GERAK DINAMIKA POLITIK PASCA ORDE BARU

PILPRES 2019 Memang panas, kalau mau jujur sederhana saja, gaduhnya Negara pada umumnya 'JIKA KEBIJAKAN SATU NEGARA BERSEBRANGAN DENGAN ZIONIS NATO CS, mau ia dengan isu agama seperti bendera dilabeli TAUHID, dsb..itu semua hanyalah cara, analisa terjujur adalah melihat bersama siapa kebijakan semua itu apakah penguasanya adalah para sheriff elang gundul atau bukan. Mari kita ambil contoh ;
'
Lihat Suriah 

Ada Minyak di Suriah sana, Kemudian Assad dengan berani menendang Rothchild dari Suriah, belum lagi rencana Zionis akan "YINON PLAN" yang menuntut "janji tuhan akan tanah yg dijanjikan pada Abram dari nil ke Eufrat' dan Suriah adalah bagian dari Yinon plan tersebut.

Yaman ada bab elmandeb ada minyak, Irak, Libya hinga Venezuela sampai sampai Manduro diserang Drone yg hampir menewaskannya.

Pertanyaan sangat sederhana jika flashback ke belakang kenapa Soekarno di lengserkan..??? Lalu pak harto bisa anteng 32 Tahun berkuasa, sampai freeport itu bolong spt itu..."karena kebijakan pak Harto memang pro amerika..pro zionis" dan jadi sheriff Amerika di Indonesia.

MENELUSURI DINAMIKA POLITIK PASCA ORBA
 Oleh: DR. Max Lane

 Artikel ini merupakan salah satu Bab dari buku yang diterbitkan pada 2014, berjudul “Merancang Arah Baru Demokrasi: Indonesia Pasca-Reformasi” disusun oleh  Usman Hamid, AE Priyono. Artikel ini dirampungkan pada pertengahan 2013. Penerbitan artikel ini telah seijin penulis artikel dengan tujuan untuk pendidikan dan penyadaran.

Mundurnya Presiden Suharto pada Mei 1998 di bawah tekanan gerakan pro-demokrasi mengakhiri 33 tahun kediktatoran militeristik. Suharto mundur dari kedudukan sebagai Presiden karena terpaksa oleh tekanan dahsyat sebuah gerakan politik. Suharto sendiri tidak sempat mengatur proses kemunduran dan suksesinya. Ketika dia menyelenggarakan sebuah kabinet pada awal 1998, dia masih berpikir akan tetap berkuasa terus. Tetapi dia salah hitung. Yang dia hadapi saat itu adalah munculnya sebuah gerakan politik pro-demokrasi yang menuntut berbagai perubahan secara besar-besaran. Pada bulan April dan Mei 1998, Suharto dikhianati dan ditinggalkan teman-teman kekuasaannya, mulai dari menteri-menteri sampai pimpinan militer. Mereka semua takut bahwa tuntutan perubahan dari gerakan politik itu akan semakin meluas dan mengalami radikalisasi kalau situasi tidak segera dibikin tenang. Suharto dikorbankan, dan dia sendiri akhirnya mau mengakhiri kekuasaannya. Tapi ini dilakukan demi menyelamatkan kedudukan seluruh kelas-penguasa Indonesia sebagai suatu kelas yang berkuasa.

Skenario ini berarti bahwa proses berakhirnya kediktatoran di Indonesia memiliki dua sifat utama. Pertama, terjadi sebuah penguatan gerakan masyarakat yang berhasil mengancam kelas yang berkuasa sehingga kelas tersebut terpaksa mengakhiri sistem kekuasaannya yang lama, yakni sistem kediktatoran. Kedua, kelas berkuasa sendiri tetap berhasil mempertahankan kekuasaannya, meski dalam situasi tidak sekuat sebelumnya dalam menghadapi masyarakat dan tanpa mereka sendiripun “dipimpin” oleh kekuatan kediktatoran lagi.

Adalah kombinasi dari dua ciri ini yang mendefinisikan sifat-sifat periode pasca kediktatoran antara 1998-2008, sebuah periode selama satu dasawarsa yang mungkin bisa disebut sebagai “periode reformasi.” Kalau dua hal di atas diamati sebagai sebuah kesatuan, terjadi situasi di mana kelas berkuasa Indonesia mengalami pelemahan paling serius sebagai kekuatan politik dibandingkan dengan yang dialami kelas-kelas lain.

Tetapi pelemahan itu tidak diakhiri dengan peniadaan atau pergantian karena kemenangan gerakan pro-demokrasi segera mengalami demobilisasi. Gerakan pro-demokrasi yang berkembang pesat antara tahun 1996-1998 menuntut turunnya Suharto dan terselenggarakannya “demokrasi,” juga tuntutan agar militer mundur dari keterlibatannya dalam politik, yaitu sebagai pelaku represi. Tetapi ketika tuntutan ini tercapai (kecuali di Papua), gerakan mengalami demobilisasi. Dan inilah ironisnya: pada pada saat elite politik dan bisnis Indonesia mengalamai pelemahan kekuatan, gerakan politik yang tadinya berhasil mengalahkannya berhenti bergerak. Ironi ini sebenarnya ada penjelasannya. Dan seharusnya kita tidak perlu kaget dengan situasi tersebut.



Warisan Kehidupan Politik di Bawah Orde Baru
Salah satu ciri khas sistem politik Orde Baru ialah ditiadakannya kehidupan politik untuk kelas-kelas sosial Indonesia, baik untuk kelas kapitalis maupun kelas proletar, juga kelas petani. Sebelum 1965 semua kelas sosial Indonesia mengalami peningkatan kemampuan berorganisasi, termasuk berorganisasi secara politik. Penguatan kapasitas berorganisasi itu dilakukan melalui partai politik dan organisasi massa yang berafiliasi atau bekerja-sama dengan partai-partai. Ada kelas-kelas sosial proletar dan petani yang sudah bergerak di bawah “bendera” masing-masing; dan ini berarti mencerminkan munculnya kesadaran kelas yang meluas, baik yang revolusioner maupun yang belum. Bendera mereka juga relatif bervariasi, seperti sosialisme, komunisme, atau marhaenisme. Ada juga yang menjalankan kehidupan politik yang aktif tetapi bergerak di bawah bendera non-kelas, seperti berbasis agama ataupun nasionalisme (entitas-entitas yang tidak mengakui pertentangan kelas). Kecenderungan yang sama juga terjadi pada kelas-kelas kapitalis, yang pada waktu itu masih sangat kecil dan masih dalam proses pembentukan. Ada yang sarat kesadaran kelas, seperti di kalangan beberapa faksi borjuasi dengan semboyan “revolusi sudah selesai,” atau yang lain dalam jargon “jangan berpolitik” seperti ideologinya Manikebu (Manifesto Kebudayaan), ada juga yang menggunakan ideologi agama. Itulah suasana pada masa pra Orde Baru. Semua kekuatan sangat aktif secara politik. Kehidupan politik negeri sangat menggairahkan, melibatkan jutaan orang berdiri di atas keaktifan partai dan organisasi massa, termasuk dengan semua kontradiksinya, kelemahannya, dan keterbatasannya.

Sebaliknya, Orde Baru berdiri di atas program pembunuhan terhadap kehidupan politik dan ideologi yang sudah berkembang selama 50 tahun. Pembunuhan fisik, terror massal, larangan-larangan dan sensor politik dan budaya, kebijakan floating-mass dan monoloyalitas, pengebirian partai, kediktatoran dan monopoli tafsir atas sejarah serta penghapusan memori bangsa. Di atas semua itu kontrol ketat terhadap politik sehari-hari merupakan bagian-bagian dari program pembasmian kehidupan politik dan ideologi. Ini dilakukan juga terhadap elemen kelas kapitalis. Misalnya, Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang pro-kapitalisme versi sosial-demokrasi Barat, tetap tidak diizinkan berdiri. Masyumi yang giat melawan ideologi-ideologi anti-kapitalis sebelum 1965 hanya dizinkan aktif lagi dengan syarat harus ganti nama atau dengan pimpinan lama yang tak boleh aktif. Sistem kepartaian sendiri tidak mendorong kelas yang manapun melakukan pengorganisan diri di bawah bendera apapun. Sementara itu pemerintah, melalui Golkar (dan Kopkamtib), mengatur, mendikte, dan melakukan pengawasan ketat terhadap kehidupan partai politik. Mereka menyelenggarakan politik “floating mass” (massa mengambang) agar massa dan rakyat diasingkan dan disingkirkan sejauh-jauhnya dari politik.

Situasi ini berlangsung lama sekali – lebih lama sebenarnya daripada yang tercermin dalam perhitungan jumlah tahun. Orde Baru berlangsung 33 tahun – memang lama sekali, termasuk beberapa generasi. Mungkin ada 70% penduduk Indonesia yang hanya pernah mengalami situasi politik Orde Baru dan yang diwariskan Orde Baru. Bahkan mungkin 80%. Kelompok ini tentu saja telah dikosongkan dari memori-memori besar mengenai proses penting pembentukan bangsa. Dan bukan hanya itu. Pada tahun 1965, Indonesia sebagai negeri baru terbebas 20 tahun dari penjajahan; dan dari 20 tahun itu lima tahun terakhir mulai terseret ke suasana monolitik kediktatoran Soekarno. Dengan kata lain, proses pembentukan Indonesia yang sebenarnya-benarnya hanya sempat berlangsung 15 tahun, antara 1945-1959. Periode 15 tahun itupun adalah periode ketika visi-visi dipertarungkan.

Karena itu bisa dikatakan bahwa proses pembentukan yang sebenarnya belum lagi dimulai: masih terjadi pertarungan. Sehingga ketika Orde Baru berdiri sejak 1965 dan mulai menyelenggarakan sistem politiknya (yang anti-kehidupan politik) selama 33 tahun kemudian, Suharto dan Orde Baru sebenarnya mutlak telah menghentikan proses pembentukan bangsa. Yang dilakukan Orde Baru adalah pembasmian Indonesia. Dengan pandangan ini saya ingin mengatakan bahwa sebenarnya pada 1998, Indonesia memulai kembali dari nol, khususnya dari segi visi-visi yang belum selesai dipertarungkan.

Orde Baru mewariskan situasi di mana tingkat kehidupan berorganisasi politik masyarakat, dari semua kelas, sangat rendah sekali, bahkan hampir tidak ada. Bukan hanya organisasi dan lembaganya tidak jalan, tetapi tradisipun sudah tiada. Tiada lagi ada ingatan atau memori sejarah hebat mengenai gerakan politik Indonesia mulai dari Sarekat Dagang Indonesia, Partai Komunis Indonesia, Partai Nasional Indonesia, Masjumi, maupun mengenai zaman pertarungan masa depan negeri, 1945-1965. Kadang-kadang baik aktivis maupun pengamat suka menyebut adanya “fragmentasi” dalam perpolitikan Indonesia dan kemudian mencari penyebabnya dalam kehidupan politik dan ekonomi pasca Orde Baru. Ini keliru total. “Fragmentasi” – atau bahkan atomization – perpolitikkan Indonesia adalah produk langsung 30 tahun lebih kelas-kelas sosial Indonesia tidak menjalankan atau memiliki kehidupan politik ataupun ideologi. Bahkan memori tentang kehidupan politik dan ideologi masa 1900-65 sudah tidak ada lagi penghayatannya.

Yang ada di antara sebagian orang ialah memori tentang kehidupan politik periode 1996-1998 (dan untuk yang aktivis pelopor adalah 1989-1998). Tetapi pengalaman ini tidak mungkin membentuk sebuah hegemoni budaya politik baru. Ada beberapa faktor mengapa demikian. Pertama, masa waktu yang hanya 3 tahun terlalu pendek untuk membentuk sesuatu apapun yang hegemonik, kuat, berskala nasional dan memilki daya tahan – apalagi menghadapi semua produk Orde Baru hasil 33 tahun kekuasaan. Kedua, 99% rakyat yang mengalami dan terlibat dalam organisasi politik selama periode 90an pada kenyataannya hanya “berorganisasi” dalam wadah dan kegiatan yang bersifat sangat sementara. Ini bisa dalam bentuk komite-komite aksi untuk isu yang hidup hanya beberapa minggu, ataupun yang paling sementara gerakan massa merespons selebaran yang hanya bisa bertahan satu hari. Dengan situasi sangat represif dan tanpa ada organisasi massa politik yang sudah berdiri, juga tanpa memori dan tradisi, ini tidak mengherankan. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) memang memanfaatkan sisa-sisa memori pra-65, melalui nama dan simbol Sukarno, sekaligus juga struktur fisik organsisasi PDI yang diizinkan selama Orde Baru. Tetapi ini tidak pernah dimanfaatkan maksimal, dan yang tidak maksimalpun juga hanya 1996-1997, dua tahun.

Pada tahun 1998 Suharto terpaksa turun dan kediktatoran memang berakhir. Kelas berkuasa yang selama 33 tahun bisa mengusahakan kehendaknya dalam suasana kediktatoran mulai menghadapi situasi baru yang tak lagi mampu mereka kendalikan. Mereka terpaksa berakomodasi dengan proses politik demokrasi parlementer dalam sebuah masyarakat di mana tingkat kehidupan berorganisasi dan berpolitiknya sangat rendah, bahkan tradisinya dan memorinya juga sudah hampir punah. Dengan melihat kenyataan ini saja kita sudah bisa menduga bahwa demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang bermasalah. Demokrasi yang ditunggangi oleh elite diktatorial masa lalu. Bagaimana mengubahnya? Situasi akan berubah jika proses-proses demokrasi parlementer (terutama partai dan pemilihan umum) bisa dimanfaatkan oleh berbagai sektor masyarakat. Sejauh mana itu bisa terjadi akan tergantung pada sejauh mana kelas-kelas sosial (atau sektor-sektor kelas sosial) mulai mengorganisir diri kembali. Masalahnya adalah bahwa proses ini, khususnya untuk kelas sosial proletar dan petani, betul-betul dimulai dari hampir nol, meski bukan total-zero, tanpa ada tradisi, tanpa memori, tanpa pengalaman. Jadi perubahan tidak bisa terjadi serta-merta secara langsung dan cepat.

Kehidupan Partai dan Kelas Pasca Orde Baru
 
Kalau kita mau pakai “pisau analisa kelas,” salah satu aspek dari turunnya Suharto dan berakhirnya kediktatoran ialah bahwa kekuasaan politik lapisan kapitalis kroni sangatlah berkurang. Perubahan ini memang dengan sendirinya terjadi serta merta akibat turunnya Suharto dan berakhirnya kediktatoran. Yang namanya “kapitalis kroni” hanya dimungkinkan kalau ada kediktatoran. Kroni adalah kerabatnya diktator yang maju bisnisnya dikarenakan perlindungan dan permanjaan dari sang diktator. Selama Orde Baru, golongan kapitalis kroni ini menjadi basisnya rezim, dibeking oleh kapital besar Amerika, Jepang dan Eropa Barat, dengan tentara sebagai alat represifnya yang utama.
Dengan berakhirnya kediktatoran, kroni kapitalis kehilangan kedudukannya sebagai “kroni.” Mereka harus berpolitik dengan cara baru. Kecenderungan utama di kalangan ini ialah menguasai sebuah partai yang bisa berpartisipasi dalam pemilu. Aburizal Bakrie menguasai Golkar; Surya Paloh Nasdem; Hasyim dan Prabowo Djojohadiskusumo menguasi Gerindra dan seterusnya. Bukan hanya itu. Semua konglomerat besar di Indonesia pada hakekatnya tercipta lewat proses-proses kronisme dan kolusi. Mereka semua ketagihan fasilitas kroni. Tetapi bagaimana bisa kembali menjadi kroni dalam situasi di mana tak ada kediktatoran yang stabil? Jelas sekali apa solusinya! Mereka sendiri harus menjadi presiden. Makanya mantan kroni-kroni terbesar Indonesia semua berambisi menjadi calon Presiden.

Strategi figur-figur konglomerat ini untuk mejadi presiden adalah konsekuensi kronisme, juga sekaligus mencerminkan dan menjadi bagian kelemahan mereka sendiri. Para kapitalis konglomerat hitam ini tidak bisa membentuk blok politik dalam memperjuangankan kepentingan bersamanya – mereka justeru saling bersaing. Ini merupakan sebuah kelemahan besar dan terwujudkan dalam terpecahnya Golkar, sebagai partainya kaum kroni sebelumnya. Ada foto yang sedang beredar luas di facebook: Surya Paloh, Bakrie, Prabowo, (dan politisi Akbar Tanjung) semua lagi berjabatan tangan. Sekarang mereka sudah punya partai mereka sendiri-sendiri. Kelemahan berikutnya lebih berkaitan dengan proses formal yang menjadi landasan dari demokrasi parlementer. Sekarang bukan hanya ada pemilihan umum untuk berbagai lembaga perwakilan, nasional maupun lokal, tetapi juga ada pemilihan langsung untuk presiden, gubernur, bupati dan walikota. Karena semua pemilu ini terjadi dalam suasana bebas represi, money politics cara lama juga tak berlaku. Dulu orang yang diberi uang untuk suara harus bisa sekaligus terancam oleh teror – sekarang, itu tidak berlaku lagi. Ini berarti seorang kroni yang mau mengkronikan dirinya kembali dengan meraih jabatan presiden harus memenangkan persaingan popularitas dengan calon lain. Sebagai figur konglomerat hitam ataupun represi masa Orde Baru, semua kroni ini tidak populer. Dalam semua polling saat ini mereka kalah dengan politisi mantan pengusaha mebel Solo – Jokowi; ataupun politisi anak perempuan Sukarno – Megawati.

Figur-figur ini menguasai banyak dana dan kapital, juga media yang belakangan memang mereka beli dan kuasai. Mereka dan partainya tetap signifikan dalam pencaturan politik kekuasaan Indonesia. Tetapi karena mereka terpecah, saling bersaing dan juga menghadapi masalah popularitas dalam suasana bebas repressi, mereka sama sekali tidak bisa mendikte lagi bagaimana kekuasaan politik akan berkembang.

Partai Politik dan Pengusaha Lokal Pasca Orde Baru
 
Ada satu aspek lagi dari kapitalisme kroni Indonesia yang sangat ikut menentukan perpolitikan kelas kapitalis Indonesia di era pasca kediktatoran. Ekonomi Indonesia sendiri adalah sebuah ekonomi warisan kolonialisme (zaman Hindia Belanda) yang sangat under-developed. Meskipun sektor manufaktur sudah bertumbuh dibanding dengan sebelum tahun 1965, untuk sebuah negeri modern berjumlah penduduk 235 juta orang, Indonesia bisa dikatakan sangat under-industrialised. Pendapatan per kapita juga masih di bawah US 4.000 dolar per tahun. Kapitalisme tanpa industri yang signifikan, baik dalam skala maupun jenisnya, ini hanya bisa melahirkan kapital besar melalui kronisme dan kolusi. Di Indonesia kelas kapitalis berkembang menjadi dua golongan utama selama Orde Baru dan itu berlangsung sampai sekarang: kapitalis kroni, dan kapitalis lokal. Dalam dekade terakhir ini mungkin ada juga kapital-kapital baru yang berkembang di luar dua golongan ini – misalnya Kapital baru di bidang penerbangan – tetapi inipun masih di tahap awal.

Kapitalis lokal adalah pengusaha yang skala kegiatannya terbatas di kebupaten atau provinsinya, atau antar-provinsi di sekitarnya. Hanya 10% dari perusahaan Indonesia yang memiliki lebih dari 20 pegawai; 77% hanya memiliki 10 pekerja atau kurang dari itu. Karena berskala kecil, sudah hampir pasti bahwa semua perusahaan ini memang hanya bergerak di wilayah lokal mereka. Sejak para kapitalis kroni kehilangan diktator pelindungnya dan kedudukan politiknya melemah, kapitalis lokal mendapatkan ruang gerak yang membesar dibanding sebelumnya. Teriakannya untuk federasi, otonomi lokal atau desentralisasi cepat bergema selama 1999-2001. Gerakan pro-demokrasi tahun 1990an jarang membicarakan dan tak pernah menuntut desentralisasi; dan baru diketahui belakangan ternyata tuntutan itu berasal dari elite-elite lokal. Mereka memenangkan tuntutan itu dan undang-undangnya cepat lolos – sebagian karena dukungan lembaga-lembaga donor yang memang sejalan ideologi post-Washington consensus. Tetapi ini tidak mengherankan. Sejak tahun 1999 sebagian besar partai politik memang menjadi makin tergantung pada pengusaha lokal. Bahkan di partai di mana seorang mantan kroni menduduki puncaknya, partai inipun menjadi sangat butuh partisipasi pengusaha lokal dalam pemilihan-pemilihan, apalagi sejak ada pemilukada. Bahkan sering juga sekarang pengusaha lokal, keluarga pengusaha lokal atau pejabat kroninya tertarik untuk maju menjadi gubernur, walikota atau bupati.

Semua kegiatan pemilihan dan kampanye ini tersalurkan lewat partai-partai politik. Partai politik menjadi alat konglomerat mantan kroni yang bekerjasama dengan para pengusaha lokal – yang merupakan 95%+ jumlah kapitalis di Indonesia. Akibat dari peta ekonomi-politik kepartaian ini ialah bahwa sampai sekarang mayoritas partai yang agak “besar” memiliki kecenderungan untuk berbasis di daerah-daerah. Karena sebagian besar kapitalis Indonesia tidak berkembang dan beraktifitas dalam skala dan wawasan nasional, maka begitu juga partainya. Meskipun partai-partai yang lolos verifikasi untuk ikut pemilu sudah memenuhi syarat untuk dianggap sebagai partai nasional (kecuali sebagian partai di Aceh), kenyataannya ialah bahwa hasil pemilu selalu menunjukkan bahwa masing-masing partai memiliki basis kuat di daerah-daerah tertentu. Salah satu akibat dari semakin luasnya ruang gerak politik kaum pengusaha lokal dalam situasi di mana industrailisasi yang sesungguhnya masih tidak berkembang ialah meledaknya sejenis kronisme di tingkat lokal. Korupsi merajalela dan mengalami lokalisasi. Menurut Departemen Dalam Negeri, 20 gubernur, 7 wakil gubernur, 156 bupati, 46 wakil bupati, 41 walikota, 20 wakil walikota, 2.545 anggota DPRD Provinsi, dan 431 anggota DPRD Tingkat Kabupaten/Kota tersangkut kasus korupsi.

Dalam situasi seperti ini bagaimana hubungan partai-partai ini dengan rakyat banyak, yaitu rakyat miskin yang merupakan mayoritas terbesar penduduk Indonesia? Dengan adanya pemilukada dan pemilihan umum, popularitas memang menjadi faktor menentukan dalam perpolitikan Indonesia. Tetapi secara garis besar, partai-partai semakin tidak populer dan jumlah suara golongan putih meningkat. Partai-partai merespon keadaan ini dengan menunjuk dan mengangkat para selebriti atau figur pengkhotbah pop dari dunia agama untuk ikut kampanye dan menjadi calon-calon legislatif. Partai-partai yang dikuasai figur konglomerat menghambur-hamburkan uang untuk iklan. Tetapi semua ini tidak terlalu mengubah situasi. Selama periode 2000-2012 semakin banyak orang melihat bahwa tidak mungkin akan ada perubahan yang benar-benar bisa mengubah keadaan melalui proses-proses pemilu. Demokrasi elektor masih hanya menjadi instrumen elite, dan kini meluas di kalangan elite – birokrat ataupun pengusaha – tingkat lokal.

Transisi Memasuki Periode Pasca Pasca-Orde-Baru
Tetapi pada tahun 2013, 15 tahun sesudah turunnya Suharto, ada tanda-tanda bahwa situasi yang digambarkan di atas sedang mengalami berbagai pergeseran. Saya sendiri memperkirakan akan terjadi sesuatu yang berubah secara radikal selama dekade mendatang. Tentu saja perubahan seperti itu butuh proses yang sering kontradiktif karena melibatkan perombakan total atas suasana yang ada sekarang.

Sebelum kita teruskan diskusi tentang kemungkinan perubahan di atas, perlu ditegaskan lebih dulu bahwa perubahan yang bisa diharapkan ini bukan sejenis perubahan yang tercerminkan pada gejala Jokowi (Joko Widodo) di Solo dan Jakarta. Popularitas Jokowi di Solo yang sempat menghasilkan dukungan pemilih 91%, dan kemampuannya mengalahkan secara elektoral inkumben Fauzi Bowo untuk menjadi Gubernur DKI ada hubungannya dengan proses-proses yang berkembang menuju perubahan. Tetapi saya ingin menegaskan bahwa itu tidak mewakili isi akhir perubahan yang saya bayangkan. Di satu sisi, munculnya Joko Widodo, seorang pengusaha lokal terkemuka dari Surakarta, itu mencerminkan kecenderungan yang saya diskusikan di atas yakni semakin luasnya ruang gerak para pengusaha lokal yang mendapatkan, tanpa hubungan sebelumnya, posisi strategis di sebuah partai politik sehingga memungkinkan dia naik menjadi penguasa lokal.

Saat ini Joko Widodo, karena popularitasnya, ikut dibicarakan sebagai calon potensial untuk Presiden. Ini mungkin pertama kali dalam sejarah Indonesia bahwa seorang pengusaha lokal dianggap pantas – oleh sebagian masyarakat – mejadi Presiden Republik Indonesia. Ini mencerminkan situasi baru di mana pengusaha lokal bisa meraih kesempatan-kesempatan baru yang sangat besar.

Tetapi popularitasnya sesungguhnya mencerminkan hal lain. Pertama, Widodo berhasil membaca kebencian masyarakat luas terhadap gaya pejabatisme yang sangat egotistik, yang merupakan kecenderungan umum kalangan politikus. Widodo memutuskan untuk tidak pasang poster atau gambar dirinya sebagai walikota. Dia sering berkunjung langsung ke kampung-kampung untuk ketemu dengan para pemilih. Kedua, selama menjadi walikota Solo, Widodo tidak terlibat masalah korupsi.

Dua hal kunci ini kemudian dibarengi dengan kenyataan bahwa Widodo lebih konsisten dalam menjalankan kebijakan yang disebut – kalau kita pinjam istilah Bank Dunia – “social safety net.” Kebijakan ini berarti bahwa pemerintah harus menyediakan dana subsidi kesejahteraan untuk lapisan miskin yang paling bawah. Selama 8 tahun terakhir ini penghasilan pemerintah nasional Indonesia membludak karena revenue dari penjualan batu bara dan jenis-jenis ekonomi ekstraktif lainnya. Sebagian uang ini disalurkan oleh pemerintah nasional ke kabupaten dan kotamadya. Anggaran kotamadya Solo tumbuh 500%. Widodo memiliki kesempatan untuk meneteskan sebagian darinya ke lapisan paling miskin. Kombinasi dari semua faktor ini menjadi basis dari popularitasnya di Solo, yang kemudian dimanfaatkan sebagai prestasi yang dijual selama kampanye untuk Gubernur DKI.

Tetapi ada aspek lain dari cara berpolitik Widodo yang sangat reaksioner yang sebenarnya justru memperkuat warisan utama budaya politik Orde Baru. Memang Widodo memakai gaya politik yang sangat berlainan dengan gaya pejabatisme Orde Baru dan pasca Orde Baru. Kedua, gaya ini merespons budaya patron-klien yang masih sangat kuat di Indonesia. Gaya pertama menekankan kewibawaan, otoritas, dan kekuatan politik “sang bapak” – kombinasi antara gertak-dan-paksa. Gaya seperti ini selama 20 tahun terakhir ini sudah dikenal sebagai gaya pejabat dan politikus korup. Dalam sebuah masyarakat di mana budaya dan mental patron-klien masih kuat, “kelas klien” – rakyat banyak yang belum bangkit secara politik karena belum sadar dan mampu mengaktualisasikan hak-haknya – selalu mencari seorang patron, seorang Bapak yang baik, seorang pelindung yang “kerakyatan” yang ingat dan mau dekat dengan rakyat. Persis pada kebutuhan akan adanya “patronase alternatif” itu Jokowi muncul, apalagi kemudian ditopang oleh kebijakan Bank Dunia untuk menjalankan fungsi pemerintah sebagai penyedia “jaringan keamanan sosial.” Joko Widodo memadukan gaya penampilan seorang Bapak yang bukan hanya baik hati dan jujur, tetapi juga menyediakan perlindungan langsung untuk meredam penderitaan lapisan paling bawah. Dengan kata lain ia melayani kehausan sebagian masyarakat banyak akan seorang patron yang kerakyatan. Dengan gaya baru ini, dia sebenarnya hanya memperbarui hubungan-hubungan patronase dan pola-pola baru klientelisme.

Biarpun gaya Widodo merupakan tantangan buat politikus gaya lama, semua metode berpolitik yang mengakomodasi mental patron-klien pada dasarnya hanya memperkuat warisan budaya politik Orde Baru. Budaya patron-klien itulah yang selama ini paling menghambat partisipasi rakyat untuk menjadi lebih aktif secara politik. Seperti saya katakan di awal esai ini, warisan utama Orde Baru adalah membunuh kebiasaan kelas-kelas sosial untuk berorganisasi secara politik, dan menumpasnya sampai ke memori-memorinya yang paling dasar. Segala perpolitikan yang memanfaatkan mental patron-klien tanpa menantangnya justeru memperkuatnya. Jokowi tidak pernah mengajak kaum klien (rakyat kecil) untuk mengorganisir diri dan memperjuangkan perlawanan menghadapi kekuatan kaum patron. Ia juga tidak terlihat pernah mau mendorong organisasi komunitas untuk memperkuat pengorganisasian politik di tingkat rakyat jelata yang mendukungnya. Yang dia lakukan hanya mendorong komunitas untuk melakukan politik lobby pada patron; dan ini tetap menjadi bagian dari sebuah proses yang memperkuat mental patron-klien dengan segala ketergantungan kaum klien pada kaum patron. Jelas bukan seperti ini yang dibutuhkan bagi perubahan politik yang mendasar. Tetapi kita hendak mengatakan di sini bahwa pengalaman Indonesia dengan gejala Jokowi ini adalah pengalaman transisional, sebuah proses yang harus dilewati untuk menuju yang akan melebihinya.
 
 Politik Pasca Pasca-Orde-Baru
Pengorganisasian kembali kelas pekerja Indonesia
Kelas buruh Indonesia berperan penting dalam gerakan memaksa Suharto turun. Aksi bersama kaum buruh dan mahasiswa serta gerakan mogok dengan tuntutan high-profile selama tahun 1990an mempelopori suasana pemberontakan. Suasana ini menciptakan munculnya ratusan ribu massa yang siap turun ke jalan untuk menuntut kebutuhan kelasnya – demokrasi – yang juga didukung oleh kelas buruh Indonesia. Mereka tidak bergerak di bawah bendera serikat buruh ataupun partai buruh. Memang pada tahun 1990an bentuk kekuatan sosial-politik yang sempat berkembang ialah organisasi-organisasi sementara, wadah-wadah ad hoc, sampai juga termasuk respon bersama terhadap seruan-seruan selebaran. Inilah cikal-bakal untuk munculnya serikat-serikat alternatif terhadap organisasi resmi buruh masih sangat yang dikendalikan pemerintah. Pengamatan ini menjadi penting karena fungsi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) ketika itu terutama adalah sebagai perpanjangan tangan kekuatan negara dan dunia usaha. SPSI tidak memfasilitasi kelas buruh mengorganisir diri bersama-sama, justeru sebaliknya.

Pada tahun 1998 bukan hanya kroni yang kehilangan dukungan kekuatan represi militer. Serikat buruh SPSI dengan elitenya dan strukturnya juga tidak lagi dilindungi negara. Bahkan Presiden Habibie bergerak sangat cepat untuk melepaskan SPSI dari kontrol pemerintah. Selama sekitar periode 1998-2008 dunia serikat buruh, termasuk berbagai elemen SPSI, berkembang dengan dinamika-dinamikanya sendiri. Tidak semua dinamika ini tampak kelihatan bagi yang mengamati dari luar, tetapi jelas bergairah meski penuh kontradiksi.

Tampak sangat jelas bahwa apa yang sedang terjadi di sektor buruh formal dan serikatnya merupakan pengorganisiran diri kembali dari sebuah bagian dari kelas sosial proletar yang memiliki ratusan ribu anggota, sumberdaya, serta juga posisi, yang strategis dalam proses perubahan ekonomi-politik negeri ini. Ini merupakan faktor – meski masih seawal-awalnya – yang sama sekali baru dalam perpolitikan Indonesia saat ini. Saya menduga, situasi tahun 1920an bisa berulang kembali dalam versi modernnya pada periode pasca 2014. Sudah pasti ini akan berdampak radikal bagi kehidupan politik kepartaian. Pertanyaan pentingnya adalah: siapa yang paling siap mengambil manfaat dari situasi ini? Kapan dan bagaimana akan muncul sebuah partai buruh massa di Indonesia yang situasi-situasi kelahirannya akan menjadi semakin matang dalam waktu yang dekat ini?
Segelintas struktur kelas sosial Indonesia
Sejak abad 19 (atau sebelumnya) negeri-negeri Nusantara sudah terintegrasi ke ekonomi dunia. Ekonomi koloni Hindia Belanda cepat transformasi menjadi ekonomi kapitalis, meskipun kolonialisme tidak memungkinkan revolusi industri menyebar juga ke Hindia. Ketika Indonesia merdeka, ekonominya sepenuihnya sudak kapitalis tetapi tanpa industry, berarti tanpa kemampuan memproduksi capital dengan skala besar. Indonesia berkembang sebagai negeri kapitalis dengan dua kelas utama: kelas kapitalis dan kelas proletar. Tetapi dengan tidak berkembangnya industri sesungguhnya (industri berat dan sedang dengan skala besar dan berbagai mertode organisasi produksi yang ilmiah), kelas kapitalis Indonesia tidak berkembang tetapi stagnan kerdil. Majoritas adalah kapitalis-kapitalis kecil yang lokal.

Bukan hanya itu. Juga terpilihara sejumlah besar sekali orang desa yang “marhaen” – memiliki “alat produksi”, termasuk sepetak tanah, tetapi tidak signifikan kemampuan teknologinya, sehingga tetap miskin dan gampang dieksploitasi. Ini adalah kaum petani. Kapitalis yang SAMA SEKALI tidak memliki kapitalis. Secara realitas sosial lebih dekat pada kelas proletar.


Kelas proletar di Indonesia sejak dulu sampai sekarang terbagi mereka yang bekerja di sektor formal yang produktivitas (tenaga kerjanya) relatif tinggi dan yang lainnya yang bekerja di usaha mikro (atau bahkan kerja sendirian) yang produktivitasnya rendah sekali. Majoritas yang besar dari dulu sampai sekarang pula adalah proletar yang di sektor yang kedua: sector usaha kecil berpoduktivitas rendah. Sekali lagi ini adalah konsekwensi tidak terjadinya industrialisasi yang sesungguhnya di Indonesia. Dewasa ini hanya kurang lebih 5 juta daripada 120 juta angkatan kerja Indonesia menjadi p;egawai di usaha sedang atau besar yang mampu memanfaatkan mesin-mesin yang beroperasi dengan skala besar dan produktifitas tinggi. Sebagian besar proletar Indonesia adalah proletar informal, bekerja sendiri atau bekerja di usaha-usaha sangat kecil. Pekerjaannya juga tidak tetap. 100 juta proletar ini – yang sering diberi julukan tidak ilmiah tetapi deskriptif ‘kaum miskin kota’ – sangat macam-macam pengalaman sosial dan ekonominya. Dan mereka tidak bisa diorganisir atgau mengorganisir diri di lokasi kerja. Hampir tidak mungkin mereka akan dirikan serikat pekerja.
Dari yang lima juta yang di sector formal usaha sedang dan besar, sekitar 3 juta tercatat sebagai anggota serikat buruh dengan Departemen Tenaga Kerja. Sektor ini sebenarnya sudah mencapai tingkat pengorganisiran yang sangat lumayan – meski masih jauh juga dari tuntas.

Selama Orde Baru, SPSI memang terutama perpanjangan kekuasaan negara Orde Baru mengatur supaya jangan kelas buruh berorganisasi. Ideologi ‘resmi’ SPSI ialah ‘karyawanisme’, yaitu bahwa buruh bisa bekerja sama secara tripartite dengan pengusaha dan rejim. Tidak perlu ada pertentangan. Ideologi ini ditambah dengan intervensi pemerintah, pengusaha dan aparat keamanan dalam kehidupan “serikat buruh” ini melahirkan julukan “serikat kuning”, artinya serikat gadungan. Pada saat yang sama, serikat-serikat ini memang exist secara formal. Ada struktur formalnya dengan pengurus-pengurus, ada legalitas, ada rekening bank dan kadang-kadang ada kantornya. Ketika Habibie melepaskan serikatnya dari beking rejim, semua struktur-struktur ini harus jalan sendiri. Tidak mengherankan bahwa sesudah 20 tahun sebagai alat kekuasaan, mula-mula banyak kebengongan dan kebingungan. Tetapi kemudian berkembang sebuah proses yang tercerminkan oleh pecahan, pergantian pengurus, penambahan serikat unit kerja, pemindahan serikat unit kerja dari satu serikat kepada yang lain, lemudian terbangun federasi baru, alliansi baru dan konfederasi baru. Dalam proses ini jelas ada pengurus lama yang hilang dari peredaran, ada yang bertahan, ada banyak sama sekali baru. Tenti saja semakin berjarak waktu dengan Orde Baru, semakin bertambah pengurus dan aktivis yang baru.

Proses ini jelas sangat kompleks dan ribet, menjangkau organisasi yang berkeanggautan jutaan orang. Saya sendiri tidak mengerti semua perubahan-perubahan yang terjadi ataupun peta politik sepenuhnya dari puluhan serikat yang ada sekarang. Tetapi ada hal-hal yang jelas.
  1. Tingkat pengorganisiran sudah sampai menjangkau jutaan orang dan bahwa sebagian besar ini sudah teratur membayar iuran sehingga serikat bisa berkembang cukup solid dan professional.
  2. Bahwa dengan terjadinya Mogok Nasional Oktober 3, 2012; penututpan kawan industri beberapa kali di JABOTABEK dan juga di Batam; dengan terjadinya fenomena ‘gerunduk’ antar pabrik; dengan peningkatan statistik mogok pada umumnya; dan sudah dua kali mobiliasi May Day yang semakin besar (60 ribu 2012 dan 200 ribu 2013) sudah jelas juga bahwa kesadaran politik sector ini semakin terbuka untuk militansi dan berkampanye.
  3. Bahwa dengan terjadinya mobilisasi buruh berapa kali dalam mendukung kampanye Rieke Pitaloka; dengan intervensi FSPMI Batam di politik lokal pemilihan DPRD; dengan ide Forum Buruh Bogor mencalonkan seorang pengurus serikat buruh sebagai Bupati Bogor; dengan semakin ada sentimen untuk “go politik” tercerminkan di berbagai sosial media yang di pakai kaum buruh, juga kelihatan bahwa sebagian kelas buruh yang sedang berorganisasi kembali ini juga sedang memikirkan kebutuhan untuk mendirikan atau memiliki sebuah partai buruh.
Sementara ini terkesan bahwa sentiment ingin adanya wadah politik ini tidak berkembang karena sebuah biat ideologis. Sentimen ini berkembang karena terasa jalan buntunya berkampanye hanya dengan cara serikat buruh. Kita hanya perlu memikirkan satu contoh saja dalam hal ini (meski pasti banyak contoh). Dua tahun kampanye dengan mogok dan grunduk bisa mencapai keputusan formal kenaikan upah minimal yang cukup bagus (untuk kenaikan dalam satu tahun). Tetapi kenaikan ini tidak sesungguhnya bisa diterapkan di realitas, karena negara tidak serius menjalankannya. Negara lebih berpihak pada pengusaha. Tanpa kekuatan riil dan besar di dalam pemerintahan, kemenangan di lapangan tidak bisa dijadikan riil dinikmati kaum pekerja dan keluarganya. Situasi dan logika ini yang mengakibatkan kesadaran: di antara semua partai yang ada, tak ada dimiliki rakyat buruh. Ini paling dirasakan oleh buruh serikat yang sudah berpengalaman berjuang tetapi kemudian jalan buntuh.

Tetapi jelas sentiment tersebut tidak berkembang merata di antara seluruh keangguataan, apalagi pengurus; apalagi mengingat bahwa masih ada juga pengurus warisan SPSI zaman Suharto. Sudah jelas proses untuk mencapai diluncurkan sebuah partai rakyat buruh yang dipelopori oleh gerakan serikat buruh akan harus melewati berbagai pergulatan, perdebatan dan konflik. Dan semua ini belum mulai dengan sesungguhnya, baru di ambang pintu pergulatan. Memang kancah pergulatan utama pasti akan diantara massa pekerja yang dibawah naungan serikat-serikat Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI), termasuk Federasi Pekerja Metal Seluruh Indonesia (FPMSI). Dari jauh dan dari luar, sulit untuk meramalkan persis bagaimana akan berkembang. Hanya, yang bisa dicatat, MPBI dan anggautanya dan serikat besar lainnya tidak akan bisa melarikan diri dari logika situasi. Masalah alat politik buat gerakan serikat buruh yang sudah menjadi riil itu hanya akan bisa dijawab dengan membentuk sebuah partai rakyat buruh yang bisa memperjuangkan kekuasaan untuk memenuhi tuntutan serikat buruh.

Dengan situasi sudah mencapai ambang pintu pergulatan seperti digambarkan di atas, berarti Indonesia juga sudah masuk ke periode pasca Pasca Orde Baru, di mana kita akan mulai melihat kekuatan sosial (social forces) menjadi pelaku dalam perubahan dan bukan lagi pengkelompokan perorangan. Sampai saat ini hanya kekuatan sosial yang berusaha membendung atau memoderasi perubahan yang sempat berperan, belum yang akan ingin melakukan perubahan.
Dalam konteks Indonesia pasca Orde Baru ini akan merupakan perubahan radikal, bahkan secara budaya dan kehidupan politik, perubahan revolusioner. Memang sebuah partai rakyat buruh pro-kesejahteraan ala ‘welfar state’ secara yang mau bergerak di bidang elektoral bukan sesuatu yang pada akar masalahnya radikal atau revolusioner. Tetapi munculnya sebuah partai politik yang tergerakkan oleh kebutuhaqn massa grass roots akan langsung berbenturan dengan semua elit politik dan bisnis, dan partai-partainya yang ada dan berbenturan pula dengan ideologi dan budaya lama warisan Orde Baru. Jadi jangan kita heran juga kalau diantara pimpinan maupun massa serikat-serikat MPBI dan lainnya akan juga kelihatan sering ada momen-momen keragu-raguan dalam proses meluncur kearah membangun alat politiknya. Akan dibutuhkan argument-argumen ilmiah dan masuk akal untuk menjadi senjata dalam hal membangun keberanian menjalankan perubahan ini. Taka pa-apa. Dalam sejarah selalu terjadi selama ini.

Pelaku di luar gerakan serikat-serikat MPBI dan sejenisnya.
Seperti diuraikan diatas, serikat buruh sector formal (usaha skala sedang dan besar) mungkin berjumlah 5 juta daripada 120 juta angkatan kerja – dan 230 juta orang Indonesia (yang bertambah 2-3 juta setiap tahun). Sektor ini kecil sebenarnya, tetapi sangat strategis karena tenaga kerja mereka produktif sekali (karena diintegrasi dengan teknologi produksi skala besar). Sektor ini adalah sumber terbesar vakue added dalam ekomoni riil Indonesia. Juga karena mereka bisa menguasai tempat kerja skala besar dan bisa memberhentikannya, posisi tawarnya semakin kuat. Tetapi jelas juga bahwa proses-proses politik periode pasca Pasca Orde Baru tidak akan berkembang “matang” kalau terpisah daripada atau tidak melibatkan semua lapisan masyarakat lainnya yang berkepentingan. Dalam esei pendek ini tidak mungkin saya mensurvei semua sector 200 juta rakyat ini. Saya akan membatasi diri mengkomentari kemungkinan peran daripada elemen-elemen political agency (pelaku proses politik) yang berkedudukan strategis di pembukaan periode pasca Pasca Orde Baru ini, yaitu kekuatan-kekuatan yang pada dasarkan oleh ideologi pro-reformasi yang kemunginan bisa cocok dengan sebuah partai rakyat burh yang lahir dari proses-proses pengorganisiran kembali sektor tertentu kelas pekerja Indonesia ini.

Bukan hanya 33 tahun kekuasaan Orde Baru meninggalkan warisan. 25 tahun protes dan perlawanan – sejak gerakan mahasiswa 1973 dan munculnya W.S. Rendra sebagai penyair protes – juga meninggalkan warisan. Periode gerakan pro-demokrasi tahun 1990an meninggalkan warisan sebuah dunia aktivisme pro-demokrasi, pro-Ham, pro-pembebasan wanita, pro “social transformation”, pro-pluralisme dan banyak lagi. Bahkan juga ada yang pro-sosialis. Meskipun juga sangat awal dan belum terlalu besar, banyak dan luas, kelihatan semakin bertumbuh. Semua elemen-elemen ini, dengan ratusan organisasinya (rata-rata kecil) belum berhasil menciptakan sebuah dinamika politik. Ini terutama ialah bahwa meskipun lelihatan banyak, karena belum merupakan atau berhubungan organik dengan re-organising social forces, kemampuannya terbatas. Kekuatan-kekuatan ini tetapi merupakan sekadar berbagai kelompok perorangan-perorangan– di tengah-tengah sebuah negeri berpenduduk 230 juta orang.

Dari semua kelompok ini yang paling menyadari kepentingan kekuatan sosial adalah mereka yang terinspirasi oleh ideologi-ideologi yang mendukung mobilisasi massa. Dalam sejarah Indonesia sejak tahun 1990an, Partai Rakyat Demokratik (PRD), yang paling menghayati dan mencoba menjalankan perspektif ini, terutama dari tahun 1992 sanmpai dengan 2007. Sejak tahun 2007, sesudah PRD pecah berapa kali, terlahirkan berbagai organisasi baru yang berusaha meneruskan perspektif tersebut dengan caranya sendiri-sendiri. Selain yang berasal-usul dari PRD juga ada yang muncul dari sayap progressipnya gerakan mahasiswa 1998 Forum Kota dan juga yang terinspirasi oleh gerakan petani di Filipina dan Indonesia dulu. Meskipun aktivis full-time dari berbagai kelompok ini tidak banyak – mungkin ratusan – mereka sudah dan bisa berperan penting ke depan.

Pertama, semua kelompok ini menaruh perhatian ke gerakan buruh. Semua kelompok ini sudah berhasil membangun serikat buruh (meskipun relative kecil). Sebagian besar dari serikat buruh yang dikembangkan leh kelompok aktivis ini sudah bersatu di organisasi Serikat Bersama Buruh (SEKBER BURUH). Kelompok ini semua memliki media baik terbitan ataupun website. Rata-rata semua mengadvokasi mobilisasi massa dan juga salah adtu versi daripada ideologi sosialisme dan demokrasi partisipatif. Ada juga banyak kelompok dan individual yang juga sentimennya ataupun pikriannya kurang lebih kearah yang sama, atau, minimal, tidak terbuka pada pikiran seperti itu, termasuk di kampus. Tetapi kelompok yang say asebut di atas ini penting karena sudah sistematik dan lama berkegiatan dan, terutama, ada fokus pada serikat buruh. Tetapi juga ada tantangan baru berhubungan dengan gejala-gejala periode pasca Pasca Orde Baru.

Serikat buruh non-rejim baru dicoba dibangun di Orde Baru di awal tahun 90an. Ada Setiakawan, kemudian Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), yang didirikan orang-orang PRD. Kemudian ada Serikat Sejahteraan Buruh Indonesia (SBSI) didirikan Mokhtar Pakpahan dan teman-temannya. Semua serikat ini didirikan untuk dipertentangkan dengan serikat kuning perpanjang tangan kekuasaan repressif. Memang pada periode itu tak aka nada gunanya berusaha bekerja di dalam, bekerja melalui atau bekerjasama dengan SPSI. Tetapi 10 tahun sesudah Orde Baru runtuh, situasi sudah berubah. Sudah ada serikat-serikat buruh yang anggautanya ratusan ribu orang, bahkan jutaan, yang tidak lagi menjadi perpanjangan tangan rejim. Serikat-serikat MPBI dan serikat-serikat besar lainnya adalah tempat habitat dan aktivisme ratusan ribu pekerja Indonesia. Taktik lama untuk mempertentangkan (counterpose) serikat yang dipimpin atau dipengaruhi oleh aktivis radikal dengan yang besar sudah tidak berlaku. Dulu “yang besar”, hanya besar diatas kertas. Anggautanya tidak bebas aktif. Sekarang situasi sudah baru. Yang besar memang belum tentu radikal. Pasti banyak anggautanya jug atidak puas dengan keadaannya dan ingin memperbaikinya sesuai dengan kesadaran yang ada. Proses pengorganisiran kembali kelas buruh (atau salah satu bagian daripadanya) masih pada awal. Situasi masih relatif cair. Kemungkinan membentuk sebuah gerakan buruh yang bersatu secara luas masih mungkin. Mendorong dan mendukung persatuan semua serikat buruh di dalam satu gerakan serikat pasti akan merupakan langkah yang positip buat demokrasi. Dan juga sekaligus akan lebih memungkikan terlahirkan sebuah partai rakyat buruh yang besar dan demokratis terbuka (karena pasti akan ada berbagai kebhinekaan di dalamnya). Seruan untuk adanya partai baru dari rakyat tidak bisa abstrak ataupun beranggapan bahwa kelompok-kelompok aktivis dan “basis-basis”nya merupakan “awal” dari partai tersebut. Serian dan sikap harus merespons situasi baru di atas.

Contoh perubahan situasi periode baru yang saya sentuh di atas ini penting. Proses merealisir potensiil perubahan dengan adanya social forces yang muklai berorganisasi kembali ini akan sangat membutuhkan dorongan dan dukungan yang maksimal dan bersahabat dari luar – yaitu dari luar sektor buruh formal tersebut. Mengapa? Coba bayangkan. Meskipun mereka menempati tempat strategis, sektor ini tetapi hanya 5 juta daripoada 120 juta. Dan meskipun konsepnya sangat moderat “pada essensi”nya – sebuah partai elektoral massa yang pro-“welfare state – dalam prakteknya konsep ini sepenuhnya berlawanan dengan system elitis yang berlaku. Akan membutuhkan dorongan dan dukungan yang maksimal, baik dari kelompok2 aktivis radikal, mauopun seluruh sektor demokratis dan kerakyatan. Ini merupakan jenis tantangan baru untuk golongan yang ingin perubahan kearah keadilan sosial, pembaharuan dan demokrasi yang lebih lengkap.

Situasi pembukaan periode Pasca Orde Baru ini menuntut sikap jelas dari semua orang, bukan dalam hal wacana, tetapi dalam hal real-politik: apakah mendukung secara riil gerakan serikat buruh yang sudah muncul (MPBI, SPSI, FSPMI, Sekber dan semuanya) dan mendorong persatuannya dan apakah mendukung, dan kemudian mendorong segala dinamika bagaimanpun munculnya yang menuju kearah kekuatan-kekuatan yang sudah berkembang itu berlangkah lebih maju mendirikan sebuah partai rakyat yang demokratis dan pro-kesejahteraan rakyat banyak. Dengan mengerakkan suara maupun pembuatan dukungan dan dorongan kemungkin partai itu menjadi besar, demokratis dan terbuka akan semakin mendekati realitas.

Mungkin akan ada yang bertanya: kemudian program selengkap-lengkapnya sebuah gerakan dan partai seperti itu apa? Ideologinya apa, selain memenangkan tuntutan-tuntutan kesejahteraan yang mendesak? Pertanyaan ini hanya menjadi pertanyaan riil dan penting, kalau elit politik dan bisnis produk Orde Baru dan periode pascanya tidak lagi memonopoli sendirian dunia kehidupan politik negeri. Rakyat banyak Indonesia harus memiliki alat politiknya sendiri dulu. Pekerjaan yang lainnya, dengan proses-proses dan pertarungan sendiri, pasti akan dikerjakan kalau ada demokrasi yang lebih terbuka dan rakyat yang lebih aktif.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.