IRAN DAN ALQUDS
Bulan Ramadhan merupakan waktu istimewa bagi komunitas Muslim seluruh
dunia. Dalam bulan Ramadhan ini pula, terdapat salah satu hari yang
istimewa dalam sejarah modern umat Islam, yaitu Hari Al Quds. Hari Al
Quds merupakan event tahunan yang rutin diselenggarakan setiap hari Jumat terakhir di bulan Ramadhan. Dalam event
tersebut, diselenggarakan demonstrasi massa dalam rangka menunjukkan
dukungan solidaritas umat Islam sedunia terhadap perjuangan rakyat
Palestina yang masih dalam penjajahan Israel. Momentum ini juga
sekaligus sebagai ajang kecaman massal terhadap bentuk-bentuk penindasan
yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina. Demonstrasi dilakukan
di lokasi-lokasi strategis dengan isu utama pembebasan Palestina.
Dalam berbagai laporan media, Hari Al Quds diperingati oleh berbagai komunitas di hampir 80 negara, bahkan di negara-negara dengan minoritas Muslim. Hari Al Quds juga diperingati di Gaza, Palestina. Dalam perkembangannya, Hari Al Quds diikuti oleh lintas identitas, baik dari sisi bangsa maupun agama. Selain dihadiri berbagai komunitas Muslim dari berbagai latar belakang pemikiran politik, komunitas Yahudi anti-Zionisme pun, seperti Neturei Karta, kerap ikut bergabung dalam Hari Al Quds. Kelompok ini mengecam eksistensi negara Israel yang dianggap melanggar ajaran Yahudi. Beberapa kelompok aktivis perdamaian dan hak asasi manusia juga turut bergabung dalam peringatan Hari Al Quds dengan fokus mengecam ragam pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh Israel. Perkembangan lainnya, Hari Al Quds juga diperingati dengan cara penyebaran pesan-pesan pembebasan Palestina dalam publikasi audio-visual melalui situs-situs internet.[1] Belakangan, terdapat penolakan terhadap Hari Al Quds yang muncul dari beberapa komunitas di beberapa negara Barat karena event tersebut dianggap sebagai sarana menyebarkan paham anti-Semitisme. Namun tuduhan tersebut tidak memiliki dasar kebenaran, mengingat sasaran dari kecaman di hari Al Quds adalah praktik penjajahan oleh rezim Zionis Israel, bukan permusuhan terhadap Yahudi sebagai identas ras atau agama.
Idealisme dalam Hari Al Quds
Hari Al Quds dideklarasikan oleh Ayatullah Khomeini pada 1979 beberapa bulan setelah kemenangan revolusi Islam Iran. Dalam berbagai pernyataannya, Ayatullah Khomeini mengidealkan adanya persatuan umat Islam dalam upaya pembebasan Palestina dari praktik penjajahan Zionis Israel. Ayatullah Khomeini mengajak seluruh pemerintah negara Muslim dan rakyatnya untuk bersatu menentang penindasan Israel. Diserukan pula negara-negara Muslim berpadu -dengan berbagai cara- untuk pembebasan Al Quds dari penjajahan negara Zionis tersebut. Ayatullah Khomeini mengharapkan Hari Al Quds dapat menjadi momentum bersama bagi umat Islam untuk “memotong tangan negara penjarah,” yaitu Israel. Ilustrasi yang diberikan oleh Ayatullah Khomeini adalah jika kaum Muslim bersatu dan berteriak hal yang sama, maka Israel tidak akan dapat berbuat apa-apa serta kejahatannya akan “tercerabut” dari Masjidil Aqsha. Ayatullah Khomeini mengatakan jika pada seluruh bangsa Muslim bersatu, maka hal itu menjadi awal untuk menghentikan setiap elemen jahat serta mengusir elemen-elemen tersebut dari tanah-tanah Islam. Ditegaskan pula oleh Ayatullah Khomeini, bahwa umat Islam harus memandang Hari Al Quds bukan hanya hari bagi umat Islam dunia, tetapi juga hari bagi kaum yang tertindas. Sehingga umat Islam harus melawan para penindas dan penjarah dunia, serta tidak beristirahat sebelum kaum yang tertindas dibebaskan dari penindasannya. Dalam pernyataannya yang lain, Ayatullah Khomeini mengharapkan Hari Al Quds dapat menjadi “perintis jalan partai kaum tertindas” di seluruh dunia untuk bangkit melawan penindas baik dari “Timur” ataupun “Barat.[2]
Idealisme Ayatullah Khomeini tersebut bahkan telah ada jauh sebelum kemenangan revolusi Islam Iran. Dalam pernyataan-pernyataan politiknya pada dekade 1960-an, Ayatullah Khomeini telah mengecam Israel karena merampas tanah Palestina. Ayatullah Khomeini juga mengkritik hubungan dekat antara rezim Shah Iran dengan negara Zionis tersebut. Kebijakan Shah Iran yang mendukung Israel dengan pasokan minyak, hubungan bisnis, dan tukar-menukar personil di antara kedua negara menjadi sasaran kiritikan Ayatullah Khomeini. Dalam sebuah wawancara pada 1978, Ayatullah Khomeini menegaskan jika rezim Shah Iran tumbang dan pemerintahan Islam terbentuk, Iran tidak akan menjalin hubungan dengan Israel, akan mengusir para penasihat militer asal Israel, serta menghentikan pasokan minyak terhadap negara Zionis tersebut. Kemenangan revolusi Islam Iran mewujudkan idealisme Ayatullah Khomeini tersebut. Namun persoalan melawan penjajahan Israel atas Palestina tidak cukup hanya dihadapi oleh Republik Islam Iran, melainkan memerlukan persatuan pemerintah dan rakyat di seluruh negara Muslim. Ayatullah Khomeini mengilustrasikan, jika umat Islam datang bersama dan setiap hari bersama-sama menuangkan satu ember air, maka Israel akan tersapu oleh banjir. Karena itu, melalui hari Al Quds, Ayatullah Khomeini menyerukan persatuan seluruh umat Islam, sekaligus memperingatkan bangsa-bangsa Muslim agar tidak terjebak pada perpecahan internal.
Peran Iran dalam Pembebasan Palestina
Revolusi Islam Iran pada 1979 dan deklarasi Hari Al Quds di Iran pada tahun yang sama, memberi harapan pada perjuangan pembebasan Palestina. Di saat tren menunjukkan negara-negara Arab mulai cenderung bersikap kompromis terhadap Israel, Republik Islam Iran justru mulai menggaungkan perlawanan terhadap Israel. Iran mengubah orientasi politik luar negerinya dari yang semula dekat dengan Israel pada era Shah Iran, kini menjadi berlawanan terhadap Israel. Orientasi perlawanan tersebut konsisten bertahan hingga saat ini.
Ayatullah Ali Khamenei, dalam berbagai pernyataannya, mengajak persatuan seluruh pemerintah negara-negara Muslim untuk berpadu melawan Israel. Menurut Ayatullah Ali Khamenei, pemutusan hubungan dengan Israel dan menghindari normalisasi hubungan dengan Israel adalah sebagian cara yang dapat dilakukan negara-negara Muslim. Cara lainnya, adalah mendukung Palestina dengan bantuan finansial, politik, intelijen, dan militer. Ayatullah Ali Khamenei juga berpendapat negara-negara Muslim dapat menggunakan minyak sebagai instrumen perlawanan. Seruan juga ditujukan kepada seluruh umat Islam untuk bangkit membebaskan Palestina. Ayatullah Ali Khamenei juga menyatakan bahwa momentum Hari Al Quds adalah simbol konfrontasi antara “camp of truth” dan “camp of falsehood.”[3]
Upaya Iran dalam pembebasan Palestina bukan sebatas retorika di Hari Al Quds. Idealisme perlawanan yang disimbolkan di Hari Al Quds dimanifestasikan dalam berbagai kebijakan riil. Misalnya, Iran membantu kelompok-kelompok perlawanan Palestina. Beberapa pernyataan dari kelompok perlawanan Palestina seperti Palestinan Islamic Jihad dan Brigade Al-Nasser Salah Al-Din mengkonfirmasi bantuan yang signifikan dari Iran terhadap perjuangan kelompok-kelompok tersebut. Beberapa pernyataan tokoh-tokoh Hamas juga mengkonfirmasi hal serupa. Selain itu, beberapa kali kunjungan delegasi Hamas ke Iran menunjukkan kedekatan dua poros perlawanan tersebut. Pada kunjungan Hamas ke Iran pada 2019 misalnya, Ismail Haniyeh menyatakan penghargaan atas bantuan Iran yang “spesial” dan ekstensif terhadap Palestina. Begitu pula pada rangkaian acara pemakaman Qassem Solaemani di awal 2020, dalam pidatonya di depan publik Iran, Ismail Haniyeh menegaskan bahwa Jenderal Qassem Solaemani adalah “Syahidul Quds” atau “Martyr of Jerusalem”. Gelar ini tidak lepas dari peran ekstensif Iran dalam mendukung gerakan pembebasan Palestina. Jauh sebelumnya, pada 2017 kesaksian diberikan oleh Yahya Sinwar-tokoh Hamas-yang menyatakan adanya dukungan tanpa syarat dari Iran terhadap perjuangan Palestina melalui peran Qassem Solaemani dan Garda Revolusi Islam Iran. Pernyataaan-pernyataan tersebut konsisten dengan pernyataan Ayatullah Ali Khamenei pada Februari 2020 yang menyatakan bahwa tugas Republik Islam Iran adalah membantu kelompok-kelompok perlawanan Palestina tersebut.
Kebijakan Iran ini sering disalahtafsirkan atau dituduh oleh musuh-musuh Iran sebagai upaya mendukung terorisme atau upaya Iran membuat blok “bulan sabit Syiah”. Dua tuduhan yang tidak berdasar. Sebaliknya, dukungan Iran terhadap kelompok-kelompok perlawanan Palestina tersebut harus dibaca sebagai pembelaan terhadap kaum tertindas. Sebagaimana di dalam idealisme Hari Al Quds, diperlukan persatuan seluruh umat Islam dan pemerintah negara-negara Muslim untuk bersama membebaskan Palestina. Dalam konteks inilah, Iran kemudian menggalang potensi umat Islam untuk membentuk “blok perlawanan” menghadapi kekuatan penindas. Selain itu, hingga kini, Iran konsisten mengajak negara-negara Muslim untuk berpadu dalam upaya pembebasan Palestina. Realita tersebut juga menunjukkan bahwa bagi Iran, idealisme Hari al Quds bukan hanya sekedar retorika.[]
—
Referensi:
[1] International Quds Day: Reemergence of a Unifying Social Order for the Ummah. 2013. Mansoor Limba. Al-Taqrib.
[2] Palestina. Imam Khomeini. 2009. Jakarta: Zahra Publishing House
[3]The Most Important Problem of the Islamic World: Selected Statements by Ayatollah Khamenei About Palestine. Moasseseh Pajooheshi Farhangi Enqlab Eslami
Dalam berbagai laporan media, Hari Al Quds diperingati oleh berbagai komunitas di hampir 80 negara, bahkan di negara-negara dengan minoritas Muslim. Hari Al Quds juga diperingati di Gaza, Palestina. Dalam perkembangannya, Hari Al Quds diikuti oleh lintas identitas, baik dari sisi bangsa maupun agama. Selain dihadiri berbagai komunitas Muslim dari berbagai latar belakang pemikiran politik, komunitas Yahudi anti-Zionisme pun, seperti Neturei Karta, kerap ikut bergabung dalam Hari Al Quds. Kelompok ini mengecam eksistensi negara Israel yang dianggap melanggar ajaran Yahudi. Beberapa kelompok aktivis perdamaian dan hak asasi manusia juga turut bergabung dalam peringatan Hari Al Quds dengan fokus mengecam ragam pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh Israel. Perkembangan lainnya, Hari Al Quds juga diperingati dengan cara penyebaran pesan-pesan pembebasan Palestina dalam publikasi audio-visual melalui situs-situs internet.[1] Belakangan, terdapat penolakan terhadap Hari Al Quds yang muncul dari beberapa komunitas di beberapa negara Barat karena event tersebut dianggap sebagai sarana menyebarkan paham anti-Semitisme. Namun tuduhan tersebut tidak memiliki dasar kebenaran, mengingat sasaran dari kecaman di hari Al Quds adalah praktik penjajahan oleh rezim Zionis Israel, bukan permusuhan terhadap Yahudi sebagai identas ras atau agama.
Idealisme dalam Hari Al Quds
Hari Al Quds dideklarasikan oleh Ayatullah Khomeini pada 1979 beberapa bulan setelah kemenangan revolusi Islam Iran. Dalam berbagai pernyataannya, Ayatullah Khomeini mengidealkan adanya persatuan umat Islam dalam upaya pembebasan Palestina dari praktik penjajahan Zionis Israel. Ayatullah Khomeini mengajak seluruh pemerintah negara Muslim dan rakyatnya untuk bersatu menentang penindasan Israel. Diserukan pula negara-negara Muslim berpadu -dengan berbagai cara- untuk pembebasan Al Quds dari penjajahan negara Zionis tersebut. Ayatullah Khomeini mengharapkan Hari Al Quds dapat menjadi momentum bersama bagi umat Islam untuk “memotong tangan negara penjarah,” yaitu Israel. Ilustrasi yang diberikan oleh Ayatullah Khomeini adalah jika kaum Muslim bersatu dan berteriak hal yang sama, maka Israel tidak akan dapat berbuat apa-apa serta kejahatannya akan “tercerabut” dari Masjidil Aqsha. Ayatullah Khomeini mengatakan jika pada seluruh bangsa Muslim bersatu, maka hal itu menjadi awal untuk menghentikan setiap elemen jahat serta mengusir elemen-elemen tersebut dari tanah-tanah Islam. Ditegaskan pula oleh Ayatullah Khomeini, bahwa umat Islam harus memandang Hari Al Quds bukan hanya hari bagi umat Islam dunia, tetapi juga hari bagi kaum yang tertindas. Sehingga umat Islam harus melawan para penindas dan penjarah dunia, serta tidak beristirahat sebelum kaum yang tertindas dibebaskan dari penindasannya. Dalam pernyataannya yang lain, Ayatullah Khomeini mengharapkan Hari Al Quds dapat menjadi “perintis jalan partai kaum tertindas” di seluruh dunia untuk bangkit melawan penindas baik dari “Timur” ataupun “Barat.[2]
Idealisme Ayatullah Khomeini tersebut bahkan telah ada jauh sebelum kemenangan revolusi Islam Iran. Dalam pernyataan-pernyataan politiknya pada dekade 1960-an, Ayatullah Khomeini telah mengecam Israel karena merampas tanah Palestina. Ayatullah Khomeini juga mengkritik hubungan dekat antara rezim Shah Iran dengan negara Zionis tersebut. Kebijakan Shah Iran yang mendukung Israel dengan pasokan minyak, hubungan bisnis, dan tukar-menukar personil di antara kedua negara menjadi sasaran kiritikan Ayatullah Khomeini. Dalam sebuah wawancara pada 1978, Ayatullah Khomeini menegaskan jika rezim Shah Iran tumbang dan pemerintahan Islam terbentuk, Iran tidak akan menjalin hubungan dengan Israel, akan mengusir para penasihat militer asal Israel, serta menghentikan pasokan minyak terhadap negara Zionis tersebut. Kemenangan revolusi Islam Iran mewujudkan idealisme Ayatullah Khomeini tersebut. Namun persoalan melawan penjajahan Israel atas Palestina tidak cukup hanya dihadapi oleh Republik Islam Iran, melainkan memerlukan persatuan pemerintah dan rakyat di seluruh negara Muslim. Ayatullah Khomeini mengilustrasikan, jika umat Islam datang bersama dan setiap hari bersama-sama menuangkan satu ember air, maka Israel akan tersapu oleh banjir. Karena itu, melalui hari Al Quds, Ayatullah Khomeini menyerukan persatuan seluruh umat Islam, sekaligus memperingatkan bangsa-bangsa Muslim agar tidak terjebak pada perpecahan internal.
Peran Iran dalam Pembebasan Palestina
Revolusi Islam Iran pada 1979 dan deklarasi Hari Al Quds di Iran pada tahun yang sama, memberi harapan pada perjuangan pembebasan Palestina. Di saat tren menunjukkan negara-negara Arab mulai cenderung bersikap kompromis terhadap Israel, Republik Islam Iran justru mulai menggaungkan perlawanan terhadap Israel. Iran mengubah orientasi politik luar negerinya dari yang semula dekat dengan Israel pada era Shah Iran, kini menjadi berlawanan terhadap Israel. Orientasi perlawanan tersebut konsisten bertahan hingga saat ini.
Ayatullah Ali Khamenei, dalam berbagai pernyataannya, mengajak persatuan seluruh pemerintah negara-negara Muslim untuk berpadu melawan Israel. Menurut Ayatullah Ali Khamenei, pemutusan hubungan dengan Israel dan menghindari normalisasi hubungan dengan Israel adalah sebagian cara yang dapat dilakukan negara-negara Muslim. Cara lainnya, adalah mendukung Palestina dengan bantuan finansial, politik, intelijen, dan militer. Ayatullah Ali Khamenei juga berpendapat negara-negara Muslim dapat menggunakan minyak sebagai instrumen perlawanan. Seruan juga ditujukan kepada seluruh umat Islam untuk bangkit membebaskan Palestina. Ayatullah Ali Khamenei juga menyatakan bahwa momentum Hari Al Quds adalah simbol konfrontasi antara “camp of truth” dan “camp of falsehood.”[3]
Upaya Iran dalam pembebasan Palestina bukan sebatas retorika di Hari Al Quds. Idealisme perlawanan yang disimbolkan di Hari Al Quds dimanifestasikan dalam berbagai kebijakan riil. Misalnya, Iran membantu kelompok-kelompok perlawanan Palestina. Beberapa pernyataan dari kelompok perlawanan Palestina seperti Palestinan Islamic Jihad dan Brigade Al-Nasser Salah Al-Din mengkonfirmasi bantuan yang signifikan dari Iran terhadap perjuangan kelompok-kelompok tersebut. Beberapa pernyataan tokoh-tokoh Hamas juga mengkonfirmasi hal serupa. Selain itu, beberapa kali kunjungan delegasi Hamas ke Iran menunjukkan kedekatan dua poros perlawanan tersebut. Pada kunjungan Hamas ke Iran pada 2019 misalnya, Ismail Haniyeh menyatakan penghargaan atas bantuan Iran yang “spesial” dan ekstensif terhadap Palestina. Begitu pula pada rangkaian acara pemakaman Qassem Solaemani di awal 2020, dalam pidatonya di depan publik Iran, Ismail Haniyeh menegaskan bahwa Jenderal Qassem Solaemani adalah “Syahidul Quds” atau “Martyr of Jerusalem”. Gelar ini tidak lepas dari peran ekstensif Iran dalam mendukung gerakan pembebasan Palestina. Jauh sebelumnya, pada 2017 kesaksian diberikan oleh Yahya Sinwar-tokoh Hamas-yang menyatakan adanya dukungan tanpa syarat dari Iran terhadap perjuangan Palestina melalui peran Qassem Solaemani dan Garda Revolusi Islam Iran. Pernyataaan-pernyataan tersebut konsisten dengan pernyataan Ayatullah Ali Khamenei pada Februari 2020 yang menyatakan bahwa tugas Republik Islam Iran adalah membantu kelompok-kelompok perlawanan Palestina tersebut.
Kebijakan Iran ini sering disalahtafsirkan atau dituduh oleh musuh-musuh Iran sebagai upaya mendukung terorisme atau upaya Iran membuat blok “bulan sabit Syiah”. Dua tuduhan yang tidak berdasar. Sebaliknya, dukungan Iran terhadap kelompok-kelompok perlawanan Palestina tersebut harus dibaca sebagai pembelaan terhadap kaum tertindas. Sebagaimana di dalam idealisme Hari Al Quds, diperlukan persatuan seluruh umat Islam dan pemerintah negara-negara Muslim untuk bersama membebaskan Palestina. Dalam konteks inilah, Iran kemudian menggalang potensi umat Islam untuk membentuk “blok perlawanan” menghadapi kekuatan penindas. Selain itu, hingga kini, Iran konsisten mengajak negara-negara Muslim untuk berpadu dalam upaya pembebasan Palestina. Realita tersebut juga menunjukkan bahwa bagi Iran, idealisme Hari al Quds bukan hanya sekedar retorika.[]
—
Referensi:
[1] International Quds Day: Reemergence of a Unifying Social Order for the Ummah. 2013. Mansoor Limba. Al-Taqrib.
[2] Palestina. Imam Khomeini. 2009. Jakarta: Zahra Publishing House
[3]The Most Important Problem of the Islamic World: Selected Statements by Ayatollah Khamenei About Palestine. Moasseseh Pajooheshi Farhangi Enqlab Eslami
Post a Comment