nasional yaitu Pancasila, UUD ’45, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Dia menegaskan bahwa, Perda yang bertentangan dengan Undang-undang di atasnya dan melanggar kepentingan umum akan dibatalkan.
Namun, niatan pemerintah ini ditentang keras oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Ketua Fraksi PKS DPR, Mahfudz Sidik menyatakan, “Tidak ada dasar bagi pemerintah untuk mencabut Perda-perda yang bernuansa Islam, apalagi sejumlah aturan yang dikeluarkan beberapa Pemda tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi. Mereka yang menolak kehadiran Perda-perda Syari’ah itu lebih dilatarbelakangi kekhawatiran dan kecemasan. Bagi masyarakat setempat, Perda-perda tersebut justru mendorong kehidupan mereka lebih baik. Karena itu, pemerintah pusat tidak perlu merespon pihak-pihak yang menolak Perda tersebut. Perda-perda itu tak ada alasan untuk dipersoalkan,” ungkapnya seraya menambahkan bahwa PKS akan tetap mendukung Perda-perda tersebut.[24] Dalam konteks ini, ada kecenderungan kuat bahwa demokrasi dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang tidak demokratis. Demokrasi yang semakin kuat justru bergandengan tangan dengan intoleransi yang semakin pekat, maka tak berlebihan jika PKS dinilai sebagai ancaman demokrasi yang lebih besar dibandingkan dengan Jama’ahIslamiyah, misalnya.[25]
Benarkah Perda-perdaSyari’ah tersebut mendorong kehidupan yang lebih baik, seperti yang diyakini PKS? Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta yang dipublikasikan belum lama ini justru menunjukkan fakta sebaliknya. Dalam diskusi hasil penelitian tersebut pada 21-22 November 2007 di Bogor, para peneliti mengatakan bahwa tidak ada korelasi antara kesejahteraan masyarakat dengan penerapan Perda Syari’ah; kehidupan masyarakat tidak berubah antara sebelum dan sesudah diberlakukannya Perda-perda Syari’ah. Bahkan diungkapkan bahwa Perda-perda Syari’ah justru memicu terjadinya berbagai pelanggaran hak-hak sipil terutama di kalangan non-Muslim dan perempuan.[26]
Kalangan non-Muslim terkena kewajiban untuk melaksanakan beberapa aspek dari Perda Syari’ah. Di Kabupaten Cianjur, misalnya, dilaporkan seorang perempuan non-Muslim mengaku dipaksa mengenakan jilbab di kantor setiap hari Jumat. Pemaksaan serupa juga menimpa seorang guru di sekolah negeri dan seorang siswi sebuah SMU. Bagi siswi yang menolak, orang tuanya diharuskan mengajukan permohonan dan pernyataan bahwa siswi tersebut adalah non-Muslim. Jilbabisasi juga diberlakukan terhadap keturunan Tionghoa yang bekerja di kantor BCA Cianjur. 40 Kalangan non-Muslim sama sekali tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan penerapan syari’ah Islam di Cianjur, tetapi pada beberapa kasus ternyata aturan Perda syari’ah diberlakukan juga bagi kalangan non-Muslim.[27]
Menurut laporan the Wahid Institute, kaum perempuan non-Muslim di Padang (Sumatera Barat) dan Bulukumba (Sulawesi Selatan) juga terkena kewajiban memakai jilbab setelah keluarnya Perda Syari’ah.[28]  Seorang wali murid Katolik yang 2 anak perempuannya dipaksa memakai jilbab di sekolah negeri di Padang mencoba membujuk anaknya bahwa jilbab hanya sekadar etika berpakaian, jadi sebaiknya peraturan itu diikuti saja. Namun, anak-anaknya merasakan bahwa kewajiban berjilbab itu lebih dari sekadar etika berpakaian. Mereka merasakan bahwa saat ini berada dalam suatu lingkungan yang memusuhi agama mereka. Beberapa siswi lain menyatakan bahwa saat ini rekan-rekannya telah memandang mereka pindah agama ke Islam karena memakai jilbab. Menanggapi kasus-kasus ini, seorang tokoh Katolik di Padang menyatakan bahwa Perda Syari’ah telah menimbulkan dampak psikologis yang cukup serius terhadap kalangan siswi non-Muslim. [29]
Hasil riset CSRC UIN juga menyebutkan bahwa Perda-perda Syari’ah pada umumnya bersifat diskriminatif terhadap kaum perempuan. Perda jilbab, anti-prostitusi, dan larangan keluar malam tanpa muhrim bagi perempuan yang diberlakukan secara serampangan telah menimbulkan ketakutan bagi para wanita untuk beraktivitas di luar rumah pada malam hari. Bahkan di Tangerang, pernah muncul kontroversi menyusul terbitnya Perda No. 8 tahun 2005 yang salah satu isinya (pasal 4) menyebutkan: “Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur, dilarang berada di ja- lan-jalan umum… atau di tempat lain….” Pasal ini telah memakan korban ketika perempuan-perempuan baik-baik yang bukan peker- ja seks komersial (PSK) pun menjadi sasaran razia dan ditangkap petugas. Kasus ini menyulut kontroversi di berbagai media massa.
Di Aceh, kaum perempuan yang tidak berjilbab dipermalukan dengan dipotong rambutnya di depan umum. Peraturan mengenai jilbab dalam Perda telah mendiskreditkan perempuan yang tidak memakai jilbab, padahal hukum berjilbab itu sendiri masuk dalam ranah khilafiyah, ada ulama yang mewajibkan dan ada yang tidak. [30] Sementara, jilbab sebenarnya adalah budaya, bahkan wanita Kristiani dan Yahudi pun di beberapa daerah Eropa dan Timur Tengah juga mengenakan jilbab.
Selain alasan-alasan yang telah dikemukakan di atas, formalisasi hukum Islam juga menjadi pintu masuk bagi pragmatisme kekuasaan di daerah-daerah. Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada merupakan contoh penting dari kasus ini. Seorang calon Kepala Daerah tidak jarang menawarkan syari’ah sebagai “jualan” mereka untuk menarik perhatian pemilih. Cara ini juga ditempuh elit politik untuk meningkatkan legitimasi keagamaan mereka di mata pu- blik.[31]  Sebagai contoh, Perda Syari’ah Islam di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, dikeluarkan oleh bupati menjelang awal dan akhir masa jabatannya. Di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, Perda-perda Syari’ah digulirkan oleh bupati untuk membangun citra dirinya yang sempat turun akibat kritik dari beberapa ulama atas kebijakan pembangunan di Kabupaten tersebut.[32] Di Cianjur, seorang calon Bupati yang menjual isu syari’ah Islam ke masyarakat berhasil meraih dukungan massa dan menduduki jabatan bupati.[33]
Dalam kasus-kasus di atas, syari’ah Islam tidak lebih dari sekadar komoditas politik. Kolaborasi antara para politisi oportunis dengan kelompok-kelompok garis keras telah menjadi gejala politik baru yang bertanggung jawab atas keluarnya banyak Perda Syari’ahdi berbagai daerah di tanah air. Kepentingan politik di balik penerapan Perda-perda Syari’ah telah membutakan para elit politik yang haus dukungan massa atas keragaman tafsir dan pengamalan Islam di masyarakat. Semuanya ditundukkan ke dalam satu pemahaman syari’ah versi kelompok garis keras, yaitu syari’ah Wahabi-Ikhwanul Muslimin. Itu sebabnya muatan Perda-perda Syari’ah yang bermunculan di berbagai daerah tidak jauh berbeda dari aturan-aturan hukum yang diterapkan oleh rezim Arab Saudi dan rezim Taliban Afghanistan yang berpaham Wahabi. Sayangnya banyak orang yang tidak menyadari hal tersebut, atau telah terprovokasi oleh kelompok-kelompok garis keras yang selalu siap dengan senjata pamungkasnya: “Ikuti kami atau anda memang anti-Islam dan kafir!”
Tuduhan kafir jelas merupakan manuver politik, siapa pun tidak akan menjadi kafir karena tuduhan tersebut. Kafir lebih disebabkan gerak hati (a’ mal al-qalb) terkait ajaran agama. Jargon-jargon seperti “Islam adalah solusi” dan “Selamatkan Indonesia dengan Syari’ah” adalah retorika simplistis dan komoditas politik sebagai usaha rekrutmen psikologis umat Islam. Apakah seseorang kafir atau mukmin, itu adalah urusan dia dengan Tuhan, bukan urusan orang lain. Tuhan pun tidak memaksakan kehendak-Nya kepada hamba-hamba-Nya, maka alasan apa pula yang bisa membenarkan seseorang boleh memaksakan kehendaknya kepada yang lain, bahkan dalam hal agama sekalipun?
Sumber : Buku Ilusi Negara Islam ; Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.