TIADA TERSISA HANYA AFALNYA YANG PATUT DICINTA

CINTA, 5 kata yang penuh makna, bahakan bisa dirangkai menjadi jutaan untaian kata kata indah, semua agama membawa pesan cinta bahwasannya kewajiban dari sesama adalah salimg mengasihi adanya.

Cinta terkait Vertikal ( Hubungan dengan Tuhan ), dan aplikasi cinta Horisontal ( Terkait mahluk ciptaan Tuhan ) yang harus terwujud dalam tatanan kehidupan diri, ujud akhir adalah memandang bahwa semua itu adalah af'al dari Ilahi Rabbi, seperti dicontohkan Baginda Rasul Muhammad Sholallahu alaihi wasallam ketika beliau selalu diludahi seorang nenek tua Yahudi ketika beliau melewati rumahnya, namun dibalas dengan ahlaqul karimah berisi cinta atas perlakuan perempuan itu oleh Beliau Sayyiduna Muhammad Sholallahu alaihi Wasallam, atau ketika beliau dilempari kotoran Unta, namun kembali dibalas oleh Beliau Sholallahu alaihi Wasallam dengan Cinta, dan contoh contoh lainnya yang diberitakan nubuat pada Umat Muhammad.

Pertanyaannya Mudahkah itu ..??? tentu tidak, apalagi dengan tingkatan kita sebagai mahluk yang sedang berusaha meniti jalan tersebut, bukan hal gampang untuk MEMBERIKAN INDAH CINTA AJARAN TASAWWUF KEPADA ORANG LAIN, NAMUN MENGHUKUMI DIRI SENDIRI DENGAN KETAT TAJAMNYA FIQIH.

Mari kita bahas teori dari Cinta dalam Tasawwuf sebagai pemandu totalitas pengabdian pada Ilahi Rabbi dan karena kita masih ada dialam fana ( Dunia/dalam sebuah riwayat dikabarkan kelak "di syurga" penduduk Syurga itu saling mencintai, saling mengunjungi satu sama lain.. ), maka totalitas mencintai pada mahluk cipta Nya juga kudu dijalankan oleh kita wabil khusus pelajar Tasawwuf.

 MAKNA MAKNA CINTA DALAM TASAWWUF


Dalam estetika sufisme, cinta mempunyai makna luas. Cinta bukan dimaknakan secara umum, melainkan lebih pada keadaan dan tingkatan rohani yang membawa seseorang mencapai pengetahuan ketuhanan. Kita menemukan bahwa di dalam bahasa Arab cinta diungkapkan dalam berbagai macam kata, dengan pengertian yang berbeda-beda secara substansial dan kontekstual, diantaranya adalah :

a. Mahabbah

Secara etimologi, ‘al-hubb’ (cinta) adalah bentuk generik dari ‘al-habb’ yang berarti inti hati. Al-Hujwiri mengatakan bahwa kata mahabbah berasal dari kata habbah berarti “benih-benih yang jatuh di padang pasir”. Diartikan demikian karena memang cinta adalah sumber kehidupan.[1]

Ada juga yang mengatakan bahwa kata mahabbah yang berasal dari kata hubb berarti “tempayan yang berisi penuh dan tenang”. Dikatakan demikian karena cinta memenuhi hati dengan objek yang dicintai sehingga tidak memungkinkan hati gelisah terhadap objek yang lain.[2]

Al-Qusyairi berpendapat bahwa cinta (mahabbah) dapat dikatakan dengan kata hubab yang berarti gelembung-gelembung yang terbentuk di atas permukaan air ketika hujan besar. Jadi, cinta (mahabbah) menggelembungkan hati ketika ia haus dan berputus asa untuk bertemu dengan kekasihnya. Dia juga mengatakan bahwa cinta berasal dari kata hibb (kendi air) karena ia berisi air, dan manakala ia penuh, tidak ada lagi tempat untuk sesuatu yang lain. Manakala hati penuh dengan cinta, tidak ada lagi tempat di dalamnya untuk apapun selain dari kekasih.[3]

Pendapat lain mengatakan, al-mahabbah adalah gerakan hati yang tiada henti mengingat sang kekasih dan ketenangannya tatkala bersanding dengannya. Artinya berdampingan dengan orang yang dicintai selama-lamanya, seperti yang dikatakan dalam sebuah syair:

Aku merasa aneh terhadap diriku
karena aku mencintai mereka
kutanya setiap orang yang berlalu
padahal mereka bersanding bersama
mataku mencari-cari selalu
padahal mereka tetap di tempatnya
hatimu dirundung rindu
padahal mereka ada di antara tulang iga[4]

Ada tiga pengertian dasar dari kata mahabbah (cinta). Pertama, “kesenantiasaan dan ketetapan”.  Kedua, “cinta terhadap sesuatu” (al-abbat min al-syai’). Ketiga, “sifat berkecukupan” (walk al-qitr). Pengertian dasar ini memberikan arti bahwa mahabbah, merupakan suatu wujud ketetapan arti yang tidak mau berpisah (al-luzm) dengan sesuatu yang dicintainya, dan sesuatu yang dicintainya itu sudah cukup baginya sehingga ia tidak akan mungkin lagi mencintai yang lain.[5]



Dalam bahasa Arab cinta disebut al-hub atau mahabbah. Kata tersebut berasal dari akar kata habba, hubban, hibban, yang bermakna waddaha, artinya kasih atau mengasihi. Cinta dikenal dengan sebutan mahabbah, karena ia berarti kepedulian yang paling besar dari cinta hati. Namun ada juga yang berpendapat bahwa cinta berasal dari kata habba yang bermakna biji-bijian, jamak dari habbat.

Sehingga kata habbat al-qalb berarti sesuatu yang menjadi penopang hati. Jadi cinta dinamakan hub dikarenakan ia bagai biji tersimpan dalan hati yang darinya akan tumbuh perasaan yang melebihi simbol dan tidak terkonsepkan. Seseorang tidak akan mengerti cinta sampai ia mengalaminya karena ia adalah sesuatu yang timbul akibat pengalaman batin seseorang. Begitulah keterangan yang dituliskan dalam “Senandung Cinta Jalaluddin Rumi” karya Saiful Jazil.

Sementara Zakariyah juga mencoba menarsirkan cinta dalam kitab Mu’jam al-Maqayiz fi al-Lughah, bahwa cinta atau hub berasal dari akar kata “ha” dan “ba”. Kata ini mempunyai banyak arti, di antaranya, “al-ma’ruf” berarti yang dikenal atau terkenal, “al-luzum”, berarti yang sudah lazim.

Jika dianalisis, kedua makna cinta tersebut pada hakekatnya mempunyai esensi makna yang sama, yaitu ketika seorang mencintai sesuatu harus ada pengetahuan dan pengenalan terlebih dahulu terhadap objek yang dicintai, sehingga dengan mudah dapat bergaul, berdialog akrab, bahkan “menyatu” dengan yang dicintai, yang dalam wacana sufi selalu dialamatkan kepada Tuhan.


b. ‘Isyq

Menurut Rumi, ‘isyq adalah mahabbah yang tidak terbilang banyaknya. Dalam literatur tasawuf, ‘isyq diilustrasikan sebagai “cinta majazi” yang diharapkan menjadi eskalator menuju tower “cinta sejati”. Menurut Ibn ‘Arabi, ‘isyq merupakan fase tertinggi dari jiwa manusia, sekaligus awal pencapaian kesempurnaannya, hingga kemudian cinta itu “lenyap” dan melebur dalam daya tarik Allah.[6]

c. Syauq

Kata ini termasuk salah satu istilah cinta. Di dalam Ash-Shahhah dikatakan, “Asy-Syauqu wal-Isytiyaq” adalah pergumulan jiwa terhadap sesuatu. Jika dikatakan “Syaqani asy-syai’u”, artinya Dia merindukanku dan aku merindukan-Nya. Jika dikatakan, “Tasyawwaqtu”, artinya kerinduan terhadap dirimu bergejolak.[7]

Kerinduan merupakan bara dan kobaran api cinta yang bersemayam di dalam hati orang yang mencinta. Kerinduan inilah yang mendorong seseorang untuk selalu berdekatan dan berhubungan dengan orang yang dicintai.

d. Mawaddah

Kata lain yang mendekati cinta adalah mawaddah. Ia berasal dari kata wudd yang berarti al-hubb al-katsir (cinta yang deras). Menurut pakar leksikografi[8] Al-Qur’an ar-Raghib al-Ishfahani, bila mahabbah hanya sebatas kasih yang tersembunyi dalam lubuk hati seorang insan, maka mawaddah lebih dari itu.[9]

e. Rahmah

Kata lain yang juga bersignifikasi dengan mahabbah adalah rahmah. Ia berasal dari kata rahm, yang berarti rasa kasih yang mendorong munculnya perbuatan baik terhadap yang dikasihi (objek kasih).[10]

f. Uns 

Uns berarti kenikmatan (kemesraan) karena bercumbu dengan kekasih, Allah swt. Imam Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Ketahuilah, Allah mempunyai hembusan di hari-harimu”. Itu berarti setiap hari, Allah memberikan hembusan kepada kita.[11]

g. Ulfah

Kata ulfah berasal dari kata kerja alifa, yang berarti mencintai. Ia mewakili subjek (pecinta). Kata benda ilf mewakili objek (yang dicintai, kekasih). Sedangkan kata alafa berarti “memadukan”. Menurut ad-Dailami, kata kerja alafa lebih signifikan karena secara harfiah lebih mencakup kedua pihak, pecinta dan yang dicintai.[12]

Orang yang mempunyai rasa cinta pasti punya rasa rindu. Kerinduan untuk berjumpa dan kehendak melepaskan rasa kangen selalu hidup di dalam hati manusia. Sudah dijelaskan di atas bagaimana rasa rindu itu mendorong untuk cepat berjumpa dalam keadaan tenang dan damai di dalam hati seseorang ingin menyampaikan perasaan hatinya dan keluh kesah atau rasa gembira kepada yang dirindukannya.

Orang yang mabuk dalam bercinta dengan asyik masyuk-nya, ia berada di dalam suasana tanpa batas. Dengan seluruh kerinduannya ia menyampaikan perasaan dan isi hatinya, bahagia dan kenikmatannya berjumpa serta memandang wajahnya sepenuh hati. Demikian halnya seorang mukmin yang sedang bercinta dengan Allah Al-khalik Rabbul ‘Alamin, ketika ia bermuwajjahah (bertatap muka) dengan  Rabb-nya itu, menyampaikan seluruh kerinduannya, lalu memandang-Nya dengan sepuas hati  tanpa ada satupun yang menghalanginya. Karena ia berada dalam posisi berhadapan melalui ma’rifat yang sempurna. Makin besar kerinduannya, makin besar pula nikmat yang diperolehnya.[13]

Dalam mendefinisikan cinta, hingga saat ini tak seorang pun yang dapat mendefinisikannya secara tepat dan sempurna. Karena ketika orang mendefinisikan cinta, sesungguhnya ia mendefinisikannya hanya dari sudut pandang yang mampu ia serap. Artinya, ada bagian dari “tubuh’ cinta yang tidak mampu mereka serap hingga tidak bisa mendefinisikannya. Seperti kata Ibn ‘Arabi, “Jika seseorang mengaku bisa mendefinisikan cinta, jelaslah ia masih belum mengenalnya. Jika ada orang yang berkata, “Aku sudah kenyang dengan cinta”, ketahuilah, ia masih buta tentang cinta, kerena tak seorangpun dikenyangkan oleh cinta”.[14]

[1] Muhammad Muhyidin, op.cit., hlm. 100.
[2] Ibid.
[3] Asfari MS. Dan Otto Sukatno CR, Mahabbah Cinta Rabi’ah al-Adawiyah, Logung Pustaka, Yogyakarta, 2005, hlm. 57-58.
[4] Ibnu Qayyim Al-jauziyyah, Taman Orang-orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu, Darul Falah, Jakarta, hlm. 7.
[5] Eko Harianto, Mencari Cinta Sejati, Hakikat, Makna, dan Pencari Jati Diri, Saujana, Yogyakarta, 2005, hlm. 37.
[6] Muhsin Labib, op.cit., hlm. 29-30.
[7] Ibnul Qayyim, op.cit., hlm. 15-16.
[8] Leksikografi yaitu penyusunan kamus.
[9] Muhsin Labib, op.cit., hlm. 32.
[10] Ibid., hlm. 33.
[11] Ibid.
[12] Ibid., hlm. 33-34.
[13] Djamaluddin Ahmad Al-Buny, Menelusuri Taman-Taman Mahabbah Shufiah, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 2002, hlm. 41-42.
[14] Muhammad Muhyidin, op.cit., hlm. 109.




Cinta adalah sebuah emosi yang lahir dari perasaan kasih dan sayang yang kuat terhadap sesuatu atau seseorang yang meliputi pengabdian, ketulusan, kejujuran, rasa ingin memberi, membuat bahagia serta melindungi. Cinta pada hati manusia membawa perasaan bahagia dan rasa syukur yang luar biasa, sehingga manusia dapat merasakan kesempurnaan meski dalam keadaan yang sangat sederhana sekalipun. Dalam Q.S. Maryam ayat 96 disebutkan:

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمَٰنُ وُدًّا

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.”



Cinta dalam pandangan para sufi adalah cinta dan kerinduan kepada Allah. Cinta yang seperti ini, menurut Maulana Rumi terbagi ke dalam tiga tingkat, yakni,

(1) Cinta karena pemberian. Cinta seperti ini berada pada tingkat yang paling rendah. Ibarat cinta seorang anak kecil, jika mereka mencintai orang tua atau orang lain, dipastikan karena mereka sering memberikan hadiah kepadanya. Cinta pada tingkat ini sangat labil dan tidak konsisten, jika kesehatan, kecantikan, ketampanan atau kekayaan dihilangkan atau dicabut oleh Allah, ia akan berkeluh kesah seakan akan Allah tidak pernah mencintai dirinya,

(2) Cinta atas dasar kekaguman. Manusia mencintai Allah, karena Allah memang Maha Kuasa, Maha Pengasih, Maha Penyayang. Mencintai sesuatu atas dasar kekaguman, seperti seseorang mencintai karena orang tersebut memiliki kelebihan dan keluarbiasaan, dan

(3) Cinta tanpa alasan. Jika seseorang ditanya “Mengapa mencintai Allah?” lalu menjawab “Saya tidak tau mengapa saya mencintai Allah”. Ia sudah berusaha keras mencari jawaban atau alasan, tapi tidak juga bisa ditemukan. Sebenarnya bukan tanpa alasan, justru begitu banyak alasan sehingga tak mampu ia ungkapkan. Itulah cinta yang suci dan tulus. Begitulah cinta para sufi kepada Allah. Sebuah cinta tanpa mengharap apa-apa.

Sementara menurut Imam al-Gazali, berdasarkan tingkatan cinta tersebut maka bentuk cinta kepada Allah itu bisa berbentuk dalam dua hal, yakni(1) Orang yang jatuh cinta kepadaNya (Allah) setelah merasakan lezatnya pertemanan denganNya. Orang yang jatuh cinta kepada Allah karena perjumpaan dengannya, maka kecintaannya tidak dapat dibandingkan. Ia melihat (ma’rifat) dulu, kemudian jatuh cinta setelah pertemuan itu, dan

(2) Orang yang disebut al-dhu’afa’ (orang-orang yang lemah). Umumnya orang jatuh cinta setelah berusaha setengah mati belajar mencintai Dia. Cinta seperti ini direkayasa. Ia tidak jatuh cinta, tapi belajar mencintai.

Imam Al-Ghazali menambahkan bahwa esensi cinta (mahabbah) yaitu “Sesungguhnya kecintaan yang paling tinggi setelah diraihnya adalah mahabbah. Tidak ada maqam lain kecuali buah dari mahabbah itu. Tidak ada maqam-maqam sebelum mahabbah, kecuali pengantar kepada mahabbah.

Demikianlah konsep cinta dalam sufisme menunjuk pada kecintaan dan kerinduan untuk bertemu dan bahkan menyatu dengan Allah. Cinta merupakan puncak perjalanan ruhani dan pendakian mistik seorang hamba menuju kehadiratNya. Mencintai Allah, mustahil adanya tanpa didahului pengetahuan dan pengenalan atasNya.
Ketika seseorang jatuh cinta kepada lawan jenisnya, dia akan berusaha melakukan apa saja, demi mendapatkan perhatian dari orang yang dicintainya. Bahkan dia akan rela mengorbakan apa saja demi orang yang dicintainya. Begitu juga bila seseorang pada sesuatu, dia akan berusaha untuk mendapatkannya, walaupun nyawa menjadi taruhannya.

Cinta itu sebuah perasaan seseorang terhadap sesuatu yang menyengangkan (nikmat). Semakin kuat kecenderungan dan rasa cinta itu, akan semakin mengebu-ngebu untuk mendapatkanya. Cinta yang mengebu-ngebu dalam bahasa Arab disebut dengan  “Isqon”.

Orang yang sedang jatuh cinta, dia akan selalu ingin menyertainya orang yang dicintainya kemana-pun dia pergi. Dia juga akan mengorbankan semua apa yang dimilikinya demia orang yang dicintainya. Karena cinta, apapun akan terlihat seperti orang yang dicintainya. Yang pelit berubah menjadi dermawan, yang penakut menjadi pemberani, yang lemah menjadi kuat dan semangat, dan tua merasa menjadi muda. Ketika berjalan berdia, tidak ingin segera sampai tujuan, dan ketika berduaan, rasanya bergitu cepat waktu berjalan. Cinta seperti bisa merubah segalanya.


Dalam kajian ilmu tasawwuf, mahabbah (cinta)  diartikan dengan mengosongkan hati dari segala-galanya,  kecuali Allah SWT, serta menyerahkan seluruh diri kepada-Nya. Karena selain Allah SWT, akan menjadi penghalang interaksi dengan Allah SWT. Imam Al-Gozali berpendapat “cinta seorang mukimin terhadap Allah SWT, berarti mengikuti perintah-Nya, dan mengharapkan ridho-Nya. Sedangkan cinta Allah SWT terhadap orang mukmin, berarti Allah SWT memujin hambanya, memberikan balasan atas semua amal manusia, serta memberikan kenikmatan dengan rahmat-Nya yang begitu luas, juga memanfaatkan atas kesalahan yang dilakukan seorang hamba”. Allah SWT akan memafaatkan dosa-dosa seorang hamba, tidak perduli berapa-pun besar dosanya.





Istilah cinta di dalam Kitab Suci

Di dalam Al-Quran banyak ditemukan istilah cinta, seperti; mawaddah, dimana istilah ini sering digunakan di dalam sebuah pernikahan, yaitu rasa cinta seseorang laki-laki kepada lawan jenisnya. Selanjutnya, istilah “Ar-Rahmah” yang artinya “kasih sayang”. Biasanya, Ar-Rahmah kasih sayang seorang suami atau isti kepada pasangan hidupnya masing-masing, sehingga seseorang rela berkorban demi pasangan yang dicintainya.

Ada juga istilah “saghif” yang artianya cinta yang mengebu-ngebu (mabuk cinta). Lihat QS Yusuf (12:30). Seorang wanita atau laki-laki juga akan mengalami mabuk asmara. Dimana orang yang sedang jatuh cinta seperti ini, akan melakukan apa-pun, demi untuk orang yang dicintainya. Biasanya, yang demikian akan merasa getun (menyesal), jika sudah menyadarinya. Wajar sajalah, jika Rosulullah SAW mengatakan “sebaik-baik perkara itu tenggah-tenggah”, aliasa tidak lebay. Begitu banyak istilah cinta dengan berbagai redaksinya, sekaligus menjadi isarah betapa pentingnya makna sebuah cinta.



Cinta Menurut Menurut Al-Ghozali.

Orang seringkali mengucapkan dan mengungkapkan rasa cinta, tetapi kadang tidak sesuai dengan kenyataannya. Jangan pernah mengatakan cinta kepada-Nya, dan Rosulnya, jika masih mengotori lisannya dengan kata-kata “kasar, kotor, tidak senonoh, bahkan misuh-misuh”. Jangan pernah mengatakan cinta kepada Allah SWT dan Rosulnya, jika masih sering “mencani, memaki, dan menyesatkan sesama muslim, bahkan mengkafirkan sesama muslim”. Silahkan mengaku pengikut sunnah, tetapi jika prilakunya tidak sesuai dengan sunnah, itu sama dengan berdusta kepada Rosulullah SAW.

Imam Al-Ghozali di dalam kitab “Mukasafatu Al-Qulub” menyebutkan orang-orang yang mengatakan cinta, tetapi sejatinya dia berdusta”.:

1.      Siapa yang mengaku cinta surga-Nya, tetapi tidak taat kepada-Nya, maka dia termasuk pendusta.

2.      Barangsiapa yang mengaku cinta kepada Rosulullah SAW tetapi tidak cinta terhadap ulama dan orang-orang fakir, maka ia termasuk pendusta.

3.      Barangsiapa mengaku takut masuk neraka tetapi tidak meninggalkan maksiat (larangan-Nya), maka ia termasuk pendusta.

4.      Barangsiapa mengaku cinta kepada Allah SWT, tetapi selalu berkeluh kesah ketika mendapatkan ujian, maka ia termasuk pendusta.



Suatu ketika,  sebelum ajal menjempu, Rosulullah SAW mengumpukan sahabat-sahabatnya dan berkata kepada mereka “siapakah orang yang pernah saya sakiti”. Tiba-tiba seorang laki-laki mengangat telunjuknya, dan berkata “saya wahai Rosulullah SAW”.  Mendengar ucapan itu, Umar  Ibn Al-Khattab ra sangat geram terhadap laki-laki tersebut.

 Laki-laki itu tidak perduli, walaupun dianggap tidak santun kepada Rosulullah SAW. Kemudian laki-laki itu mengatakan “bukalah bajumu wahai Rosulullah SAW, karena waktu itu kulitku terkena cambukmu (kayu). Kemudian Nabi SAW membuka bajunya. Tidak disangka, tiba-tiba laki-laki mendekat dan memeluk tubuh Rosulullah SAW. Lalu berkata lembut sambil meneteskan air mata “saya hanya ingin kulit ini bersentuhan dengan kulitmu wahai Rosulullah SAW”. Itu cinta seorang sahabat terhadap junjungannya. Karena kulit Rosulullah SAW, begitu lembut dan seperti kulitnya ahli surga. Siapa yang pernah bersentuhan dengan kulit mulianya, seoalah-olah mendapatkan separuh dari surga Allah SWT.

Masih membincangkan masalah cinta, Allah SWT pernah berfirman “”katakanlah:”Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang. Katakanlah: “Taatilah Allah dan Rasul-Nya; Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (QS. Ali Imran (3:31-32).

Sejauh mana seseorang mencintai Rosulullah SAW dan mengikutinya dengan penuh cinta, maka sejauh itu pula Allah SWT mencintainya, dan memberikan maaf atas kesalahan hamba-hamba-Nya. Rosulullah SAW mengenali orang-orang yang mencintai dirinya, dan sering menyebut-nyebut namanya dengan banyak sholawat dan salam atas dirinya. Semakin banyak bersholawat dan salam atas Rosulullah SAW, akan semakin dikenali dan dicintai oleh Rosulullah SAW.

Seorang sahabat dari desa bertanya kepada Rosulullah SAW”Kapan datangnya hari qiamat? Nabi Muhammad SAW menjawab “apakah yang sudah engkau persiapkan diri” laki-laki itu menjawab “ tidak wahai Rosulullah”. Sesungguhnya aku hanya mencintai Allah SWT dan Rosulullah SAW”. Kemuduan Rosulullah SAW menjawab dengan singkat “engkau kelak bersama dengan orang engaku cintai”. Cinta kepada Nabi SAW, akan membuat seseorang banyak bersholawat, dan mengikuti sunnahnya, dan tidak akan sedikit-pun berkata-kata kasar, kotor, apalagi menyesatkan dan mengakafirkan sesama muslim.

Seorang wanita yang tekenal dengan nama “Rabiah Al-Adawiyah” adalah orang yang sufi yang mengutarkan hakekat cinta kepada Allah SWT.  Rabiah Al-Adawiyah adalah sosok wanita yang benar-benar mengedepankan cinta Allah SWT di atas segala-galanya. Sampai-sampai Rabiah Al-Adawiyah berkata “ Ya Allah, Tuhaku jika aku beribadah kepada-Mu karena takut siksaan neraka, maka bakarlah diriku di dalam panasanya api neraka itu. Ya Allah…jika aku beribadah kepada-Mu karena mengharap surga-Mu, maka jauhkanlah aku dari sorga-Mu. Aku beribadah kepada-Mu, karena Engkaulah yang wajib dan layak disembah, maka jangan sembunyikan keindahan Wajah-Mu”.

 Karena cinta kepada Allah SWT, Rabiah Al-Adawiyah melupakan segala macam kesengangan duniawi, karena duniawi seringkali menjadikan manusia lalai akan kewajiban sebagai seorang hamba. Rabiah Al-Adawiyah mengosongkan hatinya dari urusan kenikmatan dan kelezatan duniawi, yang ada adalah “Mahabbah terhadap Allah SWT”.

1.      Siapa yang mengaku cinta surga-Nya, tetapi tidak taat kepada-Nya, maka dia termasuk pendusta.

2.      Barangsiapa yang mengaku cinta kepada Rosulullah SAW tetapi tidak cinta terhadap ulama dan orang-orang fakir, maka ia termasuk pendusta.

3.      Barangsiapa mengaku takut masuk neraka tetapi tidak meninggalkan maksiat (larangan-Nya), maka ia termasuk pendusta.

4.      Barangsiapa mengaku cinta kepada Allah SWT, tetapi selalu berkeluh kesah ketika mendapatkan ujian, maka ia termasuk pendusta.



Suatu ketika,  sebelum ajal menjempu, Rosulullah SAW mengumpukan sahabat-sahabatnya dan berkata kepada mereka “siapakah orang yang pernah saya sakiti”. Tiba-tiba seorang laki-laki mengangat telunjuknya, dan berkata “saya wahai Rosulullah SAW”.  Mendengar ucapan itu, Umar  Ibn Al-Khattab ra sangat geram terhadap laki-laki tersebut.

 Laki-laki itu tidak perduli, walaupun dianggap tidak santun kepada Rosulullah SAW. Kemudian laki-laki itu mengatakan “bukalah bajumu wahai Rosulullah SAW, karena waktu itu kulitku terkena cambukmu (kayu). Kemudian Nabi SAW membuka bajunya. Tidak disangka, tiba-tiba laki-laki mendekat dan memeluk tubuh Rosulullah SAW. Lalu berkata lembut sambil meneteskan air mata “saya hanya ingin kulit ini bersentuhan dengan kulitmu wahai Rosulullah SAW”. Itu cinta seorang sahabat terhadap junjungannya. Karena kulit Rosulullah SAW, begitu lembut dan seperti kulitnya ahli surga. Siapa yang pernah bersentuhan dengan kulit mulianya, seoalah-olah mendapatkan separuh dari surga Allah SWT.

Masih membincangkan masalah cinta, Allah SWT pernah berfirman “”katakanlah:”Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang. Katakanlah: “Taatilah Allah dan Rasul-Nya; Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (QS. Ali Imran (3:31-32).

Sejauh mana seseorang mencintai Rosulullah SAW dan mengikutinya dengan penuh cinta, maka sejauh itu pula Allah SWT mencintainya, dan memberikan maaf atas kesalahan hamba-hamba-Nya. Rosulullah SAW mengenali orang-orang yang mencintai dirinya, dan sering menyebut-nyebut namanya dengan banyak sholawat dan salam atas dirinya. Semakin banyak bersholawat dan salam atas Rosulullah SAW, akan semakin dikenali dan dicintai oleh Rosulullah SAW.

Seorang sahabat dari desa bertanya kepada Rosulullah SAW”Kapan datangnya hari qiamat? Nabi Muhammad SAW menjawab “apakah yang sudah engkau persiapkan diri” laki-laki itu menjawab “ tidak wahai Rosulullah”. Sesungguhnya aku hanya mencintai Allah SWT dan Rosulullah SAW”. Kemuduan Rosulullah SAW menjawab dengan singkat “engkau kelak bersama dengan orang engaku cintai”. Cinta kepada Nabi SAW, akan membuat seseorang banyak bersholawat, dan mengikuti sunnahnya, dan tidak akan sedikit-pun berkata-kata kasar, kotor, apalagi menyesatkan dan mengakafirkan sesama muslim.

Seorang wanita yang tekenal dengan nama “Rabiah Al-Adawiyah” adalah orang yang sufi yang mengutarkan hakekat cinta kepada Allah SWT.  Rabiah Al-Adawiyah adalah sosok wanita yang benar-benar mengedepankan cinta Allah SWT di atas segala-galanya. Sampai-sampai Rabiah Al-Adawiyah berkata “ Ya Allah, Tuhaku jika aku beribadah kepada-Mu karena takut siksaan neraka, maka bakarlah diriku di dalam panasanya api neraka itu. Ya Allah…jika aku beribadah kepada-Mu karena mengharap surga-Mu, maka jauhkanlah aku dari sorga-Mu. Aku beribadah kepada-Mu, karena Engkaulah yang wajib dan layak disembah, maka jangan sembunyikan keindahan Wajah-Mu”.

Karena cinta kepada Allah SWT, Rabiah Al-Adawiyah melupakan segala macam kesengangan duniawi, karena duniawi seringkali menjadikan manusia lalai akan kewajiban sebagai seorang hamba. Rabiah Al-Adawiyah mengosongkan hatinya dari urusan kenikmatan dan kelezatan duniawi, yang ada adalah “Mahabbah terhadap Allah SWT”.


Nabi Muhammad Sholallahu alaihi Wassalam sendiri –yang notabene pembawa agama Islam– diutus oleh Allah untuk membawa misi sebagai kasih sayang bagi alam semesta (rahmah lil ‘alamin). Lebih jauh lagi, tasawuf sebagai salah satu bentuk pemahaman dalam Islam telah memperkenalkan betapa ajaran cinta (mahabbah) menempati kedudukan yang tinggi. Hal itu terlihat dari bagaimana para ulama sufi, seperti al-Ghazali, menempatkan mahabbah sebagai salah satu tingkatan puncak yang harus dilalui para sufi.


Wajah sejuk dan teduh tasawuf yang mendedahkan cinta, dari dulu sejak zaman Rabi’ah al-Adawiyah hingga di zaman modern sekarang, tak pelak menarik orang-orang yang tertarik dengan pencarian kebahagiaan dan kebenaran hakiki. Apalagi di zaman modern sekarang ketika alienasi sosial begitu banyak terjadi, terutama di masyarakat Barat. Alienasi tersebut terjadi di antaranya karena kemajuan material ternyata banyak mengorbankan penderitaan spiritual. Kemudahan-kemudahan hidup yang dihasilkan oleh kemajuan teknologi modern membuat banyak orang jadi mengabaikan ruang rohani dalam dirinya.



DASAR-DASAR AJARAN MAHABBAH

1.      Dasar Syara’

Ajaran mahabbah memiliki dasar dan landasan, baik di dalam Alquran maupun Sunah Nabi SAW.  Hal ini juga menunjukkan bahwa ajaran tentang cinta khususnya dan tasawuf umumnya, dalam Islam tidaklah mengadopsi dari unsur-unsur kebudayaan asing atau agama lain seperti yang sering ditudingkan oleh kalangan orientalis.[4]

a.       Dalil-dalil dalam al-Qur’an, misalnya sebagai berikut:

1)      QS. Al-Baqarah ayat 165



Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, sangat besar cinta mereka kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).


2)      QS. Al-Maidah ayat 54




Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.



3)      QS. Ali Imran ayat 31



Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.




b.      Dalil-dalil dalam hadis Nabi Muhammad SAW, misalnya sebagai berikut:

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ اْلإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ ِللهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

Tiga hal yang barang siapa mampu melakukannya, maka ia akan merasakan manisnya iman, yaitu: pertama Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya; kedua: tidak mencintai seseorang kecuali hanya karena Allah; ketiga benci kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci dilemparkan ke neraka.   



….. وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا

….Tidaklah seorang hamba-Ku senantiasa mendekati-Ku dengan ibadah-ibadah sunah kecuali Aku akan mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku pun menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar; menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat; menjadi tangannya yang ia gunakan untuk memukul; dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. …

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِين

Tidak beriman seseorang dari kalian sehingga aku lebih dicintainya daripada anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia.



2.          Dasar Filosofis

Dalam mengelaborasi dasar-dasar filosofis ajaran tentang cinta (mahabbah) ini, al-Ghazali merupakan ulama tasawuf yang pernah melakukannya dengan cukup bagus. Menurut beliau, ada tiga hal yang mendasari tumbuhnya cinta dan bagaimana kualitasnya, yaitu sebagai berikut:

a.       Cinta tidak akan terjadi tanpa proses pengenalan (ma’rifat) dan pengetahuan (idrak)

Manusia hanya akan mencintai sesuatu atau seseorang yang telah ia kenal. Karena itulah, benda mati tidak memiliki rasa cinta. Dengan kata lain, cinta merupakan salah satu keistimewaan makhluk hidup. Jika sesuatu atau seseorang telah dikenal dan diketahui dengan jelas oleh seorang manusia, lantas sesuatu itu menimbulkan kenikmatan dan kebahagiaan bagi dirinya, maka akhirnya akan timbul rasa cinta. Jika sebaliknya, sesuatu atau seseorang itu menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan, maka tentu ia akan dibenci oleh manusia. [8]

b.      Cinta terwujud sesuai dengan tingkat pengenalan dan pengetahuan

Semakin intens pengenalan dan semakin dalam pengetahuan seseorang terhadap suatu obyek, maka semakin besar peluang obyek itu untuk dicintai. Selanjutnya, jika semakin besar kenikmatan dan kebahagiaan yang diperoleh dari obyek yang dicintai, maka semakin besar pula cinta terhadap obyek yang dicintai tersebut.



Kenikmatan dan kebahagiaan itu bisa dirasakan manusia melalui pancaindranya. Kenikmatan dan kebahagiaan seperti ini juga dirasakan oleh binatang. Namun ada lagi kenikmatan dan kebahagiaan yang dirasakan bukan melalui pancaindra, namun melalui mata hati. Kenikmatan rohaniah seperti inilah yang jauh lebih kuat daripada kenikmatan lahiriah yang dirasakan oleh pancaindra. Dalam konteks inilah, cinta terhadap Tuhan terwujud. 

c.       Manusia tentu mencintai dirinya

Hal pertama yang dicintai oleh makhluk hidup adalah dirinya sendiri dan eksistensi dirinya. Cinta kepada diri sendiri berarti kecenderungan jiwa untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menghindari hal-hal yang bisa menghancurkan dan membinasakan kelangsungan hidupnya.

 Selanjutnya al-Ghazali juga menguraikan lebih jauh tentang hal-hal yang menyebabkan tumbuhnya cinta.[9] Pada gilirannya, sebab-sebab tersebut akan mengantarkan seseorang kepada cinta sejati, yaitu cinta kepada Tuhan Yang Maha Mencintai. Sebab-sebab itu adalah sebagai berikut:

a.       Cinta kepada diri sendiri, kekekalan, kesempurnaan, dan keberlangsungan hidup

Orang yang mengenal diri dan Tuhannya tentu ia pun mengenal bahwa sesungguhnya ia tidak memiliki diri pribadinya. Eksistensi dan kesempurnaan dirinya adalah tergantung kepada Tuhan yang menciptakannya. Jika seseorang mencintai dirinya dan kelangsungan hidupnya, kemudian menyadari bahwa diri dan hidupnya dihasilkan oleh pihak lain, maka tak pelak ia pun akan mencintai pihak lain tersebut. Saat ia mengenal bahwa pihak lain itu adalah Tuhan Yang Maha Pencipta, maka cinta kepada Tuhan pun akan tumbuh. Semakin dalam ia mengenal  Tuhannya, maka semakin dalam pula cintanya kepada Tuhan.

b.      Cinta kepada orang yang berbuat baik

Pada galibnya, setiap orang yang berbuat tentu akan disukai oleh orang lain. Hal ini merupakan watak alamiah manusia untuk menyukai kebaikan dan membenci kejahatan. Namun pada dataran manusia dan makhluk umumnya, pada hakikatnya kebaikan adalah sesuatu yang nisbi. Karena sesungguhnya, setiap kebaikan yang dilaksanakan oleh seseorang hanyalah sekedar menggerakkan motif tertentu, baik motif duniawi maupun motif ukhrawi.

Untuk motif duniawi, hal itu adalah jelas bahwa kebaikan yang dilakukan tidaklah ikhlas. Namun untuk motif ukhrawi, maka kebaikan yang dilakukan juga tidak ikhlas, karena masih mengharapkan pahala, surga, dan seterusnya. Pada hakikatnya, ketika seseorang memiliki motif ukhrawi atau agama, maka hal itu juga akan mengantarkan kepada pemahaman bahwa Allah jugalah yang berkuasa menanamkan ketaatan dan pengertian dalam diri dan hatinya untuk melakukan kebaikan sebagaimana yang Allah perintahkan. Dengan kata lain, orang yang berbuat baik tersebut pada hakikatnya juga terpaksa, bukan betul-betul mandiri, karena masih berdasarkan perintah Allah.

Ketika kesadaran bahwa semua kebaikan berujung kepada Allah, maka cinta kepada kebaikan pun berujung kepada Allah. Hanya Allah yang memberikan kebaikan kepada makhluk-Nya tanpa pamrih apapun. Allah berbuat baik kepada makhluk-Nya bukan agar Ia disembah. Allah Maha Kuasa dan Maha Suci dari berbagai pamrih. Bahkan meskipun seluruh makhluk menentang-Nya, kebaikan Allah kepada para makhluk tetap diberikan. Kebaikan-kebaikan Allah kepada makhluk-Nya itu sangat banyak dan tidak akan mampu oleh siapa pun. Karena itulah, pada gilirannya bagi orang yang betul-betul arif, akan timbul cinta kepada Allah sebagai Dzat Yang Maha Baik, yang memberikan berbagai kebaikan dan kenikmatan yang tak terhitung jumlahnya.

c.       Mencintai diri orang yang berbuat baik meskipun kebaikannya tidak dirasakan

Mencintai kebaikan per se juga merupakan watak dasar manusia. Ketika seseorang mengetahui bahwa ada orang yang berbuat baik, maka ia pun akan menyukai orang yang berbuat baik tersebut, meskipun kebaikannya tidak dirasakannya langsung. Seorang penguasa yang baik dan adil, tentu akan disukai rakyatnya, meskipun si rakyat jelata tidak pernah menerima langsung kebaikan sang penguasa. Sebaiknya, seorang pejabat yang lalim dan korup, tentu akan dibenci oleh rakyat, meski sang rakyat tidak mengalami langsung kelaliman dan korupsi sang pejabat.

Hal ini pun pada gilirannya akan mengantar kepada cinta terhadap Allah. Karena bagaimanapun, hanya karena kebaikan Allah tercipta alam semesta ini. Meski seseorang mungkin tidak langsung merasakannya, kebaikan Allah yang menciptakan seluruh alam semesta ini menunjukkan bahwa Allah memang pantas untuk dicintai. Kebaikan Allah yang menciptakan artis Dian Sastrowardoyo nan cantik jelita namun tinggal di Jakarta, misalnya, adalah kebaikan yang tidak langsung dirasakan seorang Iwan Misbah yang tinggal nun jauh di Ciwidey.



d.      Cinta kepada setiap keindahan

Segala yang indah tentu disukai, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah. Lagu yang indah dirasakan oleh telinga. Wajah yang cantik diserap oleh mata. Namun keindahan sifat dan perilaku serta kedalaman ilmu, juga membuat seorang Imam Syafi’i, misalnya, dicintai oleh banyak orang. Meskipun mereka tidak tahu apakah wajah dan penampilan Imam Syafi’i betul-betul menarik atau tidak. Keindahan yang terakhir inilah yang merupakan keindahan batiniah. Keindahan yang bersifat batiniah inilah yang lebih kuat daripada keindahan yang bersifat lahiriah. Keindahan fisik dan lahiriah bisa rusak dan sirna, namun keindahan batiniah relatif lebih kekal.

Pada gilirannya, segala keindahan itu pun akan berujung pada keindahan Tuhan yang sempurna. Namun keindahan Tuhan adalah keindahan rohaniah yang hanya dapat dirasakan oleh mata hati dan cahaya batin. Orang yang betul-betul menyadari betapa Tuhan Maha Mengetahui, Maha Kuasa, dan segala sifat kesempurnaan melekat dalam Zat-Nya, maka tak ayal ia pun akan menyadari betapa indahnya Tuhan, sehingga sangat pantas Tuhan untuk dicintai.

e.       Kesesuaian dan keserasian

Jika sesuatu menyerupai sesuatu yang lain, maka akan timbul ketertarikan antara keduanya. Seorang anak kecil cenderung lebih bisa akrab bergaul dengan sesama anak kecil. Seorang dosen tentu akan mudah berteman dengan sesama dosen daripada dengan seorang tukang becak. Ketika dua orang sudah saling mengenal dengan baik, maka tentu terdapat kesesuaian antara keduanya. Berangkat dari kesesuaian dan keserasian inilah akhirnya muncul cinta. Sebaliknya, jika dua orang tidak saling mengenal, kemungkinan besar karena memang terdapat perbedaan dan ketidakcocokan antara keduanya. Karena ketidakcocokan dan perbedaan pula akan muncul tidak suka atau bahkan benci.

Dalam konteks kesesuaian dan keserasian inilah, cinta kepada Tuhan akan muncul. Meski demikian, kesesuaian yang dimaksud ini bukanlah bersifat lahiriah seperti yang diuraikan di atas, namun kesesuaian batiniah. Sebagian hal tentang kesesuaian batiniah ini merupakan misteri dalam dunia tasawuf yang menurut al-Ghazali tidak boleh diungkapkan secara terbuka. Sedangkan sebagian lagi boleh diungkapkan, seperti bahwa seorang hamba boleh mendekatkan diri kepada Tuhan dengan meniru sifat-sifat Tuhan yang mulia, misalnya ilmu, kebenaran, kebaikan, dan lain-lain.

Terkait dengan sebab keserasian dan kecocokan ini, satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa Allah tidak akan pernah ada yang mampu menandingi atau menyerupainya. Keserasian yang terdapat dalam jiwa orang-orang tertentu yang dipilih oleh Allah, sehingga ia mampu mencintai Allah dengan sepenuh hati, hanyalah dalam arti metaforis (majazi). Keserasian tersebut adalah wilayah misteri yang hanya diketahui oleh orang-orang yang betul-betul mengalami cinta ilahiah.



C.    RABI’AH AL-ADAWIYAH: PERINTIS TASAWUF CINTA

Sosok sufi perempuan ini sangat dikenal dalam dunia tasawuf. Ia hidup di abad kedua Hijriah, dan meninggal pada tahun 185 H. Meski ia hidup di Bashrah sebagai seorang hamba sahaya dari keluarga Atiq, hal itu tidak menghalanginya tumbuh menjadi seorang sufi yang disegani di zamannya, bahkan hingga di zaman modern sekarang ini.[10]

Corak tasawuf Rabi’ah yang begitu menonjolkan cinta kepada Tuhan tanpa pamrih apapun merupakan suatu corak tasawuf yang baru di zamannya. Pada saat itu, tasawuf lebih didominasi corak kehidupan zuhud (asketisme) yang sebelumnya dikembangkan oleh Hasan al-Bashri yang mendasarkan ajarannya pada rasa takut (khauf) kepada Allah. Corak tasawuf yang dikembangkan oleh Rabi’ah tersebut kelak membuatnya begitu dikenal dan menduduki posisi penting dalam dunia tasawuf.[11]

Sedemikian tulusnya cinta kepada Allah yang dikembangkan oleh Rabi’ah, bisa dilihat, misalnya, dalam sebuah munajat yang ia panjatkan: “Tuhanku, sekiranya aku beribadah kepada-Mu karena takut neraka-Mu, biarlah diriku terbakar api jahanam. Dan sekiranya aku beribadah kepada-u karena mengharap surga-Mu, jauhkan aku darinya. Tapi, sekiranya aku beribadah kepada-Mu hanya semata cinta kepada-Mu, Tuhanku, janganlah Kauhalangi aku melihat keindahan-Mu yang abadi.”[12]   

Saking besar dan tulusnya cinta Rabi’ah kepada Allah, maka seolah cintanya telah memenuhi seluruh kalbunya. Tak ada lagi tersisa ruang di hatinya untuk mencintai selain Allah, bahkan kepada Nabi Muhammad sekalipun. Pun, tak ada ruang lagi di kalbunya untuk membenci apapun, bahkan kepada setan sekalipun. Seluruh hatinya telah penuh dengan cinta kepada Tuhan semata. Hal ini juga Rabi’ah tunjukkan dengan memutuskan untuk tidak menikah sepanjang hidupnya, karena ia menganggap seluruh diri dan hidupnya hanya untuk Allah semata.[13]



D.    DOKTRIN-DOKTRIN MAHABBAH

1.      Makna Cinta di Kalangan Sufi

Dalam tasawuf, konsep cinta (mahabbah) lebih dimaksudkan sebagai bentuk cinta kepada Tuhan.[14] Meski demikian, cinta kepada Tuhan juga akan melahirkan bentuk kasih sayang kepada sesama, bahkan kepada seluruh alam semesta. Hal ini bisa dilacak pada dalil-dalil syara’, baik dalam Alquran maupun hadis yang menunjukkan tentang persoalan cinta. Sebagian dalil tersebut telah disebutkan pada bagian sebelumnya dalam makalah ini.

Secara terminologis, sebagaimana dikatakan al-Ghazali, cinta adalah suatu kecenderungan terhadap sesuatu yang memberikan manfaat. Apabila kecenderungan itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan rindu. Sedangkan sebaliknya, benci adalah kecenderungan untuk menghindari sesuatu yang menyakiti. Apabila kecenderungan untuk menghindari itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan dendam.[15]

Menurut Abu Yazid al-Busthami mengatakan bahwa cinta adalah menganggap sedikit milikmu yang sedikit dan menganggap banyak milik Dzat yang kau cintai. Sementara Sahl bin Abdullah al-Tustari menyatakan bahwa cinta adalah melakukan tindak-tanduk ketaatan dan menghindari tindak-tanduk kedurhakaan.[16] Bagi al-Junaid, cinta adalah kecenderungan hati. Artinya, kecenderungan hati seseorang kepada Allah dan segala milik-Nya tanpa rasa beban.[17]

2.      Cinta Sejati adalah Cinta kepada Allah

Bagi al-Ghazali, orang yang mencintai selain Allah, tapi cintanya tidak disandarkan kepada Allah, maka hal itu karena kebodohan dan kepicikan orang tersebut dalam mengenal Allah. Cinta kepada Rasulullah SAW, misalnya, adalah sesuatu yang terpuji karena cinta tersebut merupakan manifestasi cinta kepada Allah. Hal itu karena Rasulullah adalah orang yang dicintai Allah. Dengan demikian, mencintai orang yang dicintai oleh Allah, berarti juga mencintai Allah itu sendiri. Begitu pula semua bentuk cinta yang ada. Semuanya berpulang kepada cinta terhadap Allah.[18]

Jika sudah dipahami dan disadari dengan baik lima sebab timbulnya cinta yang telah diuraikan al-Ghazali sebelumnya, maka juga bisa disadari bahwa hanya Allah yang mampu mengumpulkan sekaligus kelima faktor penyebab cinta tersebut. Kelima faktor penyebab tersebut terjadi pada diri manusia hanyalah bersifat metaforis (majazi), dan bukanlah hakiki.[19] Hanya Allah Yang Maha Sempurna. Ia tidak bergantung kepada apapun dan siapa pun. Kesempurnaan itulah yang akan mengantarkan seseorang kepada cinta sejati, yaitu cinta terhadap Allah.[20]

3.      Mahabbah: antara Maqam dan Hal

Sebagaimana diketahui, dalam terminologi tasawuf ada istilah maqam (tingkatan) dan hal (keadaan, kondisi kejiwaan). Menurut as-Sarraj ath-Thusi dalam kitabnya al-Luma’, maqam merujuk kepada tingkatan seorang hamba di depan Tuhan pada suatu tingkat yang ia ditempatkan di dalamnya, berupa ibadah, mujahadah, riyadhah, dan keterputusan (inqitha’) kepada Allah. Sedangkan hal adalah apa yang terdapat di dalam jiwa atau sesuatu keadaan yang ditempati oleh hati. Sementara menurut al-Junaid, hal adalah suatu “tempat” yang berada di dalam jiwa dan tidak statis.[21] 

Menurut al-Ghazali, cinta kepada Allah (mahabbah) merupakan tingkatan (maqam) puncak dari rangkaian tingkatan dalam tasawuf. Tak ada lagi tingkatan setelah mahabbah selain hanya sekedar efek sampingnya saja, seperti rindu (syauq), mesra (uns), rela (ridla), dan sifat-sifat lain yang serupa. Di samping itu, tidak ada satu tingkatan pun sebelum mahabbah selain hanya sekedar pendahuluan atau pengantar menuju ke arah mahabbah, seperti taubat, sabar, zuhud, dan lain-lain.[22] Cinta sebagai maqam ini juga diamini oleh Ibn Arabi. Menurutnya, cinta merupakan maqam ilahi.[23]

Berbeda dengan al-Ghazali, menurut al-Qusyairi, mahabbah merupakan termasuk hal. Bagi al-Qusyairi, cinta kepada Tuhan (mahabbah) merupakan suatu keadaan yang mulia saat Tuhan bersaksi untuk sang hamba atas keadaannya tersebut. Tuhan memberitahukan tentang cinta-Nya kepada sang hamba. Dengan demikian, Tuhan disifati sebagai yang mencintai sang hamba. Selanjutnya, sang hamba pun disifati sebagai yang mencintai Tuhan.[24] 

4.      Tingkatan Cinta

Dilihat dari segi orangnya, menurut Abu Nashr ath-Thusi, cinta kepada Tuhan terbagi menjadi tiga macam cinta. Pertama, cinta orang-orang awam. Cina seperti ini muncul karena kebaikan dan kasih sayang Tuhan kepada mereka. Ciri-ciri cinta ini adalah ketulusan dan keteringatan (zikir) yang terus-menerus. Karena jika orang mencintai sesuatu, maka ia pun akan sering mengingat dan menyebutnya.[25]

Kedua, cinta orang-orang yang shadiq dan mutahaqqiq. Cinta mereka ini timbul karena penglihatan mata hati mereka terhadap kekayaan, keagungan, kebesaran, pengetahuan dan kekuasaan Tuhan. Ciri-ciri cinta ini adalah “terkoyaknya tabir” dan “tersingkapnya rahasia” Tuhan. Selain itu, ciri lain adalah lenyapnya kehendak serta hilangnya semua sifat (kemanusiaan dan keinginan duniawi).[26]

Ketiga, cinta orang-orang shiddiq dan arif. Cinta macam ini timbul dari penglihatan dan pengenalan mereka terhadap ke-qadim-an Cinta Tuhan tanpa sebab (illat) apapun. Menurut Zunnun al-Mishri, sifat cinta ini adalah terputusnya cinta dari hati dan tubuh sehingga cinta tidak lagi bersemayam di dalamnya, namun yang bersemayam hanyalah segala sesuatu dengan dan untuk Allah. Sedangkan menurut Abu Ya’qub as-Susi, cirinya alah berpaling dari cinta menuju kepada Yang Dicintai. Sementara al-Junaid menambahkan bahwa ciri cinta macam ini adalah meleburnya sifat-sifat Yang Dicintai kepada yang mencintai sebagai pengganti sifat-sifatnya.[27]

 

E.     PENGARUH DOKTRIN MAHABBAH

 Semenjak Rabi’ah al-Adawiyah mengungkapkan corak tasawuf melalui puisi, prosa, atau dialognya, ajaran cinta ilahi (mahabbah) pun mulai menjadi tema menarik di kalangan tasawuf. Gambaran tentang Tuhan pun tidak lagi begitu menakutkan seperti sebelumnya. Tuhan seolah menjadi lebih dekat dan lebih “manusiawi”.

Pada perkembangan tasawuf selanjutnya, mahabbah selalu menjadi tema yang mendapat pembahasan secara khusus. Para sufi pun banyak yang membahas lebih mendalam tentang tema ini dalam karya-karya mereka, seperti al-Hujwairi dengan Kasyf al-Mahjub, ath-Thusi dengan al-Luma’, al-Qusyairi dengan ar-Risalah al-Qusyairiyyah, al-Ghazali dengan Ihya Ulumiddin, Ibnu Arabi dalam al-Futuhat al-Makkiyah, dan lain-lain.

Pada bidang puisi, banyak para sufi yang juga sekaligus penyair yang kemudian menyenandung cinta ilahi, seperti Abu Sa’id bin Abi al-Khair, al-Jilli, Ibnu al-Faridh, Jalaluddin Rumi, dan lain-lain. Hingga sekarang, para penyair sufi kontemporer masih banyak yang menyenandungkan puisi-puisi cinta ilahi, seperti Syekh Fattah yang membentuk kelompok musik Debu yang kini ada di Indonesia.



F.     PENUTUP

Ajaran cinta ilahi yang dikumandangkan oleh tasawuf sebenarnya bisa dijadikan sarana kita untuk lebih memperhalus jiwa. Kehalusan jiwa yag dihasilkan oleh tasawuf ini diperlukan agar agama tidak selalu dipahami secara legal-formalistik belaka yang biasanya ditampilkan oleh kalangan ahli fikih. Dengan demikian, agama pun diharapkan bisa menjadi berwajah toleran, humanis, dan menerima realitas pluralistik yang ada di tengah di masyarakat, seperti puisi yang didengungkan oleh Ibnu Arabi di awal makalah.

Meski demikian, ajaran cinta dalam Alquran sendiri, juga menghendaki keseimbangan antara sisi individual dan sosial; antara emosional dan rasional. Dari penelitian yang pernah dilakukan penulis, term-term cinta yang ditampilkan Alquran justru bersifat dinamis dan menghendaki aktualisasi riil dalam realitas sosial. Cinta dalam Alquran hampir selalu ditempatkan dalam konteks untuk mewujudkan kebaikan dan keadilan sosial.[28] Karena itu tidaklah mengherankan jika di akhir abad 19 hingga awal abad 20, beberapa kelompok sufi di Afrika Utara menjadi pendorong perlawanan terhadap penjajahan Barat. Wallahu a’lam.    

Cinta adalah modal seorang sufi dalam menapaki kehidupan spiritual. Oleh kalangan sufi cinta diistilahkan dengan mahabbah. Dalam tasawuf mahabbah merupakan sebuah maqam (jenjang spiritual yang harus dilalui seorang salik). Setiap hamba memiliki tujuan untuk mendapatkan mahabbah. Oleh sebab itu Imam al-Ghazali menjadikan mahabbah sebagai puncak maqam.

Sebuah kisah dari Matsnawi, Jalaluddin Rumi mengisahkan, suatu Ketika Nabi Musa sedang berjalan di padang rumput dan mendapati seorang gembala kambing yang sedang beristirahat sambil berkata: Wahai Tuhanku aku sungguh mencintaiMu. Aku akan melayaniMu sepuas hatiKu. Aku sayang Engkau. Aku ingin sekali membelai dan menyisir rambutMu. Aku ingin sekali menyemir sepatumu.Mendengar perkataan demikian Nabi Musa marah dan menasihati Si penggembala kambing. Wahai penggembala kambing apa yang telah kau katakan telah menodai derajat Tuhan. Kamu tidak pantas berkata begitu, karena Tuhan tidak membutuhkan apa yang kau katakan. Si gembala menyeringai ketakutan. Sambil memohon, penggembala itu berkata: Wahai Nabi Musa engkau yang lebih mengetahui hubungan antara hamba dan Allah. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Yang jelas cintaku pada Tuhan melebihi cintaku pada apapun. Musa menjawab: Jika begitu adanya bertobatlah kamu!

Seketika sipenggembala lari menuju hutan dan tidak kelihatan mukanya selama beberapa hari. Beberapa saat kemudian Nabi Musa mendapat teguran dari Allah. Seolah-olah Allah menyalahkan semua tindakan Nabi Musa yang membentak penggembala kambing. Kemudian Nabi Musa mendengar suara tanpa kalimat yang mengatakan:

Wahai Musa engkau telah memisahkan antara Aku dan hambaKu. Pecinta dan Yang diCinta tidak dibatasi oleh kata-kata dan kalimat. Pecinta dan Sang diCinta tidak terikat ikatan hukum dan formalisasi. Datanglah padanya sampaikan salamku untukNya. Berbuatlah sesuka dia. Sesungguhnya Aku sangat mencintai dan ridla padanya.

Mendengar Allah berkata demikian Nabi Musa dengan kontan meminta ampun dan langsung mencari si penggembala kambing ke padang rumput tempat biasa sang penggembala mengembalakan kambingnya. Tetapi Nabi Musa tidak menemukan si Penggembala.

Lama dia mencari hingga berhari-hari hingga ia menemukan si penggembala di dalam hutan dalam keadaan bersedih. Dia merintih sedih tidak bisa meluapkan rasa kasihnya kepada Tuhan. Lalu Nabi Musa mendekatinya. Wahai penggembala kambing sesungguhnya Allah telah berfirman kepadaku. Berbuatlah sesukamu karena Allah mencintai dan ridla kepadamu.

Hikmah

Dari cerita ini menjelaskan kepada kita bahwa cinta adalah kedudukan seorang hamba yang mengenal Tuhannya. Ia tidak terikat aturan atau sekat lainnya. Karena cinta merupakan essensi kedekatan seorang wali.

Kitapun bisa melihat sosok sufi wanita yang memiliki cinta mendalam kepada Allah swt. Dia adalah Rabi'ah al-Adawiyyah. Cintanya kepada Alah mengalahkan cintanya kepada apapun. Cintanya kepada Allah adalah cinta buta. Dia tidak merasa kesepian walaupun hidup sebatang kara. Dia tidak merasa sengsara walaupun hidupnya penuh dengan penderitaan. Dia selalu riang gembira karena hati dan jiwanya selalu terkiblat pada Allah swt. Keriang-gembiraannya ini dibarengi juga dengan kesedihan ratapi, karena selalu merasa menjadi hamba yang kurang dan penuh dengan dosa. Dengan demikian rasa cintanya berbarengan dengan rasa takut kepada Allah swt. Rabi'ah membagi cinta kepada Allah swt itu dua tingkatan:

1. Cinta_rindu
2. Cinta karena Allah lah yang pantas dicintai

Imam al-Ghazali menafsirkan cinta rindu
Beliau berpendapat, bahwa cinta yang dialami Rabi'ah pada tingkat ini adalah tingkatan awal (masih dalam taraf awam). Yang dimaksud dengan cinta rindu adalah cinta kepada Alah yang disebabkan karena kesadaran berterimaksih sebab Allah swt telah memmberikan karunia yang sangat besar kepadanya. Untuk itu dia wajib berterimaksih kepada Allah swt. Dengan berterimakasih kepada Allah, maka akan menimbulkan rasa simpatik dan cinta kepada Allah swt. Kesimpulannya cinta rindu diakibatkan rasa terimakasih.

Sedangkan cinta karena Allah yang patut untuk dicintai adalah pengalaman cinta Rabi'ah yang memuncak. Pengalaman seperti ini sudah menapaki jenjang paling tinggi yang tidak dialami oleh orang awam. Pada taraf ini Ke jamal-an (keindahan Tuhan) dan ke-Kamal-an (kesempurnaan) Tuhan tersibak dan dapat disaksikan oleh seorang sufi. Dan ketika sufi mengalami hal seperti ini ia akan merasa bahwa semua selain Allah adalah nisbi, buruk, jelek dan tidak berguna. Yang baik, agung, cantik, indah, sempurna dan selalu memberikan manfaat hanya Alah semata saja. Orang yang mendapatkan mahabbah ini tidakakan memperhatikan keuntungan, kerugian, kesedihan, kegembiraan dan lain sebagainya. Hidupnya hanya ditujukan dan diorientasikan kepada Allah semata.

Rabi'ah al-Adawiyyah pernah berkata: Ya Allah jika aku beribadah kepada-Mu karena takut siksa neraka, maka bakarlah aku didalam api neraka! Jika aku beribadah kepada-Mu karena mengharap sorga, maka jauhkanlah aku dari sorga-Mu! Tetapi jika aku beribadah kepada-Mu karena Engkaulah yang layak untuk disembah, maka jangan sembunyikan keindahan Wajah-Mu!

Dari kata-kata Rabi'ah ini dapat disimpulkan bahwa hidup dan matinya Rabi'ah hanya untuk sosok yang Dicintai. Sosok itu adalah Allah swt. Ibadahnya tidak mengharapkan apapun. Dia hanya ingin memandang, berdekatan dan berusaha selalu membuat ridla, suka dan senang sosok yang dicintainya.

Cinta semacam Rabi'ah kepada Allah swt mengalahkan cinta kepada selain Allah. Hingga suatu ketika ada seorang laki-laki datang melamarnya (menurut riwayat beliau adalah Sofyan ats-Tsauri). Namun Rabi'ah menolak lamaran tersebut.beliau berkata: Jika engkau hendak menikahiku, maka mintalah izin kepada Allah karena akumilik Allah.

Kecintaan Rabi'ah terhadap Allah melupakan segala macam kesengangan duniawi, bahkan untuk menikahpun beliau menolak untuk melakukannya. Hal seperti ini yang dianggap oleh banyak kalangan sebagai cinta mati. Suatu ketika beliau ditanya oleh seseorang: "Ya Rabi'ah apakah engkau mencintai nabi Muhammad?" beliau menjawab: Aku mencintai Nabi Muhammad tetapi cintaku kepada Allah melupakan cintaku kepada makhluk.Cinta yang diungkapkan Rabi'ah menyiratkan bahwa cinta kepada Allah diatas segala cinta, termasuk cinta kepada Nabi. Hal ini berbeda dengan konsep cinta Zun Nun al- Mishri, justru beliau menyatakan cinta kepada nabi Muhammad harus dimiliki oleh setiap sufi. Dan cinta kepada Nabi Muhammad sejajar dengan cinta kepada Allah. Karena cinta kepada Nabi akan menimbulkan ketauladananan dari Nabi.

Tidak jauh berbeda dengan Rabi'ah, Zun Nun al-Mishri pun memiliki konsep cinta (Mahabbah). Menurutnya Cinta itu terbagi menjadi tiga tahapan. Tahapan pertama seseorang harus mencintai para ulama. Karena para ulama adalah warosatul al-ambiya (penerus para nabi). Jika seseorang mencintai para ulama ia akan meneladani para ulama. Setelah itu ia meneladani para ulama maka akan menimbulkan kecintaan kepada Rasulullah saw. Jika seseorang sudah mencintai Rasulullah, maka ia akan meneladani perilakuRasulullah saw. Dan jika sudah meneladani perilaku Rasulullah maka cinta kepada Allah akan timbul seperti cintanyaRabi'ah.

Zun-Nun al-Mishri, diriwayatkan meninggal dunia karena cinta. Diceritakan pada sebuah jamuan pertemuan para pembaca sima Zun Nun membaca puisi cinta sambil fana'(hilang kesadarannya karena ditarik dengan kesadaran ilahi). Ia membaca puisi cinta hinggga keluar ruangan dan pergi ke hutan bambu yang telah ditebas pohon-pohonnya. Kakinya tertusuk patahan-patahan bambu sampai infeksi. Tetapi beliau tidak merasakan sakit. Yang dirasa hanya rasa riang dan gembira karena cintanya kepada Allah. Sementara infeksi kakinya menyebar sampai ia menemui ajalnya. Dengan demikian cinta yang dialami Zun Nun dapat mengenyahkan rasa sakit jasmani.

Dari teori cinta (mahabbah) agaknya kita sebagai seorang muslim harus memiliki sebuah ambisi untuk mendapatkan maqam ini. Karena orientasi seorang hamba adalah mengenal, mencinta, berdekatan, bermesraan dan bersatu dengan Sang Maha Cinta, Allah swt.

Allah SWT berfirman:
يٰأَيُّهَا الَّذينَ ءامَنوا مَن يَرتَدَّ مِنكُم عَن دينِهِ فَسَوفَ يَأتِى اللَّهُ بِقَومٍ يُحِبُّهُم وَيُحِبّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى المُؤمِنينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الكٰفِرينَ يُجٰهِدونَ فى سَبيلِ اللَّهِ وَلا يَخافونَ لَومَةَ لائِمٍ ۚ ذٰلِكَ فَضلُ اللَّهِ يُؤتيهِ مَن يَشاءُ ۚ وَاللَّهُ وٰسِعٌ عَليمٌ

Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mumin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS al-Maidah: 54)

Ayat diatas menerangkan bahwa Allah swt menurunkan kaum yang memiliki cinta. Cinta adalah sebuah rasa atau keadaan jiwa yang dapat menadamaikan kehidupan. Cinta yang hakiki adalah cinta kepada dan berdasarkan Allah swt. Konsep cinta di dalam Islam hanya terdapat pada doktrin sufisme/tasawuf. Doktrin ini dinamakan dengan mahabbah.

Selanjutnya dalam al-Qur'an selalu ditekankan kepada orang-orang yang beriman untuk mensucikan jiwa agar hubungannya dengan Tuhan berjalan lancar. Proses penyucian ini dalam tasawuf dinamakan dengan tazkiyatun nafs. Al-Qur'an membicarakan hal ini dalam ayat berikut:

Nabi juga berfirman dalam sebuah hadits qudsi mengenai kewalian, yaitu:
Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku umumkan permusuhan-Ku terhadapnya. Tidak ada sesuatu yang mendekatkan hamba-Ku kepada yang lebih Ku-sukai dari pada pengamalan segala yang kufardlukan atasnya. Kemudian, hamba-Ku yang senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan melaksanakan amal-amal sunah, maka Aku senantiasa mencintainya.

Bila Aku telah jatuh cinta kepadanya, jadilah Aku pendengarannya yang dengannya ia mendengar. Aku penglihatannya yang dengannya ia melihat. Aku tangannya yang dengannya ia memukul. Aku kakinya yang dengan itu ia berjalan. Bila ia memohon kepada-Ku, Aku perkenankan permohonannya. (Wallahu a'alm)

Sebagai kata-kata konseptual dalam wacana tasawuf dan mistisisme, atau falsafah mistik/sufi, makna atau arti yang dikandung istilah Cinta sebenarnya sebegitu luasnya. Berikut ini adalah penjelasan dan pandangan beberapa sufi terkemuka tentang cinta dan keindahan, dua kata yang selalu digandengkan dalam wacana tasawuf dan estetika.

Ali Usman al-Hujwiri Sufi besar dari Afghanistan abad ke-11 M Ali Utsman al-Hujwiri menuturkan sebagai berikut: “Mahabbat (cinta) dikatakan berasal dari hibbat, yang merupakan benih-benih yang jatuh ke bumi di tengah gurun. Nama hubb (cinta) diberikan kepada benih-benih gurun tersebut (hibb), oleh karena cinta merupakan sumber dari kehidupan yang adil sebagaimana benih yang merupakan asal tanam-tanaman. Seperti halnya jika benih-benih itu ditebarkan di gurun, mereka lantas terpendam di bumi dan hujan jatuh di atasnya dan matahari menyinarinya dan panas serta dingin lewat atasnya, namun benih-benih itu tak terpengaruh oleh perubahan musim, namun tumbuh dan memunculkan bunga-bunga dan memberi buah, begitulah cinta, bila ia memilih tempat kediamannya dalam hati, tak terganggu oleh kehadiran dan ketakhadiran, oleh suka atau duka, oleh perpisahan atau persatuan.

Yang lain mengatakan bahwa mahabbat berasal dari kata hubb, yang berarti “sebuah kendi yang penuh genangan air”, oleh karena bilamana cinta terkumpul dalam hati dan memenuhinya, tak ada lagi ruang bagi pikiran kecuali sang kekasih, sebagaimana Shibli mengatakan: “Cinta disebut mahabbat oleh karena ia menghapus (tamhu) segala hal selain kekasih.” 

Yang lain mengatakan bahwa mahabbat berasal dari hubb, yang berarti “empat keping kayu di atas mana kendi air diletakkan”, oleh karena seorang pencinta merasa ringan membawa apa saja yang ditimpakan oleh kekasihnya kepadanya, pujian atau hinaan, duka atau senang, kata yang baik atau yang jelek”. 

Menurut yang lain, mahabbat berasal dari kata habb, bentuk jamak habbat, dan habbat adalah teras hati di mana cinta berdiam. Dalam hal ini, mahabbat disebut berdasar nama tempat-kediamannya (yaitu hati), (karenanya lantas diberi arti sebagai) suatu prinsip yang (dipegang teguh dan) memiliki contoh bermacam-macam di dalam bahasa Arab. Yang lain mengasalkannya dari kata habab, “air yang mendidih dan semangat yang melonjak, ketika hujan lebat turun”, oleh karena itu cinta adalah semangat hati dalam merindukan persatuan dengan kekasih.

Apabla tubuh mendapatkan hidup dari ruh (nyawa), maka begitulah hati memperoleh hidup dari cinta, dan cinta memperoleh hidup dari penglihatan batin tentang, dan persatuan dengan, kekasih.

Yang lain lagi, menyatakan bahwa hubb dipakai untuk cinta murni, oleh karena orang-orang Arab menyebut kemurnian mata manusia habbat al-insan, sama seperti menyebut kelamnya kalbu yang murni habbat al-qalb: yang kemudian adalah tempat diam cinta, yang sebelumnya penglihatan batin. Di sini hati dan mata saling berlomba dalam cinta, sebagaimana penyair menyatakan: Hatiku mencemburui pandangan senang mataku Dan mataku iri pada kekhusyukan hatiku Uraian Anda harus paham bahwa istilah “cinta” (mahabbat) dipakai oleh ahli kalam (teologi) dalam tiga arti. 

Pertama, sebagai keinginan yang tak putus-putus terhadap sasaran cinta, dan kecenderungan hati serta berahi, di mana ia hanya merujuk pada wujud-wujud ciptaan dan pengaruh timbal balik satu sama lain, tapi tak terpakai untuk Tuhan, yang luhur melampaui segala ini. 

Kedua, berarti Kemurahan Tuhan dan keistimewaan yang Dia berikan kepada yang dipilih dan diperkenankan memperoleh pangkat kewalian yang sempurna dan secara khusus berada dari aneka mukjizat biasa. 

Ketiga, berarti pujian yang diberikan Tuhan kepada orang-orang yang baik amal perbuatannya (thana-yi-jamil). Filosof-filosof Skolastik mengatakan bahwa Cinta Tuhan, yang Dia nyatakan supaya diketahui oleh kita, bertalian dengan sifat-sifat yang lazim, seperti wajah-Nya dan tangan-Nya dan tempat duduk-Nya sendiri yang kuat dan arasy-Nya (istiwa), dari mana keberadaan dari titik pandang akal bisa tampak mungkin jika tak dinyatakan sebagai sifat-sifat Ilahi di dalam Qur’an dan Sunnah. 

Karena itu kita meneguhkannya dan meyakininya, namun pemahaman mengenai itu terhalang. Pengertian Skolastik ini menolak istilah “Cinta” dapat dipakai kepada Tuhan dalam segala artinya seperti yang telah saya bicarakan. Sekarang saya akan menerangkannya kepada anda soal ini sebenarnya. Cinta Tuhan kepada Manusia adalah kehendak baik-Nya terhadap manusia dan Kasih-sayang-Nya kepada manusia. Cinta adalah sebuah nama dari kehendak (iradat)-Nya, seperti halnya “puas”, “marah”, dan “murah hati” dan lain-lain, dan Kehendak-Nya merupakan sifat kekal darimana Dia menghendaki tindakan-tindakanNya berlaku. 

Singkatnya, cinta Tuhan kepada Manusia mencakup penampakan karunia yang lebih kepada manusia, dan pemberian ampunnya di dunia ini dan hari kemudian, dan membuatnya berkedudukan mulia dan mencapai tingkatan tinggi dan menyebabkannya memalingkan pikirannya jauh-jauh dari segala yang selain Tuhan. Bilamana Tuhan secara khusus membedakan seseorang di jalan ini, maka kekhususan kehendak-Nya disebut cinta. Inilah ajaran Harith Muhasibi dan Junayd dan sebagian besar Syekh-syekh Sufi sebagaimana ahli-ahli syariah menganut aliran ini dan kebanyakan filosof Skolastik aliran Sunnah juga berpegang pada pandangan serupa. 

Mengenai pernyataan yang menyebut bahwa cinta Ilahi merupakan “pujian yang diberikan kepada orang amal perbuatannya baik” (thana-yi Jamil bar banda), pujian Tuhan adalah kalam-Nya, yang tak tercipta; pernyataan bahwa cinta Ilahi berarti “kasih sayang”, kasih-sayang-Nya tercakup dalam tindakan-tindakan-Nya. 

Di sinilah perbedaan pandangan yang pokok muncul yang bertalian erat satu sama lain. Cinta manusia kepada Tuhan adalah kwalitas yang menyatakan diri dalam kalbu orang yang beriman sungguh-sungguh, dalam bentuk pemujaan dan pengagungan, sehingga ia mencari Pemenuhan Kekasihnya dan menjadi tak sadar serta gelisah dalam keinginannya untuk melihat-Nya dan tak dapat diam dengan sesuatu kecuali Dia, dan bertambah akrab dengan zikir (dhikir, mengingat) terhadap-Nya dan melupakan ingatan terhadap segala hal di sampingnya. 

Dia yang mengetahui cinta sejati tak akan mengalami kesulitan, dan semua keraguannya lenyap. Cinta, lantas, ada dua jenis – (1) cinta antara sesama, di mana nafsu digerakkan oleh jiwa yang lebih rendah dan mencari dzat obyek yang dia kasihi melalui hubungan seksual. (2) cinta seseorang kepada yang tak sejenis dengan obyek cintanya dan yang mencari kedekatan kepada sifat-sifat dari obyeknya, misalnya mendengar tanpa berkata-kata, atau melihat tanpa mata. Dan orang beriman yang mencintai Tuhan ada dua jenis – (1) mereka yang memandang kepada karunia dan kasih sayang Tuhan dan dibimbing oleh pandangan itu dalam mencintai Yang Maha Penyayang. (2) mereka yang begitu tertawan oleh cinta di mana mereka memandang segala karunia sebagai tirai (pemisah antara dirinya dan Tuhan) dan beranggapan bahwa Yang Maha Pengasih bergerak menuju (kesadaran-diri) dari yang dikaruniai. 

Cara yang terakhir adalah lebih tinggi di antara keduanya.” Hubungan Cinta dan Keindahan Fazil, sufi abad ke-15 dari Turki menuturkan: “Keindahan di manapun ia tampak, apa pada manusia, hewan atau tumbuh-tumbuhan dan logam mulia, merupakan ayat-ayat Tuhan sebagai perwujudan keagungan Diri-Nya. Dia adalah Yang Serba Indah, sedangkan obyek-obyek yang kita lihat sebagai sesuatu yang indah, merupakan cermin dari yang jamak di mana sebadari Diri-Nya yang hakiki menyatakan diri. Karena punya asal-usul keilahian, keindahan memiliki pengaruh yang halus atas pemiliknya, membangunkan rasa cinta di dalam diri pemiliknya, sehingga di mana saja ia berada ia akan mampu memasuki persatuan dengan Tuhan sendiri. Jadi Tuhan adalah tujuan terakhir dari setiap berahi para pencintan; namun sementara ia belum ternyatakan oleh si pencinta, sementara ia masih membayangkan bahwa dunia yang fana merupakan pengilhamnya yang sebenarnya dan akhir tujuan dari keharuannya, cintanya itu masih berada dalam tingkatan “khusus”, dan ia sendiri masih dalam titian “perumpamaan”. 

Demikianlah Cinta merupakan pembimbing menuju Dunia Atas Sana, kendali yang membimbingnya menuju Langit; melalui api Cinta besi dapat berubah menjadi emas, dan tanah liat hitammu berubah jadi permata yang berkilauan. Cintalah yang membuat si bijak yang lalai sadar, dan mengubah yang keliru menjadi ahli makrifat; Cintalah yang merupakan penyingkap Kebenaran, jalan tersembunyi menuju Penyucian Tuhan. Dan bagi pencinta sejati, dia adalah hati murni dan kesucian hidup, benda dunia tak ada sangkut paut di matanya; debu dan emas sama di matanya; kemurahan dan keramahan membedakannya dari yang lain: nafsu dunia tak memerintah dirinya lagi.” 

Pandangan Jami, Sufi Iran abad ke-15 M Keindahan Yang Mutlak adalah Keagungan-Nya yang dilengkapi dengan sifat-sifat maha kuasa dan maha pemurah. Setiap keindahan dan kesempurnaan menyatakan diri dalam bermacam-macam tingkatan wujud bagaikan seberkas sinar keindahan-Nya yang sempurna dan terpantul dari dalam wujud itu. Dari berkas sinarnya inilah jiwa luhur menerima pancaran keindahan dan sifat-sifat yang sempurna. Barang siapa yang banyak memperoleh hikmah, Tuhan akan menganugerahkan lebih banyak lagi hikmah. Di mana saja ia mendapatkan kepandaian, kepandaiannya itu adalah hasil akal ketuhanan. Pendek kata, semua merupakan sifat-sifat Tuhan yang turun dari zenith Yang Serba Sejagatk, dan Maha Mutlak, menuju nadir dari yang khusus dan nisbi. Mereka diturunkan ke tujuannya agar langsung sampai ke tujuan, begitulah yang sebagian itu menuju Yang Menyeluruh. Dan janganlah mengira bahwa yang sebagian itu tercerai dari Yang Menyeluruh, pun jangan terpesona dengan apa yang nisbi aagar kau tidak putus hubungan dengan Yang Mutlak. 

Kukunjungi Taman Bunga Kekasih Yang Esa Pelita keindahan mengintaiku, dan berkata kepada-Nya “Aku adalah pohon; kembang-kembang ini adalah cabang-cabang-Mu Jangan sembunyikan cabang-cabang ini dari-Mu karena pohonnya. Apa gunanya mawar, bentuk yang penuh karunia itu, Dan cincin yang melingkari wajahnya? Bila Keindahan Yang Mutlak menyinari sekeliling Mengapa keindahan yang terbatas harus didekap? Lagi Abdul Rahman al-Jami menulis dalam sajaknya: Dari semua kekekalan Kekasih menyingkap keindahan-Nya dalam kesendirian-Nya yang Tak terlihat. Dia menghadapkan cermin pada wajah-Nya sendiri, Dia menunjukkan pesona-Nya pada Diri-Nya sendiri. Dia adalah yang menonton dan yang ditonton: tanpa mata namun penglihatannya meliputi seluruh alam semesta. Semua adalah Satu, tidak ada keserba-duaan, tidak ada hadirnya “aku” atau “kau”. 

Sumbu besar langit, bersama datang dan perginya yang tidak terhitung, dipertemukan dalam satu titik. Penciptaan meletakkan buaian atas tidur yang tidak maujud, seperti anak menghela nafas. Mata Kekasih, melihat yang tidak terlihat, menyebut yang tidak maujud sebagai maujud. Walaupun Dia melihat tanda-tanda dan sifat-sifat-Nya sebagai keseluruhan yang sempurna di dalam hakikat-Nya sendiri. Namun dia ingin mereka diperlihatkan kepada-Nya dalam cermin yang lain. Dan bahwa tiap-tiap tanda-Nya yang kekal akan menjadi nyata di dalam bentuk yang berbeda. Oleh karena itu Dia mencipta lapangan hijau Waktu dan Ruang dan taman hayat dunia berlimpah rahmat. Agar setiap dahan dan buah bisa menunjukkan kesempurnaannya yang aneka ragam Pohon cemara memberikan isyarat akan keanggunan-Nya, mawar menyampaikan warta tentang wajah-Nya yang indah Di mana pun Keindahan muncul, cinta tampak pula di sampingnya, di mana pun Keindahan berada pada rambut yang ikal Cinta akan datang dan menemukan hati terjerat dalam pilinan rambut ikalnya. Keindahan dan Cinta bagaikan tubuh dan jiwa; Keindahan adalah milikku dan cinta merupakan batu permatanya. Mereka selalu bersama sejak semula, tidak pernah pergi jauh satu dengan yang lain, yang berbeda hanyalah pergaulan mereka.


Tiada tersisa disekitar ini tanpa Af'alnya,..dan pandanglah itu dengan cinta karena itu semua adalah Maha Karya Ciptanya, bagaimana engkau mengaku pecinta, sedangkan engkau membenci akan  ciptaan Nya..??"

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.