Napak Tilas Sejarah Ali bin Abi Thalib dan Asal Muasal Perseteruan Sunni Syiah



Sunni Syiah – Napak Tilas Sejarah Ali bin Abi Thalib dan Asal Muasal Perseteruan Sunni Syiah Agar Tidak Rabun Sejarah
Ali Bin Abi Thalib & Asal Muasal Perseteruan Sunni Syiah
Islam mengepak dengan dua sayap Sunni Syiah sejak sangat dini. Dua-duanya sama-sama absah. Mempertanyakan keabsahan keduanya, atau upaya melenyapkan salah satunya, murni tanda-tanda rabun sejarah.

Ali Bin Abi Thalib & Asal Muasal Perseteruan Sunni Syiah
Sunni Syiah – Dalam beberapa tahun terakhir ini, dunia Muslim menghadapi polarisasi Sunni Syiah yang kian tajam. Di beberapa belahan dunia yang tadinya Sunni Syiah merupakan non-isu dan tak menjadi persoalan serius, kini justru dianggap persoalan penting. Tak hanya orang bodoh yang kian giat menggaungkan perseteruan kedua sekte Islam ini. Yang separuh terpelajar, bahkan kaum terpelajar pun ikut larut dalam gelimang kebebalan serupa.
Di kawasan konflik seperti Filipina Selatan atau Thailand Selatan, isu ini mulai dianggap urusan pula. Padahal polarisasi antar sesama Muslim ini mestinya merupakan hal sekunder yang bukan urusan bagi mereka.

Sungguh ironis, di antara mereka yang giat membesar-besarkan isu Sunni Syiah ini ada juga kawan saya yang doktor teologi. Makanya, tatkala seorang walikota, doktor bidang non-teologi, ikut terperangkap dalam jebakan isu basi ini, saya tidak terlalu heran.
Namun hati kecil saya juga bertanya-tanya: bagaimana mungkin? Seorang doktor yang sudah berkecimpung dalam perdebatan Sunni Syiah sejak bocah-bocah, masih memperkarakan hal-hal yang tak jelas juntrungannya ini?
Apakah mereka sekadar galau dalam karirnya atau mulai bosan hidup berdampingan secara damai. Dan tergiur untuk mencicipi suasana perang saudara seperti di Irak atau Suriah?
Akhirnya saya terpikir, mungkin ada baiknya meninjau ulang silang sengketa Sunni Syiah ini sejak era Islam perdana. Islam yang mula-mula, tempat soal ini berpangkal berawal. Tulisan ini mencoba memotret ulang beberapa fragmen penting dalam sejarah Islam perdana, tatkala sentimen Sunni Syiah mulai berbenih dan berkecambah.

Fragmen Pertama. Nabi Muhammad masih lagi terbaring dalam sakit yang mengakhiri hayatnya. Dalam suatu kisah, Ibnu Abbas mengabarkan. Bahwa Ali bin Abi Thalib sempat keluar dari rumah Rasulullah ketika beliau masih terbaring lemah. Orang-orang lalu bertanya:

“Wahai bapaknya Hasan (sapaan untuk Ali), bagaimana keadaan Rasulullah?”

“Segala puji bagi Allah, beliau tampak pulih,” jawab Ali.

Sejurus kemudian, Abbas bin Abdul Muthallib menarik tangan Ali seraya berkata:

“Aku melihat Rasulullah sudah mendekati ajal dengan sakitnya kali ini.”

Abbas mengaku, dia hafal betul ekspresi terakhir anak-cucu Abdul Muthallib saat maut mulai menjemput.

Ia pun lalu bersaran:

    “Datangilah Rasulullah, tanyakan padanya akan ke siapa jatuhnya urusan (kepemimpinan) ini! Jika ia jatuh kepada kita, kita akan tahu. Namun kalau jatuh ke selain kita, dia tentu akan bermandat dan berwasiat kepada kita.”

Syahdan, Ali bin Abi Thalib tidak mengabulkan usulnya. Mungkin ia yakin bahwa Nabi secara tersirat telah mengisyaratkan dialah yang akan menjadi pemimpin setelah peristiwa Ghadir Khum. Atau bisa juga karena ia memang sosok yang peragu dan penyungkan.

Ali bin Abi Thalib mengindikasikan bahwa dia ingin menjaga etika. Atau kuatir pertanyaan semodel itu justru akan jadi bumerang bagi dirinya dan sanak-keturunannya.

Kepada Abbas, ia tekankan:

    “Demi Allah. Kalau kita tanyakan soal ini, Rasulullah lalu justru melarang kita, orang-orang takkan pernah memberi mandat itu untuk kita selamanya. Demi Allah, aku tak akan menanyakannya kepada Rasulullah!”

Kita akhirnya tahu, Ali bin Abi Thalib emoh menjalankan usul Abbas. Dan sampai akhir hayatnya—setidaknya menurut versi Sunni— Nabi pun tak sempat menuliskan wasiat tentang kepemimpinan sesudahnya.

Fragmen Kedua. Jenazah Rasulullah masih terbujur di rumah Aisyah. Sanak keluarga berkumpul dalam duka. Belum lagi jenazah itu dikubur, sekelompok orang Anshar telah berinisiatif untuk menentukan dan mengangkat pemimpin setelah Nabi. Di Tsaqifah Bani Saidah, tempat mereka berkumpul, aspirasi untuk mengangkat dan membaiat Saad bin Ubadah sebagai pemimpin sudah begitu bulat.

Kasak-kusuk Tsaqifah tersebut, seketika itu juga sampai ke telinga Abu Bakar. Ia, Umar dan Abu Ubaidah al-Jarrah lalu segera menuju tempat kejadian perkara. Sesampai di lokasi, Abu Bakar menyergah:

“Apa-apaan ini!”

Mereka menjawab:

“Kami punya Emir, kalian silakan berpunya Emir!”

Demi mendengar itu, Abu Bakar membalas:

“Emir dari kami, menteri-menteri dari kalian!”

Abu Bakar lalu mengajukan salah satu di antara Umar dan Abu Ubaidah untuk dipilih. Namun, Umar justru mengajukan dan mendukung Abu Bakar sebagai jagoannya.

Singkat cerita, dibaiatlah Abu Bakar oleh Umar dan sebagian yang berkumpul. Namun demikian, sebagian pihak Anshar justru berkeras takkan membaiat sosok yang lain kecuali Ali. Dari tempat lain tersiar pula kabar. Bahwa Zubair bin Awwam yang bersama Ali gaib dari perhelatan politik itu, kini mulai menghunuskan pedang.

“Aku takkan menyarungkannya, sampai orang-orang membaiat Ali!”

Demi mendengar itu, Umar menitahkan seseorang untuk meminta Zubair menyarungkan pedangnya. Umar pun mendatangi Zubair dan Ali bin Abi Thalib. Dan mendesak mereka untuk berbaiat kepada Abu Bakar, sukarela ataupun secara terpaksa. Keduanya konon berbaiat, walau kelak banyak perdebatan seputar keabsahan baiat mereka.

Fragmen Ketiga. At-Tabari memuat sepenggal kisah tentang intrik Abu Sufyan dalam kekisruhan suasana. Ia memprovokasi Ali bin Abi Thalib.

    “Demi Allah, aku sedang melihat badai yang takkan dapat dipadamkan kecuali oleh darah! Wahai sanak-keluarga Abdul Manaf, kenapa pula Abu Bakar harus memangku urusan kalian?” Dia lalu membujuk Ali: “Wahai bapaknya Hasan, bentangkan tanganmu, aku berbaiat kepadamu!”

Bukannya termakan bujukan Abu Sufyan yang baru masuk Islam saat Penaklukan Mekah, Ali justru menghardiknya.

    “Demi Allah, provokasimu tak mungkin lain kecuali akan memicu kekacauan (fitnah). Demi Allah, sepanjang kau terus berkonspirasi jahat terhadap Islam, kami takkan pernah mendengar nasihatmu!”

Kita tahu, Ali tak hanya mengabaikan, namun mencela Abu Sufyan. Sosok yang kelak mewariskan anak keturunan yang justru dengan berbagai taktik dan intrik berhasil menindas anak-keturunan Ali bin Abi Thalib.

Kita juga ingat, argumen kesukuan sebagai Quraisy dan kedekatan dengan Nabi. Yang dibangun Umar dan kawan-kawan tatkala menangkal kepemimpinan Anshar, juga terasa ironis bagi Ali. Dengan nada pahit, Ali berpandangan. Bahwa para sahabat itu “memilih berpegang kepada batang (Abu Bakar dkk) sebuah pohon, seraya mencampakkan buahnya (Ali sendiri)”. Tamassaku bi al-syajarah wa adha’u al-tsamrah.

Kita pun tahu, terhadap sejarah pengangkatan Abu Bakar yang begitu cepat dan darurat itu. Umar pernah berseloroh: “Itu merupakan kekeliruan yang justru mampu meredam petaka yang lebih besar!” Innaha ghiltah waqalLah al-muslimin syarraha. Selanjutnya kita tahu, tak selamanya petaka politik semacam itu bisa dihindarkan.
Pelajaran Sejarah Ali bin Abi Thalib dan Asal Muasal Perseteruan Sunni Syiah

Lalu apa yang dapat kita simpulkan dari tiga fragmen kisah perebutan kekuasaan di era Islam perdana. Yang terjadi persis setelah mangkatnya Nabi ini?

Lima Pelajaran. Pertama, ketiga fragmen tadi menampilkan sekelumit karakter tokoh-tokoh sejarah Islam perdana yang sedang bergelut dengan posisi kepemimpinan pasca-Nabi. Kita tahu, Nabi tak secara eksplisit meninggalkan pesan tentang siapa pemimpin setelah dia mangkat. Demikianlah setidaknya versi Sunni, dengan berbagai alasan pembenarannya. Ini dengan sendirinya membuka peluang perebutan kekuasaan dan fragmentasi politik sedemikian pagi.

Namun harus diakui pula, sumber-sumber Sunni seperti Sunan Abi Daud, Ibnu Majah dan at-Tirmidzi. Juga memuat isyarat Nabi tentang siapa pemimpin sesudahnya dalam peristiwa bernama Ghadir Khum.

Dalam momen Haji Wada itu, Rasulullah berpesan:

    “Barangsiapa menganggapku sebagai paduka, ini Ali paduka bagi kalian juga. Barangsiapa mencintainya, mereka sungguh mencintaiku juga; barangsiapa memusuhinya, mereka sesungguhnya sedang memusuhiku jua.”

Namun kita juga mengerti, persoalan politik tidak selalu putus dan mulus lewat sebuah titah verbal. Apalagi berupa isyarat-isyarat yang tersirat saja. Apalagi sampai akhir hayatnya, Nabi tidak meninggalkan mandat tertulis yang secara eksplisit menunjuk Ali sebagai pemimpin sesudahnya. Demikianlah anggapan Sunni sembari menafikan hadis-hadis tentang momen Ghadir Khum.

Kedua, dalam kitab Dirasah fi Susiologia al-Islam, sosiolog ulung asal Irak, Ali al-Wardi, berpandangan. Bahwa pertarungan kekuasaan antar Muslim perdana ini tiada lain merupakan simbol pertarungan antara idealisme dan realisme ataupun pragmatisme dalam berpolitik.

Dalam suatu fragmen kisah di atas, jelas sekali bahwa Ali bin Abi Thalib bukanlah politisi yang oportunis. Dia seorang intelektual yang lebih banyak skeptis daripada taktis. Dia bukan binatang politisi yang pantang melihat peluang. Kelak, Ali bin Abi Thalib akan mengalami lagi pahitnya politik saat para sahabat mendahulukan Usman setelah mangkatnya Umar.


Ali bin Abi Thalib dan Asal Muasal Perseteruan Sunni Syiah

Ketiga, aspirasi politik Ali bin Abi Thalib dan para pendukungnya ketika itu, atau pada kalangan Syiah kelak kemudian hari. Dapat pula dianggap sebagai idealisme untuk menyatukan otoritas agama (yang memang sangat tinggi pada sosok Ali), dengan otoritas politik.

Kalau boleh disederhanakan, aspirasi politik Ali dan para pendukungnya itu tiada lain adalah bentuk teokrasi. Di mana otoritas agama dianggap lebih berhak mengendalikan politik, kalau perlu menyatu.

Pada titik ini, menarik menyimak catatan Ahmad Amin yang menggambarkan pragmatisme politik para sahabat kala itu di bukunya, Fajrul Islam. Menurutnya, demi orang-orang Anshar, Abu Bakar terpaksa berpidato untuk meyakinkan mereka akan perlunya mengutamakan Muhajirin dibanding Anshar.

Namun untuk urusan Ali bin Abi Thalib, dia tampak tidak risau. Sebab sebagian sahabat memang tak terlalu menyukai pertautan antara urusan kenabian (otoritas agama) dengan urusan khilafah (otoritas politik).

Pendapat ini dikemukakan Ahmad Amin sembari menyisipkan catatan. Bahwa sosok Ali bin Abi Thalib memang dikenal sebagai seorang yang terlalu lurus (syiddatu Ali fi al-haq). Dan kurang fleksibel (adam at-tasahul) dalam urusan-urusan keduniaan.


Ali bin Abi Thalib dan Sunni Syiah

Keempat, masih dalam bingkai pertarungan idealisme versus realisme. Kita juga tahu bahwa aspirasi kaum idealis tentang pentingnya kepemimpinan ala raja-filsuf yang tersimbolkan dalam sosok Ali. Seringnya atau malah selamanya, justru tidak jalan dalam dunia politik.

Tanpa menuduh Umar dan kawan-kawan sebagai pemain politik tulen yang tidak menaruh idealisme. Kita juga mencium karakter Ali bin Abi Thalib yang intelek sekaligus saklek. Ini berbeda dari sosok Umar dan kawan-kawan yang secara instingtif dan cekatan di dalam merespon situasi genting.

Dari observasi demikian, tidaklah mengherankan bila kelak kita membaca teori-teori politik Islam versi Sunni. Umpamanya seperti yang dikemukakan Ibnu Taimiyah dalam al-Siyasah al-Syar’iyyah. Tampak lebih bersifat realis, untuk tidak menyebutnya cenderung Machiavelis.

Kelima, dengan meninjau ulang asal muasal persengketaan Sunni Syiah ini, kita seharusnya mafhum. Bahwa biduk Islam memang mulai bercabang dua —lengkap dengan disiplin teologi politik dan aturan fiqihnya— sejak era Islam perdana.

Islam mengepak dengan dua sayap Sunni Syiah sejak sangat dini. Dua-duanya sama-sama absah. Mempertanyakan keabsahan keduanya, atau upaya melenyapkan salah satunya, murni tanda-tanda rabun sejarah.

Sayangnya, di antara atau di balik dua kepak sayap Islam itu selalu bergelayut kalangan ekstrem bebal. Atau pun kaum oportunis semisal Abu Sufyan (dan simpatisan) yang tak henti-hentinya mengipasi bara perseteruan agar lebih menyala-nyala. Tatkala dua sayap Islam ini hangus ataupun patah, mereka tersenyum dari balik cakrawala. Sembari membawa terbang apa yang sempat mereka jarah. (al/mfa)

Oleh: Novriantoni Kahar

Judul Asli: Merenungkan Pangkal Perseteruan Sunni Syiah
Haidar Bagir: “Sejarah Sunni-Syiah adalah Sejarah Perdamaian”
Gerakan anti Syiah belakangan semakin menguat di Indonesia. Bahkan saat ini sudah berdiri organisasi yang secara khusus untuk mengkampanyekan gerakan anti Syiah seperti Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS). Dideklarasikan di Bandung, 20 April 2014 lalu, saat ini ANNAS sudah melebar ke sejumlah daerah lainnya.

Kalangan anti Syiah lazim menuduh Syiah sesat, Syiah bukan Islam, Syiah mempunyai Al-Quran yang berbeda dengan Sunni, bahkan Syiah akan melakukan revolusi di Indonesia. Organisasi-organisasi Syiah dan tokoh-tokoh tertentu sering menjadi sasaran tuduhan dan caci-maki mereka.

Salah seorang yang sering menjadi sasaran tuduhan dan caci-maki tersebut adalah Haidar Bagir. Sekolah Lazuardi yang dipimpin Haidar, misalnya, dituduh mengajarkan syahadatnya Syiah. Isu itu mereda setelah orangtua murid dan beberapa alumni Lazuardi membantah tuduhan itu.

Haidar punya sejumlah catatan kenapa ketegangan Sunni-Syiah belakangan menguat. Menurutnya, memang ada persoalan laten dalam hubungan Sunni-Syiah, tapi ketegangan yang ada saat ini lebih karena menguatnya ideologi takfiri yang menyertai gerakan salafisme.

Untuk lebih jelas mengetahui persoalan di atas, Warsa Tarsono dari Madina Online mewawancarai Haidar Bagir, di salah satu kantornya di Cinere, Depok. Berikut petikan lengkapnya.

Bagaimana Anda melihat konflik Sunni-Syiah yang semakin menguat belakangan ini?

Konflik Sunni-Syiah ini memang laten, tapi tidak pernah sebesar beberapa tahun belakangan ini. Berabad-abad orang Sunni-Syiah di berbagai negara hidup damai, bahkan kawin-mawin. Di Saudi Arabia ada 15 persen penganut Syiah dari 30-an juta penduduknya.

Selain itu, praktis sepanjang tahun Muslim Syiah bertemu dengan Muslim Sunni di Saudi saat umrah dan haji. Saat itu mereka melihat bagaimana orang Syiah salat.

Orang-orang Saudi memang tidak suka kalau Muslim Syiah berdoa di depan makam Imam Ali atau makam Siti Khadijah. Tapi mereka juga melihat bagaimana tatacara beribadah orang Syiah sama dengan yang dilakukan kaum Muslim lainnya. Bahkan pernah salah satu ulama Syiah menjadi imam di Masjidil Haram, meski ini sudah terjadi lebih dari setengah abad lalu.

Di Irak apalagi. Syiah mayoritas di sana. Di Bahrain 90 persen. Di Kuwait 40-50 persen. Bahkan di Kuwait Anda bisa dengar adzan orang Syiah lengkap dengan ungkapan wa ‘Aliyun waliyullah. Di Iran mayoritas. Di Yaman, India, Pakistan dan Libanon juga banyak.

Di negara-negara itu tidak terjadi apa-apa. Mereka hidup damai. Mereka tahu Syiah itu seperti apa. Selama berabad-abad Syiah bukan sesuatu yang aneh. Walaupun mereka tidak sepakat dengan beberapa keyakinan Syiah, tapi mereka tahu betul kaum Syiah itu Muslim seperti mereka.

Penentang Syiah di Indonesia ini tidak mengerti tentang kompleksitas Syiah. Mereka sering dengan gampangan menganggap Syiah itu tunggal dan yang dijadikan contoh adalah Syiah sesat yang di sini jumlah pengikutnya cuma 50 sampai 500 orang.

Jumlah orang Syiah di dunia, menurut statistik, minimum 200 juta. Ada statistik yang mengatakan 300 juta, tapi kita anggap saja 200 juta. Mana mungkin ada kelompok yang mengaku Muslim yang jumlahnya 200 juta mau dikafirkan. Tidak pernah terjadi dalam sejarah agama apapun. Repotnya banyak orang awam tidak tahu. Sebagian ustadnya juga tidak mengerti. Kuper (kurang pergaulan, red.).

Menurut Anda, apa penyebab menguatnya gerakan anti Syiah akhir-akhir ini?

Kalau kita runut, hal ini dimulai setelah adanya Revolusi Islam Iran. Ada dua penyebabnya. Pertama, sejak Revolusi Iran memang ada kelompok di dalam negeri Iran yang ingin mengekspor Revolusi Islam Iran ke negara-negara lain. Mereka bersemangat untuk mendakwahkan Syiah. Semacam euforia di kalangan Syiah.

Hal ini sebenarnya dilarang oleh pemimpin dan ulama Syiah sendiri. Salah satunya disampaikan oleh Ayatullah Ali Taskhiri, orang dekat Ayatullah Ali Khomeini, pemimpin spiritual Iran sekarang. Kata Ayatullah Ali Taskhiri, “Berdakwah kok kepada sesama Muslim.”

Jadi perlu dicatat, pemimpin dan ulama Syiah tidak suka terhadap orang Syiah yang berusaha mengajak orang Sunni untuk menjadi Syiah. Tapi harus diakui, di semua kelompok, apakah itu orang Muslim, Kristen, Katolik itu selalu ada saja kelompok yang ingin mendakwahkan keyakinannya.

Penyebab kedua, ada ketakutan dari negara-negara teluk monarki, terutama Arab Saudi kalau revolusi yang terjadi di Iran akan merembet ke negara mereka. Yang dijatuhkan oleh Imam Khomeini itu raja. Syah Iran itu raja. Saat itu dia disebut Syahin Syah, Raja Diraja. Mirip dengan pemerintahan di negara-negara teluk lainnya. Di sana kalau bukan kingdom, ya, syahdom.

Perlu kita ingat pula, salah satu yang mendorong kemerdekaan Indonesia adalah kemerdekaan negara-negara lain. Setiap kemerdekaan di satu negara bisa merembet ke negara lainnya. Seperti juga kemarin saat terjadi Arab Spring. Satu berhasil di Tunisia, lalu menular ke Mesir serta beberapa negara lain, dan berhenti di Suriah. Kalau Suriah berhasil maka masih bisa merembet ke mana-mana.

Apa kaitan dan relevansinya perebutan kekuasaan di Iran, ketakutan Saudi serta gerakan anti Syiah?

Seperti saya katakan tadi, di Saudi 15 persen rakyatnya adalah penganut Syiah. Saudi juga dikepung oleh negara-negara yang penduduknya banyak menganut Syiah. Bahrain 90 persen. Kuwait 40-50 persen, Yaman sekitar 40 persen. Bagi Saudi itu ancaman. Iran bisa menjadi patron kuat bagi kalangan Syiah di Saudi dan negara-negara teluk lainnya untuk melakukan revolusi. Arab Saudi ketakutan.

Kerena ketakutan itu, sejak tahun 1980-an mereka menggelontorkan uangnya  untuk kampanye anti Syiah. Mereka menerbitkan buku-buku yang mencaci-maki Syiah. Antara lain buku-buku karya Ehsan Elahi Zaheer. Juga buku karya Muhammad Surur yang berjudul Telah Datang Siklus Orang-orang Majusi. Jadi orang Syiah dipersepsikan sebagai orang Majusi, para penyembah api.

Orang-orang Syiah pun kemudian melakukan hal yang sama. Mereka menerbitkan buku-buku anti Sunni. Salah satu yang provokatif adalah buku yang berjudul Akhirnya Kutemukan Kebenaran. Buku ini bercerita tentang orang yang semula penganut Sunni kemudian menyadari bahwa Sunni salah dan pindah ke Syiah.

Jadi, di masing-masing kubu ada saja yang ekstrem. Mereka inilah yang memanas-manasi keadaan. Akibatnya timbul ketegangan yang terus menguat.

Kini muncul lagi soal Suriah. Suriah adalah negara dengan penduduk mayoritas Sunni, tapi presidennya (Bashar al-Assad) dari kaum Alawi (Alawite) yang dianggap Syiah. Harus dicatat, Syiah di Suriah itu tidak bisa benar-benar disebut Syiah. Mereka memang keturunan Alawite yang percaya kepada doktrin imamah (tiga imam pertama), tapi fikihnya Sunni. Bashar juga bukan pemeluk Syiah yang teguh. Dia lebih layak disebut sosialis dari Partai Ba’ath.

Para pemimpin Suriah di luar Bashar sendiri adalah orang-orang Sunni. Muftinya orang Sunni, perdana menterinya Sunni, menteri dalam negerinya Sunni, menteri luar negerinya  Sunni, menteri pertahanannya Sunni. Tapi masalahnya, Suriah itu dianggap dekat dengan Iran.

Waktu terjadi Arab Spring, di Suriah muncul kelompok yang tidak puas dan berusaha menjatuhkan Bashar al-Assad. Kelompok ini didukung oleh Arab Saudi dan negara-negara teluk lainnya. Mereka juga didukung Amerika Serikat dan Israel, karena selama ini Bashar al-Assad dianggap duri dalam daging oleh Amerika dan Israel karena membantu Palestina.

Ketika terjadi penembakan terhadap para demonstran oleh pasukan keamanan Suriah, dihembuskanlah isu bahwa Syiah membunuhi orang-orang Sunni. Isu itulah yang sampai ke Indonesia dan menjadi propaganda anti Syiah di sini.

Jadi, menurut Anda, ketegangan Sunni-Syiah di Indonesia yang ada sekarang ini lebih karena imbas ketegangan politik di luar negeri, terutama negara-negara Arab? Apakah ada faktor dari dalam negeri sendiri?

Saya katakan, iya. Faktor di dalam negeri ini terkait dengan fenomena tumbuhnya Salafisme Takfiri di Indonesia. Setelah Reformasi, kelompok Islam garis keras yang dulu ditekan rezim Soeharto mendapatkan momentum untuk bangkit. Mereka mendapatkan ruang untuk mengekspresikan keyakinannya.

Pada saat bersamaan negara-negara di Timur Tengah sedang menggelontorkan dana minyaknya untuk dakwah Salafisme model begini. Terjadilah perkawinan ideologis karena kepentingan kedua kelompok ini sama. Dengan dukungan dana tersebut mereka tumbuh menjadi besar.

Mereka mengkafirkan orang lain yang berbeda paham dengan mereka, meskipun sesama Muslim. Salah satu sasaran tembaknya adalah Muslim Syiah. Konflik Suriah adalah salah satu isu yang mereka mainkan.

Tadi Anda menyebut Arab Saudi menggelontorkan uang untuk kampanye anti Syiah. Bukankah Iran juga melakukan hal yang sama? Yaitu, membiayai dakwah Syiah. Misalnya, melalui Islamic Culture Center (ICC)?

Saya memang diminta sebagai pendiri ICC dan saya menolak. Tapi nama saya tetap dimasukkan. Ya sudah, tidak apa-apa. Sebetulnya itu pun hanya formalitas. Tak pernah sekalipun saya terlibat dalam kegiatan kepengurusan ICC. Begitupun, saat pidato peluncuran ICC, saya sampaikan bahwa saya akan menjadi orang pertama yang keluar kalau ICC dijadikan pusat dakwah Syiah. Itu sikap pribadi saya.

Tapi pertanyaannya, apa salahnya kalau ICC melakukan aktivitas untuk menampung bagian masyarakat Indonesia yang kebetulan bermazhab Syiah? Katakanlah, misalnya, di ICC diadakan Salat Jumat. Saya pribadi tidak setuju. Buat apa bikin Salat Jumat di ICC? Tapi di sisi lain, kenapa juga tidak boleh? Orang Ahmadiyah boleh buat masjid, kelompok Wahabi boleh bangun masjid, kenapa kaum Syiah bikin Jumatan tidak boleh? Wong, tidak ada tempat lain untuk mereka Salat Jumat.

Mereka mau membuat peringatan Karbala, saya pun secara pribadi tidak setuju. Saya seumur hidup tidak pernah hadir dalam peringatan Karbala. Tapi kenapa orang mau membuat peringatan Karbala tidak boleh? Begitu juga kalau orang Syiah di Indonesia mau menerbitkan dan membaca buku kelompok mereka sendiri kenapa tidak boleh? Kalau orang Wahabi boleh, kenapa Syiah tidak boleh?

Walaupun saya tetap menyarankan, dalam situasi tidak normal seperti sekarang ini tidak perlulah diadakan kegiatan-kegiatan Syiah yang terbuka. Hal seperti itu dapat menimbulkan komplikasi yang tidak perlu. Juga jangan menyebarkan buku-buku tentang ajaran atau doktrin Syiah.

Problemnya memang orang-orang Syiah itu didiskreditkan sehingga sulit juga untuk mengharapkan mereka tidak meresponsnya. Menurut saya, kedua belah pihak perlu sikap saling menahan diri.

Kembali ke masalah di atas. Salah satu cara Saudi mendakwahkan ajaran Wahabi adalah dengan membangun masjid dan menempatkan lulusannya di masjid-masjid yang mereka bantu tersebut. Apakah itu salah? Tidak! Saudi tidak salah. Ini penting ditulis. Yang salah jika mereka bilang hanya Wahabisme yang benar dan yang lain kafir. Atau ICC mengatakan Syiah yang benar dan yang lain kafir. Jadi harus kita bedakan antara menggelontorkan uang untuk dakwah dengan menyebarkan ideologi takfiri.

Menurut Anda, apakah ICC sekarang sudah menjadi pusat dakwah Syiah? Dan sepengetahuan Anda, apa saja kegiatan ICC selama ini?

Setahu saya, ICC menjadi tempat sebagian Syiah di sini untuk Salat Jumat dan memperingati hari-hari besar Islam, baik hari-hari besar yang diperingati Muslim Sunni maupun yang khas Syiah. Selain itu mereka juga menerbitkan buku karya penulis Syiah dan tentang ajaran Syiah.

Seperti saya katakan, dalam keadaan normal hal ini sebetulnya tidak ada masalah. Tapi, dalam keadaan chaos seperti sekarang ini, saya sudah mendesak agar acara-acara atau ritus-ritus Syiah tidak lagi diadakan.

Dan saya juga sudah berusaha untuk menyampaikan, jika ICC masih terus melakukan kegiatan-kegiatan seperti itu, dengan segala hormat saya akan minta nama saya dihapus dari sejarah ICC. Seperti sudah saya nyatakan sejak awal pendiriannya.

Anda tadi mengatakan bahwa yang tidak boleh disebarkan oleh kelompok agama tertentu itu adalah ideologi takfiri. Bisa Anda jelaskan apa itu takfiri dan bagaimana ciri-cirinya? Dan apa pendapat Anda tentang Wahabi?

Takfirisme ciri utamanya adalah menganggap hanya keyakinannya atau mazhabnya yang benar dan yang lain salah. Menurut saya, itu cara pandang yang sangat salah. Misalnya, Wahabi. Bagi saya, Wahabi itu mazhab yang sama sahnya dengan mazhab lain. Sama sahnya dengan mazhab Sunni, Syiah, dan lainnya. Yang tidak benar itu Wahabi takfiri juga Syiah takfiri. Syiah takfiri itu sama salahnya dengan Wahabi takfiri.

Jadi, seperti saya katakan, mengirim uang, mengirim lulusannya, membangun masjid, dan medakwahkan Wahabi adalah hal-hal yang harus dibolehkan. Salahnya apa? Kalau sudah mengkafir-kafirkan barulah harus ditolak.

Repotnya sekarang, yang banyak mengkafir-kafirkan itu orang-orang dari lulusan negara-negara teluk ini. Tapi tetap saja yang pantas dikritik itu bukan Wahabi, tapi Wahabi takfiri.

Bagi kalangan yang mengkafirkan dan anti Syiah, mereka selalu mengatakan bahwa Syiah punya Al-Quran yang berbeda. Benarkah demikian?

Saya suka heran sama orang-orang seperti ini. Mereka bilang Al-Quran Syiah berbeda, karena itu sesat. Itu tidak benar! Al-Quran Syiah sama persis dengan Al-Quran Sunni. Tapi asumsikan benar Al-Qurannya Syiah beda, karena itu Syiah sesat. Maka apa yang terjadi di Iran, karena di sana juga ada orang Sunni maka orang Syiah bisa bilang kepada orang Sunni Al-Quran kamu beda dengan saya, karena Al-Quran saya yang benar, berarti kamu sesat.

Orang Syiah dianggap sesat karena tidak meriwayatkan hadis orang Sunni. Begitu juga orang Syiah bisa bilang, Sunni sesat karena tidak meriwayatkan hadis orang Syiah. Kalau perbedaan itu bisa dijadikan dasar menyesatkan, maka orang Syiah juga bisa menyesatkan orang Sunni. Ini kan tidak masuk akal. Mereka tidak mikir.

Kalangan ini juga menyatakan bahwa Syiah punya doktrin menyembunyikan keyakinan (taqiyah). Dengan doktrin ini orang Syiah akan bersikap baik di depan, tapi di belakang menjelekkan orang-orang Sunni. Komentar Anda?

Sebenarnya taqiyah itu kan akal sehat. Taqiyah itu ada di dalam Al-Quran. Orang tidak boleh menyangkal keesaan Allah kecuali dalam keadaan takut. Ada riwayat yang mengisahkan ibunya Amar bin Yasir dibunuh karena ketika dia dipaksa menyatakan Tuhannya adalah Latta dan Uzza dia teguh menyatakan bahwa Tuhannya adalah Allah. Tapi saat Amar bin Yasir yang ditanya, dia menjawab Tuhan dia adalah Latta dan Uzza. Akhirnya Amar Bin Yasir dilepaskan.

Kemudian Amar bin Yasir menghadap Rasulullah sambil menangis. Dia berkata, “Saya tadi sudah mengaku Latta dan Uzza sebagai Tuhan saya. Kalau tidak mengatakan itu saya akan dibunuh.” Nabi menjawab, “Bagaimana hati kamu?” Amar menjawab, “Hati saya tentram. Hati saya pada Allah.” Kemudian Nabi berkata lagi, “Kalau mereka menyiksa kamu lagi dan menyuruh kamu mengaku Tuhan kamu Latta dan Uzza, katakan saja begitu.”

Sederhana saja, orang Syiah itu minoritas. Mereka banyak ditindas di mana-mana. Nah kalau dia ditindas karena dia Syiah, lalu dia menyembunyikan kesyiahannya apa tidak boleh? Salahnya apa orang menyembunyikan keyakinannya dalam keadaan nyawanya atau keyakinannya terancam?

Kalau taqiyah orang Syiah itu sengaja untuk mengelabui dan kemudian menusuk dari belakang orang Sunni itu tidak ada. Kalau maksudnya untuk menyembunyikan keimanan untuk keselamatan dalam keadaan ditindas, tidak usah orang Syiah, mayoritas orang waras pun melakukannya.

Apakah orang-orang yang saat ini menuduh Syiah ber-taqiyah dulu mereka terbuka melawan Soeharto? Kalau anti Soeharto tapi tidak melawan atau dia diam itu namanya apa? Itu taqiyah. Jadi taqiyah tidak hanya dilakukan orang Syiah tapi yang lainnya juga. Terutama kalangan yang dalam keadaan tertindas.

Isu lainnya, Syiah dianggap mengancam NKRI. Bercermin dari Iran dan perubahan kekuasaan di negara-negara Timur Tengah, ada anggapan dengan konsep Imamahnya bisa saja suatu saat Syiah melakukan revolusi. Tanggapan Anda?

Tidak masuk akal. Kondisi masing-masing negara berbeda-beda. Harus diingat Iran itu menjadi Negara Islam bukan karena revolusi tapi lewat referendum. Saat mereka membuat konstitusi, dalam waktu bersamaan mereka mengadakan referendum untuk memilih bentuk negara. Salah satu pilihannya  adalah Republik Islam. Republik Islam itulah yang dipilih oleh rakyat Iran. Itu bukan hasil pemaksaan. Itu pilihan demokratis.

Mungkin Imam Khomeini percaya tentang keharusan menegakkan Negara Islam, tapi bukan kepercayaan Imam Khomeini yang melahirkan Republik Islam Iran, melainkan referendum. Tak sedikit pula mujtahid lain di kalangan Syiah yang tak setuju dengan gagasan Imam Khomeini.

Alasan lain, latarbelakangnya juga sangat berbeda jauh. Sebanyak 90 persen lebih penduduk Iran adalah Muslim Syiah. Selama berabad-abad, mungkin dari abad ke-1 atau 2 Hijriyah terjadi adopsi besar-besaran mazhab Syiah di Iran. Sudah belasan abad Islam Syiah mayoritas di Iran. Di sana juga ada Kekaisaran Safawi yang bukan hanya menguasai Iran, tapi juga menguasai berbagai daerah sekitarnya.

Dengan latarbelakang yang sangat jauh berbeda tersebut, tidak mungkin terjadi revolusi Syiah di Indonesia. Jangankan Negara Islam Syiah, Negara Islam saja tidak mungkin.

Di Indonesia orang Syiah hanya puluhan ribu. Paling banyak ratusan ribu. Saya tidak percaya kalau ada yang bilang sampai jutaan. Dengan jumlah pengikut hanya ratusan ribu tersebut mana mungkin melakukan revolusi.

Lebih mungkin revolusi Islam dilakukan oleh kelompok yang menganggap dirinya bagian dari mayoritas. Kita tahu di negeri kita ada orang-orang yang jelas-jelas mencita-citakan berdirinya Khilafah Islamiyah. Ada juga orang yang bilang haram hormat bendera. Bahkan ada juga yang bilang kalau ikut Pancasila, Indonesia akan ambruk.

Syiah melakukan revolusi? Hanya mimpi orang-orang itu saja. Justru yang selama ini punya aspirasi anti NKRI, anti Pancasila, dan seterusnya, adalah orang-orang takfiri yang selama ini mengkafir-kafirkan Syiah.

Tadi Anda juga mengatakan, salah satu bentuk kampanye anti Syiah dengan menerbitkan buku. Kalangan Syiah juga melakukannya. Penerbit Mizan juga menerbitkan sebagian buku-buku Syiah. Apakah ini bagian dari gerakan dakwah Syiah?

Mizan memang salah satu yang menerbitkan buku-buku Syiah. Tapi saya tegaskan, kami tidak pernah menerbitkan buku dakwah Syiah. Apalagi buku yang mengecam Sunni. Satu-satunya, atau mungkin satu dari dua judul buku doktrin Syiah yang pernah diterbitkan Mizan hanya Dialog Sunni-Syiah.

Itupun sesungguhnya berisi dialog. Di dalamnya seorang ulama Syiah menjawab pertanyaan-pertanyaan ulama Sunni mengenai alasan-alasan orang Syiah mempercayai doktrin-doktrin mereka. Yang lainnya buku umum yang ditulis ulama Syiah. Jumlah totalnya mungkin 50 judul buku dari kira-kira hampir dua ribu judul buku yang sudah kami terbitkan.

Sementara lebih dari 1000 judul buku merupakan karya ulama Sunni. Belum termasuk buku anak-anak Muslim yang sepenuhnya “Sunni”.

Anda sendiri Syiah atau Sunni?

Saya bukan Syiah dan bukan Sunni. Saya ini orang yang percaya bahwa orang non-Muslim yang baik dan tidak kafir, tidak menyangkal kebenaran, saja bisa  masuk surga. Bukan Syiah atau Sunni lagi. Saya pernah menulis bahwa non-Muslim tidak identik dengan kafir.

Kenapa Anda tidak bermazhab?

Saya mau balik bertanya, berangkat dari pendekatan apa orang harus bermazhab? Tidak ada keharusan untuk bermazhab. Justru Islam tidak pakai mazhab. Jadi yang harus ditanya itu orang yang mengatakan bahwa orang itu harus bermazhab. Kalau orang seperti saya ditanya, maka saya akan menjawab memang Islam tidak mengajarkan mazhab.

Kembali ke masalah ketegangan Sunni-Syiah, apakah dua mazhab ini bisa berdamai?

Menurut saya, sejarah Sunni-Syiah adalah sejarah perdamaian. Konflik itu adalah pengecualian. Dan saya yakin seyakin-yakinnya bahwa jumlah orang yang punya niat menyulut pertentangan Sunni-Syiah itu kecil jumlahnya. Tapi kemudian mereka berusaha untuk mengajak mayoritas Muslim Indonesia yang sebenarnya moderat.

Jadi, Sunni dan Syiah sangat mungkin bersatu di Indonesia. Syaratnya hanya satu, pemerintah harus menerapkan peraturan dan perundang-undangan dengan tegas. Ini tidak mungkin bisa dicapai kecuali pemerintah, dalam hal ini polisi, tegas.

Menurut Anda, bagaimana tindakan polisi dalam menangani konflik yang berbau agama selama ini? 

Selama ini yang sering terjadi adalah polisi menyuruh pergi orang yang diancam, tapi tidak melakukan tindakan apapun terhadap orang-orang yang mengancam. Contohnya banyak sekali, saat  Ahmadiyah mau diserbu, misalnya. Polisi alih-alih mendatangkan aparat keamanan untuk melindungi orang Ahmadiyah malah orang Ahmadiyah yang disuruh pergi. Yang salah siapa? Yang salah orang-orang yang mau menyerbu. Tindak mereka.

Di Bogor juga kemarin seperti itu. Bukannya Bima Arya mengirim polisi untuk melindungi korban malah orang Syiah yang dilarang mengadakan peringatan Asyura. Saya bersyukur bahwa kelihatannya belakangan Bima Arya mulai lebih proporsional dalam mengambil langkah mengatasi masalah ini.

Bagaimana tanggapan Anda terhadap orang-orang yang selama ini sering menyulut konflik agama? 

Menurut saya, ada tiga kelompok orang yang terlibat dalam menyulut konflik. Pertama, mereka ini adalah aktor intelektualnya. Ini takfiri hardcore. Orang-orang yang sudah tidak bisa berubah. Kedua, orang awam yang tidak mengerti. Mereka dibawa-bawa oleh takfiri hardcore.

Ketiga, orang-orang yang bukan takfiri hardcore. Mereka mungkin para kiai atau ustad tapi tersesatkan oleh fitnah-fitnah dan  kebohongan yang disebarluarkan takfiri hardcore sampai akhirnya mereka terpengaruh.

Apa yang bisa kita lakukan untuk menghadapi orang-orang seperti ini agar mereka menyadari kekeliruannya?

Mungkin bisa  dengan pendekatan persuasif. Berikan pemahaman tentang Islam yang ramah, Islam yang damai. Juga informasi-informasi yang benar tentang berbagai kelompok dan pemahaman dalam Islam. Tapi, menurut saya, itu hanya bisa dilakukan kepada kelompok dua dan tiga. Tapi kelompok pertama, para takfiri hardcore tidak bisa. Mereka tidak akan berhenti kecuali dengan penegakan hukum yang tegas.[]
 Memasuki tahun baru 2012, kekerasan atas nama agama meletus lagi.
Ratusan orang membakar pesantren, mushala, dan rumah warga di Kecamatan Omben, Sampang, Madura. Dosa mereka: karena pesantren yang dipimpin Ustaz Tajul Muluk itu mengajarkan Islam mazhab Syiah yang dianggap sesat.
Reaksi pun datang dari berbagai pihak. Ketua Muhammadiyah Din Syamsuddin dan Ketua Majelis Ulama Indonesia Umar Shihab menyusul menegaskan bahwa Syiah tidak sesat.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siroj mengingatkan ada desain besar di balik itu karena sejak dulu tak pernah ada perselisihan Sunni dan Syiah di Madura. Said Aqil menduga ada pihak yang ingin merusak suasana damai di Indonesia. ”Salah satunya lewat kasus pembakaran pesantren Syiah di Sampang,” katanya.

Dugaan yang logis. Sebab, Syiah Dua Belas Imam (Itsna’asyariyah) memiliki banyak kesamaan dengan mazhab Syafi’i, salah satu mazhab Ahlus-Sunnah (Sunni) yang menjadi panutan mayoritas nahdliyin di Indonesia. Kultur NU juga sangat mencintai Ahlul Bait (keluarga) Nabi Muhammad SAW dan keturunannya.
Peringatan haul, acara tahlil orang meninggal tiga hari, 40 hari, dan sebagainya—yang banyak dilakukan warga NU—sesungguhnya serupa dengan upacara-upacara Syiah. Nahdliyin juga pantang menikahkan anak atau berpesta pada hari Asyura, yang merupakan hari kesedihan memperingati syahidnya cucu Nabi, Al-Husain (Imam Syiah ketiga). Di kalangan NU juga sering dibacakan Salawat Dibb, di mana di dalamnya disebutkan nama-nama Imam Syiah dan keistimewaan Ahlul Bait.
Banyak studi menunjukkan bahwa versi Islam yang pertama datang ke Indonesia sesungguhnya adalah Islam Syiah, sebagaimana dibuktikan hadirnya tradisi Syiah di Aceh. Menurut Syafiq Hasyim (mengutip Marcinkowski dalam Irasec’s Discussion Papers, 2011) muslimin di Indonesia berutang kepada para ulama dan pedagang Syiah yang membawa Islam ke Indonesia.
Dari pedang ke pena
Studi lain menyebutkan, pada sekitar 320 H, Ahmad bin Isa ”Al-Muhajir” bin Muhammad bin Ali bin Ja’far As-Shadiq—keturunan kesembilan dari Nabi SAW—hijrah dari Irak ke Hadramaut, Yaman bagian selatan. Pedagang kaya itu menghindari teror penguasa Bani Abbasiyah, saat keturunan Nabi SAW, yang notabene Syiah, dikejar-kejar kaki tangan khalifah di Irak (Walter Dostal dalam The Saints of Hadramawt, 2005).
Cucu Imam Syiah keenam (Ja’far As-Shadiq) itu kemudian mematahkan pedangnya. Sebagai gantinya, Al-Muhajir mengajak para pengikutnya memproklamasikan dakwah secara damai dengan pena. Di Hadramaut itu ia mengajarkan tarekat Al-Alawiy yang sufi. Sebagian sejarawan mengatakan ia bermazhab Syafi’i, tetapi ada pula yang menunjukkan bahwa sebenarnya ia Syiah, tetapi menutupinya demi keselamatan dari kejaran penguasa.
Pada sekitar tahun 1600-an, anak cucu Al-Muhajir—yang menyandang gelar sayid, syed, sharif, atau habib—melakukan diaspora ke sejumlah negara, termasuk Indonesia. Di berbagai belahan dunia itu, anak cucu Al-Muhajir selalu memilih dakwah secara damai dan anti-fundamentalisme. Para habib muda yang sekarang pun berdakwah secara damai meski kadang dikritik memacetkan jalanan Jakarta.
Kita tak tahu berapa juta umat Islam di Indonesia yang bermazhab Syiah. Yang kita tahu, dua pokok ajaran kelompok minoritas (sekitar 20 persen dari total umat Islam di dunia) ini adalah keharusan mengikuti Ahlul Bait (keluarga) Nabi SAW—mulai dari khalifah keempat Ali bin Abithalib hingga ke-11 anak cucunya—dan berdasarkan Al Quran dan hadis serta mengakui kepemimpinan Ali sebagai penerus Nabi SAW.
Ali itulah salah seorang Ahlul Bait Nabi SAW yang utama. Anggota yang lain adalah putri Nabi (yang juga istri Ali), Siti Fatimah Az-Zahra, serta kedua anak mereka, Hasan dan Husain. Sebagai dalil naqli, Syiah merujuk beberapa ayat Al Quran; juga pada hadis Nabi SAW mengenai kata ”Ahlul Bait”’ dalam Surat Asyu’ara 23, yang menyatakan kewajiban mencintai keluarganya. Yang menarik adalah bahwa tidak kurang dari 45 ulama Sunni terdahulu juga meriwayatkan hadis itu, di antaranya Ahmad bin Hanbal, Al-Thabrani, Al-Hakim, Jalaluddin Al-Suyuti, dan Ibnu Katsir.
Itu sebabnya, kecintaan kepada Ahlul Bait Nabi SAW bukan hanya monopoli kaum Syiah, melainkan seluruh muslimin. Berderet nama ulama Sunni tersohor menegaskan hal ini. Imam Syafi’i, misalnya, secara gamblang menunjukkan kecintaannya kepada Ahlul Bait. ”Sekiranya mencintai keluarga Rasul itu Syiah, maka saksikanlah wahai seluruh jin dan manusia bahwa aku ini Syiah,” kata Syafi’i.
Toleransi dan persatuan
Walhasil, kini kita bisa membayangkan: apabila Syiah yang secara kultural dekat dengan NU saja diserang, apatah lagi yang akan terjadi pada pengikut ajaran lain yang punya lebih banyak perbedaan? Selayaknya semua pihak menyadari bahwa berbagai mazhab dalam Islam sendiri baru muncul setelah masa tabi’in, sekitar abad kedua Hijriah. Di kalangan Sunni sendiri terdapat belasan mazhab, termasuk empat yang besar: Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali.
Melihat beragamnya mazhab itu, sejak lama banyak ulama Sunni dan Syiah menekankan perlunya persatuan ukhuwah Islamiyah. Pada era 2000-an upaya persatuan itu diperkuat dengan hadirnya lembaga Pendekatan Antar-Mazhab Dunia (Al-Majma’ al-Alamy lit-Taqrib baina al-Madzahib), yang banyak sidangnya juga dihadiri ulama-ulama dari Indonesia.
Maka, dalam konteks persatuan, tokoh Sunni, seperti Quraish Shihab, mengingatkan umat Islam tidak boleh main tuduh. Mengutip mantan Guru Besar Universitas Al-Azhar Syaikh Muhammad Abul Azhim az-Zarqany yang mengecam kesalahan kelompok yang saling memaki, Quraisy mengatakan, ”Jangan sampai menuduh seorang Muslim dengan kekufuran, bidah, atau hawa nafsu hanya disebabkan dia berbeda dengan kita dalam pandangan Islam yang bersifat teoritis…” (Shihab, 2007).
Memang orang Syiah, sebagaimana saudaranya yang Sunni, percaya pada hadis tentang pentingnya Al Quran dan Sunnah. Namun, berbeda dengan Sunni, mereka lebih kuat berpegang pada hadis lain (juga diriwayatkan banyak sumber Sunni) yang mengharuskan berpegang kepada Al Quran dan Ahlul Bait—yang mana keduanya tidak akan berpisah hingga akhir zaman sehingga tidak akan tersesat siapa pun yang berpegang pada keduanya.
Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa perbedaan itu hanya soal cabang agama (furu’), dan bukan masalah pokok ajaran Islam (ushuluddin). Tak aneh jika tokoh sekaliber Abdurrahman Wahid mengakui bahwa Syiah adalah mazhab kelima dalam Islam (Daniel Dhakidae, 2003).
Syafiq Basri Assegaff Penggagas Gerakan Anti-Radikalisme Islam (Garis); Peneliti di Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.