BAHAYA WAHABI DI DEPAN MATA
Wahabi, di samping dua rekannya (Ikhwanul
Muslimin dan Hizbut Tahrir) yang sama-sama keras dan ekstrem, punya
andil besar dalam berbagai kekerasan yang selama ini terjadi di seluruh
dunia, baik kekerasan doktrinal, kultural, maupun sosial. Namun
demikian, kebanyakan umat Islam Indonesia kerap tidak menyadari bahaya
laten yang dibawa kelompok-kelompok garis keras ini semata karena
kesadaran normatif yang begitu kuat. Umat Islam Indonesia selama ini
cenderung melihat Islam sebagai identik dengan Arab, dan sebaliknya.
Karena itu, setiap yang datang dari Arab nyaris tidak pernah dicurigai
dan mudah diterima. Hal ini disebabkan kesadaran normatif Muslim
Indonesia yang melihat Arab sebagai tempat diturunkannya Islam.
Karena alasan inilah umat Islam Indonesia
tampak enggan mengkritisi Wahabi yang merupakan paham resmi penguasa
Kerajaan Arab Saudi. Sejatinya, sikap hormat tidak perlu menafikan
rasionalitas dan sikap kritis. Secara ringkas bisa dikemukakan bahwa
agenda utama kelompok-kelompok garis keras adalah untuk meraih kekuasaan
politik melalui formalisasi agama. Mereka mengklaim, jika Islam menjadi
dasar negara, jika syari’ah ditetapkan sebagai hukum positif, jika
Khilafah Islamiyah ditegakkan, maka semua masalah akan selesai.
Semua ini adalah utopia. Jika saja mereka memahami respon Ali ibn Abi Thalib kepada Khawarij menjelang Tahkim,[1]
akan sangat jelas bahwa sebaik apa pun ajaran dan pesan agama
sebagaimana termaktub dalam kitab suci, semua tergantung pada pembaca
dan penganutnya, tentu mereka tidak akan memanfaatkan agama untuk meraih
kekuasaan politik. Namun, sudah jamak disuarakan, gerakan-gerakan garis
keras (terutama Wahabi) sebenarnya adalah reinkarnasi Khawarij. Karena
itu, mustahil neo-Khawarij bersibuk memahami respon ‘Ali tetapi gigih
mengkafirkan umat Islam lain yang berbeda dari atau bahkan bertentangan
dengan mereka dan memperjuangkan formalisasi agama untuk mencapai tujuan
politiknya.
Memang, tentu ada relasi antara berbagai
permasalahan sosial dengan pengabaian terhadap ajaran agama. Seperti
korupsi, kolusi, nepotisme, kemiskinan, kebodohan, dan semacamnya. Tapi
solusinya bukanlah pada formalisasi agama, melainkan pada perbaikan
akhlak idividu-individu sebagai para penganut agama. Solusi formalisasi
agama lebih sebagai dalih untuk mencapai suatu tujuan politik daripada
untuk memperbaiki permasalahan sosial. Karena permasalahan sebenarnya
bukanlah pada agama yang tidak diformalkan tetapi pada para penganut
agama yang mengabaikan pesan-pesan luhur agamanya.
Formalisasi agama jelas sangat
membahayakan, baik bagi agama itu sendiri maupun penganutnya/bangsa
Indonesia. Dengan formalisasi, agama akan diamputasi sedemikian rupa,
dilepaskan dari konteks sosial dan kultural masa risalah, disapih dari
pertumbuhannya sepanjang sejarah, dan pesan-pesannya akan ditentukan
berdasarkan bingkai ideologis dan/atau platform partai politik. Dalam
situasi demikian, identitas dan simbol-simbol keagamaan menjadi bagian
terpenting, bahkan lebih penting dari substansi pesan agama itu sendiri,
untuk diperjuangkan. Mereka mengejar simbol-simbol, bukan mengamalkan
substansi ajaran agama.
Beberapa contoh gairah memperjuangkan
simbol ini bisa dikemukakan, baik yang bersifat personal maupun publik.
Sebuah riwayat menuturkan bahwa Tuhan akan mencintai hamba-hamba-Nya
yang mempunyai tanda hitam di dahinya. Berdasarkan riwayat ini, sangat
banyak aktivis kelompok garis keras yang berusaha membuat dahinya hitam,
padahal yang dimaksudkan adalah banyak bersujud, beribadah, berserah
diri kepada Allah swt., berusaha mencinta-Nya dengan sepenuh hati
sehingga dia juga akan mencintai seluruh makhluk-Nya. Mereka berpikir
bahwa tanda hitam itu akan ditunjukkan sebagai bukti kepada Tuhan kelak
di akhirat, padahal Allah swt. melihat hati dan perbuatan, bukan
simbol-simbol. Demikian pula dengan jenggot dan pakaian. Dugaan terbaik,
hal ini disebabkan tidak adanya kemampuan membedakan antara substansi
ajaran agama dari simbol-simbol keagamaan atau budaya. Hal ini wajar,
karena pemahaman mereka bersifat harfiah belaka. Namun kemungkinan
lainnya, semua ini digunakan sebagai identitas politik untuk membedakan
dari kelompok lain yang moderat dan toleran, yang memahami pesan agama
lebih pada tataran substansi daripada tataran dan tanda artifisial.
Pembacaan secara harfiah dan mengutamakan
simbol-simbol ini akan mengarahkan umat menjadi monolitik,
penyeragaman. Tidak heran jika kelompok-kelompok garis keras kemudian
menolak pluralisme, baik pluralisme agama-agama maupun dalam agama. Hal
ini sangat berbahaya karena tidak akan pernah ada celah untuk perbedaan,
setiap yang berbeda, dengan menggunakan term-term teologis, akan
divonis kafir, murtad dan semacamnya. Pengkafiran, kebiasaan buruk
Khawarij dan para pengikutnya (neo-Khawarij) ini, belakangan sangat
subur di Indonesia. Gejala ini seharusnya menyadarkan kita bahwa bahaya
sebenarnya bukan jauh di luar negeri, tetapi sudah di dalam selimut.
Dalam hubungannya dengan agama-agama lain, dengan indah Nabi menuturkan, “Naknu abnd’u ‘alldt, abuna wahid wa ummuna syatta”
(Kami [para rasul] adalah anak-anak para istri dari seorang laki-laki,
ayah kami satu namun ibu kami banyak). Dalam keluarga umat manusia, para
rasul mempunyai ayah (agama) yang sama, yakni Islam (dalam arti
berserah diri kepada Tuhan), namun mempunyai ibu (syir’ah wa minhaj)
yang banyak/berbeda-beda.[2] Ini adalah pengakuan atas pluralisme, dan inilah yang ditolak oleh kelompok garis keras.
Formalisasi hukum Islam sebagai hukum
positif melalui Perda-perda Syari’ah di beberapa daerah merupakan
strategi “desa mengepung kota” garis keras. “Jika daerah-daerah telah
menerapkan syari’ah Islam sebagai hukum positif, maka tidak akan ada
alasan untuk menolaknya secara nasional,” jelas tokoh-tokoh kelompok
garis keras kepada peneliti kami terkait usaha formalisasi hukum Islam
yang mereka lakukan. Sialnya, perda-perda dimaksud lebih merupakan
aplikasi harfiah dan parsial atas hukum Islam, maka bisa dipastikan akan
menimbulkan distorsi dan reduksi terhadap Islam itu sendiri, di samping
diskriminasi dan alienasi terhadap non-Muslim maupun Muslim sendiri.
Seperti diketahui, kelompok-kelompok
garis keras memahami teks-teks kegamaan secara harfiah, dan mengabaikan
ayat-ayat dan hadits-hadits yang tidak mendukung kepentingan mereka.
Maka pesan agama pun direduksi sebatas makna atau pesan yang bisa
disampaikan dalam rangkaian huruf-huruf saja sesuai dengan ideologi
mereka. Ayat-ayat atau hadits-hadits tentang peminum, pencuri, atau
pembunuh misalnya, diturunkan ke dalam diktum hukum yang sangat harfiah
dan dengan sanksi bermotif dendam. Pertanyaan mendasarnya, apakah
ayat-ayat dan hadits- hadits tersebut dikemukakan memang untuk
mencambuki peminum, membuntungi tangan dan kaki pencuri, dan membunuh
para pembunuh? Jika jawabannya positif, di mana letak pesan utama Islam
sebagai rahmat bagi seluruh makhluk dan misi Kanjeng Nabi Muhammad saw.
untuk menyempurnakan akhlak mulia? Ketika rahmat dan akhlak mulia tidak
lagi ditemukan dalam aplikasi pesan-pesan agama, maka pasti agama sudah
dibaca secara keliru dan pemahaman seperti itu tidak bisa diterima.
Pembacaan secara harfiah dan parsial
memang sangat menguntungkan untuk membingkai pesan-pesan agama dengan
ideo- logi dan/ atau platform partai politik. Karena dengan dalih makna
(harfiah), seseorang atau kelompok tertentu bisa menyembunyikan agenda
politiknya pada saat membajak ajaran agama. Siapa pun yang tidak akrab
dengan kompleksitas ta’wtl teks-teks keagamaan sebagaimana populer di
kalangan ulama Ahlussunnah <wal-]arna’ah, bisa kesulitan menghadapi
klaim-klaim teologis kelompok-kelompok garis keras yang didasarkan pada
makna-makna harfiah. Bahkan, mereka yang berpendidikan tinggi sekalipun
bisa ditipu untuk mendukung agenda politiknya, seperti dibuktikan dalam
studi ini bahwa banyak mahasiswa dan para profesional yang simpati dan
bahkan menjadi pengikut PKS atau HTI.
Formalisasi agama memang anak kandung
pembacaan harfiah atas teks-teks agama dan sangat berbahaya, baik bagi
agama itu sendiri, para penganutnya, maupun penganut agama yang berbeda.
Pesan-pesan luhur agama direduksi pada tingkat kepentingan ideologis,
pemaknaan yang monolitik akan mengarah pada penyeragaman para penganut
agama, dan penganut agama yang berbeda akan terpinggirkan, teralienasi
dari komunitas umat beragama yang ekstrem. Di sini pluralisme terasa
ganjil bagi pejuang formalisasi agama, karena formalisasi dan pemaknaan
harfiah ini pula, kelompok-kelompok garis keras sulit menerima kehadiran
non-Muslim dan Muslim dengan paham yang berbeda.
Memang, dalam salah satu riwayat
diceritakan bahwa Kanjeng Nabi Muhammad saw. berkata, “Aku diperintahkan
memerangi siapa pun hingga mereka bersaksi tidak ada Tuhan selain
Allah” (Umirtu an uqdtil al-nds hatta yasyhadu la llak ill Allah).
Di tangan kelompok garis keras, ini jelas keteladanan untuk menghabisi
non- Muslim, dan perang melawan non-Muslim menemukan landasan
legal-teologisnya. Namun ini bukanlah satu-satunya pembacaan. Hadits ini
bisa bermakna lain dalam hati siapa pun yang akrab dengan kompleksitas
ta’uill dan peduli pada keseluruhan pesan Islam dan misi Nabi saw.
Jika Islam merupakan rahmat bagi seluruh
makhluk (bukan hanya Muslim), maka tidak mungkin Nabi menyatakan dirinya
diperintahkan membantai non-Muslim. Jika misi Nabi adalah untuk
menyempurnakan akhlak mulia, maka pembunuhan, dari sudut pandang mana
pun dan terhadap siapa pun, sangatlah tidak bermoral. Maka hadits ini
harus dibaca dalam konteks keseluruhan pesan Islam dan misi Nabi saw.
Pembacaan secara parsial hanya akan menyebabkan agama menjadi sumber
kebingungan.
Berdasarkan mata rantai transmisinya,
hadits ini bisa diterima memang dikemukakan oleh Nabi saw. Namun harus
ditekankan, kalimat tauhid sebagai kata kunci dalam hadits tersebut
bukanlah dalam makna formal, di dalamnya tidak disertakan penyaksian
bahwa Muhammad adalah utusan-Nya. Maka, pertama, kalimat tauhid tersebut
menekankan makna hanya menuhankan Allah semata, apa pun agamanya. Dalam
ungkapan lain bisa dikemukakan, “hingga mereka berserah diri, tunduk, dan patuh kepada Allah SWT.,”
dan tidak menuhankan apa pun selain-Nya, seperti kekuasaan, kekayaan,
politik, dan berbagai bentuk arogansi lainnya. Sangat masuk akal kalau
mereka harus diperangi, karena siapa pun yang menuhankan kekuasaan,
kekayaan, politik, dan semacamnya, sebenarnya menuhankan hawa nafsunya,
dan akan melakukan apa pun demi memuaskan pujaannya. Namun tentu saja
perang harus dilakukan dalam kerangka akhlak mulia, seperti penyadaran,
membela diri, dan semacamnya.
Kedua, perintah memerangi ini bukan dalam
konteks memaksa siapa pun masuk Islam. Karena jika dimaknai demikian,
akan bertentangan dengan penegasan al-Qur’an sendiri bahwa “tidak ada
paksaan dalam agama” {la ikrah fi al-din [QS. 2: 256), maka siapa pun boleh beriman dan siapa pun boleh kafir (fa man sya’a fal-yu’min wa man syd’a fal-yakfur
[QS. 18: 29]). Maka perintah memerangi siapa pun yang tidak bersaksi
bahwa tidak ada tuhan selain Allah bukanlah dalam konteks teologis,
tetapi sosiologis. Namun di tangan kelompok-kelompok garis keras, makna
harfiah inilah yang dipegang teguh dan mereka lupa bahwa “tidak ada
paksaan dalam agama,” bahwa “Islam adalah rahmat bagi seluruh makhluk”
(bukan Muslim saja), dan bahwa “Nabi diutus untuk menyempurnakan akhlak
mulia.”
Jelas bahwa literalisme tertutup dan
formalisasi agama amat berbahaya, baik pada tataran epistemologis maupun
praksis. Maka sangat penting untuk menyadari bahaya laten
kelompok-kelompok garis keras yang biasa dengan literalisme tertutup dan
mengagendakan formalisasi agama. Formalisasi agama yang diperjuangkan
kelompok-kelompok garis keras lebih didorong oleh motivasi politik
daripada agama. Dari sudut pandang manapun, sulit menerima politisasi
agama sebagai bagian dari ajaran agama, karena formalisasi agama sendiri
adalah pengebirian terhadap agama itu sendiri. Bagi mereka, agama sudah
menjadi tujuan. Maka agama pun, secara meyakinkan, akan kehilangan
pesan-pesan luhurnya, yang tersisa hanyalah simbol-simbol keagungan
agama itu sendiri. Ini merupakan salah satu kesalahkaprahan dalam
melihat dan memahami agama. Seharusnya, agama dilihat dan diikuti
sebagai petunjuk, sebagai jalan, menuju Ilahi agar penganut agama
menjadi manifestasi substansi pesan utama dan luhur agama. Ketika agama
menjadi tujuan, maka Tuhan pun sirna dalam semesta keagamaan itu
sendiri. Dalam konteks inilah, formalisasi agama terlihat jelas tidak
didorong oleh motivasi agama, melainkan politik.
Bahaya formalisasi agama menjadi semakin
kuat, dalam kasus Indonesia, karena didukung dengan sumber dana yang
kuat serta sistem penyusupan yang terencana. Sudah jamak diketahui bahwa
dana Wahabi leluasa mengalir ke Indonesia, dari pihak penguasa seperti
tidak peduli, seakan dana itu tidak membawa agenda terselubung yang
merupakan benih bahaya laten bagi Indonesia.
Di samping sebagai imbalan dalam relasi
simbiosa mutualistik antara gerakan-gerakan transnasional dengan kaki
tangannya di Indonesia, dana tersebut juga digunakan untuk menyebarkan
gagasan formalisasi agama dan membangun sistem penyusupan ke semua
bidang kehidupan bangsa Indonesia, mulai dari istana hingga ke
kampung-kampung, dalam instansi-instansi pemerintahan dan masyarakat
sipil, bahkan dengan cara-cara yang selama ini hampir tak terpikirkan
kecuali oleh para penyusup itu sendiri.
Seperti telah dikemukakan, penting
disadari bahwa banyak gerakan kelompok garis keras memang sejak awal
sudah melakukan rekrutmen dengan sistem sel, dan siapa pun yang berhasil
direkrut akan dibina dalam beberapa tahap ‘pembinaan’, seperti ta’rtf
(pengenalan dan penanaman ajaran), takwin (pembentukan pribadi sesuai
ajaran), dan tanftdz (eksekusi ajaran).[3]
Peneliti kami mendapat informasi dari seorang anggota keluarga
pendukung PKS di Jakarta bahwa, ketika terjadi perselisihan pribadi di
antara dua bibinya, salah seorang darinya mengancam akan melaporkan
perselisihan pribadi tersebut ke pengurus partai. Kasus ini mengingatkan
pada kontrol pemerintahan komunis-Stalin di Uni Soviet yang
sentralistik dan berusaha mengontrol semua aspek kehidupan rakyat.
Dengan perekrutan sistem sel seperti ini,
dan dengan dukungan dana yang kuat, penyusupan yang mereka lakukan
sangat terencana dan berbahaya. Mereka menyusup ke tempat-tempat
peribadatan seperti masjid-masjid, ke dunia pendidikan seperti
kampus-kampus dan bahkan ke beberapa pesantren yang biasanya diawali
dengan pemberian buku-buku yang mengandung virus gagasan garis keras, ke
media massa dan penerbitan, ke dunia bisnis, bahkan ke partai politik
dan pemerintahan. Di samping menyusup ke masjid-masjid dan dunia
pendidikan, garis keras juga membangun masjid-masjid baru atau
merenovasinya dengan dukungan dana Wahabi seperti antara lain di
Kabupaten Magelang, dan mendirikan sekolah-sekolah “terpadu” sendiri di
bebagai daerah. Ini merupakan bentuk lain perkawainan Wahabi-Ikhwanul
Muslimin yang berlangsung di Indonesia.
Memang, bantuan masjid dipandang berguna
dan terhormat. Tapi ketika itu disertai dengan syarat agar mendukung
partai politik tertentu, agar menerima ajaran tertentu, itu merupakan
penyusupan ajaran sekte dan agenda politik. Mereka membangun mesjid
bukan untuk menyediakan tempat ibadah, tapi untuk membangun sarana
penyebaran ajaran dan kampanye partai. Ini merupakan aksi memanipulasi
rakyat yang polos dengan ideologi dan dana asing (Arab Saudi) yang luar
biasa besar untuk merebut kekuasaan di negara Republik Indonesia,
sementara pada saat yang sama mereka meneriakkan adanya ancaman asing
(Barat) terhadap Indonesia. Karena alasan inilah Muhammadiyah
mengeluarkan SKPP Muhammadiyah Nomor 149/Kep/I.0/B/2006 yang melarang
dan mengamanahkan para pengurus agar mengusir PKS keluar dari
Muhammadiyah,
“…Muhammadiyah pun berhak untuk
dihormati oleh siapa pun serta memiliki hak serta keabsahan untuk bebas
dari segala campur tangan, pengaruh, dan kepentingan pihak manapun yang
dapat mengganggu keutuhan serta kelangsungan gerakannya” (Konsideran poin 4).
“Segenap anggota Muhammadiyah perlu
menyadari, memahami, dan bersikap kritis bahwa seluruh partai politik di
negeri ini, termasuk partai politik yang mengklaim diri atau
mengembangkan sayap/kegiatan dakwah seperti Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) adalah benar-benar partai politik. Setiap partai politik
berorientasi meraih kekuasaan politik. Karena itu, dalam menghadapi
partai politik manapun kita harus tetap berpijak pada Khittah
Muhammadiyah dan harus membebaskan diri dari, serta tidak menghimpitkan
diri dengan misi, kepentingan, kegiatan, dan tujuan partai politik tersebut.” (Keputusan poin 3)
Gaya-gaya seperti ini, yakni menyediakan
dan memperbaiki sarana peribadatan (masjid) tetapi untuk tujuan politik,
mengingatkan pada kasus ketika KNIL berusaha masuk ke Indonesia dengan
membonceng pada Pasukan Sekutu. Usaha demikian selalu dilakukan karena
sudah sejak awal merasa bahwa kedatangannya akan ditentang dan ditolak,
sejak awal tidak ada rasa percaya diri karena memang berlawanan, bahkan
bertentangan, dengan tradisi keberagamaan bangsa Indoensia.
Ada kontradiksi yang jelas antara tradisi
dan budaya keberagamaan bangsa Indonesia dengan kelompok-kelompok garis
keras yang secara kultural berkiblat ke Timur Tengah. Tradisi
keberagamaan bangsa Indonesia kental dengan nilai-nilai spiritualitas
yang diwarisi dari generasi ke generasi, tradisi yang sebenarnya
dimusuhi oleh kelompok-kelompok garis keras. Tradisi ini mengajarkan dan
menekankan pola hidup berdampingan secara damai, baik dengan sesama
manusia maupun alam, baik dengan yang berkeyakinan sama maupun beda,
yang menerima perbedaan sebagai realitas dan kekayaan yang harus
dihargai. Pola keberagamaan demikian tidak akan pernah lekang oleh panas
dan tak akan pernah lapuk oleh hujan, akan selalu sesuai dengan
perkembangan sejarah dan perkembangan hidup para penganutnya.
Memang, spiritualitas lebih menekankan rasa (Dzauq) dalam beragama, sedangkan rasionalitas (‘Aql)
menjadi pendorong di dalamnya. Ini adalah pola keberagamaan para nabi
seperti dialami oleh Nabi Ibrahim as. dan Nabi Musa as. ketika mencari
dan berusaha mengenal Allah swt. Nabi Muhammad saw. pun, ketika
menjelaskan relasi ‘ubuduyah manusia dengan Tuhan menyatakan, “Mengabdilah kepada-Nya seakan-akan kamu melihat-Nya. Namun jika kamu tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.”
Ungkapan seakan-akan menegaskan bahwa
potensi inderawi (hiss) dan rasional {‘aql) memang berguna dalam
beragama, namun ia harus dilampaui, kemudian rasa (dzauq) yang akan
berperan penting dalam merasakan kehadiran Ilahi. Keluasan dan keluhuran
ajaran dan pesan agama tidak bisa dibingkai semata oleh akal dan
aktivitas jasmaniah, apalagi ideologi dan platform partai politik. Ia
hanya bisa ditampung oleh keluasan rasa, kelapangan hati. Dalam konteks
inilah, firman Allah swt. dalam hadits kudsi yang menyatakan, “Bumi dan langit-Ku tidak mampu menampung-Ku, tetapi hati hamba-Ku yang beriman,”
harus direnungkan secara mendalam. Maka penolakan atas spiritualitas
jelas merupakan sebuah arogansi beragama. Dan inilah, terutama, yang
ditolak oleh kelompok-kelompok garis keras.
Kelompok-kelompok garis keras sangat
berbeda, bahkan hingga tingkat tertentu bertentangan, dengan tradisi dan
keberagamaan spiritualistik ini. Mereka telah mereduksi agama menjadi
sebatas kerangka tanpa daging, bahkan tanpa jiwa dan perasaan. Hal ini
disebabkan pemahaman mereka yang harfiah dan tertutup, yang menyapih
agama dari konteks historis, sosial, dan budaya pada masa risalah dan
sesudahnya hingga saat ini. Pendekatan ini telah membuat mereka terpaku
pada huruf-huruf dan tidak menyadari adanya makna-makna yang lebih luas
daripada sekedar yang terkandung dalam huruf-huruf tersebut. Keluhuran
dan keluasan agama direduksi sebatas makna-makna harfiah yang tertutup.
Tiadanya kesadaran ini pula yang telah membuat mereka membuat
klaim-klaim kebenaran sepihak dan pada saat yang sama memvonis salah dan
sesat setiap yang berbeda, karena mereka tidak mampu memahamai realitas
batin pihak lain. Padahal keberagamaan seseorang tidak diukur oleh
aktivitas jasmaniah maupun intelektual, melainkan oleh kedalaman hati
tanpa menafikan keduanya.
Sikap monolitik dalam beragama tidak
pernah memberi ruang pada perbedaan. Dengan klaim-klaim teologis pula,
mereka ingin menegaskan bahwa hanya merekalah yang benar, dan karena itu
akan termasuk dalam kelompok yang selamat (ma ana ‘alaih wa ash-habi).
Tuduhan-tuduhan kafir dan musyrik kepada orang lain jelas merupakan
pembunuhan karakter, rekrutmen psikologis, dan sangat politis. Sulit
mencari landasan teologis untuk membenarkan tuduhan-tuduhan demikian.
Karena, andai mereka memang memiliki pengamalan keagamaan yang tulus,
keyakinan keagamaan yang luas dan mendalam, tentu hati mereka akan
lapang melebihi keluasan langit dan bumi, sehingga tidak akan pernah
sesak oleh keragaman maupun perbedaan, bahkan dengan pertentangan
sekalipun. Keberagamaan yang tulus tidak akan menyediakan ruang untuk
kebencian, akan selalu berpikir positif (husn al-zhann) terhadap siapa
pun dan lebih mewaspadai realitas dirinya. Sehingga, ketika Kanjeng Nabi
Muhammad saw. menyatakan bahwa umatnya akan terpecah menjadi 73
golongan, Muslim yang sejati tidak akan sibuk mencari siapa yang tidak
atau belum termasuk ke dalam Ma Ana ‘Alaih Wa Ash-Habi sehingga pantas dikafirkan, tetapi akan berpikir apakah dirinya sudah memenuhi kategori tersebut.
Keberagamaan yang monolitik jelas menjadi
ancaman tidak hanya terhadap keamanan dan keselamatan bangsa Indonesia,
tetapi juga terhadap budaya dan tradisi keberagamaan bangsa Indonesia.
Pemaksaan selalu menelan korbannya sendiri, cukuplah tragedi Padri
sekali saja, dan jangan sampai bahaya laten komunisme tendang lagi.
Kelompok-kelompok garis keras tidak hanya mengklaim sebagai yang paling
benar di antara sesama Muslim yang lain, mereka berjuang untuk mengubah
tradisi dan budaya bangsa Indonesia. Disadari atau tidak, ini merupakan
proyek formalisai agama yang akan berujung salah satunya pada realisasi
wahabisasi global, penegakan Khilafah Islamiyah, atau Islamisasi negara
Indonesia dan melenyapkan NKRI. Karena itu, melawan formalisasi Islam
bagai sekali mengayuh dayung dua tiga pulau terlampaui: dengan menolak
formalisasi Islam, kita akan menye- lamatkan Islam dari reduksi dan
pembajakan demi kepentingan politik, menyelamatkan Pancasila, NKRI,
budaya dan tradisi keberagamaan spiritual bangsa Indonesia, dan
mengilhami umat Islam di negara-negara lain menolak ajaran palsu gerakan
garis keras dan kembali kepada pesan-pesan luhur agama Islam yang
benar-benar merupakan Rahmatan Lil-‘Alamin.
Sumber : ILUSI NEGARA ISLAM ILUSI NEGARA ISLAM : Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia
Post a Comment