CORONA DAN POLITIK PANGAN

Pagebluk sudah menyeret dunia dalam ancaman krisis besar. Bukan saja krisis kesehatan, juga ekonomi yang menuju depresi besar, tetapi juga ancaman krisis pangan.
Akhir Maret lalu, Organisasi Pangan Dunia (FAO) sudah membunyikan lonceng peringatatan: akibat pandemi yang mengganggu aktivitas produksi dan rantai pasokan, dunia diintai krisis pangan pada Mei dan Juni mendatang.

Sebetulnya, tanda-tanda krisis pangan ini sudah terbaca oleh banyak negara jauh-jauh sebelumnya. Makanya, banyak negara sudah menghitung-hitung stok pangannya. Tak terkecuali: Indonesia.
Sebelum keluar peringatan FAO itu, pada 18 Maret lalu, Presiden Joko Widodo sudah melakukan inspeksi mendadak ke gudang milik Badan Urusan Logistik (BULOG). Hasilnya, kata beliau, stok pangan kita aman.
Bahkan, kata Presiden, stok itu bakal bertambah, karena ada panen raya pada Maret dan April nanti. Sampai di sini, Indonesia tak merasa was-was, sekalipun ada kenaikan harga sejumlah komoditas pangan di pasar.

Namun, hanya berselang sebulan lebih, tepatnya 28 April lalu, tiba-tiba Presiden menemukan kenyataan berbeda. Stok pangan di sejumlah daerah ternyata defisit.
Stok beras defisit di 7 provinsi. Lalu stok jagung defisit di 11 provinsi, cabai besar di 23 provinsi, cabai rawit di 19 provinsi, telur di 22 provinsi, bawang merah di 1 provinsi, gula pasir di 30 provinsi, dan bawang putih di 31 provinsi.

Coba bayangkan, dalam situasi sangat darurat begini, ibarat situasi peperangan, ternyata Presiden kita memegang data yang tidak akurat. Lalu, bagaimana kita bisa mengkalkukasi data tahan pangan kita ke depan?

Kemudian, kalau stok pangan kita mengkhawatirkan, sementara pandemi dan dampaknya masih berlanjut hingga beberapa bulan ke depan, bagaimana kita mengantisipasinya?
Namun, ada hikmah di balik kejadian ini. Pandemi bukan hanya menyingkap ngawurnya data pangan kita. Namun, yang terpenting: pandemi telah menunjukkan betapa rapuhnya politik pangan kita.

Politik Pangan

Soal pangan adalah soal hidup dan matinya suatu bangsa, kata Bung Karno. Agar bisa hidup, setiap bangsa dituntut punya cara untuk mengorganisasikan pemenuhan kebutuhan pangan rakyatnya. Itulah esensi politik pangan.

Namun, ini bukan sekedar soal rakyat bisa makan dan minum. Bukan sekedar agar rakyat kenyang. Politik pangan harus mencerminkan kemerdekaan: kita tak bergantung pada bangsa lain untuk urusan perut bangsa kita. Politik pangan harus membuka jalan menuju masyarakat adil dan makmur.
Karena itu, pada awalnya, politik pangan kita mengadopsi konsep kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan menempatkan rakyat sebagai jantung kebijakan pangan, mulai dari pra-produksi, produksi, distribusi hingga konsumsi.

Konsep ini menempatkan produsen dalam negeri, dalam hal ini kaum tani, sebagai soko guru untuk memberi makan seluruh rakyat. Karena itu, konsep ini menjamin hak rakyat atas tanah lewat reforma agraria, hak atas modal dan teknologi, hak atas benih, hak atas sumber daya air, pembagian hasil yang adil, dan perlindungan dari produk pangan impor.

Di masa Sukarno, politik pangan diperjuangkan dengan reforma agraria. Untuk mendukung produksi, negara membangun pabrik pupuk, irigasi, dan balai benih. Sekolah pertanian (IPB) juga didirikan. Semangatnya saat itu: pertanian harus berdikari.

Di zaman Orba, politik pangan kita agak bergeser. Intervensi teknologi tak sekedar untuk menaikkan produksi, tetapi untuk memberi tempat bagi industri produsen pertanian: pupuk, pestisida, rekayasa genetika, dan lain-lain.

Di ranah distribusi hingga konsumsi, kontrol produsen dan konsumen juga hilang, digantikan oleh pasar. Tujuan produksi bukan lagi sekedar untuk memenuhi kebutuhan perut rakyat, tetapi juga pasar global.

Sejak itu, politik pangan Indonesia mulai bergeser ke konsep “ketahanan pangan”, sebuah konsep yang diperkenalkan oleh FAO sejak 1974. Intinya: semua orang punya akses terhadap pangan yang cukup, aman dan bergizi. Tak peduli pangan itu diproduksi sendiri atau diimpor.

Liberalisasi Pertanian

Pasca reformasi, Indonesia memasuki era politik pangan yang ekstrem: liberalisasi.
Di masa ini, semua bentuk dukungan negara untuk melindungi pertanian dalam negeri dilucuti. Subsidi untuk petani dilucuti. Pemanfaatan tanah tak lagi untuk petani, tetapi untuk investasi. Banyak irigasi tak lagi terurus karena hilangnya tanggung-jawab negara.

Puncaknya, tak ada lagi perlindungan terhadap pasar pertanian dalam negeri. Pintu pasar dalam negeri dibuka lebar-lebar untuk masuknya produk impor. Selamat datang: liberalisasi impor pangan!
Sejak itu, hampir semua kebutuhan pangan kita digantungkan pada , terutama beras, gandum, jagung dan kedelai. Dulu, di zaman Hindia-Belanda, kita pernah menjadi “raja gula” di dunia ini. Tapi sekarang, setelah 75 tahun Indonesia merdeka, kita menjadi pengimpor gula.
Untuk beras, sepanjang kurun waktu 1993-2018, Indonesia mengimpor rata-rata 1 juta ton per tahun. Bahkan, pada 2018, impor beras sudah mencapai 2,25 juta ton. Angka ini meningkat drastis dibanding 2017 (0,29 juta ton) dan 2016 (1,28 juta ton).

Jangan lupa, kita juga pengimpor sayuran, buah-buahan, susu dan produk susu, telur, serealia dan produk turunannya, daging, camilan, makanan bayi, serta minuman.
Jadi, gara-gara konsep “ketahanan pangan” itu, yang mengabaikan pentingnya penguatan produksi pangan dalam negeri, hampir semua kebutuhan perut rakyat kita sekarang digantungkan pada impor.
Karena berpikir pangan bisa dipenuhi dari impor, maka negara abai dengan pertanian dalam negeri. Tak peduli ketika lahan pertanian kita menyusut 150 ribu hingga 200 ribu hektar per tahun. Tak peduli ketika petani dirampas paksa tanahnya demi kepentingan investasi.

Kata-kata Bung Karno 68 tahun lalu terasa sangat mengusik perasaan kita sebagai bangsa yang mengaku merdeka: “Buat apa kita bicara tentang politik merdeka, kalau kita tidak merdeka dalam hal urusan beras. Kalau selalu harus minta tolong beli beras dan bangsa-bangsa tetangga.”

Bahaya RUU Cipta Kerja

Namun, malapetaka tak berhenti di sini. Ada malapetaka yang lebih besar di depan mata: RUU Cipta Kerja. Kenapa?

RUU ini membawa dua bahaya sangat mengerikan bagi pertanian dalam negeri.
Pertama, liberalisasi pasar tanah. RUU Cipta Kerja sangat mengampangkan perubahan status tanah demi melayani investasi.

Demi investasi, RUU ini memperluas makna “kepentingan umum”, sehingga mencakup juga kepentingan bisnis/investasi, seperti kawasan industri hulu dan hilir migas, kawasan ekonomi khusus, kawasan industri, kawasan pariwisata, dan lain-lain.
RUU ini juga menghidupkan kembali politik pengadaan tanah zaman kolonial, yaitu domein verklaring, dengan menjadikan pemerintah sebagai penyedia tanah bagi investasi lewat konsep Bank Tanah dan Hak Pengelolaan (HPL).
Selain itu, RUU Cipta Kerja membolehkan alih-fungsi lahan pertanian demi kepentingan umum/proyek strategis nasional (yang maknanya sudah diperluas sehingga mencakup kepentingan bisnis/investasi).

Kedua, liberalisasi impor pangan. RUU Cipta Kerja memfasilitasi impor pangan dengan tanpa batas dan tanpa syarat. Sangat mengerikan.
Jika di UU No 18/2012 tentang pangan (pasal 14) disebutkan sumber penyediaan pangan nasional hanya dua, yaitu produksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan nasional. Impor hanya dibolehkan kalau dua hal di atas tak mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri.
Tetapi di dalam RUU Cipta Kerja, impor pangan dimasukkan dalam bagian sumber penyediaan pangan nasional. Impor disetarakan dengan pangan nasional.

Itu belum seberapa. Jika di UU lama, UU lama, impor pangan hanya dilakukan jika produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri. Tetapi di RUU Cipta Kerja (pasal 36), impor pangan dilakukan tanpa syarat apa pun.

Di UU lama disebutkan, kebijakan impor tak boleh berdampak negatif terhadap produsen pangan di dalam negeri. Namun, di RUU Cipta Kerja, kalimat “dampak negatif” itu dihilangkan.
Jadi, kalau pandemi ini usai dan kita selamat, RUU cipta kerja menjadi ancaman bagi pertanian kita selanjutnya.

Jadi, adalah omong kosong besar kalau ada yang bicara pencetakan sawah-sawah baru, sementara liberalisasi pasar tanah tidak dihentikan. Ketika pengalihan fungsi lahan pertanian digampangkan demi investasi.

Hanya mulut besar yang bicara kedaulatan pangan nasional, tetapi membiarkan liberalisasi impor pangan berjalan tanpa syarat dan tanpa kendali. Tapi membiarkan RUU Cipta Kerja yang super-keblinger itu jalan terus.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.