SEKILAS SYEKH ABDUL QODIR ALJAELANI
Qodiriyah adalah nama sebuah Tarekat yang didirikan oleh Syeikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Jaelani Al Baghdadi
QS. Tarekat Qodiriyah berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria kemudian
diikuti oleh jutaan umat muslim yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India,
Afrika dan Asia. Tarekat ini sudah berkembang sejak abad ke-13. Namun meski
sudah berkembang sejak abad ke-13, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad
ke 15 M. Di Makkah, tarekat Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.
Syaikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Al-Jaelani Al-Baghdadi QS, ini
adalah urutan ke 17 dari rantai mata emas mursyid tarekat. Garis
Salsilah tarekat Qodiriyah ini berasal dari Sayidina Muhammad Rasulullah
SAW, kemudian turun temurun berlanjut melalui Sayidina Ali bin Abi
Thalib ra, Sayidina Al-Imam Abu Abdullah Al-Husein ra, Sayidina Al-Imam
Ali Zainal Abidin ra, Sayidina Muhammad Baqir ra, Sayidina Al-Imam
Ja'far As Shodiq ra, Syaikh Al-Imam Musa Al Kazhim, Syaikh Al-Imam Abul
Hasan Ali bin Musa Al Rido, Syaikh Ma'ruf Al-Karkhi, Syaikh Abul Hasan
Sarri As-Saqoti, Syaikh Al-Imam Abul Qosim Al Junaidi Al-Baghdadi,
Syaikh Abu Bakar As-Syibli, Syaikh Abul Fadli Abdul Wahid At-Tamimi,
Syaikh Abul Faraj Altartusi, Syaikh Abul Hasan Ali Al-Hakkari, Syaikh
Abu Sa'id Mubarok Al Makhhzymi, Syaikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir
Al-Jaelani Al-Baghdadi QS.
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani terkenal sebagai pribadi yang
teguh dalam berprinsip, sang pencari sejati, dan penyuara kebenaran kepada
siapapun, dan dengan risiko apapun. Usianya dihabiskan untuk menekuni jalan
tasawuf, hingga ia mengalami pengalaman spiritual dahsyat yang mempengaruhi
keseluruhan hidupnya. Jejak Syekh Abdul Qadir Al-Jailani juga dijumpai dalam
belasan karya orisinalnya.
Beliau lahir pada tahun 470 H. (1077-1078 M) di al-Jil (disebut
juga Jailan dan Kilan), kini termasuk wilayah Iran. Tahun kelahirannya ini
didasarkan atas ucapannya kepada putranya bahwa ia berusia 18 tahun ketika tiba
di Baghdad, bertepatan dengan wafatnya seorang ulama terkenal , at-Tamimi, pada
tahun 488 H.
Tahun itu juga bertepatan dengan keputusan Imam Abu Hamid
al-Ghazali untuk meninggalkan tugasnya mengajar di Universitas Nidzamiah,
Baghdad. Sang imam ternyata lebih memilih uzlah.
Selain mewarisi banyak karya tulisan, Syekh Abdul Qadir
Al-Jailani meninggalkan beberapa buah nasehat menjelang kewafatannya. Akhir
hayat Syekh didahului dengan kondisi kesehatannya yang terus menurun. Kala itu
putra-putranya menghampiri dan mengajukan sejumlah pertanyaan.
”Berilah aku wasiat, wahai ayahku. Apa yang harus aku
kerjakan sepergian ayah nanti?” tanya putra sulungnya, Abdul Wahab.
”Engkau harus senantiasa bertaqwa kepada Allah. Jangan takut
kepada siapapun, kecuali Allah. Setiap kebutuhan mintalah kepada-Nya. Jangan
berpegang selain kepada tali-Nya. Carilah segalanya dari Allah,” jawab sang
ayah.
Nasab Syekh Abdul Qadir Al-Jailani
Nasab dari Ayah
Sayyid Abu Muhammad Abdul Qadir Al-Jailani ayahnya bernama :
Abu Sholeh Janki Dausat, putra Abdullah, putra Yahya az-Zahid, putra Muhammad,
putra Daud, putra Musa at-Tsani, putra Musa al-Jun, putra Abdulloh al-Mahdi,
putra Hasan al-Mutsanna, cucu Nabi Muhammad saw. putra Sayyidina ‘Ali
Karromallohu Wajhahu.
Nasab dari Ibu
Sayyid Abdul Qadir Al-Jailani ibunya bernama : Ummul Khoer
Ummatul Jabbar Fathimah putra Sayyid Muhammad putra Abdulloh asSumi’i, putra
Abi Jamaluddin as-Sayyid Muhammad, putra al-Iman Sayid Mahmud bin Thohir, putra
al-Imam Abi Atho, putra sayid Abdulloh al-Imam Sayid Kamaludin Isa, putra Imam
Abi Alaudin Muhammad al-Jawad, putra Ali Rido Imam Abi Musa al-Qodim, putra
Ja’far Shodiq, putra Imam Muhammad al-Baqir, putra Imam Zaenal Abidin, putra
Abi Abdillah al-Husain, putra Ali bin Abi Tholib Karromallohu wajhah.
Dengan demikian, Syekh Abdul Qodir Al-Jailani adalah Hasani
dan sekaligus Husaini.
Hubungan Guru & Murid
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani berkata, “Seorang Syeikh tidak
dapat dikatakan mencapai puncak spiritual kecuali apabila 12 karakter berikut
ini telah mendarah daging dalam dirinya.
- Dua karakter dari Allah yaitu dia menjadi seorang yang sattar(menutup aib) dan ghaffar (pemaaf).
- Dua karakter dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam yaitu penyayang dan lembut.
- Dua karakter dari Abu Bakar yaitu jujur dan dapat dipercaya.
- Dua karakter dari Umar yaitu amar ma’ruf nahi munkar.
- Dua karakter dari Utsman yaitu dermawan dan bangun (tahajjud) pada waktu orang lain sedang tidur.
- Dua karakter dari Ali yaitu alim (cerdas/intelek) dan pemberani.
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani menghembuskan nafas terakhir di
Baghdad, Sabtu bakda maghrib, 9 Rabiul Akhir 561 H atau 15 Januari 1166 M, pada
usia 89 tahun. Dunia berduka atas kepulangannya, tapi generasi penerus hingga
sekarang tetap setia melanjutkan ajaran dan perjuangannya.
Tahun itu juga bertepatan dengan keputusan Imam Abu Hamid
al-Ghazali untuk meninggalkan tugasnya mengajar di Universitas Nidzamiah,
Baghdad. Sang imam ternyata lebih memilih uzlah.
Selain mewarisi banyak karya tulisan, Syekh Abdul Qadir
Al-Jailani meninggalkan beberapa buah nasehat menjelang kewafatannya. Akhir
hayat Syekh didahului dengan kondisi kesehatannya yang terus menurun. Kala itu
putra-putranya menghampiri dan mengajukan sejumlah pertanyaan.
”Berilah aku wasiat, wahai ayahku. Apa yang harus aku
kerjakan sepergian ayah nanti?” tanya putra sulungnya, Abdul Wahab.
”Engkau harus senantiasa bertaqwa kepada Allah. Jangan takut
kepada siapapun, kecuali Allah. Setiap kebutuhan mintalah kepada-Nya. Jangan
berpegang selain kepada tali-Nya. Carilah segalanya dari Allah,” jawab sang
ayah.
Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah
mencapai derajat syeikh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus
mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi tarekat yang
lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Abdul Qadir
Jaelani sendiri, "Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka
dia jadi mandiri sebagai syeikh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk
seterusnya."
Mungkin karena keluwesannya tersebut, sehingga terdapat
puluhan tarekat yang masuk dalam kategori Qidiriyah di dunia Islam. Seperti
Banawa yang berkembang pada abad ke-19, Ghawtsiyah (1517), Junaidiyah (1515 M),
Kamaliyah (1584 M), dan lain-lain, semuanya berasal dari India. Di Turki
terdapat tarekat Hindiyah, Khulusiyah,dal lain-lain. Dan di Yaman ada tarekat
Ahdaliyah, Asadiyah, Mushariyyah. Sedangkan di Afrika di antaranya terdapat
tarekat Ammariyah, Tarekat Bakka'iyah, dan lain sebagainya.
Karya karya Syeikh
Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Jaelani Al Baghdadi
- Tafsir Al Jilani
- al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq,
- Futuhul Ghaib.
- Al-Fath ar-Rabbani
- Jala' al-Khawathir
- Sirr al-Asrar
- Asror Al Asror
- Malfuzhat
- Khamsata "Asyara Maktuban
- Ar Rasael
- Ad Diwaan
- Sholawat wal Aurod
- Yawaqitul Hikam
- Jalaa al khotir
- Amrul muhkam
- Usul as Sabaa
- Mukhtasar ulumuddin
Proses Penyebaran Di Indonesia
Selanjutnya proses masuknya tarekat Qadiriyyah ke Indonesia
lewat penyair besar yang bernama Hamzah Fansuri. Beliau mendapatkan khilafat
(ijazah untuk mengajar) ilmu `Abd al-Qâdir, ketika beliau bermukim di Ayuthia,
ibu kota Muangthai (yang orang Persia dan India dinamakan, dalam bahasa Parsi,
Syahr-i Naw, “Kota Baru”).
Namun ada pendapat lain bahwa Hamzah Fansuri mendapatkan
khilafat di Baghdad, tetapi yang pasti beliau adalah orang Indonesia pertama
yang menganut tarekat Qadiriyah dan Qadiriyah adalah tarekat pertama yang
disebut dalam sumber-sumber pribumi.[14] Pada waktu itu beliau berziarah ke
makam Syeikh `Abd al-Qâdir Jîlâni yang terletak di kota Baghdad dan barangkali
terjadi pembaitannya dalam ilmu Syeikh `Abd al-Qâdir Jîlâni.
Indikasi bahwa tarekat Qadiriyyah bertahan di Aceh setelah
Hamzah. Sekitar tahun 1645, Syeikh Yusuf Makassar singgah di Aceh dalam
perjalanannya di Sulawesi ke Makkah dan ia masuk tarekat Qadiriyah di sana,
seperti yang ditulisnya dalam Risalah Safinah al-Najat.
Akan tetapi ada pengaruh dari tarekat Qadiriyah sudah sejak
lama di Jawa sebelum Hamzah Fansuri, walaupun kita tidak mempunyai informasi
yang tepat. Menurut tradisi rakyat daerah Cirebon, Syeikh `Abd al-Qâdir Jîlâni
sendiri pernah datang ke Jawa, bahkan orang dapat menunjukkan kuburannya.
Juga terdapat indikasi lain bahwa pengaruh Qadiriyah ada di
Banten dengan adanya pembacaan kitab-kitab Manaqib Syeikh `Abd al-Qâdir Jîlâni
pada kesempatan tertentu yang sudah sejak lama menjadi bagian dari kehidupan
beragama di sana. Dan dalam Serat Centhini, salah seorang tokohnya bernama
Danadarma, mengaku pernah belajar kepada “Seh Kadir Jalena” di perguruan di
Gunung Karang di Banten. Dari indikasi-indikasi di atas, agaknya, menunjukkan
bahwa “ilmu Syeikh `Abd al-Qâdir Jîlâni” telah diajarkan di Cirebon dan Banten,
setidak-tidaknya sejak abad ke-17.
Perkembangan selanjutnya yankni, pencabangan tarekat Qodiriyah ini secara
khusus oleh Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi digabungkan dengan tarekat
Naqsyabandiyah menjadi tarekat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah . Kemudian garis
salsilahnya yang salah satunya melalui Syaikh Abdul Karim Tanara Al-Bantani
berkembang pesat di seluruh Indonesia.
Post a Comment