PROYEK HAIFA ISRAEL CHINA YANG MEMBUAT AMERIKA MERANA
China akan mengoperasikan Pelabuhan Haifa, di dekat dugaan kapal selam bersenjata nuklir Israel, dan tampaknya tidak ada seorang pun di Israel yang memikirkan konsekuensi strategisnya. Beberapa pakar Amerika meyakini bahwa Israel kehilangan akal ketika memberi kunci-kunci ke Pelabuhan Haifa kepada China. Begitu China terlibat, kata mereka, Angkatan Laut Israel tidak akan dapat mengandalkan upaya mempertahankan hubungan dekat yang telah dimilikinya dengan Armada Keenam Amerika Serikat.
Business as usual. Begitulah kira-kira yang menjadi pedoman China dalam memperlakukan negara mitra politiknya. Hanya dua hari usai menerima kunjungan Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud, China gantian menerima kunjungan kenegaraan dari PM Israel Benjamin Netanyahu.
Dalam kunjungannya selama tiga hari di Beijing, Netanyahu disambut oleh Perdana Menteri China, Li Keqiang, Senin (20/3). Kunjungan kenegaraan ini merupakan salah satu langkah Israel dalam usaha memperbesar pengaruh dan keterlibatannya di Asia.
“Israel tengah membangun poros ke Asia dengan langkah-langkah yang memiliki agenda jelas,” ucap Netanyahu dalam kunjungannya ke Singapura bulan lalu (20/2).
China adalah negara Asia ketiga yang dikunjungi Netanyahu dalam satu bulan terakhir. Sebelumnya, ia mengunjungi Australia bersamaan dengan kunjungannya ke Singapura.
Saat di Singapura, Netanyahu mengedepankan pembicaraan soal keberagaman yang berhasil dipelihara oleh negara kota tersebut. Sementara dalam kunjungannya ke China, ia terfokus dalam pembicaraan soal penguatan bisnis kedua negara.
Tak main-main, dalam kunjungannya ke Beijing Netanyahu membawa serta lima menteri dan 100 eksekutif bisnis di bidang teknologi. Jumlah rombongan tersebut adalah yang terbesar dalam sejarah kunjungan luar negeri Israel. Salah satu inti pembicaraan adalah penguatan kerjasama teknologi dan pembahasan mengenai kesepakatan perdagangan bebas.
Meski negara-negara Uni Eropa masih menjadi rekanan bisnis paling besar Israel, negara-negara Asia mulai berkembang menjadi partner bisnis yang menjanjikan. Jarak nilai perdagangan bilateral antara Israel-Eropa dan Israel-Asia pun terus menipis.
Senada dengan tren di atas, tahun 2016 menjadi tahun yang baik bagi Israel. Ekspor Israel ke China meningkat tiga kali lipat menjadi 3,3 miliar dolar AS. Angka ini didominasi dengan barang-barang teknologi di bidang agrikultur.
Statistik lain juga memperlihatkan besarnya keterlibatan China dalam ekonomi Israel. Dikutip dari Reuters, dalam setiap investasi yang masuk ke Israel pada 2015, separuhnya bersumber dari investor China. Kunjungan Israel ke China kali ini bertujuan untuk mempertahankan catatan tersebut.
Sementara itu, Matan Vilnai, bekas Dubes Israel untuk China, mengatakan bahwa kepentingan China terhadap Israel hanya murni masalah teknologi. Para pemimpin China disebutnya ingin mempelajari budaya inovasi teknologi yang selama ini lekat dengan citra Israel.
“Sederhana sekali: teknologi, teknologi, dan teknologi,” ungkapnya seperti dilansir Reuters.
Sementara itu, Israel juga menerima banyak bantuan China terkait pembangunan infrastruktur di dalam negerinya. Proyek transportasi metro di Tel Aviv dan pelabuhan Mediterania baru di Haifa merupakan dua proyek ekonomi terbaru China di Israel. Proyek tersebut nantinya akan mendatangkan 6.000 pekerja China ke negara yang menjadi musuh bersama negara-negara Islam dunia tersebut. Angka itu pun diproyeksi akan naik menjadi 20.000 dalam beberapa waktu ke depan.
Bukan Pertemuan Politik
Bertolak belakang dengan anggapan umum, Netanyahu menampik kunjungannya ke Beijing punya maksud politis di belakangnya. Ilan Maor, salah satu penasihat bisnis pada konsulat Israel di Shanghai menyatakan bahwa kunjungan ini terbatas membicarakan masalah ekonomi.
“Yang bisa Netanyahu perbaiki dalam hubungan kedua negara adalah meningkatkan arus perdagangan kedua negara dan mendorong adanya perdagangan bebas. Israel juga harus menyatakan bahwa yang diinginkan adalah investasi China,” jelas Maor. Kedua negara memang tengah menegosiasikan kesepakatan perdagangan bebas.
Meski begitu, tidak dapat dipungkiri bahwa kedekatan kedua negara juga berimbas pada menguatnya dukungan politik untuk masing-masing negara. Ini dibuktikan dengan China yang semakin aktif berkomentar terhadap isu-isu Timur Tengah. Jinping, misalnya saja, turut berkomentar dalam kesepakatan damai Israel dan Palestina di tahun 2014. Ia juga turut buka suara dalam permasalahan Sunni-Syiah antara Saudi dan Iran.
Netanyahu sendiri bersikap diplomatis dalam kunjungannya kali ini. Beda dengan saat kunjungannya di Australia di mana ia ikut menyindir negara-negara lain yang “menyudutkan Israel” di masalah Palestina, Netanyahu hanya berbicara soal kerjasama teknologi dua negara.
Meski berbeda soal kekuatan fisik dan sumber daya, Netanyahu menyebut bahwa kedua negara bisa bekerjasama dengan lebih baik lagi. Sementara Israel terus berinovasi, China dapat berkonsentrasi dalam hal pemasaran massal dan komersialisasi. Baginya, China dan Israel adalah tandem yang luar biasa cocok.
“Melihat basis infrastruktur suatu negara --bandar udara, pemusatan limbah, pengairan--, ketika Anda telah membereskan hal itu, Anda hanya akan terus bergerak baik dan naik. Anda akan terus memperbaiki produk dan pelayanan Anda dengan bantuan inovasi teknologi,” ucap Netanyahu ke puluhan pemimpin bisnis di Beijing (20/3).
“Israel adalah tandem kecil yang sempurna untuk usaha China tersebut,” ucapnya meyakinkan calon investor negaranya.
Profesor Shaul Horev telah menjatuhkan bom, tetapi hampir tidak ada yang memperhatikan. Horev, brigadir jenderal cadangan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) yang telah menjabat sebagai kepala staf angkatan laut dan ketua Komisi Energi Atom Israel, di antara berbagai jabatan lain, saat ini adalah direktur Research Center for Maritime Policy and Strategy di Universitas Haifa. Akhir Agustus 2018, pusat itu mengadakan konferensi, mengundang para peserta dari Amerika Serikat untuk memeriksa masalah keamanan yang berkaitan dengan wilayah Israel dan Mediterania.
Dalam sebuah wawancara dengan kanal media religius-Zionis Arutz Sheva, Profesor Horev mencatat bahwa satu topik yang muncul pada acara tersebut adalah investasi China di pelabuhan-pelabuhan Mediterania, dan khususnya di Israel. Menunjukkan bahwa sebuah perusahaan China akan segera mulai mengoperasikan Pelabuhan Haifa, Horev mengatakan bahwa Israel perlu menciptakan mekanisme yang akan memeriksa investasi China untuk memastikan bahwa mereka tidak membahayakan kepentingan keamanan Israel.
“Ketika China mengakuisisi pelabuhan itu,” tutur Horev, “China melakukannya dengan kedok untuk mempertahankan rute perdagangan dari Samudra Hindia melalui Terusan Suez ke Eropa, seperti Pelabuhan Piraeus di Yunani. Apakah cakrawala ekonomi seperti ini memiliki dampak keamanan? Kami tidak cukup mempertimbangkan kemungkinan itu.”
Salah satu tokoh senior Amerika di konferensi itu mengajukan pertanyaan apakah Armada Keenam Amerika Serikat dapat memandang Haifa sebagai pangkalan rumah (home port). Mengingat pengambilalihan China, pertanyaannya tidak lagi berada dalam agenda.
Para pejabat Israel, China, dan Belanda menandatangani perjanjian untuk operasional asing di Pelabuhan Haifa dan Ashdod tahun 2015.
Horev juga mencatat bahwa Amerika Serikat sekarang mengalihkan sebagian besar perhatian mereka ke selatan Laut China dan Teluk Persia, mengabaikan Timur Tengah. Dalam periode seperti ini, kata Horev, menjadi waktu yang tepat bagi Israel untuk meningkatkan statusnya sebagai pangkalan strategis bagi Amerika.
Konferensi Haifa diadakan bersama dengan Hudson Institute yang bermarkas di Washington. Beberapa peserta dari Amerika adalah mantan personel senior Pentagon dan Angkatan Laut AS. Pernyataan tokoh senior yang dikutip Horev lebih tajam dari nada sopan yang digunakannya. Orang-orang Amerika yang berada di konferensi itu meyakini bahwa Israel kehilangan akal ketika memberi kunci-kunci ke Pelabuhan Haifa kepada China. Begitu China terlibat, kata mereka, Angkatan Laut Israel tidak akan dapat mengandalkan upaya mempertahankan hubungan dekat yang telah dimilikinya dengan Armada Keenam Amerika Serikat.
Dikutip dari Haaretz, Senin (9/9), perusahaan China SIPG memenangkan penawaran untuk memperluas Pelabuhan Haifa empat setengah tahun lalu. Proyek itu dijadwalkan akan diresmikan tahun 2021 dan menyerukan perusahaan China itu, yang juga mengoperasikan Pelabuhan Shanghai, untuk menjalankan Pelabuhan Haifa selama 25 tahun. Sebuah perusahaan China lainnya juga memenangkan tawaran untuk membangun pelabuhan baru di Ashdod.
Keputusan-keputusan itu dibuat oleh Kementerian Transportasi dan Otoritas Pelabuhan Israel, tanpa keterlibatan Dewan Keamanan Nasional (NSC) Israel, dan sama sekali tidak melibatkan angkatan laut. Masalahnya tidak hanya terletak pada implikasi yang ditimbulkan dari hubungan dengan China terhadap hubungan Israel dengan Amerika Serikat, yang di bawah pemerintahan Presiden AS Donald Trump kian meningkatkan retorikanya melawan China karena perang dagang dan ketegangan di Laut China Selatan.
Pelabuhan sipil di Haifa berbatasan dengan rute keluar dari pangkalan angkatan laut yang berdekatan, di mana armada kapal selam Israel ditempatkan (dan menurut sejumlah laporan media asing mempertahankan kemampuan serangan kedua untuk meluncurkan rudal nuklir).
Seperti keterlibatan China dalam proyek infrastruktur besar Israel lainnya, misalnya terowongan Gunung Karmel dan kereta api ringan di Tel Aviv, tampaknya seolah-olah tidak ada pihak yang terlibat dalam arena keamanan atau diplomatik yang bahkan memikirkan konsekuensi strategis dari semua langkah tersebut.
China memperoleh pengaruh besar atas infrastruktur penting di Israel dan secara tidak langsung juga melihat lebih dekat beberapa kemampuan militer Israel. Selama bertahun-tahun, hal itu dapat membuat China mengetahui potensi sarana untuk melakukan tekanan terhadap Israel, jika Israel di masa depan membahayakan kepentingan China di wilayah tersebut.
Di mata China, Israel hanyalah setitik kawasan di keseluruhan peta dunia. China sedang berupaya untuk jangka panjang, membangun proyek dan memperluas ikatan sebagai bagian dari inisiatif “satu jalur, satu jalan” (alias “Jalan Sutera ekonomi”): Strategi yang bertujuan untuk memperluas pengaruh ekonomi China dan meningkatkan status globalnya. China tidak harus memusuhi Israel, tetapi kepentingannya saling berkelindan dan kompleks, dan tentu saja tidak mengingatkan akan kepentingan yang mendasari aliansi kuat antara Amerika dan Israel.
Contoh yang tepat ialah hubungan dekat China dengan Iran, dengan latar belakang konsumsi minyak Iran. Pernyataan tokoh senior Amerika Serikat yang dikutip oleh Horev perlu dijadikan sebagai peringatan. Israel harus meningkatkan infrastruktur transportasi, dan tidak ada yang salah dengan meningkatkan hubungan dagangnya dengan China. Namun, pertanyaannya adalah apakah keputusan yang telah diambil itu memperhitungkan semua pertimbangan yang relevan dan berbagai risiko yang mungkin terjadi.
Israel Anggap Investasi Besar-besaran Cina Jadi Ancaman
Dinas keamanan Israel, Shin Bet, telah memperingatkan tentang investasi besar-besaran Cina di negara tersebut. Menurut Shin Bet, hal itu dapat menimbulkan bahaya bagi keamanan nasional.
"Pengaruh Cina di Israel sangat berbahaya dalam hal infrastruktur strategis dan investasi di perusahaan-perusahaan besar," ujar Kepala Shin Bet Nadav Argaman dikutip laman the Times of Israel, Kamis (10/1).
Argaman mengatakan perusahaan-perushaan Cina akan mengambil alih bagian operasi dari pelabuhan Haifa dan membangun sistem kereta api ringan Tel Aviv. Ia menilai, Cina akan secara aktif berusaha mengakusisi perusahaan-perusahaan besar lainnya.
Melihat potensi tersebut, Argaman berpendapat parlemen Israel (Knesset) perlu meloloskan undang-undang untuk memantau investasi asing. "Ada celah dalam hukum Israel sehubungan dengan kebutuhan keamanannya dalam hal mengawasi investasi asing. Ini bisa berbahaya, undang-undang diperlukan," katanya.
Cina dan Israel diketahui telah meningkatkan hubungan perdagangan dalam beberapa tahun terakhir. Kedua negara juga telah melakukan pembicaraan tentang perdagangan bebas.
Saat ini perusahaan-perusahaan Cina telah melakukan terobosan besar di Israel. Pada 2014, Beijing mengambil alih raksasa makanan lokal Israel, Tnuva. Selain itu, Cina pun telah mencapai kesepakatan untuk mengelola pelabuhan Haifa dan Ashdod.
Dalam beberapa pekan terakhir, beberapa analis dan pejabat Israel menyatakan keprihatinan besar atas kesepakatan yang akan menempatkan Shanghai International Port Group sebagai pengelola terminal kontainer pelabuhan Haifa pada 2021.
Kehadiran Cina di pelabuhan Haifa, yang lokasinya dekat dengan pangkalan laut Israel, dikhawatirkan membahayakan aset intelijen Israel. Di sisi lain, diambilnya kendali pelabuhan Haifa berpotensi menyebabkan kapal militer Amerika Serikat (AS) berlabuh di sana.
Amerika Serikat mengingatkan Israel, sekutu kuatnya di Timur Tengah, untuk tidak meningkatkan hubungan bisnis dengan China. Alasannya, hubungan bisnis tersebut memiliki implikasi keamanan.
Dalam RUU anggaran militer terbarunya, Senat AS mengingatkan Israel untuk tidak mengizinkan China mengelola pelabuhan Haifa, yang telah lama menjadi dermaga bagi Armada Keenam AS dan tempat latihan gabungan Amerika-Israel.
RUU itu secara khusus menyorot tentang perusahaan China, Shanghai International Port Group yang telah menandatangani kesepakatan dengan Haifa. Dalam kesepakatan itu, perusahaan China tersebut akan mengoperasikan pelabuhan di Haifa selama 25 tahun, yang akan dimulai pada tahun 2021 mendatang.
AS Ingatkan Israel Soal Hubungan Bisnis dengan China
"Amerika Serikat memiliki minat terhadap kehadiran kapal-kapal Angkatan Laut Amerika Serikat di pelabuhan Haifa di Israel di masa depan, tetapi AS punya kekhawatiran keamanan serius sehubungan dengan pengaturan penyewaan pelabuhan Haifa," demikian isi Rancangan Undang-Undang (RUU) Otorisasi Pertahanan Nasional 2020 seperti dilansir media Haaretz, Sabtu (15/6/2019).
Senat AS juga menyerukan Israel untuk "mempertimbangkan implikasi keamanan atas investasi asing di Israel". Draf RUU tersebut memang tidak secara detail menyebut China, namun diketahui bahwa Israel telah memberikan sejumlah kontrak infrastruktur penting ke perusahaan-perusahaan China.
RUU ini diajukan pada Kamis (13/6) waktu setempat oleh Komisi Dinas Bersenjata Senat dan diperkirakan akan disetujui oleh Senat.
Di masa lalu, urusan dengan China juga telah berdampak bagi Israel. Selama pemerintahan mantan Presiden AS George W. Bush, dialog strategis antara AS dan Israel sempat dihentikan selama tiga tahun. Dialog kembali dilanjutkan setelah pemerintah Israel setuju untuk mengizinkan AS meninjau setiap penjualan militer Israel ke China.
Ketika Israel, Anak Emas Amerika Serikat, Jatuh ke Pelukan China
Israel bukanlah apa apa tanpa Amerika. Selama beberapa dekade AS membantu , membela , mendorong dan membesarkan negara kecil ini. Bahkan AS selalu memberikan tangan untuk menolong Israel pada persengketaannya dengan negara negara Arab.
Kini Israel menjalin mesra dengan China. Lawan geopolitik Amerika. Suatu hubungan yang terang membuat AS meradang terutama karena kekhawatirannya akan pengajaran tehnologi AS terutama di bidang industri pertahanan kemananannya akan bocor ke China.
Sebenarnya apa yang terjadi dibalik tumbuhnya hubungan Israel dengan China ini ? Apa yang dicari Israel dengan menjalin hubungan ke China dan sebaliknya dan dibidang apa saja kerjasama ini terjadi?
Elliott Abrams* seorang pengacara beraliran neo konservatif, diplomat tiga generasi kepresidenan AS dengan studi keahlian Timur Tengah mengungkapkannya. Dalam tulisan kali ini diungkap secara umum:
Ada Apa Dibalik Tumbuhnya Hubungan Israel dengan Tiongkok?
Cina dan Israel telah meningkatkan hubungan perdagangan, investasi, dan budaya secara tajam dalam beberapa tahun terakhir, tetapi hambatan untuk hubungan yang lebih dekat mungkin belum muncul.
China dan Israel bukan mitra alami. Pada ukuran tipis, demografi, dan orientasi geopolitik, mereka tampak sangat berbeda. China memiliki sepuluh kota lebih besar dari seluruh populasi Israel. Cina tidak memiliki komunitas Yahudi asli, dan Israel tidak memiliki komunitas Cina asli.
Israel sangat dekat dengan pesaing utama China di dunia, yaitu Amerika Serikat. Namun, hubungan China-Israel telah berkembang pesat di sejumlah lini. Beberapa tahun terakhir terlihat peningkatan tajam dalam perdagangan, investasi, pertukaran pendidikan, dan pariwisata antara kedua negara.
Apa yang mendorong ini? Meskipun ada banyak perbedaan, motivasi Cina dan Israel juga pragmatis. Kedua negara berusaha memperluas kemitraan di luar wilayah mereka saat mereka memasuki pasar baru dan peluang perdagangan.
Secara khusus, China tertarik pada sektor teknologi kebanggaan Israel, dan Israel menyambut baik investasi dan potensi China sebagai kolaborator penelitian. Ia juga memandang hubungan dengan Cina sebagai penolakan terhadap boikot dan upaya divestasi oleh beberapa negara lain.
Perdagangan dan Investasi
Setelah masa isolasi diplomatik yang luas, Israel dalam beberapa dekade terakhir telah mengembangkan hubungan bilateral baru yang didukung oleh perdagangan. Secara khusus, Israel telah meningkatkan reputasinya sebagai pusat inovasi, kewirausahaan, dan penelitian. Sementara itu, Cina telah melakukan sejumlah besar investasi dan proyek infrastruktur dalam beberapa tahun terakhir, memulai proyek baru di pasar baru.
Perdagangan antara kedua negara telah melampaui $ 11 miliar, sebuah angka kecil jika dibandingkan dengan perdagangan China dengan Amerika Serikat atau Eropa tetapi dua ratus kali lebih besar daripada dua puluh lima tahun yang lalu. Dimana pada periode yang sama — 1992 hingga 2017 — perdagangan AS-Cina hanya tumbuh dua puluh kali lebih besar.
Apa yang dilihat orang China di Israel yang kecil ini?
Apa yang dilihat orang Cina di Israel? Minat utamanya tampaknya dalam memanfaatkan penelitian dan inovasi Israel.
"Dalam pandangan China, Israel, meskipun ukurannya kecil,menonjol karena prestasi ilmiahnya , jumlah startupnya, dan jumlah penerima Hadiah Nobelnya," tulis mantan Duta Besar Israel untuk China Matan Vilnai, bersama dengan Assaf Orion dan Galia Lavi , pada Maret 2017. Investasi China juga mencakup teknologi tinggi, pertanian, makanan, air, dan bioteknologi.
Akuisisi Bright Foods atas Tnuva, perusahaan susu terbesar Israel, pada tahun 2014 menandai perampokan perusahaan besar pertama Cina ke pasar Israel. Pada April 2018, konglomerat Cina Fosun membeli perusahaan Ahava, pembuat lotion Laut Mati. Tetapi hubungan ekonomi China-Israel berjalan lebih dalam daripada akuisisi swasta Cina atas entitas korporat Israel.
Saat mengunjungi Beijing pada 2017, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan kepada pewawancara Israel bahwa China menyumbang sepertiga dari investasi dalam teknologi tinggi Israel.
Investasi Cina di Israel juga difokuskan pada proyek infrastruktur Israel. "China juga terlibat dalam membangun infrastruktur di Israel, seperti menggali terowongan Carmel di Haifa, meletakkan kereta ringan di Tel Aviv, dan memperluas pelabuhan Ashdod dan Haifa" dan memasuki industri konstruksi perumahan, kata laporan 2017 dari Israel. Institut Studi Keamanan Nasional.
Investasi Tiongkok tidak menunjukkan tanda-tanda reda.
Laporan Sino-Israel Global Network and Leadership Academic (SIGNAL) 2017 mencatat bahwa sepuluh perjanjian bilateral dan perjanjian bisnis, senilai total nilai $ 25 miliar, ditandatangani selama kunjungan Netanyahu 2017 ke Cina. Laporan ini juga mencatat, adanya investasi Cina yang mengesankan $ 16,5 miliar dalam teknologi Israel pada 2016. Terjadi peningkatan sepuluh kali lipat dari 2015.
Pendiri dan CEO Alibaba Jack Ma mengunjungi Israel, bergabung dengan tiga puluh lima eksekutif, pada bulan Mei, dan beberapa media Israel berspekulasi bahwa perjalanan itu terkait dengan rencana Alibaba, yang diumumkan pada Oktober 2017, untuk meresmikan pusat penelitian di Israel.
Pariwisata
Masuknya wisatawan Tiongkok ke Israel juga telah meningkat dengan cepat , dua kali lipat menjadi lebih dari seratus ribu dari 2015 hingga 2017. Secara persentase, Cina adalah sumber wisatawan yang tumbuh paling cepat di Israel.
Pada tahun 2016, Israel menjadi negara ketiga , setelah Amerika Serikat dan Kanada, menandatangani perjanjian visa masuk berganda dengan China selama sepuluh tahun.
Pertukaran Pendidikan
Karena hubungan antara Cina dan Israel telah meningkat, pertukaran pendidikan telah meningkat. Di Universitas Haifa, misalnya, pendaftaran mahasiswa Cina telah meningkat dari dua puluh menjadi dua ratus dalam lima tahun terakhir .
Namun, Institut Teknologi Israel yang telah berada di garis depan dari pertukaran ini. Pada 2013, Technion, bersama dengan Universitas Shantou di Cina, dianugerahi hibah $ 130 juta dari Li Ka Shing Foundation, yang didirikan oleh pengusaha Hong Kong Li Ka-shing sekitar empat puluh tahun yang lalu, untuk mendirikan cabang di Provinsi Guangdong.
Provinsi dan kotamadya Shantou memberikan tambahan $ 147 juta dan tanah untuk pembangunan kampus. Demikian pula, pada tahun 2016,Universitas Haifa mengumumkan rencana untuk membangun laboratorium bersama di Universitas Normal Cina Timur di Shanghai untuk meneliti ekologi, data, biomedis, dan neurobiologi, suatu upaya yang didanai oleh pemerintah Cina.
Rencana ini mengikuti pengumuman Universitas Tel Aviv 2014 bahwa mereka akan bermitra dengan Universitas Tsinghua di Beijing untuk membangun Pusat Penelitian CIN, di mana penelitian akan fokus pada pengembangan teknologi bioteknologi, matahari, air, dan lingkungan.
Laporan SIGNAL 2017 menemukan bahwa ketika hubungan bilateral semakin dalam selama dua dekade terakhir, minat akademik Israel juga meningkat: Sejak 2002, program studi Asia telah didirikan di Universitas Haifa, Universitas Bar Ilan, dan Universitas Tel Hai, sementara Konfusius Lembaga beroperasi di Universitas Hebrew dan Universitas Tel Aviv.
Hubungan Politik dan Militer
Netanyahu telah berulang kali mnyatakan harapannya bahwa hubungan ekonomi yang lebih luas dengan China akan diterjemahkan menjadi lebih selaras di PBB. Ini terjadi dalam kasus India, yang perdagangannya dengan Israel telah meningkat dalam dua dekade terakhir.
Menyusul peningkatan perdagangan ini, India, dalam beberapa kesempatan dalam beberapa tahun terakhir, meninggalkan pola pemungutan suara sebelumnya dengan negara-negara Arab terhadap Israel dalam sistem PBB. Namun, China belum mengubah pola pemungutan suaranya, dan ia berpihak kepada Israel setiap kali ada pemungutan suara di badan-badan PBB.
Hubungan Israel yang tumbuh dengan India juga mencakup penjualan senjata yang signifikan, tetapi itu tidak dengan Cina. Sementara kapal-kapal angkatan laut Tiongkok merapat di Israel, penjualan senjata dan kerja sama militer terbatas karena tekanan AS.
Pada tahun 2004, pemerintahan George W. Bush menuntut agar Israel membatalkan kesepakatan untuk meningkatkan sistem rudal Harpy dengan China, yang telah dijual Israel Aerospace Industries (IAI) ke China pada tahun 1994 dengan harga sekitar $ 55 juta.
Para pejabat AS mengutip masalah keamanan dan mengklaim sistem rudal itu mengandung teknologi Amerika. Para pejabat Israel membantah tuduhan itu, dan IAI menindaklanjuti komitmen kontrak dengan China.
Akibatnya, Amerika Serikat menangguhkan masuknya Israel di proyek Joint Strike Fighter (JSF) - yang sekarang dikenal sebagai pesawat tempur siluman F-35 - dan menuntut pengunduran diri Jenderal Amos Yaron, direktur jenderal Kementerian Pertahanan Israel.
Israel memang dibolehkan AS masuk kembali ke proyek JSF beberapa bulan kemudian tetapi dengan biaya yang cukup besar:
Kementerian Pertahanan harus membentuk departemen untuk mengawasi ekspor pertahanan, dan direktur jenderalnya harus pensiun. Hubungan militer AS-Israel termasuk latihan, berbagi intelijen, dan $ 3,8 miliar dalam bantuan militer AS, dan Amerika Serikat tetap dalam posisi yang kuat untuk membatasi penjualan militer Israel ke Cina.
Kemungkinan Rintangan Di Depan
Meskipun hubungan China-Israel tumbuh, ada tantangan yang menjulang. Sebagai bagian dari apa yang telah diidentifikasi sebagai strategi Cina yang lebih luas untuk memperluas keterlibatan di Timur Tengah, Cina telah mengembangkan hubungan dengan semua aktor utama dunia termasuk dengan berbagai negara Arab, Iran, dan Turki.
Sementara Presiden Cina Xi Jinping telah berjalan di garis tipis antara Israel dan musuh-musuh regionalnya, maka memperdalam hubungan dengan Israel dapat menciptakan ketegangan dengan beberapa mitra regional China lainnya, terutama Iran.
Garis negara Cina pada permukiman juga bisa menjadi sumber gesekan. Pemerintah telah menolak untuk mengizinkan para pekerjanya bekerja di Tepi Barat, dengan alasan penentangannya terhadap pembangunan permukiman Israel di sana .
Di Israel, ada beberapa oposisi terhadap perluasan hubungan bilateral baru-baru ini. Ada pandangan skeptis di beberapa partai politik Israel dan di antara mantan pejabat keamanan nasional, yang memperingatkan potensi masalah keamanan dan kemungkinan gesekan dengan Amerika Serikat sebagai hasil dari keterlibatan Cina dalam proyek infrastruktur Israel.
Pada akhir 2013, mantan Direktur Mossad Efraim Halevy berpendapat bahwa "Cina yang memiliki, menguasai, dan mengoperaikan kereta api trans-Israel, tidak akan dipahami oleh AS" dan memperingatkan terhadap kendali China atas "titik tekanan politik dan ekonomi" di Israel.
Kekhawatiran itu meluas ke sektor keuangan dan industri tenaga kerja. Pengawas asuransi Kementerian Keuangan Dorit Salinger telah berulang kali memblokir usaha penjualan perusahaan asuransi Phoenix dan Clal kepada perusahaan-perusahaan Cina, dengan alasan kekhawatiran akan kontrol asing atas ratusan miliar syikal dana pensiun Israel.
Asosiasi Kontraktor dan Pembangun telah mengadvokasi tuntutan yang menentang keterlibatan Cina dalam proyek konstruksi dan infrastruktur.
Namun, pertumbuhan dalam hubungan Cina-Israel jelas telah menguntungkan kedua belah pihak. Di Israel, Cina telah menemukan peluang investasi baru dan sumber baru teknologi mutakhir.
Bagi Israel, hubungan ini adalah keberhasilan terbaru dari strategi Netanyahu untuk mengembangkan hubungan di luar Amerika Serikat dan Uni Eropa; China, sebagai negara terpadat di dunia, juga merupakan pasar untuk ekspor Israel.
Mengingat gesekan masa lalu dengan Amerika Serikat atas penjualan teknologi tinggi oleh Israel ke Cina, Israel harus berhati-hati agar tidak berselisih dengan sekutu terbesarnya mengenai produk dengan potensi penggunaan militer.
Namun, bagi Israel, ikatan yang tumbuh dengan Cina adalah sebuah pengingat bahwa, meskipun ada banyak tantangan lokal dan regional di negara kecil itu, China tetap dapat membangun hubungan penting di seluruh dunia.
Pelajaran
Pelajaran apa yang bisa ditarik dari tulisan diatas? Hubungan Israel dan China menunjukan dengan jelas tak ada jaminan apapun bahwa sebuah hubungan baik dengan negara lain, bahkan sekutu dekat sekalipun akan tidak berselingkuh.
Tidak ada persahabatan abadi, yang abadi hanya kepentingan.
Sekutu sekarang bukanlah musuh, hanya waspada tetap harus selalu ditingkatkan.
Oleh karenanya harusnya ini pelajaran penting bagi Indonesia dalam membangun kewarasan bersama sebagai sebuah bangsa.
Kemajuan sebuah bangsa tidak akan pernah bisa diletakan pada kebaikan bangsa dan negara lain bila ingin menjadi negara besar dan dihormati oleh negera negara lain di dunia. Sekian.
Business as usual. Begitulah kira-kira yang menjadi pedoman China dalam memperlakukan negara mitra politiknya. Hanya dua hari usai menerima kunjungan Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud, China gantian menerima kunjungan kenegaraan dari PM Israel Benjamin Netanyahu.
Dalam kunjungannya selama tiga hari di Beijing, Netanyahu disambut oleh Perdana Menteri China, Li Keqiang, Senin (20/3). Kunjungan kenegaraan ini merupakan salah satu langkah Israel dalam usaha memperbesar pengaruh dan keterlibatannya di Asia.
“Israel tengah membangun poros ke Asia dengan langkah-langkah yang memiliki agenda jelas,” ucap Netanyahu dalam kunjungannya ke Singapura bulan lalu (20/2).
China adalah negara Asia ketiga yang dikunjungi Netanyahu dalam satu bulan terakhir. Sebelumnya, ia mengunjungi Australia bersamaan dengan kunjungannya ke Singapura.
Saat di Singapura, Netanyahu mengedepankan pembicaraan soal keberagaman yang berhasil dipelihara oleh negara kota tersebut. Sementara dalam kunjungannya ke China, ia terfokus dalam pembicaraan soal penguatan bisnis kedua negara.
Tak main-main, dalam kunjungannya ke Beijing Netanyahu membawa serta lima menteri dan 100 eksekutif bisnis di bidang teknologi. Jumlah rombongan tersebut adalah yang terbesar dalam sejarah kunjungan luar negeri Israel. Salah satu inti pembicaraan adalah penguatan kerjasama teknologi dan pembahasan mengenai kesepakatan perdagangan bebas.
Meski negara-negara Uni Eropa masih menjadi rekanan bisnis paling besar Israel, negara-negara Asia mulai berkembang menjadi partner bisnis yang menjanjikan. Jarak nilai perdagangan bilateral antara Israel-Eropa dan Israel-Asia pun terus menipis.
Senada dengan tren di atas, tahun 2016 menjadi tahun yang baik bagi Israel. Ekspor Israel ke China meningkat tiga kali lipat menjadi 3,3 miliar dolar AS. Angka ini didominasi dengan barang-barang teknologi di bidang agrikultur.
Statistik lain juga memperlihatkan besarnya keterlibatan China dalam ekonomi Israel. Dikutip dari Reuters, dalam setiap investasi yang masuk ke Israel pada 2015, separuhnya bersumber dari investor China. Kunjungan Israel ke China kali ini bertujuan untuk mempertahankan catatan tersebut.
Sementara itu, Matan Vilnai, bekas Dubes Israel untuk China, mengatakan bahwa kepentingan China terhadap Israel hanya murni masalah teknologi. Para pemimpin China disebutnya ingin mempelajari budaya inovasi teknologi yang selama ini lekat dengan citra Israel.
“Sederhana sekali: teknologi, teknologi, dan teknologi,” ungkapnya seperti dilansir Reuters.
Sementara itu, Israel juga menerima banyak bantuan China terkait pembangunan infrastruktur di dalam negerinya. Proyek transportasi metro di Tel Aviv dan pelabuhan Mediterania baru di Haifa merupakan dua proyek ekonomi terbaru China di Israel. Proyek tersebut nantinya akan mendatangkan 6.000 pekerja China ke negara yang menjadi musuh bersama negara-negara Islam dunia tersebut. Angka itu pun diproyeksi akan naik menjadi 20.000 dalam beberapa waktu ke depan.
Bukan Pertemuan Politik
Bertolak belakang dengan anggapan umum, Netanyahu menampik kunjungannya ke Beijing punya maksud politis di belakangnya. Ilan Maor, salah satu penasihat bisnis pada konsulat Israel di Shanghai menyatakan bahwa kunjungan ini terbatas membicarakan masalah ekonomi.
“Yang bisa Netanyahu perbaiki dalam hubungan kedua negara adalah meningkatkan arus perdagangan kedua negara dan mendorong adanya perdagangan bebas. Israel juga harus menyatakan bahwa yang diinginkan adalah investasi China,” jelas Maor. Kedua negara memang tengah menegosiasikan kesepakatan perdagangan bebas.
Meski begitu, tidak dapat dipungkiri bahwa kedekatan kedua negara juga berimbas pada menguatnya dukungan politik untuk masing-masing negara. Ini dibuktikan dengan China yang semakin aktif berkomentar terhadap isu-isu Timur Tengah. Jinping, misalnya saja, turut berkomentar dalam kesepakatan damai Israel dan Palestina di tahun 2014. Ia juga turut buka suara dalam permasalahan Sunni-Syiah antara Saudi dan Iran.
Netanyahu sendiri bersikap diplomatis dalam kunjungannya kali ini. Beda dengan saat kunjungannya di Australia di mana ia ikut menyindir negara-negara lain yang “menyudutkan Israel” di masalah Palestina, Netanyahu hanya berbicara soal kerjasama teknologi dua negara.
Meski berbeda soal kekuatan fisik dan sumber daya, Netanyahu menyebut bahwa kedua negara bisa bekerjasama dengan lebih baik lagi. Sementara Israel terus berinovasi, China dapat berkonsentrasi dalam hal pemasaran massal dan komersialisasi. Baginya, China dan Israel adalah tandem yang luar biasa cocok.
“Melihat basis infrastruktur suatu negara --bandar udara, pemusatan limbah, pengairan--, ketika Anda telah membereskan hal itu, Anda hanya akan terus bergerak baik dan naik. Anda akan terus memperbaiki produk dan pelayanan Anda dengan bantuan inovasi teknologi,” ucap Netanyahu ke puluhan pemimpin bisnis di Beijing (20/3).
“Israel adalah tandem kecil yang sempurna untuk usaha China tersebut,” ucapnya meyakinkan calon investor negaranya.
Profesor Shaul Horev telah menjatuhkan bom, tetapi hampir tidak ada yang memperhatikan. Horev, brigadir jenderal cadangan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) yang telah menjabat sebagai kepala staf angkatan laut dan ketua Komisi Energi Atom Israel, di antara berbagai jabatan lain, saat ini adalah direktur Research Center for Maritime Policy and Strategy di Universitas Haifa. Akhir Agustus 2018, pusat itu mengadakan konferensi, mengundang para peserta dari Amerika Serikat untuk memeriksa masalah keamanan yang berkaitan dengan wilayah Israel dan Mediterania.
Dalam sebuah wawancara dengan kanal media religius-Zionis Arutz Sheva, Profesor Horev mencatat bahwa satu topik yang muncul pada acara tersebut adalah investasi China di pelabuhan-pelabuhan Mediterania, dan khususnya di Israel. Menunjukkan bahwa sebuah perusahaan China akan segera mulai mengoperasikan Pelabuhan Haifa, Horev mengatakan bahwa Israel perlu menciptakan mekanisme yang akan memeriksa investasi China untuk memastikan bahwa mereka tidak membahayakan kepentingan keamanan Israel.
“Ketika China mengakuisisi pelabuhan itu,” tutur Horev, “China melakukannya dengan kedok untuk mempertahankan rute perdagangan dari Samudra Hindia melalui Terusan Suez ke Eropa, seperti Pelabuhan Piraeus di Yunani. Apakah cakrawala ekonomi seperti ini memiliki dampak keamanan? Kami tidak cukup mempertimbangkan kemungkinan itu.”
Salah satu tokoh senior Amerika di konferensi itu mengajukan pertanyaan apakah Armada Keenam Amerika Serikat dapat memandang Haifa sebagai pangkalan rumah (home port). Mengingat pengambilalihan China, pertanyaannya tidak lagi berada dalam agenda.
Para pejabat Israel, China, dan Belanda menandatangani perjanjian untuk operasional asing di Pelabuhan Haifa dan Ashdod tahun 2015.
Horev juga mencatat bahwa Amerika Serikat sekarang mengalihkan sebagian besar perhatian mereka ke selatan Laut China dan Teluk Persia, mengabaikan Timur Tengah. Dalam periode seperti ini, kata Horev, menjadi waktu yang tepat bagi Israel untuk meningkatkan statusnya sebagai pangkalan strategis bagi Amerika.
Konferensi Haifa diadakan bersama dengan Hudson Institute yang bermarkas di Washington. Beberapa peserta dari Amerika adalah mantan personel senior Pentagon dan Angkatan Laut AS. Pernyataan tokoh senior yang dikutip Horev lebih tajam dari nada sopan yang digunakannya. Orang-orang Amerika yang berada di konferensi itu meyakini bahwa Israel kehilangan akal ketika memberi kunci-kunci ke Pelabuhan Haifa kepada China. Begitu China terlibat, kata mereka, Angkatan Laut Israel tidak akan dapat mengandalkan upaya mempertahankan hubungan dekat yang telah dimilikinya dengan Armada Keenam Amerika Serikat.
Dikutip dari Haaretz, Senin (9/9), perusahaan China SIPG memenangkan penawaran untuk memperluas Pelabuhan Haifa empat setengah tahun lalu. Proyek itu dijadwalkan akan diresmikan tahun 2021 dan menyerukan perusahaan China itu, yang juga mengoperasikan Pelabuhan Shanghai, untuk menjalankan Pelabuhan Haifa selama 25 tahun. Sebuah perusahaan China lainnya juga memenangkan tawaran untuk membangun pelabuhan baru di Ashdod.
Keputusan-keputusan itu dibuat oleh Kementerian Transportasi dan Otoritas Pelabuhan Israel, tanpa keterlibatan Dewan Keamanan Nasional (NSC) Israel, dan sama sekali tidak melibatkan angkatan laut. Masalahnya tidak hanya terletak pada implikasi yang ditimbulkan dari hubungan dengan China terhadap hubungan Israel dengan Amerika Serikat, yang di bawah pemerintahan Presiden AS Donald Trump kian meningkatkan retorikanya melawan China karena perang dagang dan ketegangan di Laut China Selatan.
Pelabuhan sipil di Haifa berbatasan dengan rute keluar dari pangkalan angkatan laut yang berdekatan, di mana armada kapal selam Israel ditempatkan (dan menurut sejumlah laporan media asing mempertahankan kemampuan serangan kedua untuk meluncurkan rudal nuklir).
Seperti keterlibatan China dalam proyek infrastruktur besar Israel lainnya, misalnya terowongan Gunung Karmel dan kereta api ringan di Tel Aviv, tampaknya seolah-olah tidak ada pihak yang terlibat dalam arena keamanan atau diplomatik yang bahkan memikirkan konsekuensi strategis dari semua langkah tersebut.
China memperoleh pengaruh besar atas infrastruktur penting di Israel dan secara tidak langsung juga melihat lebih dekat beberapa kemampuan militer Israel. Selama bertahun-tahun, hal itu dapat membuat China mengetahui potensi sarana untuk melakukan tekanan terhadap Israel, jika Israel di masa depan membahayakan kepentingan China di wilayah tersebut.
Di mata China, Israel hanyalah setitik kawasan di keseluruhan peta dunia. China sedang berupaya untuk jangka panjang, membangun proyek dan memperluas ikatan sebagai bagian dari inisiatif “satu jalur, satu jalan” (alias “Jalan Sutera ekonomi”): Strategi yang bertujuan untuk memperluas pengaruh ekonomi China dan meningkatkan status globalnya. China tidak harus memusuhi Israel, tetapi kepentingannya saling berkelindan dan kompleks, dan tentu saja tidak mengingatkan akan kepentingan yang mendasari aliansi kuat antara Amerika dan Israel.
Contoh yang tepat ialah hubungan dekat China dengan Iran, dengan latar belakang konsumsi minyak Iran. Pernyataan tokoh senior Amerika Serikat yang dikutip oleh Horev perlu dijadikan sebagai peringatan. Israel harus meningkatkan infrastruktur transportasi, dan tidak ada yang salah dengan meningkatkan hubungan dagangnya dengan China. Namun, pertanyaannya adalah apakah keputusan yang telah diambil itu memperhitungkan semua pertimbangan yang relevan dan berbagai risiko yang mungkin terjadi.
Israel Anggap Investasi Besar-besaran Cina Jadi Ancaman
Dinas keamanan Israel, Shin Bet, telah memperingatkan tentang investasi besar-besaran Cina di negara tersebut. Menurut Shin Bet, hal itu dapat menimbulkan bahaya bagi keamanan nasional.
"Pengaruh Cina di Israel sangat berbahaya dalam hal infrastruktur strategis dan investasi di perusahaan-perusahaan besar," ujar Kepala Shin Bet Nadav Argaman dikutip laman the Times of Israel, Kamis (10/1).
Argaman mengatakan perusahaan-perushaan Cina akan mengambil alih bagian operasi dari pelabuhan Haifa dan membangun sistem kereta api ringan Tel Aviv. Ia menilai, Cina akan secara aktif berusaha mengakusisi perusahaan-perusahaan besar lainnya.
Melihat potensi tersebut, Argaman berpendapat parlemen Israel (Knesset) perlu meloloskan undang-undang untuk memantau investasi asing. "Ada celah dalam hukum Israel sehubungan dengan kebutuhan keamanannya dalam hal mengawasi investasi asing. Ini bisa berbahaya, undang-undang diperlukan," katanya.
Cina dan Israel diketahui telah meningkatkan hubungan perdagangan dalam beberapa tahun terakhir. Kedua negara juga telah melakukan pembicaraan tentang perdagangan bebas.
Saat ini perusahaan-perusahaan Cina telah melakukan terobosan besar di Israel. Pada 2014, Beijing mengambil alih raksasa makanan lokal Israel, Tnuva. Selain itu, Cina pun telah mencapai kesepakatan untuk mengelola pelabuhan Haifa dan Ashdod.
Dalam beberapa pekan terakhir, beberapa analis dan pejabat Israel menyatakan keprihatinan besar atas kesepakatan yang akan menempatkan Shanghai International Port Group sebagai pengelola terminal kontainer pelabuhan Haifa pada 2021.
Kehadiran Cina di pelabuhan Haifa, yang lokasinya dekat dengan pangkalan laut Israel, dikhawatirkan membahayakan aset intelijen Israel. Di sisi lain, diambilnya kendali pelabuhan Haifa berpotensi menyebabkan kapal militer Amerika Serikat (AS) berlabuh di sana.
Amerika Serikat mengingatkan Israel, sekutu kuatnya di Timur Tengah, untuk tidak meningkatkan hubungan bisnis dengan China. Alasannya, hubungan bisnis tersebut memiliki implikasi keamanan.
Dalam RUU anggaran militer terbarunya, Senat AS mengingatkan Israel untuk tidak mengizinkan China mengelola pelabuhan Haifa, yang telah lama menjadi dermaga bagi Armada Keenam AS dan tempat latihan gabungan Amerika-Israel.
RUU itu secara khusus menyorot tentang perusahaan China, Shanghai International Port Group yang telah menandatangani kesepakatan dengan Haifa. Dalam kesepakatan itu, perusahaan China tersebut akan mengoperasikan pelabuhan di Haifa selama 25 tahun, yang akan dimulai pada tahun 2021 mendatang.
AS Ingatkan Israel Soal Hubungan Bisnis dengan China
"Amerika Serikat memiliki minat terhadap kehadiran kapal-kapal Angkatan Laut Amerika Serikat di pelabuhan Haifa di Israel di masa depan, tetapi AS punya kekhawatiran keamanan serius sehubungan dengan pengaturan penyewaan pelabuhan Haifa," demikian isi Rancangan Undang-Undang (RUU) Otorisasi Pertahanan Nasional 2020 seperti dilansir media Haaretz, Sabtu (15/6/2019).
Senat AS juga menyerukan Israel untuk "mempertimbangkan implikasi keamanan atas investasi asing di Israel". Draf RUU tersebut memang tidak secara detail menyebut China, namun diketahui bahwa Israel telah memberikan sejumlah kontrak infrastruktur penting ke perusahaan-perusahaan China.
RUU ini diajukan pada Kamis (13/6) waktu setempat oleh Komisi Dinas Bersenjata Senat dan diperkirakan akan disetujui oleh Senat.
Di masa lalu, urusan dengan China juga telah berdampak bagi Israel. Selama pemerintahan mantan Presiden AS George W. Bush, dialog strategis antara AS dan Israel sempat dihentikan selama tiga tahun. Dialog kembali dilanjutkan setelah pemerintah Israel setuju untuk mengizinkan AS meninjau setiap penjualan militer Israel ke China.
Ketika Israel, Anak Emas Amerika Serikat, Jatuh ke Pelukan China
Israel bukanlah apa apa tanpa Amerika. Selama beberapa dekade AS membantu , membela , mendorong dan membesarkan negara kecil ini. Bahkan AS selalu memberikan tangan untuk menolong Israel pada persengketaannya dengan negara negara Arab.
Kini Israel menjalin mesra dengan China. Lawan geopolitik Amerika. Suatu hubungan yang terang membuat AS meradang terutama karena kekhawatirannya akan pengajaran tehnologi AS terutama di bidang industri pertahanan kemananannya akan bocor ke China.
Sebenarnya apa yang terjadi dibalik tumbuhnya hubungan Israel dengan China ini ? Apa yang dicari Israel dengan menjalin hubungan ke China dan sebaliknya dan dibidang apa saja kerjasama ini terjadi?
Elliott Abrams* seorang pengacara beraliran neo konservatif, diplomat tiga generasi kepresidenan AS dengan studi keahlian Timur Tengah mengungkapkannya. Dalam tulisan kali ini diungkap secara umum:
Ada Apa Dibalik Tumbuhnya Hubungan Israel dengan Tiongkok?
Cina dan Israel telah meningkatkan hubungan perdagangan, investasi, dan budaya secara tajam dalam beberapa tahun terakhir, tetapi hambatan untuk hubungan yang lebih dekat mungkin belum muncul.
China dan Israel bukan mitra alami. Pada ukuran tipis, demografi, dan orientasi geopolitik, mereka tampak sangat berbeda. China memiliki sepuluh kota lebih besar dari seluruh populasi Israel. Cina tidak memiliki komunitas Yahudi asli, dan Israel tidak memiliki komunitas Cina asli.
Israel sangat dekat dengan pesaing utama China di dunia, yaitu Amerika Serikat. Namun, hubungan China-Israel telah berkembang pesat di sejumlah lini. Beberapa tahun terakhir terlihat peningkatan tajam dalam perdagangan, investasi, pertukaran pendidikan, dan pariwisata antara kedua negara.
Apa yang mendorong ini? Meskipun ada banyak perbedaan, motivasi Cina dan Israel juga pragmatis. Kedua negara berusaha memperluas kemitraan di luar wilayah mereka saat mereka memasuki pasar baru dan peluang perdagangan.
Secara khusus, China tertarik pada sektor teknologi kebanggaan Israel, dan Israel menyambut baik investasi dan potensi China sebagai kolaborator penelitian. Ia juga memandang hubungan dengan Cina sebagai penolakan terhadap boikot dan upaya divestasi oleh beberapa negara lain.
Perdagangan dan Investasi
Setelah masa isolasi diplomatik yang luas, Israel dalam beberapa dekade terakhir telah mengembangkan hubungan bilateral baru yang didukung oleh perdagangan. Secara khusus, Israel telah meningkatkan reputasinya sebagai pusat inovasi, kewirausahaan, dan penelitian. Sementara itu, Cina telah melakukan sejumlah besar investasi dan proyek infrastruktur dalam beberapa tahun terakhir, memulai proyek baru di pasar baru.
Perdagangan antara kedua negara telah melampaui $ 11 miliar, sebuah angka kecil jika dibandingkan dengan perdagangan China dengan Amerika Serikat atau Eropa tetapi dua ratus kali lebih besar daripada dua puluh lima tahun yang lalu. Dimana pada periode yang sama — 1992 hingga 2017 — perdagangan AS-Cina hanya tumbuh dua puluh kali lebih besar.
Apa yang dilihat orang China di Israel yang kecil ini?
Apa yang dilihat orang Cina di Israel? Minat utamanya tampaknya dalam memanfaatkan penelitian dan inovasi Israel.
"Dalam pandangan China, Israel, meskipun ukurannya kecil,menonjol karena prestasi ilmiahnya , jumlah startupnya, dan jumlah penerima Hadiah Nobelnya," tulis mantan Duta Besar Israel untuk China Matan Vilnai, bersama dengan Assaf Orion dan Galia Lavi , pada Maret 2017. Investasi China juga mencakup teknologi tinggi, pertanian, makanan, air, dan bioteknologi.
Akuisisi Bright Foods atas Tnuva, perusahaan susu terbesar Israel, pada tahun 2014 menandai perampokan perusahaan besar pertama Cina ke pasar Israel. Pada April 2018, konglomerat Cina Fosun membeli perusahaan Ahava, pembuat lotion Laut Mati. Tetapi hubungan ekonomi China-Israel berjalan lebih dalam daripada akuisisi swasta Cina atas entitas korporat Israel.
Saat mengunjungi Beijing pada 2017, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan kepada pewawancara Israel bahwa China menyumbang sepertiga dari investasi dalam teknologi tinggi Israel.
Investasi Cina di Israel juga difokuskan pada proyek infrastruktur Israel. "China juga terlibat dalam membangun infrastruktur di Israel, seperti menggali terowongan Carmel di Haifa, meletakkan kereta ringan di Tel Aviv, dan memperluas pelabuhan Ashdod dan Haifa" dan memasuki industri konstruksi perumahan, kata laporan 2017 dari Israel. Institut Studi Keamanan Nasional.
Investasi Tiongkok tidak menunjukkan tanda-tanda reda.
Laporan Sino-Israel Global Network and Leadership Academic (SIGNAL) 2017 mencatat bahwa sepuluh perjanjian bilateral dan perjanjian bisnis, senilai total nilai $ 25 miliar, ditandatangani selama kunjungan Netanyahu 2017 ke Cina. Laporan ini juga mencatat, adanya investasi Cina yang mengesankan $ 16,5 miliar dalam teknologi Israel pada 2016. Terjadi peningkatan sepuluh kali lipat dari 2015.
Pendiri dan CEO Alibaba Jack Ma mengunjungi Israel, bergabung dengan tiga puluh lima eksekutif, pada bulan Mei, dan beberapa media Israel berspekulasi bahwa perjalanan itu terkait dengan rencana Alibaba, yang diumumkan pada Oktober 2017, untuk meresmikan pusat penelitian di Israel.
Pariwisata
Masuknya wisatawan Tiongkok ke Israel juga telah meningkat dengan cepat , dua kali lipat menjadi lebih dari seratus ribu dari 2015 hingga 2017. Secara persentase, Cina adalah sumber wisatawan yang tumbuh paling cepat di Israel.
Pada tahun 2016, Israel menjadi negara ketiga , setelah Amerika Serikat dan Kanada, menandatangani perjanjian visa masuk berganda dengan China selama sepuluh tahun.
Pertukaran Pendidikan
Karena hubungan antara Cina dan Israel telah meningkat, pertukaran pendidikan telah meningkat. Di Universitas Haifa, misalnya, pendaftaran mahasiswa Cina telah meningkat dari dua puluh menjadi dua ratus dalam lima tahun terakhir .
Namun, Institut Teknologi Israel yang telah berada di garis depan dari pertukaran ini. Pada 2013, Technion, bersama dengan Universitas Shantou di Cina, dianugerahi hibah $ 130 juta dari Li Ka Shing Foundation, yang didirikan oleh pengusaha Hong Kong Li Ka-shing sekitar empat puluh tahun yang lalu, untuk mendirikan cabang di Provinsi Guangdong.
Provinsi dan kotamadya Shantou memberikan tambahan $ 147 juta dan tanah untuk pembangunan kampus. Demikian pula, pada tahun 2016,Universitas Haifa mengumumkan rencana untuk membangun laboratorium bersama di Universitas Normal Cina Timur di Shanghai untuk meneliti ekologi, data, biomedis, dan neurobiologi, suatu upaya yang didanai oleh pemerintah Cina.
Rencana ini mengikuti pengumuman Universitas Tel Aviv 2014 bahwa mereka akan bermitra dengan Universitas Tsinghua di Beijing untuk membangun Pusat Penelitian CIN, di mana penelitian akan fokus pada pengembangan teknologi bioteknologi, matahari, air, dan lingkungan.
Laporan SIGNAL 2017 menemukan bahwa ketika hubungan bilateral semakin dalam selama dua dekade terakhir, minat akademik Israel juga meningkat: Sejak 2002, program studi Asia telah didirikan di Universitas Haifa, Universitas Bar Ilan, dan Universitas Tel Hai, sementara Konfusius Lembaga beroperasi di Universitas Hebrew dan Universitas Tel Aviv.
Hubungan Politik dan Militer
Netanyahu telah berulang kali mnyatakan harapannya bahwa hubungan ekonomi yang lebih luas dengan China akan diterjemahkan menjadi lebih selaras di PBB. Ini terjadi dalam kasus India, yang perdagangannya dengan Israel telah meningkat dalam dua dekade terakhir.
Menyusul peningkatan perdagangan ini, India, dalam beberapa kesempatan dalam beberapa tahun terakhir, meninggalkan pola pemungutan suara sebelumnya dengan negara-negara Arab terhadap Israel dalam sistem PBB. Namun, China belum mengubah pola pemungutan suaranya, dan ia berpihak kepada Israel setiap kali ada pemungutan suara di badan-badan PBB.
Hubungan Israel yang tumbuh dengan India juga mencakup penjualan senjata yang signifikan, tetapi itu tidak dengan Cina. Sementara kapal-kapal angkatan laut Tiongkok merapat di Israel, penjualan senjata dan kerja sama militer terbatas karena tekanan AS.
Pada tahun 2004, pemerintahan George W. Bush menuntut agar Israel membatalkan kesepakatan untuk meningkatkan sistem rudal Harpy dengan China, yang telah dijual Israel Aerospace Industries (IAI) ke China pada tahun 1994 dengan harga sekitar $ 55 juta.
Para pejabat AS mengutip masalah keamanan dan mengklaim sistem rudal itu mengandung teknologi Amerika. Para pejabat Israel membantah tuduhan itu, dan IAI menindaklanjuti komitmen kontrak dengan China.
Akibatnya, Amerika Serikat menangguhkan masuknya Israel di proyek Joint Strike Fighter (JSF) - yang sekarang dikenal sebagai pesawat tempur siluman F-35 - dan menuntut pengunduran diri Jenderal Amos Yaron, direktur jenderal Kementerian Pertahanan Israel.
Israel memang dibolehkan AS masuk kembali ke proyek JSF beberapa bulan kemudian tetapi dengan biaya yang cukup besar:
Kementerian Pertahanan harus membentuk departemen untuk mengawasi ekspor pertahanan, dan direktur jenderalnya harus pensiun. Hubungan militer AS-Israel termasuk latihan, berbagi intelijen, dan $ 3,8 miliar dalam bantuan militer AS, dan Amerika Serikat tetap dalam posisi yang kuat untuk membatasi penjualan militer Israel ke Cina.
Kemungkinan Rintangan Di Depan
Meskipun hubungan China-Israel tumbuh, ada tantangan yang menjulang. Sebagai bagian dari apa yang telah diidentifikasi sebagai strategi Cina yang lebih luas untuk memperluas keterlibatan di Timur Tengah, Cina telah mengembangkan hubungan dengan semua aktor utama dunia termasuk dengan berbagai negara Arab, Iran, dan Turki.
Sementara Presiden Cina Xi Jinping telah berjalan di garis tipis antara Israel dan musuh-musuh regionalnya, maka memperdalam hubungan dengan Israel dapat menciptakan ketegangan dengan beberapa mitra regional China lainnya, terutama Iran.
Garis negara Cina pada permukiman juga bisa menjadi sumber gesekan. Pemerintah telah menolak untuk mengizinkan para pekerjanya bekerja di Tepi Barat, dengan alasan penentangannya terhadap pembangunan permukiman Israel di sana .
Di Israel, ada beberapa oposisi terhadap perluasan hubungan bilateral baru-baru ini. Ada pandangan skeptis di beberapa partai politik Israel dan di antara mantan pejabat keamanan nasional, yang memperingatkan potensi masalah keamanan dan kemungkinan gesekan dengan Amerika Serikat sebagai hasil dari keterlibatan Cina dalam proyek infrastruktur Israel.
Pada akhir 2013, mantan Direktur Mossad Efraim Halevy berpendapat bahwa "Cina yang memiliki, menguasai, dan mengoperaikan kereta api trans-Israel, tidak akan dipahami oleh AS" dan memperingatkan terhadap kendali China atas "titik tekanan politik dan ekonomi" di Israel.
Kekhawatiran itu meluas ke sektor keuangan dan industri tenaga kerja. Pengawas asuransi Kementerian Keuangan Dorit Salinger telah berulang kali memblokir usaha penjualan perusahaan asuransi Phoenix dan Clal kepada perusahaan-perusahaan Cina, dengan alasan kekhawatiran akan kontrol asing atas ratusan miliar syikal dana pensiun Israel.
Asosiasi Kontraktor dan Pembangun telah mengadvokasi tuntutan yang menentang keterlibatan Cina dalam proyek konstruksi dan infrastruktur.
Namun, pertumbuhan dalam hubungan Cina-Israel jelas telah menguntungkan kedua belah pihak. Di Israel, Cina telah menemukan peluang investasi baru dan sumber baru teknologi mutakhir.
Bagi Israel, hubungan ini adalah keberhasilan terbaru dari strategi Netanyahu untuk mengembangkan hubungan di luar Amerika Serikat dan Uni Eropa; China, sebagai negara terpadat di dunia, juga merupakan pasar untuk ekspor Israel.
Mengingat gesekan masa lalu dengan Amerika Serikat atas penjualan teknologi tinggi oleh Israel ke Cina, Israel harus berhati-hati agar tidak berselisih dengan sekutu terbesarnya mengenai produk dengan potensi penggunaan militer.
Namun, bagi Israel, ikatan yang tumbuh dengan Cina adalah sebuah pengingat bahwa, meskipun ada banyak tantangan lokal dan regional di negara kecil itu, China tetap dapat membangun hubungan penting di seluruh dunia.
Pelajaran
Pelajaran apa yang bisa ditarik dari tulisan diatas? Hubungan Israel dan China menunjukan dengan jelas tak ada jaminan apapun bahwa sebuah hubungan baik dengan negara lain, bahkan sekutu dekat sekalipun akan tidak berselingkuh.
Tidak ada persahabatan abadi, yang abadi hanya kepentingan.
Sekutu sekarang bukanlah musuh, hanya waspada tetap harus selalu ditingkatkan.
Oleh karenanya harusnya ini pelajaran penting bagi Indonesia dalam membangun kewarasan bersama sebagai sebuah bangsa.
Kemajuan sebuah bangsa tidak akan pernah bisa diletakan pada kebaikan bangsa dan negara lain bila ingin menjadi negara besar dan dihormati oleh negera negara lain di dunia. Sekian.
Post a Comment