NEW LIBERAL ORDER





Dengan berakhirnya Perang Dunia 2, dunia menyaksikan lahirnya orde liberal internasional baru yang disponsori oleh Amerika Serikat. Orde baru ini merupakan inisiatif Amerika Serikat dan Eropa untuk mengimplementasikan prinsip universal yakni kebebasan sebagai pembawa obor demokrasi.

Fase Pertama

Orde baru ini tidak berdiri dalam satu hari, namun itu merupakan hasil upaya tanpa henti yang ditanam semenjak awal tahun 1900.Sebelum terbentuknya orde ini secara resmi, Presiden Woodrow Wilson adalah figur pertama yang menginisiasi prinsip liberal order baru ditengah berlangsungnya perang dunia pertama. Pada awalnya Amerika Serikat memilih untuk tidak ikut campur dalam the Great War karena Presiden Wilson adalah seorang pasifis yang menentang perang antar negara. Oleh karena itu, dia manganjurkan tatanan dunia baru pasca-perang yang berpusar di konsep collective security atau keamanan bersama di atas kepentingan pribadi (self-interest) masing negara (Rose, 2019, p.11). Pidato Presiden Wilson didepan Kongres Amerika Serikat menyajikan Empat Belas Pasal sebagai dasar negosiasi perdamaian dimana pasal terakshir mengharuskan beridirinya Liga Bangsa-Bangsa untuk menjamin kemerdekaan politik semua negara. LBB sebagai metode diplomatis merupakan prinsip perdamaian Wilson yang sayangnya ditolak oleh Kongres Amerika Serikat. Liga Bangsa Bangsa beridiri tahun 1920 dan berakhir pada tahun 1946. Selama masa aktifnya, Amerika Serikat tidak menjadi anggota negara Liga Bangsa Bangsa.

Fase Kedua

Walaupun President Wilson gagal memasukan Amerika Serikat dalam inisiatif LBBnya, peristiwa ini menjadi panggilan bagi AS bahwa paritisipasinya dalam hubungan internasional sangatlah penting untuk menjaga keseimbangan kekuasaan antar negara. Dimulai secara domestik, Amerika Serikat mendorong dan memelihara unsur-unsur liberal negaranya dengan penyampaian pidato State of the Union oleh Presiden Roosevelt mengenai The Four Freedoms:
1. Kebebasan mengeluarkan pendapat
2. Kebebasan beribadah kepada Tuhan dengan cara masing-masing
3. Hak untuk bebas dari kekurangan dan kemiskinan
4. Kebebasan dari ketakutan

Keempat kebebasan ini secara langsung merupakan respons Amerika Serikat terhadap perang dunia yang sedang terjadi. Presiden Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill turut berdiskusi mengenai pembentukan Perserikatan Bangsa Bangsa yang berfondasi pada keempat prinsip tersebut, disahkan tahun 1941 bersamaan dengan organisasi formal PBB lainnya pada tahun 1943. Menurut Stewart Patrick (2008), ahli lembaga internasional dalam bukunya “The Best Laid Plans,” misi AS pada saat itu adalah untuk mendirikan dunia yang lebih terbuka dan bebas, dimana peace-loving countries dapat bekerjasama di panggung internasional yang disediakan oleh PBB. Inilah mula berdirinya order baru pascaperang yang berdasarkan nilai inti kebebasan yang dipionirkan oleh Amerika Serikat.

Fase Ketiga

Hanya setelah perang dunia kedua berakhir, tatanan liberal internasional yang baru dapat berdiri sesuai dengan potensi maksimumnya. Terbentuknya sistem Bretton Woods turut menyokong popularitas tatanan dunia baru ini. Dengan berdirinya berbagain macam organisasi internasional, institusi dan nilai normatif orde pasca-perang mendorong penyebaran demokrasi di seluruh dunia: sistem PBB, unit-unit peacekeeping dan organisasi moneter besar seperti World Bank, International Monetary Fund, the Bank for International Settlements, World Trade Organization, dan lembaga perdagangan lainnya; organisasi politik regional seperti ASEAN dan African Union; beserta dengan traktat dan organisasi informal lainnya seperti G-7 dan G-20. Menyadari tragisnya masa rekonstruksi pasca-perang, AS menyambut dengan girang aliansi baru dengan negara negara yang bersedia untuk menuruti peraturan sistem baru orde ini dengan bantuan finansial dan militer sebagai bonus pengganti (Mazarr, 2018). Metode ini dicakup dalam Doktrin Truman yang termasuk pendanaan via Marshall Plan, terbentuknya North Atlantic Treaty Organization (NATO), dan tatanan lain yang didesain untuk menghidupkan, mempertahankan, dan menyebarkan pengaruh AS dan nilai-nilai liberal order baru hingga saat ini (Rose, 2019, p. 14).

Masa Depan Orde Liberal Internasional

Pergantian administrasi pemerintahan Amerika Serikat memulai diskusi tentang adanya pergeseran prinsip order liberal yang selama ini di pimipin oleh AS. Dengan masuknya periode pemerintahan Presiden Trump, komunitas internasional sering menyaksikan perilaku dan kebijakan AS yang mengundang respons alis yang terangkat. Sejauh ini, AS sudah menarik diri dari Trans-Pacific Partnership, Paris Agreement on Climate Change, United Nations Human Rights Council, dan Iran Deal. Observasi sekilas dapat menyimpulkan bahwa Amerika, secara perlahan, mulai menarik diri dari kerja sama internasional multilateral yang diprakarsai oleh negaranya sendiri dan mengabaikan kursi kepemimpinannya untuk kebijakan proteksionime dan isolasionisme. Masih terlalu dini untuk menilai apakah orde liberal internasional akan berakhir dan digantikan dengan orde baru seperti yang didebatkan oleh pendukung kebangkitan Cina sebagai hegemon pengganti Amerika Serikat di masa depan.

Editor: Kim Egberth Litelnoni




Sumber:
Mazarr, Michael. (2018, August). The Real History of the Liberal Order. Foreign Affairs. https://www.foreignaffairs.com/articles/2018-08-07/real-history-liberal-order
Patrick, Stewart. (2008). Best Laid Plans: The Origins of American Multilateralism and the Dawn of the Cold War. Lanham, MD. Rowman & Littlefield Publishing.
Rose, Gideon. (2019, January/February). The Fourth Founding: The United States and the Liberal Order. Foreign Affairs, 98, 10–21.


Sejarah Tatanan dunia baru (politik) Tatanan dunia baru adalah istilah yang dipakai untuk menyebut periode sejarah modern manapun yang mengalami perubahan pemikiran politik dunia dan keseimbangan kekuasaan yang besar. Meski istilah ini memiliki banyak makna, istilah ini sering dikaitkan dengan arti ideologis pemerintahan global dalam upaya bersama untuk mengenali, memahami, dan menyelesaikan permasalahan dunia yang berada di luar kemampuan negara bangsa. Salah satu peristiwa pertama yang melibatkan istilah ini adalah Empat Belas Pasal Woodrow Wilson dan usulan pembentukan Liga Bangsa-Bangsa setelah Perang Dunia I.

Frasa ini semakin jarang digunakan pada akhir Perang Dunia II ketika menyebut rencana pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan sistem Bretton Woods karena Liga Bangsa-Bangsa gagal mencegah Perang Dunia II. Namun demikian, banyak komentator yang menyebut tatanan yang ditetapkan para pemenang Perang Dunia II sebagai “tatanan dunia baru”.

 Di era modern, frasa ini sering dibahas menjelang akhir Perang Dingin. Presiden Mikhail Gorbachev dan George H. W. Bush menggunakan istilah ini untuk mendefinisikan sifat zaman pasca-Perang Dingin dan semangat kerja sama kekuasaan besar yang diharapkan bisa terwujud. Rencana awal Gorbachev sangat beragam dan idealis, tetapi kemampuannya untuk melaksanakannya terhambat oleh krisis internal sistem Soviet.

 Visi Bush lebih jelas dan realistis, terkadang instrumental, dan sangat terkait dengan Perang Teluk. Gangguan dunia baru Pada tahun 2014, frasa “gangguan dunia baru” (new world disorder) mulai menyebar di kalangan pers setelah muncul ketegangan antara Rusia pimpinan Vladimir Putin dengan dunia Barat akibat intervensi militer Rusia di Ukraina 2014–15.

Setelah musibah Malaysia Airlines Penerbangan 17 pada bulan Juli 2014, wartawan Daily Telegraph, Pete Foster, menulis sebuah artikel berjudul “Flight MH17 and the new world disorder”. Ia menulis, “Sebagaimana halnya sebelum Perang Dunia Pertama yang peringatan seratus tahunnya akan jatuh bulan depan, terdapat kesamaan pandangan antara penduduk Eropa dan Amerika…Akan tetapi, keyakinan bahwa interdependensi ekonomi akan menyelamatkan kita dari kancah perang – yang biaya konfliknya jauh lebih besar daripada keuntungannya – adalah suatu kesesatan.” dan “Cara menanggapi gangguan dunia baru ini tiba-tiba menjadi persoalan utama masa kini.”
Dalam siaran BBC News bulan September 2014, editor berita dunia BBC, John Simpson, mengklaim bahwa peristiwa-peristiwa besar pada musim panas 2014 seperti krisis Ukraina, persebaran Negara Islam Irak dan Syam, dan konflik Israel–Gaza 2014 merupakan bentuk “gangguan dunia baru”. Wartawan lainnya, termasuk Victor Davis Hanson di National Review dan Michael Ignatieff di New York Review of Books, juga membuat klaim yang sama.

Dalam teori konspirasi, Tata Dunia Baru atau disingkat TDB (Inggris: New World Order atau NWO) adalah munculnya pemerintahan satu dunia yang totaliter. Tema umum dalam teori konspirasi mengenai Tata Dunia Baru adalah bahwa sekelompok elit kekuasaan rahasia dengan agenda global merencanakan untuk kelak menguasai seluruh dunia melalui pemerintahan dunia yang otoriter—yang menggantikan banyak negara bangsa yang yang berdaulat pada saat ini—serta propaganda menyeluruh yang mengideologikan pendirian Tata Dunia Baru sebagai puncak kemajuan sejarah Peristiwa-peristiwa besar dalam politik dan keuangan diperkirakan dikendalikan oleh kelompok kabal jahat yang bekerja melalui banyak organisasi terdepan.

 Banyak peristiwa sejarah dan terkini dianggap sebagai langkah dari suatu rencana untuk mencapai penguasaan dunia melalui pertemuan politik rahasia dan proses penentuan keputusan.


Referensi Catatan kaki :

Lewis and Short, A Latin Dictionary: Founded on Andrews’ Edition of Freund’s Latin Dictionary: Revised, Enlarged, and in Great Part Rewritten by Charlton T. Lewis, Ph.D. and Charles Short, LL.D. The Clarendon Press, Oxford, 1879, s. vv. Camp, Gregory S. (1997).

Selling Fear: Conspiracy Theories and End-Times Paranoia. Commish Walsh. ASIN B000J0N8NC.
Berlet Chip; Lyons, Matthew N. (2000).

Right-Wing Populism in America: Too Close for Comfort. Guilford Press. ISBN 1-57230-562-2. Goldberg, Robert Alan (2001). Enemies Within: The Culture of Conspiracy in Modern America.
 Yale University Press. ISBN 0-300-09000-5. Barkun, Michael (2003).

A Culture of Conspiracy: Apocalyptic Visions in Contemporary America. University of California Press; 1 edition. ISBN 0-520-23805-2. Fenster, Mark (2008).

Conspiracy Theories: Secrecy and Power in American Culture. University of Minnesota Press; 2nd edition. ISBN 0-8166-5494-8.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.