BAHAYA WAHABI DI DEPAN MATA

Wahabi, di samping dua rekannya (Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir) yang sama-sama keras dan ekstrem, punya andil besar dalam berbagai kekerasan yang selama ini terjadi di seluruh dunia, baik kekerasan doktrinal, kultural, maupun sosial. Namun demikian, kebanyakan umat Islam Indonesia kerap tidak menyadari bahaya laten yang dibawa kelompok-kelompok garis keras ini semata karena kesadaran normatif yang begitu kuat. Umat Islam Indonesia selama ini cenderung melihat Islam sebagai identik dengan Arab, dan sebaliknya. Karena itu, setiap yang datang dari Arab nyaris tidak pernah dicurigai dan mudah diterima. Hal ini disebabkan kesadaran normatif Muslim Indonesia yang melihat Arab sebagai tempat diturunkannya Islam.
Karena alasan inilah umat Islam Indonesia tampak enggan mengkritisi Wahabi yang merupakan paham resmi penguasa Kerajaan Arab Saudi. Sejatinya, sikap hormat tidak perlu menafikan rasionalitas dan sikap kritis. Secara ringkas bisa dikemukakan bahwa agenda utama kelompok-kelompok garis keras adalah untuk meraih kekuasaan politik melalui formalisasi agama. Mereka mengklaim, jika Islam menjadi dasar negara, jika syari’ah ditetapkan sebagai hukum positif, jika Khilafah Islamiyah ditegakkan, maka semua masalah akan selesai.
Semua ini adalah utopia. Jika saja mereka memahami respon Ali ibn Abi Thalib kepada Khawarij menjelang Tahkim,[1] akan sangat jelas bahwa sebaik apa pun ajaran dan pesan agama sebagaimana termaktub dalam kitab suci, semua tergantung pada pembaca dan penganutnya, tentu mereka tidak akan memanfaatkan agama untuk meraih kekuasaan politik. Namun, sudah jamak disuarakan, gerakan-gerakan garis keras (terutama Wahabi) sebenarnya adalah reinkarnasi Khawarij. Karena itu, mustahil neo-Khawarij bersibuk memahami respon ‘Ali tetapi gigih mengkafirkan umat Islam lain yang berbeda dari atau bahkan bertentangan dengan mereka dan memperjuangkan formalisasi agama untuk mencapai tujuan politiknya.
Memang, tentu ada relasi antara berbagai permasalahan sosial dengan pengabaian terhadap ajaran agama. Seperti korupsi, kolusi, nepotisme, kemiskinan, kebodohan, dan semacamnya. Tapi solusinya bukanlah pada formalisasi agama, melainkan pada perbaikan akhlak idividu-individu sebagai para penganut agama. Solusi formalisasi agama lebih sebagai dalih untuk mencapai suatu tujuan politik daripada untuk memperbaiki permasalahan sosial. Karena permasalahan sebenarnya bukanlah pada agama yang tidak diformalkan tetapi pada para penganut agama yang mengabaikan pesan-pesan luhur agamanya.
Formalisasi agama jelas sangat membahayakan, baik bagi agama itu sendiri maupun penganutnya/bangsa Indonesia. Dengan formalisasi, agama akan diamputasi sedemikian rupa, dilepaskan dari konteks sosial dan kultural masa risalah, disapih dari pertumbuhannya sepanjang sejarah, dan pesan-pesannya akan ditentukan berdasarkan bingkai ideologis dan/atau platform partai politik. Dalam situasi demikian, identitas dan simbol-simbol keagamaan menjadi bagian terpenting, bahkan lebih penting dari substansi pesan agama itu sendiri, untuk diperjuangkan. Mereka mengejar simbol-simbol, bukan mengamalkan substansi ajaran agama.
Beberapa contoh gairah memperjuangkan simbol ini bisa dikemukakan, baik yang bersifat personal maupun publik. Sebuah riwayat menuturkan bahwa Tuhan akan mencintai hamba-hamba-Nya yang mempunyai tanda hitam di dahinya. Berdasarkan riwayat ini, sangat banyak aktivis kelompok garis keras yang berusaha membuat dahinya hitam, padahal yang dimaksudkan adalah banyak bersujud, beribadah, berserah diri kepada Allah swt., berusaha mencinta-Nya dengan sepenuh hati sehingga dia juga akan mencintai seluruh makhluk-Nya. Mereka berpikir bahwa tanda hitam itu akan ditunjukkan sebagai bukti kepada Tuhan kelak di akhirat, padahal Allah swt. melihat hati dan perbuatan, bukan simbol-simbol. Demikian pula dengan jenggot dan pakaian. Dugaan terbaik, hal ini disebabkan tidak adanya kemampuan membedakan antara substansi ajaran agama dari simbol-simbol keagamaan atau budaya. Hal ini wajar, karena pemahaman mereka bersifat harfiah belaka. Namun kemungkinan lainnya, semua ini digunakan sebagai identitas politik untuk membedakan dari kelompok lain yang moderat dan toleran, yang memahami pesan agama lebih pada tataran substansi daripada tataran dan tanda artifisial.
Pembacaan secara harfiah dan mengutamakan simbol-simbol ini akan mengarahkan umat menjadi monolitik, penyeragaman. Tidak heran jika kelompok-kelompok garis keras kemudian menolak pluralisme, baik pluralisme agama-agama maupun dalam agama. Hal ini sangat berbahaya karena tidak akan pernah ada celah untuk perbedaan, setiap yang berbeda, dengan menggunakan term-term teologis, akan divonis kafir, murtad dan semacamnya. Pengkafiran, kebiasaan buruk Khawarij dan para pengikutnya (neo-Khawarij) ini, belakangan sangat subur di Indonesia. Gejala ini seharusnya menyadarkan kita bahwa bahaya sebenarnya bukan jauh di luar negeri, tetapi sudah di dalam selimut.
Dalam hubungannya dengan agama-agama lain, dengan indah Nabi menuturkan, “Naknu abnd’u ‘alldt, abuna wahid wa ummuna syatta” (Kami [para rasul] adalah anak-anak para istri dari seorang laki-laki, ayah kami satu namun ibu kami banyak). Dalam keluarga umat manusia, para rasul mempunyai ayah (agama) yang sama, yakni Islam (dalam arti berserah diri kepada Tuhan), namun mempunyai ibu (syir’ah wa minhaj) yang banyak/berbeda-beda.[2] Ini adalah pengakuan atas pluralisme, dan inilah yang ditolak oleh kelompok garis keras.
Formalisasi hukum Islam sebagai hukum positif melalui Perda-perda Syari’ah di beberapa daerah merupakan strategi “desa mengepung kota” garis keras. “Jika daerah-daerah telah menerapkan syari’ah Islam sebagai hukum positif, maka tidak akan ada alasan untuk menolaknya secara nasional,” jelas tokoh-tokoh kelompok garis keras kepada peneliti kami terkait usaha formalisasi hukum Islam yang mereka lakukan. Sialnya, perda-perda dimaksud lebih merupakan aplikasi harfiah dan parsial atas hukum Islam, maka bisa dipastikan akan menimbulkan distorsi dan reduksi terhadap Islam itu sendiri, di samping diskriminasi dan alienasi terhadap non-Muslim maupun Muslim sendiri.
Seperti diketahui, kelompok-kelompok garis keras memahami teks-teks kegamaan secara harfiah, dan mengabaikan ayat-ayat dan hadits-hadits yang tidak mendukung kepentingan mereka. Maka pesan agama pun direduksi sebatas makna atau pesan yang bisa disampaikan dalam rangkaian huruf-huruf saja sesuai dengan ideologi mereka. Ayat-ayat atau hadits-hadits tentang peminum, pencuri, atau pembunuh misalnya, diturunkan ke dalam diktum hukum yang sangat harfiah dan dengan sanksi bermotif dendam. Pertanyaan mendasarnya, apakah ayat-ayat dan hadits- hadits tersebut dikemukakan memang untuk mencambuki peminum, membuntungi tangan dan kaki pencuri, dan membunuh para pembunuh? Jika jawabannya positif, di mana letak pesan utama Islam sebagai rahmat bagi seluruh makhluk dan misi Kanjeng Nabi Muhammad saw. untuk menyempurnakan akhlak mulia? Ketika rahmat dan akhlak mulia tidak lagi ditemukan dalam aplikasi pesan-pesan agama, maka pasti agama sudah dibaca secara keliru dan pemahaman seperti itu tidak bisa diterima.
Pembacaan secara harfiah dan parsial memang sangat menguntungkan untuk membingkai pesan-pesan agama dengan ideo- logi dan/ atau platform partai politik. Karena dengan dalih makna (harfiah), seseorang atau kelompok tertentu bisa menyembunyikan agenda politiknya pada saat membajak ajaran agama. Siapa pun yang tidak akrab dengan kompleksitas ta’wtl teks-teks keagamaan sebagaimana populer di kalangan ulama Ahlussunnah <wal-]arna’ah, bisa kesulitan menghadapi klaim-klaim teologis kelompok-kelompok garis keras yang didasarkan pada makna-makna harfiah. Bahkan, mereka yang berpendidikan tinggi sekalipun bisa ditipu untuk mendukung agenda politiknya, seperti dibuktikan dalam studi ini bahwa banyak mahasiswa dan para profesional yang simpati dan bahkan menjadi pengikut PKS atau HTI.
Formalisasi agama memang anak kandung pembacaan harfiah atas teks-teks agama dan sangat berbahaya, baik bagi agama itu sendiri, para penganutnya, maupun penganut agama yang berbeda. Pesan-pesan luhur agama direduksi pada tingkat kepentingan ideologis, pemaknaan yang monolitik akan mengarah pada penyeragaman para penganut agama, dan penganut agama yang berbeda akan terpinggirkan, teralienasi dari komunitas umat beragama yang ekstrem. Di sini pluralisme terasa ganjil bagi pejuang formalisasi agama, karena formalisasi dan pemaknaan harfiah ini pula, kelompok-kelompok garis keras sulit menerima kehadiran non-Muslim dan Muslim dengan paham yang berbeda.
Memang, dalam salah satu riwayat diceritakan bahwa Kanjeng Nabi Muhammad saw. berkata, “Aku diperintahkan memerangi siapa pun hingga mereka bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah” (Umirtu an uqdtil al-nds hatta yasyhadu la llak ill Allah). Di tangan kelompok garis keras, ini jelas keteladanan untuk menghabisi non- Muslim, dan perang melawan non-Muslim menemukan landasan legal-teologisnya. Namun ini bukanlah satu-satunya pembacaan. Hadits ini bisa bermakna lain dalam hati siapa pun yang akrab dengan kompleksitas ta’uill dan peduli pada keseluruhan pesan Islam dan misi Nabi saw.
Jika Islam merupakan rahmat bagi seluruh makhluk (bukan hanya Muslim), maka tidak mungkin Nabi menyatakan dirinya diperintahkan membantai non-Muslim. Jika misi Nabi adalah untuk menyempurnakan akhlak mulia, maka pembunuhan, dari sudut pandang mana pun dan terhadap siapa pun, sangatlah tidak bermoral. Maka hadits ini harus dibaca dalam konteks keseluruhan pesan Islam dan misi Nabi saw. Pembacaan secara parsial hanya akan menyebabkan agama menjadi sumber kebingungan.
Berdasarkan mata rantai transmisinya, hadits ini bisa diterima memang dikemukakan oleh Nabi saw. Namun harus ditekankan, kalimat tauhid sebagai kata kunci dalam hadits tersebut bukanlah dalam makna formal, di dalamnya tidak disertakan penyaksian bahwa Muhammad adalah utusan-Nya. Maka, pertama, kalimat tauhid tersebut menekankan makna hanya menuhankan Allah semata, apa pun agamanya. Dalam ungkapan lain bisa dikemukakan, “hingga mereka berserah diri, tunduk, dan patuh kepada Allah SWT.,” dan tidak menuhankan apa pun selain-Nya, seperti kekuasaan, kekayaan, politik, dan berbagai bentuk arogansi lainnya. Sangat masuk akal kalau mereka harus diperangi, karena siapa pun yang menuhankan kekuasaan, kekayaan, politik, dan semacamnya, sebenarnya menuhankan hawa nafsunya, dan akan melakukan apa pun demi memuaskan pujaannya. Namun tentu saja perang harus dilakukan dalam kerangka akhlak mulia, seperti penyadaran, membela diri, dan semacamnya.
Kedua, perintah memerangi ini bukan dalam konteks memaksa siapa pun masuk Islam. Karena jika dimaknai demikian, akan bertentangan dengan penegasan al-Qur’an sendiri bahwa “tidak ada paksaan dalam agama” {la ikrah fi al-din [QS. 2: 256), maka siapa pun boleh beriman dan siapa pun boleh kafir (fa man sya’a fal-yu’min wa man syd’a fal-yakfur [QS. 18: 29]). Maka perintah memerangi siapa pun yang tidak bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah bukanlah dalam konteks teologis, tetapi sosiologis. Namun di tangan kelompok-kelompok garis keras, makna harfiah inilah yang dipegang teguh dan mereka lupa bahwa “tidak ada paksaan dalam agama,” bahwa “Islam adalah rahmat bagi seluruh makhluk” (bukan Muslim saja), dan bahwa “Nabi diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia.”
Jelas bahwa literalisme tertutup dan formalisasi agama amat berbahaya, baik pada tataran epistemologis maupun praksis. Maka sangat penting untuk menyadari bahaya laten kelompok-kelompok garis keras yang biasa dengan literalisme tertutup dan mengagendakan formalisasi agama. Formalisasi agama yang diperjuangkan kelompok-kelompok garis keras lebih didorong oleh motivasi politik daripada agama. Dari sudut pandang manapun, sulit menerima politisasi agama sebagai bagian dari ajaran agama, karena formalisasi agama sendiri adalah pengebirian terhadap agama itu sendiri. Bagi mereka, agama sudah menjadi tujuan. Maka agama pun, secara meyakinkan, akan kehilangan pesan-pesan luhurnya, yang tersisa hanyalah simbol-simbol keagungan agama itu sendiri. Ini merupakan salah satu kesalahkaprahan dalam melihat dan memahami agama. Seharusnya, agama dilihat dan diikuti sebagai petunjuk, sebagai jalan, menuju Ilahi agar penganut agama menjadi manifestasi substansi pesan utama dan luhur agama. Ketika agama menjadi tujuan, maka Tuhan pun sirna dalam semesta keagamaan itu sendiri. Dalam konteks inilah, formalisasi agama terlihat jelas tidak didorong oleh motivasi agama, melainkan politik.
Bahaya formalisasi agama menjadi semakin kuat, dalam kasus Indonesia, karena didukung dengan sumber dana yang kuat serta sistem penyusupan yang terencana. Sudah jamak diketahui bahwa dana Wahabi leluasa mengalir ke Indonesia, dari pihak penguasa seperti tidak peduli, seakan dana itu tidak membawa agenda terselubung yang merupakan benih bahaya laten bagi Indonesia.
Di samping sebagai imbalan dalam relasi simbiosa mutualistik antara gerakan-gerakan transnasional dengan kaki tangannya di Indonesia, dana tersebut juga digunakan untuk menyebarkan gagasan formalisasi agama dan membangun sistem penyusupan ke semua bidang kehidupan bangsa Indonesia, mulai dari istana hingga ke kampung-kampung, dalam instansi-instansi pemerintahan dan masyarakat sipil, bahkan dengan cara-cara yang selama ini hampir tak terpikirkan kecuali oleh para penyusup itu sendiri.
Seperti telah dikemukakan, penting disadari bahwa banyak gerakan kelompok garis keras memang sejak awal sudah melakukan rekrutmen dengan sistem sel, dan siapa pun yang berhasil direkrut akan dibina dalam beberapa tahap ‘pembinaan’, seperti ta’rtf (pengenalan dan penanaman ajaran), takwin (pembentukan pribadi sesuai ajaran), dan tanftdz (eksekusi ajaran).[3] Peneliti kami mendapat informasi dari seorang anggota keluarga pendukung PKS di Jakarta bahwa, ketika terjadi perselisihan pribadi di antara dua bibinya, salah seorang darinya mengancam akan melaporkan perselisihan pribadi tersebut ke pengurus partai. Kasus ini mengingatkan pada kontrol pemerintahan komunis-Stalin di Uni Soviet yang sentralistik dan berusaha mengontrol semua aspek kehidupan rakyat.
Dengan perekrutan sistem sel seperti ini, dan dengan dukungan dana yang kuat, penyusupan yang mereka lakukan sangat terencana dan berbahaya. Mereka menyusup ke tempat-tempat peribadatan seperti masjid-masjid, ke dunia pendidikan seperti kampus-kampus dan bahkan ke beberapa pesantren yang biasanya diawali dengan pemberian buku-buku yang mengandung virus gagasan garis keras, ke media massa dan penerbitan, ke dunia bisnis, bahkan ke partai politik dan pemerintahan. Di samping menyusup ke masjid-masjid dan dunia pendidikan, garis keras juga membangun masjid-masjid baru atau merenovasinya dengan dukungan dana Wahabi seperti antara lain di Kabupaten Magelang, dan mendirikan sekolah-sekolah “terpadu” sendiri di bebagai daerah. Ini merupakan bentuk lain perkawainan Wahabi-Ikhwanul Muslimin yang berlangsung di Indonesia.
Memang, bantuan masjid dipandang berguna dan terhormat. Tapi ketika itu disertai dengan syarat agar mendukung partai politik tertentu, agar menerima ajaran tertentu, itu merupakan penyusupan ajaran sekte dan agenda politik. Mereka membangun mesjid bukan untuk menyediakan tempat ibadah, tapi untuk membangun sarana penyebaran ajaran dan kampanye partai. Ini merupakan aksi memanipulasi rakyat yang polos dengan ideologi dan dana asing (Arab Saudi) yang luar biasa besar untuk merebut kekuasaan di negara Republik Indonesia, sementara pada saat yang sama mereka meneriakkan adanya ancaman asing (Barat) terhadap Indonesia. Karena alasan inilah Muhammadiyah mengeluarkan SKPP Muhammadiyah Nomor 149/Kep/I.0/B/2006 yang melarang dan mengamanahkan para pengurus agar mengusir PKS keluar dari Muhammadiyah,
“…Muhammadiyah pun berhak untuk dihormati oleh siapa pun serta memiliki hak serta keabsahan untuk bebas dari segala campur tangan, pengaruh, dan kepentingan pihak manapun yang dapat mengganggu keutuhan serta kelangsungan gerakannya” (Konsideran poin 4).
Segenap anggota Muhammadiyah perlu menyadari, memahami, dan bersikap kritis bahwa seluruh partai politik di negeri ini, termasuk partai politik yang mengklaim diri atau mengembangkan sayap/kegiatan dakwah seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah benar-benar partai politik. Setiap partai politik berorientasi meraih kekuasaan politik. Karena itu, dalam menghadapi partai politik manapun kita harus tetap berpijak pada Khittah Muhammadiyah dan harus membebaskan diri dari, serta tidak menghimpitkan diri dengan misi, kepentingan, kegiatan, dan tujuan partai politik tersebut.” (Keputusan poin 3)
Gaya-gaya seperti ini, yakni menyediakan dan memperbaiki sarana peribadatan (masjid) tetapi untuk tujuan politik, mengingatkan pada kasus ketika KNIL berusaha masuk ke Indonesia dengan membonceng pada Pasukan Sekutu. Usaha demikian selalu dilakukan karena sudah sejak awal merasa bahwa kedatangannya akan ditentang dan ditolak, sejak awal tidak ada rasa percaya diri karena memang berlawanan, bahkan bertentangan, dengan tradisi keberagamaan bangsa Indoensia.
Ada kontradiksi yang jelas antara tradisi dan budaya keberagamaan bangsa Indonesia dengan kelompok-kelompok garis keras yang secara kultural berkiblat ke Timur Tengah. Tradisi keberagamaan bangsa Indonesia kental dengan nilai-nilai spiritualitas yang diwarisi dari generasi ke generasi, tradisi yang sebenarnya dimusuhi oleh kelompok-kelompok garis keras. Tradisi ini mengajarkan dan menekankan pola hidup berdampingan secara damai, baik dengan sesama manusia maupun alam, baik dengan yang berkeyakinan sama maupun beda, yang menerima perbedaan sebagai realitas dan kekayaan yang harus dihargai. Pola keberagamaan demikian tidak akan pernah lekang oleh panas dan tak akan pernah lapuk oleh hujan, akan selalu sesuai dengan perkembangan sejarah dan perkembangan hidup para penganutnya.
Memang, spiritualitas lebih menekankan rasa (Dzauq) dalam beragama, sedangkan rasionalitas (‘Aql) menjadi pendorong di dalamnya. Ini adalah pola keberagamaan para nabi seperti dialami oleh Nabi Ibrahim as. dan Nabi Musa as. ketika mencari dan berusaha mengenal Allah swt. Nabi Muhammad saw. pun, ketika menjelaskan relasi ‘ubuduyah manusia dengan Tuhan menyatakan, “Mengabdilah kepada-Nya seakan-akan kamu melihat-Nya. Namun jika kamu tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.”
Ungkapan seakan-akan menegaskan bahwa potensi inderawi (hiss) dan rasional {‘aql) memang berguna dalam beragama, namun ia harus dilampaui, kemudian rasa (dzauq) yang akan berperan penting dalam merasakan kehadiran Ilahi. Keluasan dan keluhuran ajaran dan pesan agama tidak bisa dibingkai semata oleh akal dan aktivitas jasmaniah, apalagi ideologi dan platform partai politik. Ia hanya bisa ditampung oleh keluasan rasa, kelapangan hati. Dalam konteks inilah, firman Allah swt. dalam hadits kudsi yang menyatakan, “Bumi dan langit-Ku tidak mampu menampung-Ku, tetapi hati hamba-Ku yang beriman,” harus direnungkan secara mendalam. Maka penolakan atas spiritualitas jelas merupakan sebuah arogansi beragama. Dan inilah, terutama, yang ditolak oleh kelompok-kelompok garis keras.
Kelompok-kelompok garis keras sangat berbeda, bahkan hingga tingkat tertentu bertentangan, dengan tradisi dan keberagamaan spiritualistik ini. Mereka telah mereduksi agama menjadi sebatas kerangka tanpa daging, bahkan tanpa jiwa dan perasaan. Hal ini disebabkan pemahaman mereka yang harfiah dan tertutup, yang menyapih agama dari konteks historis, sosial, dan budaya pada masa risalah dan sesudahnya hingga saat ini. Pendekatan ini telah membuat mereka terpaku pada huruf-huruf dan tidak menyadari adanya makna-makna yang lebih luas daripada sekedar yang terkandung dalam huruf-huruf tersebut. Keluhuran dan keluasan agama direduksi sebatas makna-makna harfiah yang tertutup. Tiadanya kesadaran ini pula yang telah membuat mereka membuat klaim-klaim kebenaran sepihak dan pada saat yang sama memvonis salah dan sesat setiap yang berbeda, karena mereka tidak mampu memahamai realitas batin pihak lain. Padahal keberagamaan seseorang tidak diukur oleh aktivitas jasmaniah maupun intelektual, melainkan oleh kedalaman hati tanpa menafikan keduanya.
Sikap monolitik dalam beragama tidak pernah memberi ruang pada perbedaan. Dengan klaim-klaim teologis pula, mereka ingin menegaskan bahwa hanya merekalah yang benar, dan karena itu akan termasuk dalam kelompok yang selamat (ma ana ‘alaih wa ash-habi). Tuduhan-tuduhan kafir dan musyrik kepada orang lain jelas merupakan pembunuhan karakter, rekrutmen psikologis, dan sangat politis. Sulit mencari landasan teologis untuk membenarkan tuduhan-tuduhan demikian. Karena, andai mereka memang memiliki pengamalan keagamaan yang tulus, keyakinan keagamaan yang luas dan mendalam, tentu hati mereka akan lapang melebihi keluasan langit dan bumi, sehingga tidak akan pernah sesak oleh keragaman maupun perbedaan, bahkan dengan pertentangan sekalipun. Keberagamaan yang tulus tidak akan menyediakan ruang untuk kebencian, akan selalu berpikir positif (husn al-zhann) terhadap siapa pun dan lebih mewaspadai realitas dirinya. Sehingga, ketika Kanjeng Nabi Muhammad saw. menyatakan bahwa umatnya akan terpecah menjadi 73 golongan, Muslim yang sejati tidak akan sibuk mencari siapa yang tidak atau belum termasuk ke dalam Ma Ana ‘Alaih Wa Ash-Habi sehingga pantas dikafirkan, tetapi akan berpikir apakah dirinya sudah memenuhi kategori tersebut.
Keberagamaan yang monolitik jelas menjadi ancaman tidak hanya terhadap keamanan dan keselamatan bangsa Indonesia, tetapi juga terhadap budaya dan tradisi keberagamaan bangsa Indonesia. Pemaksaan selalu menelan korbannya sendiri, cukuplah tragedi Padri sekali saja, dan jangan sampai bahaya laten komunisme tendang lagi. Kelompok-kelompok garis keras tidak hanya mengklaim sebagai yang paling benar di antara sesama Muslim yang lain, mereka berjuang untuk mengubah tradisi dan budaya bangsa Indonesia. Disadari atau tidak, ini merupakan proyek formalisai agama yang akan berujung salah satunya pada realisasi wahabisasi global, penegakan Khilafah Islamiyah, atau Islamisasi negara Indonesia dan melenyapkan NKRI. Karena itu, melawan formalisasi Islam bagai sekali mengayuh dayung dua tiga pulau terlampaui: dengan menolak formalisasi Islam, kita akan menye- lamatkan Islam dari reduksi dan pembajakan demi kepentingan politik, menyelamatkan Pancasila, NKRI, budaya dan tradisi keberagamaan spiritual bangsa Indonesia, dan mengilhami umat Islam di negara-negara lain menolak ajaran palsu gerakan garis keras dan kembali kepada pesan-pesan luhur agama Islam yang benar-benar merupakan Rahmatan Lil-‘Alamin.
Sumber : ILUSI NEGARA ISLAM ILUSI NEGARA ISLAM : Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.