TIADA TERSISA HANYA AFALNYA YANG PATUT DICINTA
CINTA, 5 kata yang penuh makna, bahakan bisa dirangkai menjadi jutaan untaian kata kata indah, semua agama membawa pesan cinta bahwasannya kewajiban dari sesama adalah salimg mengasihi adanya.
Cinta terkait Vertikal ( Hubungan dengan Tuhan ), dan aplikasi cinta Horisontal ( Terkait mahluk ciptaan Tuhan ) yang harus terwujud dalam tatanan kehidupan diri, ujud akhir adalah memandang bahwa semua itu adalah af'al dari Ilahi Rabbi, seperti dicontohkan Baginda Rasul Muhammad Sholallahu alaihi wasallam ketika beliau selalu diludahi seorang nenek tua Yahudi ketika beliau melewati rumahnya, namun dibalas dengan ahlaqul karimah berisi cinta atas perlakuan perempuan itu oleh Beliau Sayyiduna Muhammad Sholallahu alaihi Wasallam, atau ketika beliau dilempari kotoran Unta, namun kembali dibalas oleh Beliau Sholallahu alaihi Wasallam dengan Cinta, dan contoh contoh lainnya yang diberitakan nubuat pada Umat Muhammad.
Pertanyaannya Mudahkah itu ..??? tentu tidak, apalagi dengan tingkatan kita sebagai mahluk yang sedang berusaha meniti jalan tersebut, bukan hal gampang untuk MEMBERIKAN INDAH CINTA AJARAN TASAWWUF KEPADA ORANG LAIN, NAMUN MENGHUKUMI DIRI SENDIRI DENGAN KETAT TAJAMNYA FIQIH.
Mari kita bahas teori dari Cinta dalam Tasawwuf sebagai pemandu totalitas pengabdian pada Ilahi Rabbi dan karena kita masih ada dialam fana ( Dunia/dalam sebuah riwayat dikabarkan kelak "di syurga" penduduk Syurga itu saling mencintai, saling mengunjungi satu sama lain.. ), maka totalitas mencintai pada mahluk cipta Nya juga kudu dijalankan oleh kita wabil khusus pelajar Tasawwuf.
MAKNA MAKNA CINTA DALAM TASAWWUF
Nabi Muhammad Sholallahu alaihi Wassalam sendiri –yang notabene pembawa agama Islam– diutus oleh Allah untuk membawa misi sebagai kasih sayang bagi alam semesta (rahmah lil ‘alamin). Lebih jauh lagi, tasawuf sebagai salah satu bentuk pemahaman dalam Islam telah memperkenalkan betapa ajaran cinta (mahabbah) menempati kedudukan yang tinggi. Hal itu terlihat dari bagaimana para ulama sufi, seperti al-Ghazali, menempatkan mahabbah sebagai salah satu tingkatan puncak yang harus dilalui para sufi.
Cinta terkait Vertikal ( Hubungan dengan Tuhan ), dan aplikasi cinta Horisontal ( Terkait mahluk ciptaan Tuhan ) yang harus terwujud dalam tatanan kehidupan diri, ujud akhir adalah memandang bahwa semua itu adalah af'al dari Ilahi Rabbi, seperti dicontohkan Baginda Rasul Muhammad Sholallahu alaihi wasallam ketika beliau selalu diludahi seorang nenek tua Yahudi ketika beliau melewati rumahnya, namun dibalas dengan ahlaqul karimah berisi cinta atas perlakuan perempuan itu oleh Beliau Sayyiduna Muhammad Sholallahu alaihi Wasallam, atau ketika beliau dilempari kotoran Unta, namun kembali dibalas oleh Beliau Sholallahu alaihi Wasallam dengan Cinta, dan contoh contoh lainnya yang diberitakan nubuat pada Umat Muhammad.
Pertanyaannya Mudahkah itu ..??? tentu tidak, apalagi dengan tingkatan kita sebagai mahluk yang sedang berusaha meniti jalan tersebut, bukan hal gampang untuk MEMBERIKAN INDAH CINTA AJARAN TASAWWUF KEPADA ORANG LAIN, NAMUN MENGHUKUMI DIRI SENDIRI DENGAN KETAT TAJAMNYA FIQIH.
Mari kita bahas teori dari Cinta dalam Tasawwuf sebagai pemandu totalitas pengabdian pada Ilahi Rabbi dan karena kita masih ada dialam fana ( Dunia/dalam sebuah riwayat dikabarkan kelak "di syurga" penduduk Syurga itu saling mencintai, saling mengunjungi satu sama lain.. ), maka totalitas mencintai pada mahluk cipta Nya juga kudu dijalankan oleh kita wabil khusus pelajar Tasawwuf.
MAKNA MAKNA CINTA DALAM TASAWWUF
Dalam
estetika sufisme, cinta mempunyai makna luas. Cinta bukan dimaknakan secara
umum, melainkan lebih pada keadaan dan tingkatan rohani yang membawa seseorang
mencapai pengetahuan ketuhanan. Kita menemukan bahwa di dalam bahasa Arab cinta
diungkapkan dalam berbagai macam kata, dengan pengertian yang berbeda-beda
secara substansial dan kontekstual, diantaranya adalah :
a. Mahabbah
Secara
etimologi, ‘al-hubb’ (cinta) adalah bentuk generik dari ‘al-habb’ yang berarti
inti hati. Al-Hujwiri mengatakan bahwa kata mahabbah berasal dari kata habbah
berarti “benih-benih yang jatuh di padang pasir”. Diartikan demikian karena
memang cinta adalah sumber kehidupan.[1]
Ada juga yang
mengatakan bahwa kata mahabbah yang berasal dari kata hubb berarti “tempayan
yang berisi penuh dan tenang”. Dikatakan demikian karena cinta memenuhi hati
dengan objek yang dicintai sehingga tidak memungkinkan hati gelisah terhadap
objek yang lain.[2]
Al-Qusyairi
berpendapat bahwa cinta (mahabbah) dapat dikatakan dengan kata hubab yang
berarti gelembung-gelembung yang terbentuk di atas permukaan air ketika hujan
besar. Jadi, cinta (mahabbah) menggelembungkan hati ketika ia haus dan berputus
asa untuk bertemu dengan kekasihnya. Dia juga mengatakan bahwa cinta berasal
dari kata hibb (kendi air) karena ia berisi air, dan manakala ia penuh, tidak
ada lagi tempat untuk sesuatu yang lain. Manakala hati penuh dengan cinta,
tidak ada lagi tempat di dalamnya untuk apapun selain dari kekasih.[3]
Pendapat lain
mengatakan, al-mahabbah adalah gerakan hati yang tiada henti mengingat sang
kekasih dan ketenangannya tatkala bersanding dengannya. Artinya berdampingan
dengan orang yang dicintai selama-lamanya, seperti yang dikatakan dalam sebuah
syair:
Aku merasa
aneh terhadap diriku
karena aku
mencintai mereka
kutanya
setiap orang yang berlalu
padahal
mereka bersanding bersama
mataku
mencari-cari selalu
padahal
mereka tetap di tempatnya
hatimu
dirundung rindu
padahal
mereka ada di antara tulang iga[4]
Ada tiga
pengertian dasar dari kata mahabbah (cinta). Pertama, “kesenantiasaan dan
ketetapan”. Kedua, “cinta terhadap
sesuatu” (al-abbat min al-syai’). Ketiga, “sifat berkecukupan” (walk al-qitr).
Pengertian dasar ini memberikan arti bahwa mahabbah, merupakan suatu wujud
ketetapan arti yang tidak mau berpisah (al-luzm) dengan sesuatu yang
dicintainya, dan sesuatu yang dicintainya itu sudah cukup baginya sehingga ia
tidak akan mungkin lagi mencintai yang lain.[5]
Dalam bahasa Arab cinta disebut al-hub atau
mahabbah. Kata tersebut berasal dari akar kata habba, hubban, hibban, yang
bermakna waddaha, artinya kasih atau mengasihi. Cinta dikenal dengan sebutan
mahabbah, karena ia berarti kepedulian yang paling besar dari cinta hati. Namun
ada juga yang berpendapat bahwa cinta berasal dari kata habba yang bermakna
biji-bijian, jamak dari habbat.
Sehingga kata habbat al-qalb berarti sesuatu yang
menjadi penopang hati. Jadi cinta dinamakan hub dikarenakan ia bagai biji
tersimpan dalan hati yang darinya akan tumbuh perasaan yang melebihi simbol dan
tidak terkonsepkan. Seseorang tidak akan mengerti cinta sampai ia mengalaminya
karena ia adalah sesuatu yang timbul akibat pengalaman batin seseorang.
Begitulah keterangan yang dituliskan dalam “Senandung Cinta Jalaluddin Rumi”
karya Saiful Jazil.
Sementara Zakariyah juga mencoba menarsirkan cinta
dalam kitab Mu’jam al-Maqayiz fi al-Lughah, bahwa cinta atau hub berasal dari
akar kata “ha” dan “ba”. Kata ini mempunyai banyak arti, di antaranya,
“al-ma’ruf” berarti yang dikenal atau terkenal, “al-luzum”, berarti yang sudah
lazim.
Jika dianalisis, kedua makna cinta tersebut pada
hakekatnya mempunyai esensi makna yang sama, yaitu ketika seorang mencintai
sesuatu harus ada pengetahuan dan pengenalan terlebih dahulu terhadap objek
yang dicintai, sehingga dengan mudah dapat bergaul, berdialog akrab, bahkan
“menyatu” dengan yang dicintai, yang dalam wacana sufi selalu dialamatkan
kepada Tuhan.
b. ‘Isyq
Menurut Rumi,
‘isyq adalah mahabbah yang tidak terbilang banyaknya. Dalam literatur tasawuf,
‘isyq diilustrasikan sebagai “cinta majazi” yang diharapkan menjadi eskalator
menuju tower “cinta sejati”. Menurut Ibn ‘Arabi, ‘isyq merupakan fase tertinggi
dari jiwa manusia, sekaligus awal pencapaian kesempurnaannya, hingga kemudian
cinta itu “lenyap” dan melebur dalam daya tarik Allah.[6]
c. Syauq
Kata ini
termasuk salah satu istilah cinta. Di dalam Ash-Shahhah dikatakan, “Asy-Syauqu
wal-Isytiyaq” adalah pergumulan jiwa terhadap sesuatu. Jika dikatakan “Syaqani
asy-syai’u”, artinya Dia merindukanku dan aku merindukan-Nya. Jika dikatakan,
“Tasyawwaqtu”, artinya kerinduan terhadap dirimu bergejolak.[7]
Kerinduan
merupakan bara dan kobaran api cinta yang bersemayam di dalam hati orang yang
mencinta. Kerinduan inilah yang mendorong seseorang untuk selalu berdekatan dan
berhubungan dengan orang yang dicintai.
d. Mawaddah
Kata lain
yang mendekati cinta adalah mawaddah. Ia berasal dari kata wudd yang berarti
al-hubb al-katsir (cinta yang deras). Menurut pakar leksikografi[8] Al-Qur’an
ar-Raghib al-Ishfahani, bila mahabbah hanya sebatas kasih yang tersembunyi
dalam lubuk hati seorang insan, maka mawaddah lebih dari itu.[9]
e. Rahmah
Kata lain
yang juga bersignifikasi dengan mahabbah adalah rahmah. Ia berasal dari kata
rahm, yang berarti rasa kasih yang mendorong munculnya perbuatan baik terhadap
yang dikasihi (objek kasih).[10]
f. Uns
Uns berarti
kenikmatan (kemesraan) karena bercumbu dengan kekasih, Allah swt. Imam Ali bin
Abi Thalib pernah berkata, “Ketahuilah, Allah mempunyai hembusan di
hari-harimu”. Itu berarti setiap hari, Allah memberikan hembusan kepada
kita.[11]
g. Ulfah
Kata ulfah
berasal dari kata kerja alifa, yang berarti mencintai. Ia mewakili subjek
(pecinta). Kata benda ilf mewakili objek (yang dicintai, kekasih). Sedangkan
kata alafa berarti “memadukan”. Menurut ad-Dailami, kata kerja alafa lebih
signifikan karena secara harfiah lebih mencakup kedua pihak, pecinta dan yang
dicintai.[12]
Orang yang
mempunyai rasa cinta pasti punya rasa rindu. Kerinduan untuk berjumpa dan
kehendak melepaskan rasa kangen selalu hidup di dalam hati manusia. Sudah
dijelaskan di atas bagaimana rasa rindu itu mendorong untuk cepat berjumpa
dalam keadaan tenang dan damai di dalam hati seseorang ingin menyampaikan
perasaan hatinya dan keluh kesah atau rasa gembira kepada yang dirindukannya.
Orang yang
mabuk dalam bercinta dengan asyik masyuk-nya, ia berada di dalam suasana tanpa
batas. Dengan seluruh kerinduannya ia menyampaikan perasaan dan isi hatinya,
bahagia dan kenikmatannya berjumpa serta memandang wajahnya sepenuh hati.
Demikian halnya seorang mukmin yang sedang bercinta dengan Allah Al-khalik
Rabbul ‘Alamin, ketika ia bermuwajjahah (bertatap muka) dengan Rabb-nya itu, menyampaikan seluruh
kerinduannya, lalu memandang-Nya dengan sepuas hati tanpa ada satupun yang menghalanginya. Karena
ia berada dalam posisi berhadapan melalui ma’rifat yang sempurna. Makin besar
kerinduannya, makin besar pula nikmat yang diperolehnya.[13]
Dalam
mendefinisikan cinta, hingga saat ini tak seorang pun yang dapat
mendefinisikannya secara tepat dan sempurna. Karena ketika orang mendefinisikan
cinta, sesungguhnya ia mendefinisikannya hanya dari sudut pandang yang mampu ia
serap. Artinya, ada bagian dari “tubuh’ cinta yang tidak mampu mereka serap
hingga tidak bisa mendefinisikannya. Seperti kata Ibn ‘Arabi, “Jika seseorang
mengaku bisa mendefinisikan cinta, jelaslah ia masih belum mengenalnya. Jika
ada orang yang berkata, “Aku sudah kenyang dengan cinta”, ketahuilah, ia masih
buta tentang cinta, kerena tak seorangpun dikenyangkan oleh cinta”.[14]
[1] Muhammad
Muhyidin, op.cit., hlm. 100.
[2] Ibid.
[3] Asfari
MS. Dan Otto Sukatno CR, Mahabbah Cinta Rabi’ah al-Adawiyah, Logung Pustaka,
Yogyakarta, 2005, hlm. 57-58.
[4] Ibnu
Qayyim Al-jauziyyah, Taman Orang-orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu, Darul
Falah, Jakarta, hlm. 7.
[5] Eko
Harianto, Mencari Cinta Sejati, Hakikat, Makna, dan Pencari Jati Diri, Saujana,
Yogyakarta, 2005, hlm. 37.
[6] Muhsin
Labib, op.cit., hlm. 29-30.
[7] Ibnul
Qayyim, op.cit., hlm. 15-16.
[8]
Leksikografi yaitu penyusunan kamus.
[9] Muhsin
Labib, op.cit., hlm. 32.
[10] Ibid.,
hlm. 33.
[11] Ibid.
[12] Ibid.,
hlm. 33-34.
[13]
Djamaluddin Ahmad Al-Buny, Menelusuri Taman-Taman Mahabbah Shufiah, Pustaka
Pelajar Offset, Yogyakarta, 2002, hlm. 41-42.
[14] Muhammad
Muhyidin, op.cit., hlm. 109.
Cinta adalah
sebuah emosi yang lahir dari perasaan kasih dan sayang yang kuat terhadap
sesuatu atau seseorang yang meliputi pengabdian, ketulusan, kejujuran, rasa
ingin memberi, membuat bahagia serta melindungi. Cinta pada hati manusia
membawa perasaan bahagia dan rasa syukur yang luar biasa, sehingga manusia
dapat merasakan kesempurnaan meski dalam keadaan yang sangat sederhana
sekalipun. Dalam Q.S. Maryam ayat 96 disebutkan:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمَٰنُ وُدًّا
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal
saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa
kasih sayang.”
Cinta dalam pandangan para sufi adalah cinta dan
kerinduan kepada Allah. Cinta yang seperti ini, menurut Maulana Rumi terbagi ke
dalam tiga tingkat, yakni,
(1) Cinta karena pemberian. Cinta seperti ini
berada pada tingkat yang paling rendah. Ibarat cinta seorang anak kecil, jika
mereka mencintai orang tua atau orang lain, dipastikan karena mereka sering
memberikan hadiah kepadanya. Cinta pada tingkat ini sangat labil dan tidak
konsisten, jika kesehatan, kecantikan, ketampanan atau kekayaan dihilangkan
atau dicabut oleh Allah, ia akan berkeluh kesah seakan akan Allah tidak pernah
mencintai dirinya,
(2) Cinta atas dasar kekaguman. Manusia mencintai
Allah, karena Allah memang Maha Kuasa, Maha Pengasih, Maha Penyayang. Mencintai
sesuatu atas dasar kekaguman, seperti seseorang mencintai karena orang tersebut
memiliki kelebihan dan keluarbiasaan, dan
(3) Cinta tanpa alasan. Jika seseorang ditanya
“Mengapa mencintai Allah?” lalu menjawab “Saya tidak tau mengapa saya mencintai
Allah”. Ia sudah berusaha keras mencari jawaban atau alasan, tapi tidak juga
bisa ditemukan. Sebenarnya bukan tanpa alasan, justru begitu banyak alasan
sehingga tak mampu ia ungkapkan. Itulah cinta yang suci dan tulus. Begitulah
cinta para sufi kepada Allah. Sebuah cinta tanpa mengharap apa-apa.
Sementara menurut Imam al-Gazali, berdasarkan
tingkatan cinta tersebut maka bentuk cinta kepada Allah itu bisa berbentuk
dalam dua hal, yakni(1) Orang yang jatuh cinta kepadaNya (Allah) setelah
merasakan lezatnya pertemanan denganNya. Orang yang jatuh cinta kepada Allah
karena perjumpaan dengannya, maka kecintaannya tidak dapat dibandingkan. Ia
melihat (ma’rifat) dulu, kemudian jatuh cinta setelah pertemuan itu, dan
(2) Orang yang disebut al-dhu’afa’ (orang-orang
yang lemah). Umumnya orang jatuh cinta setelah berusaha setengah mati belajar
mencintai Dia. Cinta seperti ini direkayasa. Ia tidak jatuh cinta, tapi belajar
mencintai.
Imam Al-Ghazali menambahkan bahwa esensi cinta
(mahabbah) yaitu “Sesungguhnya kecintaan yang paling tinggi setelah diraihnya
adalah mahabbah. Tidak ada maqam lain kecuali buah dari mahabbah itu. Tidak ada
maqam-maqam sebelum mahabbah, kecuali pengantar kepada mahabbah.
Demikianlah konsep cinta dalam sufisme menunjuk
pada kecintaan dan kerinduan untuk bertemu dan bahkan menyatu dengan Allah.
Cinta merupakan puncak perjalanan ruhani dan pendakian mistik seorang hamba
menuju kehadiratNya. Mencintai Allah, mustahil adanya tanpa didahului
pengetahuan dan pengenalan atasNya.
Ketika seseorang jatuh cinta kepada lawan jenisnya,
dia akan berusaha melakukan apa saja, demi mendapatkan perhatian dari orang
yang dicintainya. Bahkan dia akan rela mengorbakan apa saja demi orang yang
dicintainya. Begitu juga bila seseorang pada sesuatu, dia akan berusaha untuk
mendapatkannya, walaupun nyawa menjadi taruhannya.
Cinta itu sebuah perasaan seseorang terhadap
sesuatu yang menyengangkan (nikmat). Semakin kuat kecenderungan dan rasa cinta
itu, akan semakin mengebu-ngebu untuk mendapatkanya. Cinta yang mengebu-ngebu
dalam bahasa Arab disebut dengan
“Isqon”.
Orang yang sedang jatuh cinta, dia akan selalu
ingin menyertainya orang yang dicintainya kemana-pun dia pergi. Dia juga akan
mengorbankan semua apa yang dimilikinya demia orang yang dicintainya. Karena
cinta, apapun akan terlihat seperti orang yang dicintainya. Yang pelit berubah
menjadi dermawan, yang penakut menjadi pemberani, yang lemah menjadi kuat dan
semangat, dan tua merasa menjadi muda. Ketika berjalan berdia, tidak ingin
segera sampai tujuan, dan ketika berduaan, rasanya bergitu cepat waktu
berjalan. Cinta seperti bisa merubah segalanya.
Dalam kajian ilmu tasawwuf, mahabbah (cinta) diartikan dengan mengosongkan hati dari segala-galanya, kecuali Allah SWT, serta menyerahkan seluruh diri kepada-Nya. Karena selain Allah SWT, akan menjadi penghalang interaksi dengan Allah SWT. Imam Al-Gozali berpendapat “cinta seorang mukimin terhadap Allah SWT, berarti mengikuti perintah-Nya, dan mengharapkan ridho-Nya. Sedangkan cinta Allah SWT terhadap orang mukmin, berarti Allah SWT memujin hambanya, memberikan balasan atas semua amal manusia, serta memberikan kenikmatan dengan rahmat-Nya yang begitu luas, juga memanfaatkan atas kesalahan yang dilakukan seorang hamba”. Allah SWT akan memafaatkan dosa-dosa seorang hamba, tidak perduli berapa-pun besar dosanya.
Istilah cinta di dalam Kitab Suci
Di dalam Al-Quran banyak ditemukan istilah cinta,
seperti; mawaddah, dimana istilah ini sering digunakan di dalam sebuah
pernikahan, yaitu rasa cinta seseorang laki-laki kepada lawan jenisnya.
Selanjutnya, istilah “Ar-Rahmah” yang artinya “kasih sayang”. Biasanya,
Ar-Rahmah kasih sayang seorang suami atau isti kepada pasangan hidupnya
masing-masing, sehingga seseorang rela berkorban demi pasangan yang
dicintainya.
Ada juga istilah “saghif” yang artianya cinta yang
mengebu-ngebu (mabuk cinta). Lihat QS Yusuf (12:30). Seorang wanita atau
laki-laki juga akan mengalami mabuk asmara. Dimana orang yang sedang jatuh
cinta seperti ini, akan melakukan apa-pun, demi untuk orang yang dicintainya.
Biasanya, yang demikian akan merasa getun (menyesal), jika sudah menyadarinya.
Wajar sajalah, jika Rosulullah SAW mengatakan “sebaik-baik perkara itu
tenggah-tenggah”, aliasa tidak lebay. Begitu banyak istilah cinta dengan
berbagai redaksinya, sekaligus menjadi isarah betapa pentingnya makna sebuah
cinta.
Cinta Menurut Menurut Al-Ghozali.
Orang seringkali mengucapkan dan mengungkapkan rasa
cinta, tetapi kadang tidak sesuai dengan kenyataannya. Jangan pernah mengatakan
cinta kepada-Nya, dan Rosulnya, jika masih mengotori lisannya dengan kata-kata
“kasar, kotor, tidak senonoh, bahkan misuh-misuh”. Jangan pernah mengatakan
cinta kepada Allah SWT dan Rosulnya, jika masih sering “mencani, memaki, dan
menyesatkan sesama muslim, bahkan mengkafirkan sesama muslim”. Silahkan mengaku
pengikut sunnah, tetapi jika prilakunya tidak sesuai dengan sunnah, itu sama
dengan berdusta kepada Rosulullah SAW.
Imam Al-Ghozali di dalam kitab “Mukasafatu
Al-Qulub” menyebutkan orang-orang yang mengatakan cinta, tetapi sejatinya dia
berdusta”.:
1. Siapa yang mengaku cinta surga-Nya, tetapi
tidak taat kepada-Nya, maka dia termasuk pendusta.
2.
Barangsiapa yang mengaku cinta kepada Rosulullah SAW tetapi tidak cinta
terhadap ulama dan orang-orang fakir, maka ia termasuk pendusta.
3. Barangsiapa
mengaku takut masuk neraka tetapi tidak meninggalkan maksiat (larangan-Nya),
maka ia termasuk pendusta.
4.
Barangsiapa mengaku cinta kepada Allah SWT, tetapi selalu berkeluh kesah
ketika mendapatkan ujian, maka ia termasuk pendusta.
Suatu ketika,
sebelum ajal menjempu, Rosulullah SAW mengumpukan sahabat-sahabatnya dan
berkata kepada mereka “siapakah orang yang pernah saya sakiti”. Tiba-tiba
seorang laki-laki mengangat telunjuknya, dan berkata “saya wahai Rosulullah
SAW”. Mendengar ucapan itu, Umar Ibn Al-Khattab ra sangat geram terhadap
laki-laki tersebut.
Laki-laki
itu tidak perduli, walaupun dianggap tidak santun kepada Rosulullah SAW.
Kemudian laki-laki itu mengatakan “bukalah bajumu wahai Rosulullah SAW, karena
waktu itu kulitku terkena cambukmu (kayu). Kemudian Nabi SAW membuka bajunya.
Tidak disangka, tiba-tiba laki-laki mendekat dan memeluk tubuh Rosulullah SAW.
Lalu berkata lembut sambil meneteskan air mata “saya hanya ingin kulit ini
bersentuhan dengan kulitmu wahai Rosulullah SAW”. Itu cinta seorang sahabat
terhadap junjungannya. Karena kulit Rosulullah SAW, begitu lembut dan seperti
kulitnya ahli surga. Siapa yang pernah bersentuhan dengan kulit mulianya,
seoalah-olah mendapatkan separuh dari surga Allah SWT.
Masih membincangkan masalah cinta, Allah SWT pernah
berfirman “”katakanlah:”Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Mahapengampun lagi
Mahapenyayang. Katakanlah: “Taatilah Allah dan Rasul-Nya; Jika kamu berpaling,
maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (QS. Ali Imran
(3:31-32).
Sejauh mana seseorang mencintai Rosulullah SAW dan
mengikutinya dengan penuh cinta, maka sejauh itu pula Allah SWT mencintainya,
dan memberikan maaf atas kesalahan hamba-hamba-Nya. Rosulullah SAW mengenali
orang-orang yang mencintai dirinya, dan sering menyebut-nyebut namanya dengan
banyak sholawat dan salam atas dirinya. Semakin banyak bersholawat dan salam
atas Rosulullah SAW, akan semakin dikenali dan dicintai oleh Rosulullah SAW.
Seorang sahabat dari desa bertanya kepada
Rosulullah SAW”Kapan datangnya hari qiamat? Nabi Muhammad SAW menjawab “apakah
yang sudah engkau persiapkan diri” laki-laki itu menjawab “ tidak wahai
Rosulullah”. Sesungguhnya aku hanya mencintai Allah SWT dan Rosulullah SAW”.
Kemuduan Rosulullah SAW menjawab dengan singkat “engkau kelak bersama dengan
orang engaku cintai”. Cinta kepada Nabi SAW, akan membuat seseorang banyak
bersholawat, dan mengikuti sunnahnya, dan tidak akan sedikit-pun berkata-kata
kasar, kotor, apalagi menyesatkan dan mengakafirkan sesama muslim.
Seorang wanita yang tekenal dengan nama “Rabiah
Al-Adawiyah” adalah orang yang sufi yang mengutarkan hakekat cinta kepada Allah
SWT. Rabiah Al-Adawiyah adalah sosok
wanita yang benar-benar mengedepankan cinta Allah SWT di atas segala-galanya.
Sampai-sampai Rabiah Al-Adawiyah berkata “ Ya Allah, Tuhaku jika aku beribadah
kepada-Mu karena takut siksaan neraka, maka bakarlah diriku di dalam panasanya api
neraka itu. Ya Allah…jika aku beribadah kepada-Mu karena mengharap surga-Mu,
maka jauhkanlah aku dari sorga-Mu. Aku beribadah kepada-Mu, karena Engkaulah
yang wajib dan layak disembah, maka jangan sembunyikan keindahan Wajah-Mu”.
Karena cinta
kepada Allah SWT, Rabiah Al-Adawiyah melupakan segala macam kesengangan
duniawi, karena duniawi seringkali menjadikan manusia lalai akan kewajiban
sebagai seorang hamba. Rabiah Al-Adawiyah mengosongkan hatinya dari urusan
kenikmatan dan kelezatan duniawi, yang ada adalah “Mahabbah terhadap Allah
SWT”.
1. Siapa yang mengaku cinta surga-Nya,
tetapi tidak taat kepada-Nya, maka dia termasuk pendusta.
2.
Barangsiapa yang mengaku cinta kepada Rosulullah SAW tetapi tidak cinta
terhadap ulama dan orang-orang fakir, maka ia termasuk pendusta.
3.
Barangsiapa mengaku takut masuk neraka tetapi tidak meninggalkan maksiat
(larangan-Nya), maka ia termasuk pendusta.
4.
Barangsiapa mengaku cinta kepada Allah SWT, tetapi selalu berkeluh kesah
ketika mendapatkan ujian, maka ia termasuk pendusta.
Suatu ketika,
sebelum ajal menjempu, Rosulullah SAW mengumpukan sahabat-sahabatnya dan
berkata kepada mereka “siapakah orang yang pernah saya sakiti”. Tiba-tiba
seorang laki-laki mengangat telunjuknya, dan berkata “saya wahai Rosulullah
SAW”. Mendengar ucapan itu, Umar Ibn Al-Khattab ra sangat geram terhadap
laki-laki tersebut.
Laki-laki
itu tidak perduli, walaupun dianggap tidak santun kepada Rosulullah SAW.
Kemudian laki-laki itu mengatakan “bukalah bajumu wahai Rosulullah SAW, karena
waktu itu kulitku terkena cambukmu (kayu). Kemudian Nabi SAW membuka bajunya.
Tidak disangka, tiba-tiba laki-laki mendekat dan memeluk tubuh Rosulullah SAW.
Lalu berkata lembut sambil meneteskan air mata “saya hanya ingin kulit ini bersentuhan
dengan kulitmu wahai Rosulullah SAW”. Itu cinta seorang sahabat terhadap
junjungannya. Karena kulit Rosulullah SAW, begitu lembut dan seperti kulitnya
ahli surga. Siapa yang pernah bersentuhan dengan kulit mulianya, seoalah-olah
mendapatkan separuh dari surga Allah SWT.
Masih membincangkan masalah cinta, Allah SWT pernah
berfirman “”katakanlah:”Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Mahapengampun lagi
Mahapenyayang. Katakanlah: “Taatilah Allah dan Rasul-Nya; Jika kamu berpaling,
maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (QS. Ali Imran
(3:31-32).
Sejauh mana seseorang mencintai Rosulullah SAW dan
mengikutinya dengan penuh cinta, maka sejauh itu pula Allah SWT mencintainya,
dan memberikan maaf atas kesalahan hamba-hamba-Nya. Rosulullah SAW mengenali
orang-orang yang mencintai dirinya, dan sering menyebut-nyebut namanya dengan
banyak sholawat dan salam atas dirinya. Semakin banyak bersholawat dan salam
atas Rosulullah SAW, akan semakin dikenali dan dicintai oleh Rosulullah SAW.
Seorang sahabat dari desa bertanya kepada
Rosulullah SAW”Kapan datangnya hari qiamat? Nabi Muhammad SAW menjawab “apakah
yang sudah engkau persiapkan diri” laki-laki itu menjawab “ tidak wahai
Rosulullah”. Sesungguhnya aku hanya mencintai Allah SWT dan Rosulullah SAW”.
Kemuduan Rosulullah SAW menjawab dengan singkat “engkau kelak bersama dengan
orang engaku cintai”. Cinta kepada Nabi SAW, akan membuat seseorang banyak
bersholawat, dan mengikuti sunnahnya, dan tidak akan sedikit-pun berkata-kata
kasar, kotor, apalagi menyesatkan dan mengakafirkan sesama muslim.
Seorang wanita yang tekenal dengan nama “Rabiah
Al-Adawiyah” adalah orang yang sufi yang mengutarkan hakekat cinta kepada Allah
SWT. Rabiah Al-Adawiyah adalah sosok
wanita yang benar-benar mengedepankan cinta Allah SWT di atas segala-galanya.
Sampai-sampai Rabiah Al-Adawiyah berkata “ Ya Allah, Tuhaku jika aku beribadah
kepada-Mu karena takut siksaan neraka, maka bakarlah diriku di dalam panasanya
api neraka itu. Ya Allah…jika aku beribadah kepada-Mu karena mengharap
surga-Mu, maka jauhkanlah aku dari sorga-Mu. Aku beribadah kepada-Mu, karena
Engkaulah yang wajib dan layak disembah, maka jangan sembunyikan keindahan
Wajah-Mu”.
Karena cinta kepada Allah SWT, Rabiah Al-Adawiyah
melupakan segala macam kesengangan duniawi, karena duniawi seringkali
menjadikan manusia lalai akan kewajiban sebagai seorang hamba. Rabiah
Al-Adawiyah mengosongkan hatinya dari urusan kenikmatan dan kelezatan duniawi,
yang ada adalah “Mahabbah terhadap Allah SWT”.
Nabi Muhammad Sholallahu alaihi Wassalam sendiri –yang notabene pembawa agama Islam– diutus oleh Allah untuk membawa misi sebagai kasih sayang bagi alam semesta (rahmah lil ‘alamin). Lebih jauh lagi, tasawuf sebagai salah satu bentuk pemahaman dalam Islam telah memperkenalkan betapa ajaran cinta (mahabbah) menempati kedudukan yang tinggi. Hal itu terlihat dari bagaimana para ulama sufi, seperti al-Ghazali, menempatkan mahabbah sebagai salah satu tingkatan puncak yang harus dilalui para sufi.
Wajah sejuk
dan teduh tasawuf yang mendedahkan cinta, dari dulu sejak zaman Rabi’ah
al-Adawiyah hingga di zaman modern sekarang, tak pelak menarik orang-orang yang
tertarik dengan pencarian kebahagiaan dan kebenaran hakiki. Apalagi di zaman
modern sekarang ketika alienasi sosial begitu banyak terjadi, terutama di
masyarakat Barat. Alienasi tersebut terjadi di antaranya karena kemajuan
material ternyata banyak mengorbankan penderitaan spiritual.
Kemudahan-kemudahan hidup yang dihasilkan oleh kemajuan teknologi modern
membuat banyak orang jadi mengabaikan ruang rohani dalam dirinya.
DASAR-DASAR
AJARAN MAHABBAH
1. Dasar Syara’
Ajaran
mahabbah memiliki dasar dan landasan, baik di dalam Alquran maupun Sunah Nabi
SAW. Hal ini juga menunjukkan bahwa
ajaran tentang cinta khususnya dan tasawuf umumnya, dalam Islam tidaklah
mengadopsi dari unsur-unsur kebudayaan asing atau agama lain seperti yang
sering ditudingkan oleh kalangan orientalis.[4]
a. Dalil-dalil dalam al-Qur’an, misalnya
sebagai berikut:
1) QS. Al-Baqarah ayat 165
Dan di antara
manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka
mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang
beriman, sangat besar cinta mereka kepada Allah. Dan jika seandainya
orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada
hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat
berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).
2) QS. Al-Maidah ayat 54
Hai
orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari
agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai
mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang
yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di
jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah
karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha
luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.
3) QS. Ali Imran ayat 31
Katakanlah:
“Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai
dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
b. Dalil-dalil dalam hadis Nabi Muhammad
SAW, misalnya sebagai berikut:
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ
اْلإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا
وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ ِللهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ
فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
Tiga hal yang barang siapa mampu melakukannya, maka
ia akan merasakan manisnya iman, yaitu: pertama Allah dan Rasul-Nya lebih ia
cintai daripada selain keduanya; kedua: tidak mencintai seseorang kecuali hanya
karena Allah; ketiga benci kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci
dilemparkan ke neraka.
….. وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ
إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ
الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي
يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا …
….Tidaklah seorang hamba-Ku senantiasa mendekati-Ku
dengan ibadah-ibadah sunah kecuali Aku akan mencintainya. Jika Aku
mencintainya, maka Aku pun menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk
mendengar; menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat; menjadi
tangannya yang ia gunakan untuk memukul; dan menjadi kakinya yang ia gunakan
untuk berjalan. …
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ
وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِين
Tidak beriman seseorang dari kalian sehingga aku
lebih dicintainya daripada anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia.
2.
Dasar Filosofis
Dalam mengelaborasi dasar-dasar filosofis ajaran
tentang cinta (mahabbah) ini, al-Ghazali merupakan ulama tasawuf yang pernah
melakukannya dengan cukup bagus. Menurut beliau, ada tiga hal yang mendasari
tumbuhnya cinta dan bagaimana kualitasnya, yaitu sebagai berikut:
a.
Cinta tidak akan terjadi tanpa proses pengenalan (ma’rifat) dan
pengetahuan (idrak)
Manusia hanya akan mencintai sesuatu atau seseorang
yang telah ia kenal. Karena itulah, benda mati tidak memiliki rasa cinta.
Dengan kata lain, cinta merupakan salah satu keistimewaan makhluk hidup. Jika
sesuatu atau seseorang telah dikenal dan diketahui dengan jelas oleh seorang
manusia, lantas sesuatu itu menimbulkan kenikmatan dan kebahagiaan bagi
dirinya, maka akhirnya akan timbul rasa cinta. Jika sebaliknya, sesuatu atau
seseorang itu menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan, maka tentu ia akan
dibenci oleh manusia. [8]
b. Cinta
terwujud sesuai dengan tingkat pengenalan dan pengetahuan
Semakin intens pengenalan dan semakin dalam
pengetahuan seseorang terhadap suatu obyek, maka semakin besar peluang obyek
itu untuk dicintai. Selanjutnya, jika semakin besar kenikmatan dan kebahagiaan
yang diperoleh dari obyek yang dicintai, maka semakin besar pula cinta terhadap
obyek yang dicintai tersebut.
Kenikmatan dan kebahagiaan itu bisa dirasakan
manusia melalui pancaindranya. Kenikmatan dan kebahagiaan seperti ini juga
dirasakan oleh binatang. Namun ada lagi kenikmatan dan kebahagiaan yang
dirasakan bukan melalui pancaindra, namun melalui mata hati. Kenikmatan
rohaniah seperti inilah yang jauh lebih kuat daripada kenikmatan lahiriah yang
dirasakan oleh pancaindra. Dalam konteks inilah, cinta terhadap Tuhan
terwujud.
c.
Manusia tentu mencintai dirinya
Hal pertama yang dicintai oleh makhluk hidup adalah
dirinya sendiri dan eksistensi dirinya. Cinta kepada diri sendiri berarti
kecenderungan jiwa untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menghindari
hal-hal yang bisa menghancurkan dan membinasakan kelangsungan hidupnya.
Selanjutnya
al-Ghazali juga menguraikan lebih jauh tentang hal-hal yang menyebabkan
tumbuhnya cinta.[9] Pada gilirannya, sebab-sebab tersebut akan mengantarkan
seseorang kepada cinta sejati, yaitu cinta kepada Tuhan Yang Maha Mencintai.
Sebab-sebab itu adalah sebagai berikut:
a.
Cinta kepada diri sendiri, kekekalan, kesempurnaan, dan keberlangsungan
hidup
Orang yang mengenal diri dan Tuhannya tentu ia pun
mengenal bahwa sesungguhnya ia tidak memiliki diri pribadinya. Eksistensi dan
kesempurnaan dirinya adalah tergantung kepada Tuhan yang menciptakannya. Jika
seseorang mencintai dirinya dan kelangsungan hidupnya, kemudian menyadari bahwa
diri dan hidupnya dihasilkan oleh pihak lain, maka tak pelak ia pun akan
mencintai pihak lain tersebut. Saat ia mengenal bahwa pihak lain itu adalah
Tuhan Yang Maha Pencipta, maka cinta kepada Tuhan pun akan tumbuh. Semakin
dalam ia mengenal Tuhannya, maka semakin
dalam pula cintanya kepada Tuhan.
b. Cinta
kepada orang yang berbuat baik
Pada galibnya, setiap orang yang berbuat tentu akan
disukai oleh orang lain. Hal ini merupakan watak alamiah manusia untuk menyukai
kebaikan dan membenci kejahatan. Namun pada dataran manusia dan makhluk
umumnya, pada hakikatnya kebaikan adalah sesuatu yang nisbi. Karena
sesungguhnya, setiap kebaikan yang dilaksanakan oleh seseorang hanyalah sekedar
menggerakkan motif tertentu, baik motif duniawi maupun motif ukhrawi.
Untuk motif duniawi, hal itu adalah jelas bahwa
kebaikan yang dilakukan tidaklah ikhlas. Namun untuk motif ukhrawi, maka
kebaikan yang dilakukan juga tidak ikhlas, karena masih mengharapkan pahala,
surga, dan seterusnya. Pada hakikatnya, ketika seseorang memiliki motif ukhrawi
atau agama, maka hal itu juga akan mengantarkan kepada pemahaman bahwa Allah
jugalah yang berkuasa menanamkan ketaatan dan pengertian dalam diri dan hatinya
untuk melakukan kebaikan sebagaimana yang Allah perintahkan. Dengan kata lain,
orang yang berbuat baik tersebut pada hakikatnya juga terpaksa, bukan
betul-betul mandiri, karena masih berdasarkan perintah Allah.
Ketika kesadaran bahwa semua kebaikan berujung
kepada Allah, maka cinta kepada kebaikan pun berujung kepada Allah. Hanya Allah
yang memberikan kebaikan kepada makhluk-Nya tanpa pamrih apapun. Allah berbuat
baik kepada makhluk-Nya bukan agar Ia disembah. Allah Maha Kuasa dan Maha Suci
dari berbagai pamrih. Bahkan meskipun seluruh makhluk menentang-Nya, kebaikan
Allah kepada para makhluk tetap diberikan. Kebaikan-kebaikan Allah kepada
makhluk-Nya itu sangat banyak dan tidak akan mampu oleh siapa pun. Karena itulah,
pada gilirannya bagi orang yang betul-betul arif, akan timbul cinta kepada
Allah sebagai Dzat Yang Maha Baik, yang memberikan berbagai kebaikan dan
kenikmatan yang tak terhitung jumlahnya.
c.
Mencintai diri orang yang berbuat baik meskipun kebaikannya tidak
dirasakan
Mencintai kebaikan per se juga merupakan watak
dasar manusia. Ketika seseorang mengetahui bahwa ada orang yang berbuat baik,
maka ia pun akan menyukai orang yang berbuat baik tersebut, meskipun
kebaikannya tidak dirasakannya langsung. Seorang penguasa yang baik dan adil,
tentu akan disukai rakyatnya, meskipun si rakyat jelata tidak pernah menerima
langsung kebaikan sang penguasa. Sebaiknya, seorang pejabat yang lalim dan
korup, tentu akan dibenci oleh rakyat, meski sang rakyat tidak mengalami
langsung kelaliman dan korupsi sang pejabat.
Hal ini pun pada gilirannya akan mengantar kepada
cinta terhadap Allah. Karena bagaimanapun, hanya karena kebaikan Allah tercipta
alam semesta ini. Meski seseorang mungkin tidak langsung merasakannya, kebaikan
Allah yang menciptakan seluruh alam semesta ini menunjukkan bahwa Allah memang
pantas untuk dicintai. Kebaikan Allah yang menciptakan artis Dian Sastrowardoyo
nan cantik jelita namun tinggal di Jakarta, misalnya, adalah kebaikan yang
tidak langsung dirasakan seorang Iwan Misbah yang tinggal nun jauh di Ciwidey.
d. Cinta
kepada setiap keindahan
Segala yang indah tentu disukai, baik yang bersifat
lahiriah maupun batiniah. Lagu yang indah dirasakan oleh telinga. Wajah yang
cantik diserap oleh mata. Namun keindahan sifat dan perilaku serta kedalaman
ilmu, juga membuat seorang Imam Syafi’i, misalnya, dicintai oleh banyak orang.
Meskipun mereka tidak tahu apakah wajah dan penampilan Imam Syafi’i betul-betul
menarik atau tidak. Keindahan yang terakhir inilah yang merupakan keindahan
batiniah. Keindahan yang bersifat batiniah inilah yang lebih kuat daripada
keindahan yang bersifat lahiriah. Keindahan fisik dan lahiriah bisa rusak dan
sirna, namun keindahan batiniah relatif lebih kekal.
Pada gilirannya, segala keindahan itu pun akan
berujung pada keindahan Tuhan yang sempurna. Namun keindahan Tuhan adalah
keindahan rohaniah yang hanya dapat dirasakan oleh mata hati dan cahaya batin.
Orang yang betul-betul menyadari betapa Tuhan Maha Mengetahui, Maha Kuasa, dan
segala sifat kesempurnaan melekat dalam Zat-Nya, maka tak ayal ia pun akan
menyadari betapa indahnya Tuhan, sehingga sangat pantas Tuhan untuk dicintai.
e.
Kesesuaian dan keserasian
Jika sesuatu menyerupai sesuatu yang lain, maka
akan timbul ketertarikan antara keduanya. Seorang anak kecil cenderung lebih
bisa akrab bergaul dengan sesama anak kecil. Seorang dosen tentu akan mudah
berteman dengan sesama dosen daripada dengan seorang tukang becak. Ketika dua
orang sudah saling mengenal dengan baik, maka tentu terdapat kesesuaian antara
keduanya. Berangkat dari kesesuaian dan keserasian inilah akhirnya muncul
cinta. Sebaliknya, jika dua orang tidak saling mengenal, kemungkinan besar karena
memang terdapat perbedaan dan ketidakcocokan antara keduanya. Karena
ketidakcocokan dan perbedaan pula akan muncul tidak suka atau bahkan benci.
Dalam konteks kesesuaian dan keserasian inilah,
cinta kepada Tuhan akan muncul. Meski demikian, kesesuaian yang dimaksud ini
bukanlah bersifat lahiriah seperti yang diuraikan di atas, namun kesesuaian
batiniah. Sebagian hal tentang kesesuaian batiniah ini merupakan misteri dalam
dunia tasawuf yang menurut al-Ghazali tidak boleh diungkapkan secara terbuka.
Sedangkan sebagian lagi boleh diungkapkan, seperti bahwa seorang hamba boleh
mendekatkan diri kepada Tuhan dengan meniru sifat-sifat Tuhan yang mulia,
misalnya ilmu, kebenaran, kebaikan, dan lain-lain.
Terkait dengan sebab keserasian dan kecocokan ini,
satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa Allah tidak akan pernah ada yang
mampu menandingi atau menyerupainya. Keserasian yang terdapat dalam jiwa
orang-orang tertentu yang dipilih oleh Allah, sehingga ia mampu mencintai Allah
dengan sepenuh hati, hanyalah dalam arti metaforis (majazi). Keserasian
tersebut adalah wilayah misteri yang hanya diketahui oleh orang-orang yang
betul-betul mengalami cinta ilahiah.
C. RABI’AH
AL-ADAWIYAH: PERINTIS TASAWUF CINTA
Sosok sufi perempuan ini sangat dikenal dalam dunia
tasawuf. Ia hidup di abad kedua Hijriah, dan meninggal pada tahun 185 H. Meski
ia hidup di Bashrah sebagai seorang hamba sahaya dari keluarga Atiq, hal itu
tidak menghalanginya tumbuh menjadi seorang sufi yang disegani di zamannya,
bahkan hingga di zaman modern sekarang ini.[10]
Corak tasawuf Rabi’ah yang begitu menonjolkan cinta
kepada Tuhan tanpa pamrih apapun merupakan suatu corak tasawuf yang baru di
zamannya. Pada saat itu, tasawuf lebih didominasi corak kehidupan zuhud
(asketisme) yang sebelumnya dikembangkan oleh Hasan al-Bashri yang mendasarkan
ajarannya pada rasa takut (khauf) kepada Allah. Corak tasawuf yang dikembangkan
oleh Rabi’ah tersebut kelak membuatnya begitu dikenal dan menduduki posisi
penting dalam dunia tasawuf.[11]
Sedemikian tulusnya cinta kepada Allah yang
dikembangkan oleh Rabi’ah, bisa dilihat, misalnya, dalam sebuah munajat yang ia
panjatkan: “Tuhanku, sekiranya aku beribadah kepada-Mu karena takut neraka-Mu,
biarlah diriku terbakar api jahanam. Dan sekiranya aku beribadah kepada-u
karena mengharap surga-Mu, jauhkan aku darinya. Tapi, sekiranya aku beribadah
kepada-Mu hanya semata cinta kepada-Mu, Tuhanku, janganlah Kauhalangi aku
melihat keindahan-Mu yang abadi.”[12]
Saking besar dan tulusnya cinta Rabi’ah kepada
Allah, maka seolah cintanya telah memenuhi seluruh kalbunya. Tak ada lagi
tersisa ruang di hatinya untuk mencintai selain Allah, bahkan kepada Nabi
Muhammad sekalipun. Pun, tak ada ruang lagi di kalbunya untuk membenci apapun,
bahkan kepada setan sekalipun. Seluruh hatinya telah penuh dengan cinta kepada
Tuhan semata. Hal ini juga Rabi’ah tunjukkan dengan memutuskan untuk tidak
menikah sepanjang hidupnya, karena ia menganggap seluruh diri dan hidupnya
hanya untuk Allah semata.[13]
D.
DOKTRIN-DOKTRIN MAHABBAH
1. Makna
Cinta di Kalangan Sufi
Dalam tasawuf, konsep cinta (mahabbah) lebih
dimaksudkan sebagai bentuk cinta kepada Tuhan.[14] Meski demikian, cinta kepada
Tuhan juga akan melahirkan bentuk kasih sayang kepada sesama, bahkan kepada
seluruh alam semesta. Hal ini bisa dilacak pada dalil-dalil syara’, baik dalam
Alquran maupun hadis yang menunjukkan tentang persoalan cinta. Sebagian dalil
tersebut telah disebutkan pada bagian sebelumnya dalam makalah ini.
Secara terminologis, sebagaimana dikatakan al-Ghazali,
cinta adalah suatu kecenderungan terhadap sesuatu yang memberikan manfaat.
Apabila kecenderungan itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan rindu.
Sedangkan sebaliknya, benci adalah kecenderungan untuk menghindari sesuatu yang
menyakiti. Apabila kecenderungan untuk menghindari itu mendalam dan menguat,
maka ia dinamakan dendam.[15]
Menurut Abu Yazid al-Busthami mengatakan bahwa
cinta adalah menganggap sedikit milikmu yang sedikit dan menganggap banyak
milik Dzat yang kau cintai. Sementara Sahl bin Abdullah al-Tustari menyatakan
bahwa cinta adalah melakukan tindak-tanduk ketaatan dan menghindari
tindak-tanduk kedurhakaan.[16] Bagi al-Junaid, cinta adalah kecenderungan hati.
Artinya, kecenderungan hati seseorang kepada Allah dan segala milik-Nya tanpa
rasa beban.[17]
2. Cinta
Sejati adalah Cinta kepada Allah
Bagi al-Ghazali, orang yang mencintai selain Allah,
tapi cintanya tidak disandarkan kepada Allah, maka hal itu karena kebodohan dan
kepicikan orang tersebut dalam mengenal Allah. Cinta kepada Rasulullah SAW,
misalnya, adalah sesuatu yang terpuji karena cinta tersebut merupakan
manifestasi cinta kepada Allah. Hal itu karena Rasulullah adalah orang yang
dicintai Allah. Dengan demikian, mencintai orang yang dicintai oleh Allah,
berarti juga mencintai Allah itu sendiri. Begitu pula semua bentuk cinta yang
ada. Semuanya berpulang kepada cinta terhadap Allah.[18]
Jika sudah dipahami dan disadari dengan baik lima
sebab timbulnya cinta yang telah diuraikan al-Ghazali sebelumnya, maka juga
bisa disadari bahwa hanya Allah yang mampu mengumpulkan sekaligus kelima faktor
penyebab cinta tersebut. Kelima faktor penyebab tersebut terjadi pada diri
manusia hanyalah bersifat metaforis (majazi), dan bukanlah hakiki.[19] Hanya
Allah Yang Maha Sempurna. Ia tidak bergantung kepada apapun dan siapa pun.
Kesempurnaan itulah yang akan mengantarkan seseorang kepada cinta sejati, yaitu
cinta terhadap Allah.[20]
3.
Mahabbah: antara Maqam dan Hal
Sebagaimana diketahui, dalam terminologi tasawuf
ada istilah maqam (tingkatan) dan hal (keadaan, kondisi kejiwaan). Menurut
as-Sarraj ath-Thusi dalam kitabnya al-Luma’, maqam merujuk kepada tingkatan
seorang hamba di depan Tuhan pada suatu tingkat yang ia ditempatkan di
dalamnya, berupa ibadah, mujahadah, riyadhah, dan keterputusan (inqitha’)
kepada Allah. Sedangkan hal adalah apa yang terdapat di dalam jiwa atau sesuatu
keadaan yang ditempati oleh hati. Sementara menurut al-Junaid, hal adalah suatu
“tempat” yang berada di dalam jiwa dan tidak statis.[21]
Menurut al-Ghazali, cinta kepada Allah (mahabbah)
merupakan tingkatan (maqam) puncak dari rangkaian tingkatan dalam tasawuf. Tak
ada lagi tingkatan setelah mahabbah selain hanya sekedar efek sampingnya saja,
seperti rindu (syauq), mesra (uns), rela (ridla), dan sifat-sifat lain yang
serupa. Di samping itu, tidak ada satu tingkatan pun sebelum mahabbah selain
hanya sekedar pendahuluan atau pengantar menuju ke arah mahabbah, seperti
taubat, sabar, zuhud, dan lain-lain.[22] Cinta sebagai maqam ini juga diamini
oleh Ibn Arabi. Menurutnya, cinta merupakan maqam ilahi.[23]
Berbeda dengan al-Ghazali, menurut al-Qusyairi,
mahabbah merupakan termasuk hal. Bagi al-Qusyairi, cinta kepada Tuhan
(mahabbah) merupakan suatu keadaan yang mulia saat Tuhan bersaksi untuk sang
hamba atas keadaannya tersebut. Tuhan memberitahukan tentang cinta-Nya kepada
sang hamba. Dengan demikian, Tuhan disifati sebagai yang mencintai sang hamba.
Selanjutnya, sang hamba pun disifati sebagai yang mencintai Tuhan.[24]
4.
Tingkatan Cinta
Dilihat dari segi orangnya, menurut Abu Nashr
ath-Thusi, cinta kepada Tuhan terbagi menjadi tiga macam cinta. Pertama, cinta
orang-orang awam. Cina seperti ini muncul karena kebaikan dan kasih sayang
Tuhan kepada mereka. Ciri-ciri cinta ini adalah ketulusan dan keteringatan
(zikir) yang terus-menerus. Karena jika orang mencintai sesuatu, maka ia pun
akan sering mengingat dan menyebutnya.[25]
Kedua, cinta orang-orang yang shadiq dan
mutahaqqiq. Cinta mereka ini timbul karena penglihatan mata hati mereka
terhadap kekayaan, keagungan, kebesaran, pengetahuan dan kekuasaan Tuhan.
Ciri-ciri cinta ini adalah “terkoyaknya tabir” dan “tersingkapnya rahasia”
Tuhan. Selain itu, ciri lain adalah lenyapnya kehendak serta hilangnya semua
sifat (kemanusiaan dan keinginan duniawi).[26]
Ketiga, cinta orang-orang shiddiq dan arif. Cinta
macam ini timbul dari penglihatan dan pengenalan mereka terhadap ke-qadim-an
Cinta Tuhan tanpa sebab (illat) apapun. Menurut Zunnun al-Mishri, sifat cinta
ini adalah terputusnya cinta dari hati dan tubuh sehingga cinta tidak lagi
bersemayam di dalamnya, namun yang bersemayam hanyalah segala sesuatu dengan
dan untuk Allah. Sedangkan menurut Abu Ya’qub as-Susi, cirinya alah berpaling
dari cinta menuju kepada Yang Dicintai. Sementara al-Junaid menambahkan bahwa
ciri cinta macam ini adalah meleburnya sifat-sifat Yang Dicintai kepada yang
mencintai sebagai pengganti sifat-sifatnya.[27]
E.
PENGARUH DOKTRIN MAHABBAH
Semenjak
Rabi’ah al-Adawiyah mengungkapkan corak tasawuf melalui puisi, prosa, atau
dialognya, ajaran cinta ilahi (mahabbah) pun mulai menjadi tema menarik di
kalangan tasawuf. Gambaran tentang Tuhan pun tidak lagi begitu menakutkan
seperti sebelumnya. Tuhan seolah menjadi lebih dekat dan lebih “manusiawi”.
Pada perkembangan tasawuf selanjutnya, mahabbah
selalu menjadi tema yang mendapat pembahasan secara khusus. Para sufi pun
banyak yang membahas lebih mendalam tentang tema ini dalam karya-karya mereka,
seperti al-Hujwairi dengan Kasyf al-Mahjub, ath-Thusi dengan al-Luma’,
al-Qusyairi dengan ar-Risalah al-Qusyairiyyah, al-Ghazali dengan Ihya
Ulumiddin, Ibnu Arabi dalam al-Futuhat al-Makkiyah, dan lain-lain.
Pada bidang puisi, banyak para sufi yang juga
sekaligus penyair yang kemudian menyenandung cinta ilahi, seperti Abu Sa’id bin
Abi al-Khair, al-Jilli, Ibnu al-Faridh, Jalaluddin Rumi, dan lain-lain. Hingga
sekarang, para penyair sufi kontemporer masih banyak yang menyenandungkan
puisi-puisi cinta ilahi, seperti Syekh Fattah yang membentuk kelompok musik
Debu yang kini ada di Indonesia.
F.
PENUTUP
Ajaran cinta ilahi yang dikumandangkan oleh tasawuf
sebenarnya bisa dijadikan sarana kita untuk lebih memperhalus jiwa. Kehalusan
jiwa yag dihasilkan oleh tasawuf ini diperlukan agar agama tidak selalu
dipahami secara legal-formalistik belaka yang biasanya ditampilkan oleh
kalangan ahli fikih. Dengan demikian, agama pun diharapkan bisa menjadi
berwajah toleran, humanis, dan menerima realitas pluralistik yang ada di tengah
di masyarakat, seperti puisi yang didengungkan oleh Ibnu Arabi di awal makalah.
Meski demikian, ajaran cinta dalam Alquran sendiri,
juga menghendaki keseimbangan antara sisi individual dan sosial; antara
emosional dan rasional. Dari penelitian yang pernah dilakukan penulis,
term-term cinta yang ditampilkan Alquran justru bersifat dinamis dan
menghendaki aktualisasi riil dalam realitas sosial. Cinta dalam Alquran hampir
selalu ditempatkan dalam konteks untuk mewujudkan kebaikan dan keadilan
sosial.[28] Karena itu tidaklah mengherankan jika di akhir abad 19 hingga awal
abad 20, beberapa kelompok sufi di Afrika Utara menjadi pendorong perlawanan
terhadap penjajahan Barat. Wallahu a’lam.
Cinta adalah modal seorang sufi dalam menapaki
kehidupan spiritual. Oleh kalangan sufi cinta diistilahkan dengan mahabbah.
Dalam tasawuf mahabbah merupakan sebuah maqam (jenjang spiritual yang harus
dilalui seorang salik). Setiap hamba memiliki tujuan untuk mendapatkan
mahabbah. Oleh sebab itu Imam al-Ghazali menjadikan mahabbah sebagai puncak
maqam.
Sebuah kisah dari Matsnawi, Jalaluddin Rumi
mengisahkan, suatu Ketika Nabi Musa sedang berjalan di padang rumput dan
mendapati seorang gembala kambing yang sedang beristirahat sambil berkata:
Wahai Tuhanku aku sungguh mencintaiMu. Aku akan melayaniMu sepuas hatiKu. Aku
sayang Engkau. Aku ingin sekali membelai dan menyisir rambutMu. Aku ingin
sekali menyemir sepatumu.Mendengar perkataan demikian Nabi Musa marah dan
menasihati Si penggembala kambing. Wahai penggembala kambing apa yang telah kau
katakan telah menodai derajat Tuhan. Kamu tidak pantas berkata begitu, karena
Tuhan tidak membutuhkan apa yang kau katakan. Si gembala menyeringai ketakutan.
Sambil memohon, penggembala itu berkata: Wahai Nabi Musa engkau yang lebih mengetahui
hubungan antara hamba dan Allah. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.
Yang jelas cintaku pada Tuhan melebihi cintaku pada apapun. Musa menjawab: Jika
begitu adanya bertobatlah kamu!
Seketika sipenggembala lari menuju hutan dan tidak
kelihatan mukanya selama beberapa hari. Beberapa saat kemudian Nabi Musa
mendapat teguran dari Allah. Seolah-olah Allah menyalahkan semua tindakan Nabi
Musa yang membentak penggembala kambing. Kemudian Nabi Musa mendengar suara
tanpa kalimat yang mengatakan:
Wahai Musa engkau telah memisahkan antara Aku dan
hambaKu. Pecinta dan Yang diCinta tidak dibatasi oleh kata-kata dan kalimat.
Pecinta dan Sang diCinta tidak terikat ikatan hukum dan formalisasi. Datanglah
padanya sampaikan salamku untukNya. Berbuatlah sesuka dia. Sesungguhnya Aku
sangat mencintai dan ridla padanya.
Mendengar Allah berkata demikian Nabi Musa dengan
kontan meminta ampun dan langsung mencari si penggembala kambing ke padang
rumput tempat biasa sang penggembala mengembalakan kambingnya. Tetapi Nabi Musa
tidak menemukan si Penggembala.
Lama dia mencari hingga berhari-hari hingga ia
menemukan si penggembala di dalam hutan dalam keadaan bersedih. Dia merintih
sedih tidak bisa meluapkan rasa kasihnya kepada Tuhan. Lalu Nabi Musa
mendekatinya. Wahai penggembala kambing sesungguhnya Allah telah berfirman
kepadaku. Berbuatlah sesukamu karena Allah mencintai dan ridla kepadamu.
Hikmah
Dari cerita ini menjelaskan kepada kita bahwa cinta
adalah kedudukan seorang hamba yang mengenal Tuhannya. Ia tidak terikat aturan
atau sekat lainnya. Karena cinta merupakan essensi kedekatan seorang wali.
Kitapun bisa melihat sosok sufi wanita yang
memiliki cinta mendalam kepada Allah swt. Dia adalah Rabi'ah al-Adawiyyah.
Cintanya kepada Alah mengalahkan cintanya kepada apapun. Cintanya kepada Allah
adalah cinta buta. Dia tidak merasa kesepian walaupun hidup sebatang kara. Dia
tidak merasa sengsara walaupun hidupnya penuh dengan penderitaan. Dia selalu
riang gembira karena hati dan jiwanya selalu terkiblat pada Allah swt.
Keriang-gembiraannya ini dibarengi juga dengan kesedihan ratapi, karena selalu
merasa menjadi hamba yang kurang dan penuh dengan dosa. Dengan demikian rasa
cintanya berbarengan dengan rasa takut kepada Allah swt. Rabi'ah membagi cinta
kepada Allah swt itu dua tingkatan:
1. Cinta_rindu
2. Cinta karena Allah lah yang pantas dicintai
Imam al-Ghazali menafsirkan cinta rindu
Beliau berpendapat, bahwa cinta yang dialami
Rabi'ah pada tingkat ini adalah tingkatan awal (masih dalam taraf awam). Yang
dimaksud dengan cinta rindu adalah cinta kepada Alah yang disebabkan karena
kesadaran berterimaksih sebab Allah swt telah memmberikan karunia yang sangat
besar kepadanya. Untuk itu dia wajib berterimaksih kepada Allah swt. Dengan
berterimakasih kepada Allah, maka akan menimbulkan rasa simpatik dan cinta
kepada Allah swt. Kesimpulannya cinta rindu diakibatkan rasa terimakasih.
Sedangkan cinta karena Allah yang patut untuk
dicintai adalah pengalaman cinta Rabi'ah yang memuncak. Pengalaman seperti ini
sudah menapaki jenjang paling tinggi yang tidak dialami oleh orang awam. Pada
taraf ini Ke jamal-an (keindahan Tuhan) dan ke-Kamal-an (kesempurnaan) Tuhan
tersibak dan dapat disaksikan oleh seorang sufi. Dan ketika sufi mengalami hal
seperti ini ia akan merasa bahwa semua selain Allah adalah nisbi, buruk, jelek
dan tidak berguna. Yang baik, agung, cantik, indah, sempurna dan selalu
memberikan manfaat hanya Alah semata saja. Orang yang mendapatkan mahabbah ini
tidakakan memperhatikan keuntungan, kerugian, kesedihan, kegembiraan dan lain
sebagainya. Hidupnya hanya ditujukan dan diorientasikan kepada Allah semata.
Rabi'ah al-Adawiyyah pernah berkata: Ya Allah jika
aku beribadah kepada-Mu karena takut siksa neraka, maka bakarlah aku didalam
api neraka! Jika aku beribadah kepada-Mu karena mengharap sorga, maka
jauhkanlah aku dari sorga-Mu! Tetapi jika aku beribadah kepada-Mu karena
Engkaulah yang layak untuk disembah, maka jangan sembunyikan keindahan
Wajah-Mu!
Dari kata-kata Rabi'ah ini dapat disimpulkan bahwa
hidup dan matinya Rabi'ah hanya untuk sosok yang Dicintai. Sosok itu adalah
Allah swt. Ibadahnya tidak mengharapkan apapun. Dia hanya ingin memandang,
berdekatan dan berusaha selalu membuat ridla, suka dan senang sosok yang
dicintainya.
Cinta semacam Rabi'ah kepada Allah swt mengalahkan
cinta kepada selain Allah. Hingga suatu ketika ada seorang laki-laki datang
melamarnya (menurut riwayat beliau adalah Sofyan ats-Tsauri). Namun Rabi'ah
menolak lamaran tersebut.beliau berkata: Jika engkau hendak menikahiku, maka
mintalah izin kepada Allah karena akumilik Allah.
Kecintaan Rabi'ah terhadap Allah melupakan segala
macam kesengangan duniawi, bahkan untuk menikahpun beliau menolak untuk
melakukannya. Hal seperti ini yang dianggap oleh banyak kalangan sebagai cinta
mati. Suatu ketika beliau ditanya oleh seseorang: "Ya Rabi'ah apakah
engkau mencintai nabi Muhammad?" beliau menjawab: Aku mencintai Nabi
Muhammad tetapi cintaku kepada Allah melupakan cintaku kepada makhluk.Cinta
yang diungkapkan Rabi'ah menyiratkan bahwa cinta kepada Allah diatas segala
cinta, termasuk cinta kepada Nabi. Hal ini berbeda dengan konsep cinta Zun Nun
al- Mishri, justru beliau menyatakan cinta kepada nabi Muhammad harus dimiliki
oleh setiap sufi. Dan cinta kepada Nabi Muhammad sejajar dengan cinta kepada
Allah. Karena cinta kepada Nabi akan menimbulkan ketauladananan dari Nabi.
Tidak jauh berbeda dengan Rabi'ah, Zun Nun
al-Mishri pun memiliki konsep cinta (Mahabbah). Menurutnya Cinta itu terbagi
menjadi tiga tahapan. Tahapan pertama seseorang harus mencintai para ulama.
Karena para ulama adalah warosatul al-ambiya (penerus para nabi). Jika
seseorang mencintai para ulama ia akan meneladani para ulama. Setelah itu ia
meneladani para ulama maka akan menimbulkan kecintaan kepada Rasulullah saw.
Jika seseorang sudah mencintai Rasulullah, maka ia akan meneladani
perilakuRasulullah saw. Dan jika sudah meneladani perilaku Rasulullah maka
cinta kepada Allah akan timbul seperti cintanyaRabi'ah.
Zun-Nun al-Mishri, diriwayatkan meninggal dunia
karena cinta. Diceritakan pada sebuah jamuan pertemuan para pembaca sima Zun
Nun membaca puisi cinta sambil fana'(hilang kesadarannya karena ditarik dengan
kesadaran ilahi). Ia membaca puisi cinta hinggga keluar ruangan dan pergi ke
hutan bambu yang telah ditebas pohon-pohonnya. Kakinya tertusuk patahan-patahan
bambu sampai infeksi. Tetapi beliau tidak merasakan sakit. Yang dirasa hanya
rasa riang dan gembira karena cintanya kepada Allah. Sementara infeksi kakinya
menyebar sampai ia menemui ajalnya. Dengan demikian cinta yang dialami Zun Nun
dapat mengenyahkan rasa sakit jasmani.
Dari teori cinta (mahabbah) agaknya kita sebagai
seorang muslim harus memiliki sebuah ambisi untuk mendapatkan maqam ini. Karena
orientasi seorang hamba adalah mengenal, mencinta, berdekatan, bermesraan dan
bersatu dengan Sang Maha Cinta, Allah swt.
Allah SWT berfirman:
يٰأَيُّهَا الَّذينَ ءامَنوا مَن يَرتَدَّ مِنكُم عَن دينِهِ فَسَوفَ
يَأتِى اللَّهُ بِقَومٍ يُحِبُّهُم وَيُحِبّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى المُؤمِنينَ
أَعِزَّةٍ عَلَى الكٰفِرينَ يُجٰهِدونَ فى سَبيلِ اللَّهِ وَلا يَخافونَ لَومَةَ
لائِمٍ ۚ ذٰلِكَ فَضلُ اللَّهِ يُؤتيهِ مَن يَشاءُ ۚ وَاللَّهُ وٰسِعٌ عَليمٌ
Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di
antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu
kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap
lemah lembut terhadap orang yang mumin, yang bersikap keras terhadap
orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada
celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada
siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui. (QS al-Maidah: 54)
Ayat diatas menerangkan bahwa Allah swt menurunkan
kaum yang memiliki cinta. Cinta adalah sebuah rasa atau keadaan jiwa yang dapat
menadamaikan kehidupan. Cinta yang hakiki adalah cinta kepada dan berdasarkan
Allah swt. Konsep cinta di dalam Islam hanya terdapat pada doktrin
sufisme/tasawuf. Doktrin ini dinamakan dengan mahabbah.
Selanjutnya dalam al-Qur'an selalu ditekankan
kepada orang-orang yang beriman untuk mensucikan jiwa agar hubungannya dengan
Tuhan berjalan lancar. Proses penyucian ini dalam tasawuf dinamakan dengan
tazkiyatun nafs. Al-Qur'an membicarakan hal ini dalam ayat berikut:
Nabi juga berfirman dalam sebuah hadits qudsi
mengenai kewalian, yaitu:
Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku umumkan
permusuhan-Ku terhadapnya. Tidak ada sesuatu yang mendekatkan hamba-Ku kepada
yang lebih Ku-sukai dari pada pengamalan segala yang kufardlukan atasnya.
Kemudian, hamba-Ku yang senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan
melaksanakan amal-amal sunah, maka Aku senantiasa mencintainya.
Bila Aku telah jatuh cinta kepadanya, jadilah Aku
pendengarannya yang dengannya ia mendengar. Aku penglihatannya yang dengannya
ia melihat. Aku tangannya yang dengannya ia memukul. Aku kakinya yang dengan
itu ia berjalan. Bila ia memohon kepada-Ku, Aku perkenankan permohonannya.
(Wallahu a'alm)
Sebagai kata-kata konseptual dalam wacana tasawuf
dan mistisisme, atau falsafah mistik/sufi, makna atau arti yang dikandung
istilah Cinta sebenarnya sebegitu luasnya. Berikut ini adalah penjelasan dan
pandangan beberapa sufi terkemuka tentang cinta dan keindahan, dua kata yang
selalu digandengkan dalam wacana tasawuf dan estetika.
Ali Usman al-Hujwiri Sufi besar dari Afghanistan
abad ke-11 M Ali Utsman al-Hujwiri menuturkan sebagai berikut: “Mahabbat
(cinta) dikatakan berasal dari hibbat, yang merupakan benih-benih yang jatuh ke
bumi di tengah gurun. Nama hubb (cinta) diberikan kepada benih-benih gurun
tersebut (hibb), oleh karena cinta merupakan sumber dari kehidupan yang adil
sebagaimana benih yang merupakan asal tanam-tanaman. Seperti halnya jika
benih-benih itu ditebarkan di gurun, mereka lantas terpendam di bumi dan hujan
jatuh di atasnya dan matahari menyinarinya dan panas serta dingin lewat
atasnya, namun benih-benih itu tak terpengaruh oleh perubahan musim, namun
tumbuh dan memunculkan bunga-bunga dan memberi buah, begitulah cinta, bila ia
memilih tempat kediamannya dalam hati, tak terganggu oleh kehadiran dan
ketakhadiran, oleh suka atau duka, oleh perpisahan atau persatuan.
Yang lain mengatakan bahwa mahabbat berasal dari
kata hubb, yang berarti “sebuah kendi yang penuh genangan air”, oleh karena
bilamana cinta terkumpul dalam hati dan memenuhinya, tak ada lagi ruang bagi
pikiran kecuali sang kekasih, sebagaimana Shibli mengatakan: “Cinta disebut
mahabbat oleh karena ia menghapus (tamhu) segala hal selain kekasih.”
Yang lain
mengatakan bahwa mahabbat berasal dari hubb, yang berarti “empat keping kayu di
atas mana kendi air diletakkan”, oleh karena seorang pencinta merasa ringan
membawa apa saja yang ditimpakan oleh kekasihnya kepadanya, pujian atau hinaan,
duka atau senang, kata yang baik atau yang jelek”.
Menurut yang lain, mahabbat
berasal dari kata habb, bentuk jamak habbat, dan habbat adalah teras hati di
mana cinta berdiam. Dalam hal ini, mahabbat disebut berdasar nama
tempat-kediamannya (yaitu hati), (karenanya lantas diberi arti sebagai) suatu
prinsip yang (dipegang teguh dan) memiliki contoh bermacam-macam di dalam
bahasa Arab. Yang lain mengasalkannya dari kata habab, “air yang mendidih dan
semangat yang melonjak, ketika hujan lebat turun”, oleh karena itu cinta adalah
semangat hati dalam merindukan persatuan dengan kekasih.
Apabla tubuh mendapatkan hidup dari ruh (nyawa),
maka begitulah hati memperoleh hidup dari cinta, dan cinta memperoleh hidup dari
penglihatan batin tentang, dan persatuan dengan, kekasih.
Yang lain lagi, menyatakan bahwa hubb dipakai untuk
cinta murni, oleh karena orang-orang Arab menyebut kemurnian mata manusia
habbat al-insan, sama seperti menyebut kelamnya kalbu yang murni habbat
al-qalb: yang kemudian adalah tempat diam cinta, yang sebelumnya penglihatan
batin. Di sini hati dan mata saling berlomba dalam cinta, sebagaimana penyair
menyatakan: Hatiku mencemburui pandangan senang mataku Dan mataku iri pada
kekhusyukan hatiku Uraian Anda harus paham bahwa istilah “cinta” (mahabbat)
dipakai oleh ahli kalam (teologi) dalam tiga arti.
Pertama, sebagai keinginan
yang tak putus-putus terhadap sasaran cinta, dan kecenderungan hati serta
berahi, di mana ia hanya merujuk pada wujud-wujud ciptaan dan pengaruh timbal
balik satu sama lain, tapi tak terpakai untuk Tuhan, yang luhur melampaui
segala ini.
Kedua, berarti Kemurahan Tuhan dan keistimewaan yang Dia berikan
kepada yang dipilih dan diperkenankan memperoleh pangkat kewalian yang sempurna
dan secara khusus berada dari aneka mukjizat biasa.
Ketiga, berarti pujian yang
diberikan Tuhan kepada orang-orang yang baik amal perbuatannya
(thana-yi-jamil). Filosof-filosof Skolastik mengatakan bahwa Cinta Tuhan, yang
Dia nyatakan supaya diketahui oleh kita, bertalian dengan sifat-sifat yang
lazim, seperti wajah-Nya dan tangan-Nya dan tempat duduk-Nya sendiri yang kuat
dan arasy-Nya (istiwa), dari mana keberadaan dari titik pandang akal bisa
tampak mungkin jika tak dinyatakan sebagai sifat-sifat Ilahi di dalam Qur’an
dan Sunnah.
Karena itu kita meneguhkannya dan meyakininya, namun pemahaman
mengenai itu terhalang. Pengertian Skolastik ini menolak istilah “Cinta” dapat
dipakai kepada Tuhan dalam segala artinya seperti yang telah saya bicarakan.
Sekarang saya akan menerangkannya kepada anda soal ini sebenarnya. Cinta Tuhan
kepada Manusia adalah kehendak baik-Nya terhadap manusia dan Kasih-sayang-Nya
kepada manusia. Cinta adalah sebuah nama dari kehendak (iradat)-Nya, seperti
halnya “puas”, “marah”, dan “murah hati” dan lain-lain, dan Kehendak-Nya
merupakan sifat kekal darimana Dia menghendaki tindakan-tindakanNya berlaku.
Singkatnya, cinta Tuhan kepada Manusia mencakup penampakan karunia yang lebih
kepada manusia, dan pemberian ampunnya di dunia ini dan hari kemudian, dan
membuatnya berkedudukan mulia dan mencapai tingkatan tinggi dan menyebabkannya
memalingkan pikirannya jauh-jauh dari segala yang selain Tuhan. Bilamana Tuhan
secara khusus membedakan seseorang di jalan ini, maka kekhususan kehendak-Nya disebut
cinta. Inilah ajaran Harith Muhasibi dan Junayd dan sebagian besar Syekh-syekh
Sufi sebagaimana ahli-ahli syariah menganut aliran ini dan kebanyakan filosof
Skolastik aliran Sunnah juga berpegang pada pandangan serupa.
Mengenai
pernyataan yang menyebut bahwa cinta Ilahi merupakan “pujian yang diberikan
kepada orang amal perbuatannya baik” (thana-yi Jamil bar banda), pujian Tuhan
adalah kalam-Nya, yang tak tercipta; pernyataan bahwa cinta Ilahi berarti
“kasih sayang”, kasih-sayang-Nya tercakup dalam tindakan-tindakan-Nya.
Di
sinilah perbedaan pandangan yang pokok muncul yang bertalian erat satu sama
lain. Cinta manusia kepada Tuhan adalah kwalitas yang menyatakan diri dalam
kalbu orang yang beriman sungguh-sungguh, dalam bentuk pemujaan dan pengagungan,
sehingga ia mencari Pemenuhan Kekasihnya dan menjadi tak sadar serta gelisah
dalam keinginannya untuk melihat-Nya dan tak dapat diam dengan sesuatu kecuali
Dia, dan bertambah akrab dengan zikir (dhikir, mengingat) terhadap-Nya dan
melupakan ingatan terhadap segala hal di sampingnya.
Dia yang mengetahui cinta
sejati tak akan mengalami kesulitan, dan semua keraguannya lenyap. Cinta,
lantas, ada dua jenis – (1) cinta antara sesama, di mana nafsu digerakkan oleh
jiwa yang lebih rendah dan mencari dzat obyek yang dia kasihi melalui hubungan
seksual. (2) cinta seseorang kepada yang tak sejenis dengan obyek cintanya dan
yang mencari kedekatan kepada sifat-sifat dari obyeknya, misalnya mendengar
tanpa berkata-kata, atau melihat tanpa mata. Dan orang beriman yang mencintai
Tuhan ada dua jenis – (1) mereka yang memandang kepada karunia dan kasih sayang
Tuhan dan dibimbing oleh pandangan itu dalam mencintai Yang Maha Penyayang. (2)
mereka yang begitu tertawan oleh cinta di mana mereka memandang segala karunia
sebagai tirai (pemisah antara dirinya dan Tuhan) dan beranggapan bahwa Yang
Maha Pengasih bergerak menuju (kesadaran-diri) dari yang dikaruniai.
Cara yang
terakhir adalah lebih tinggi di antara keduanya.” Hubungan Cinta dan Keindahan
Fazil, sufi abad ke-15 dari Turki menuturkan: “Keindahan di manapun ia tampak,
apa pada manusia, hewan atau tumbuh-tumbuhan dan logam mulia, merupakan
ayat-ayat Tuhan sebagai perwujudan keagungan Diri-Nya. Dia adalah Yang Serba
Indah, sedangkan obyek-obyek yang kita lihat sebagai sesuatu yang indah,
merupakan cermin dari yang jamak di mana sebadari Diri-Nya yang hakiki
menyatakan diri. Karena punya asal-usul keilahian, keindahan memiliki pengaruh
yang halus atas pemiliknya, membangunkan rasa cinta di dalam diri pemiliknya,
sehingga di mana saja ia berada ia akan mampu memasuki persatuan dengan Tuhan
sendiri. Jadi Tuhan adalah tujuan terakhir dari setiap berahi para pencintan;
namun sementara ia belum ternyatakan oleh si pencinta, sementara ia masih
membayangkan bahwa dunia yang fana merupakan pengilhamnya yang sebenarnya dan
akhir tujuan dari keharuannya, cintanya itu masih berada dalam tingkatan
“khusus”, dan ia sendiri masih dalam titian “perumpamaan”.
Demikianlah Cinta
merupakan pembimbing menuju Dunia Atas Sana, kendali yang membimbingnya menuju
Langit; melalui api Cinta besi dapat berubah menjadi emas, dan tanah liat
hitammu berubah jadi permata yang berkilauan. Cintalah yang membuat si bijak
yang lalai sadar, dan mengubah yang keliru menjadi ahli makrifat; Cintalah yang
merupakan penyingkap Kebenaran, jalan tersembunyi menuju Penyucian Tuhan. Dan
bagi pencinta sejati, dia adalah hati murni dan kesucian hidup, benda dunia tak
ada sangkut paut di matanya; debu dan emas sama di matanya; kemurahan dan
keramahan membedakannya dari yang lain: nafsu dunia tak memerintah dirinya
lagi.”
Pandangan Jami, Sufi Iran abad ke-15 M Keindahan Yang Mutlak adalah
Keagungan-Nya yang dilengkapi dengan sifat-sifat maha kuasa dan maha pemurah.
Setiap keindahan dan kesempurnaan menyatakan diri dalam bermacam-macam
tingkatan wujud bagaikan seberkas sinar keindahan-Nya yang sempurna dan
terpantul dari dalam wujud itu. Dari berkas sinarnya inilah jiwa luhur menerima
pancaran keindahan dan sifat-sifat yang sempurna. Barang siapa yang banyak
memperoleh hikmah, Tuhan akan menganugerahkan lebih banyak lagi hikmah. Di mana
saja ia mendapatkan kepandaian, kepandaiannya itu adalah hasil akal ketuhanan.
Pendek kata, semua merupakan sifat-sifat Tuhan yang turun dari zenith Yang
Serba Sejagatk, dan Maha Mutlak, menuju nadir dari yang khusus dan nisbi.
Mereka diturunkan ke tujuannya agar langsung sampai ke tujuan, begitulah yang
sebagian itu menuju Yang Menyeluruh. Dan janganlah mengira bahwa yang sebagian
itu tercerai dari Yang Menyeluruh, pun jangan terpesona dengan apa yang nisbi
aagar kau tidak putus hubungan dengan Yang Mutlak.
Kukunjungi Taman Bunga
Kekasih Yang Esa Pelita keindahan mengintaiku, dan berkata kepada-Nya “Aku
adalah pohon; kembang-kembang ini adalah cabang-cabang-Mu Jangan sembunyikan
cabang-cabang ini dari-Mu karena pohonnya. Apa gunanya mawar, bentuk yang penuh
karunia itu, Dan cincin yang melingkari wajahnya? Bila Keindahan Yang Mutlak
menyinari sekeliling Mengapa keindahan yang terbatas harus didekap? Lagi Abdul
Rahman al-Jami menulis dalam sajaknya: Dari semua kekekalan Kekasih menyingkap
keindahan-Nya dalam kesendirian-Nya yang Tak terlihat. Dia menghadapkan cermin
pada wajah-Nya sendiri, Dia menunjukkan pesona-Nya pada Diri-Nya sendiri. Dia
adalah yang menonton dan yang ditonton: tanpa mata namun penglihatannya
meliputi seluruh alam semesta. Semua adalah Satu, tidak ada keserba-duaan,
tidak ada hadirnya “aku” atau “kau”.
Sumbu besar langit, bersama datang dan
perginya yang tidak terhitung, dipertemukan dalam satu titik. Penciptaan
meletakkan buaian atas tidur yang tidak maujud, seperti anak menghela nafas.
Mata Kekasih, melihat yang tidak terlihat, menyebut yang tidak maujud sebagai
maujud. Walaupun Dia melihat tanda-tanda dan sifat-sifat-Nya sebagai
keseluruhan yang sempurna di dalam hakikat-Nya sendiri. Namun dia ingin mereka
diperlihatkan kepada-Nya dalam cermin yang lain. Dan bahwa tiap-tiap tanda-Nya
yang kekal akan menjadi nyata di dalam bentuk yang berbeda. Oleh karena itu Dia
mencipta lapangan hijau Waktu dan Ruang dan taman hayat dunia berlimpah rahmat.
Agar setiap dahan dan buah bisa menunjukkan kesempurnaannya yang aneka ragam
Pohon cemara memberikan isyarat akan keanggunan-Nya, mawar menyampaikan warta
tentang wajah-Nya yang indah Di mana pun Keindahan muncul, cinta tampak pula di
sampingnya, di mana pun Keindahan berada pada rambut yang ikal Cinta akan
datang dan menemukan hati terjerat dalam pilinan rambut ikalnya. Keindahan dan
Cinta bagaikan tubuh dan jiwa; Keindahan adalah milikku dan cinta merupakan
batu permatanya. Mereka selalu bersama sejak semula, tidak pernah pergi jauh
satu dengan yang lain, yang berbeda hanyalah pergaulan mereka.
Tiada tersisa disekitar ini tanpa Af'alnya,..dan pandanglah itu dengan cinta karena itu semua adalah Maha Karya Ciptanya, bagaimana engkau mengaku pecinta, sedangkan engkau membenci akan ciptaan Nya..??"
Post a Comment