ANTARA ISLAM RUSSIA DAN INDONESIA


Rusia dan Indonesia. Apakah komonalitas di antara keduanya dalam hal Islam? Bagi sebagian masyarakat Muslim Indonesia mungkin sulit dibayangkan banyaknya kesamaan (commonality) di antara Islam kedua negara ini, yang jaraknya terpisah begitu jauh.
Agaknya bagian Muslim Indonesia yang terbayang dalam pikiran ketika mendengar atau membaca nama Rusia adalah ‘komunisme’. Anggapan itu terkait banyak dengan Uni Soviet yang telah bubar (11 Maret 1990-25 Desember 1991) atau Vladimir Lenin (1870-1924) atau Josef Stalin (1878-1953)—keduanya mbah komunisme Soviet.

Jika sebagian warga Indonesia pada tahun-tahun politik masih gencar menyebarkan isu tentang kebangkitan kembali komunisme atau PKI di Tanah Air, apakah komunisme bangkit di Rusia. Soviet, negara pendahulu Rusia, jelas adalah salah satu negara asal komunisme; negara di mana komunisme, Marxisme, Leninisme, dan Stalinisme pernah berjaya.

Anggapan tentang kebangkitan komunisme di Rusia tidak terlihat sama sekali ketika penulis "Resonansi" ini kembali datang ke Moskow belum lama ini (12-16/9/2018). Datang kedua kali ke Moskow tidak lain untuk diplomasi publik kedua Indonesia-Rusia lewat Dialog Antaragama dan Antarmedia.

Delegasi Indonesia yang disiapkan Kemenlu mencakup Cecep Herawan, Dirjen IDP Kemenlu; Ruhaini Dzuhayatin, Staf Khusus Presiden untuk Hubungan Antar-agama Internasional; Pendeta Gomar Gultom, Sekjen PGI; Philip K Wijaya, Permabudi (Buddha), dan penulis "Resonansi" ini.
Sepanjang kunjungan dengan berbagai acara di Moskow, tidak terlihat ada gambar palu arit atau foto Lenin atau Stalin di manapun—apakah di ruang publik ataupun di dalam gedung. Moskow atau Rusia umumnya hanya menyisakan jalan-jalan utama yang lebar dan gedung-gedung bertingkat sederhana yang khas sosialis-komunis.

Partai Komunis Federasi Rusia memang masih eksis. Pernah dilarang Boris Yeltzin pada 1991, PKFR kembali didirikan pada 14 Februari 1993 dengan jumlah estimasi anggota sekarang 160 ribu orang.
PKFR yang dianggap sebagai penerus Partai Komunis Uni Soviet (PKUS) hanya mampu meraih 12,61 persen suara dalam Pemilu Legislatif 2016 dengan memiliki 42 wakil di parlemen yang beranggotakan 450 orang. Dalam Pilpres 2018, capres PKFR, Pavel Grunidin, memperoleh hanya 11,8 persen suara.

Jika komunisme kehilangan momentum di Rusia, sebaliknya agama mengalami kebangkitan kembali. Gejala ini juga terkait kebijakan rezim, khususnya Vladimir Putin yang suportif pada kembalinya agama, baik di ranah pribadi maupun publik.

Gereja Ortodoks Rusia yang merupakan agama yang dianut paling banyak warga Rusia (sekitar 75 persen dari total penduduk 144 juta pada 2018), terus mengalami kebangkitan sejak runtuhnya Soviet. Menurut catatan otoritas gereja Ortodoks, sekitar 34 ribu gereja ditutup dalam masa Soviet, tetapi sejak 2009 lebih 5.000 gereja direstorasi atau dibuka kembali atau dibangun baru.
Menurut Pew Research Institute, sekitar 72 persen warga dewasa Rusia mengaku menjadi pengikut gereja Ortodoks—kenaikan signifikan dari 31 persen antara 1991-2008.

Bagaimana dengan Islam? Islam juga mengalami kebangkitan.
Tanda-tanda kebangkitan itu cukup banyak; mulai dengan penuh sesaknya masjid-masjid di Moskow dan kota-kota lain; meningkatnya jumlah jamaah haji ke Makkah (dan Madinah)—sekitar 18 ribu pada 2006, 20 ribu pada 2010; pertumbuhan pranata dan institusi Islam, seperti pelayanan haji dan umrah, peningkatan jumlah madrasah; dan pendirian Universitas Islam di Kazan, Tatarstan, dan Universitas Islam Dagestan.

Islam adalah kelompok agama minoritas terbesar di Rusia. Kaum Muslim terpencar di berbagai wilayah; mayoritas di tujuh republik (negara bagian) yang melintasi kawasan Kaukasus, Asia Tengah; Moskow juga memiliki jumlah Muslim signifikan.

Jumlah kaum Muslim Rusia menurut survei 2012 sekitar 9,4 juta (6,5 persen); tetapi ada estimasi lain yang menyebut 15 persen. Jumlah ini belum lengkap karena dua wilayah Muslim yang Muslim di kedua negara bagian Federasi Rusia ini diperkirakan sekitar dua juta jiwa.
Islam dianut berbagai suku bangsa di wilayah ini, semacam Tatars, Chechen, Ingush, Daghestani. Tercatat lebih 5.000 organisasi dan institusi Islam besar atau kecil di seluruh Rusia.

Muslim Rusia multietnis. Itulah salah satu komonalitas antara Islam Rusia dan Islam Indonesia.
Komonalitas penting lain, Islam diakui secara konstitusional sebagai ‘agama tradisional’; persisnya sebagai bagian integral warisan Rusia. Karena itu, Islam bukan hal asing—misalnya karena dibawa kaum migran yang datang pasca-Perang Dunia II ke wilayah Eropa lain. Seperti di Indonesia, Islam menyatu dalam kehidupan keagamaan, sosial, budaya, dan politik Rusia.


Berbeda dengan wilayah Eropa lain, tempat kebanyakan kaum Musliminnya adalah (keturunan) migran, 90 persen penganut Islam Rusia adalah pribumi. Oleh karena itu, Islam Rusia yang kini sekitar 15 persen (antara 15-20 juta) penduduk total terbentuk tidak karena migrasi kaum Muslim dari bagian dunia lain, tetapi telah berurat berakar selama berabad-abad. Atas dasar inilah Islam secara resmi dinyatakan sebagai ‘agama tradisional’ Rusia.
Sebagai ‘agaisional’, Islam telah berakomodasi, berasimilasi, dan berakulturasi dengan tradisi dan budaya berbagai kelompok etnis lokal. Hasilnya, Islam Rusia umumnya bukan tidak mirip dengan Islam Indonesia yang multietnis, dan multikultural; inklusif, moderat, toleran dan hidup berdampingan damai dengan komunitas etnis dan agama lain.

Meski demikian, bukan tidak ada ketegangan dan konflik antara kaum Muslim dan pemerintah—sejak masa Uni Soviet sampai Rusia sekarang. Dalam waktu yang lama—lebih 500 tahun—telah berkembang gerakan perlawanan di kalangan etnis Tatar, Chechen, Ingushetia, dan Daghestan di kawasan utara Kaukasus; mereka menuntut kemerdekaan. Gerakan separatis ini dihadapi secara represif oleh Pemerintah Soviet kemudian Rusia, yang memunculkan lingkaran setan kekerasan yang tidak bisa diakhiri.

Keadaannya kian rumit sejak awal 1990-an dengan penyebaran paham dan gerakan Salafi-Wahabi yang menentang tidak hanya kekuasaan Rusia, tetapi juga otoritas keagamaan Islam tradisional setempat. Sejak 1999, gerakan Wahabi memaklumkan jihad terhadap Pemerintah Rusia, dengan melancarkan aksi kekerasan dan terorisme.

Pemerintah Rusia di bawah Presiden Putin belakangan ini cenderung lebih hati-hati menyikapi aksi kekerasan segelintir Muslim tersebut. Misalnya, setelah terjadinya aksi kekerasan di St Petersburg pada 3 April 2017, Putin memilih pendekatan lunak; ini tak lain agar tidak menimbulkan backlash (reaksi balasan lebih besar) dari kaum Muslimin Rusia umumnya.
Namun, mayoritas Muslim lain yang merupakan penduduk mayoritas di delapan negara bagian Federasi Rusia tetap hidup dengan moderasi dan perdamaian. Mereka ini berhubungan baik dengan Putin dan aparat pemerintah lain yang dengan sangat hati-hati memisahkan antara Islam dan Muslim secara keseluruhan dengan aksi kekerasan dan terorisme.

Menyimak berbagai perkembangan itu adalah tepat waktu penyelenggaraan Dialog Kedua Rusia dan Indonesia tentang ‘Interfaith and Intermedia’. Acara ini diselenggarakan Direktorat Diplomasi Publik, Ditjen Informasi dan Diplomasi Publik Kemlu RI di Moskow 12-16 September 2018.
Mengawali dialog dengan ceramah umum bertema ‘Menempa Ketahanan Negara dan Masyarakat Sipil menuju Harmoni Agama’, di Universitas MGIMO Moskow tampil dua pembicara DR Siti Ruhaini Dzuhayatin, staf khusus presiden RI untuk Masalah Keagamaan Internasional dan penulis Resonansi ini.

Selanjutnya adalah Konferensi Sehari antara Delegasi Rusia dan Delegasi Indonesia, yang masing-masing multiagama dan multietnis di Civic Chamber Moskow. Dipimpin Albir Krganov, seorang mufti, konferensi dimulai pembicara pertama, Konstantin Shuvalov, yang juga merupakan duta besar At-Large Rusia.

Shuvalov menekankan pentingnya pertukaran pengalaman dengan Indonesia dalam dialog antaragama. Baginya, kedua negara, Rusia dan Indonesia berusaha mewujudkan keseimbangan di antara keragaman dengan kesatuan.

Pembicara Rusia lain, Alexander Terentier dan Josef Diskin menguraikan perubahan sosial-ekonomi dan politik demokrasi yang juga menimbulkan keguncangan dan destabilisasi sosial. “Keadaan ini dimanipulasi orang-orang radikal untuk menghasut munculnya aksi kekerasan," ujar Terentier. “Mereka memelintir agama juga tidak mengerti demokrasi," kata Diskin.

Sedangkan pembicara Indonesia, sejak dari Pendeta Gomar Gultom, tokoh Buddha Philip K Wijaya, Siti Ruhaini, dan penulis Resonansi ini berbicara tentang berbagai aspek upaya membangun kerukunan dan harmoni, baik intra maupun antaragama di Indonesia, baik yang dilakukan masyarakat maupun pemerintah.

Dalam konteks itu, Philip Wijaya menekankan pentingnya peran Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) yang ada dalam struktur Kementerian Agama. Tak kurang pentingnya adalah Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di provinsi dan kota/kabupaten dengan anggota berbagai majelis agama.

Pada akhir konferensi, kedua belah pihak sepakat berkesimpulan; dialog intra dan antaragama, dan intramedia sangat perlu untuk membangun kehidupan sosial, politik, dan keagamaan yang harmonis. Kehidupan seperti ini bukan hanya sangat penting bagi masing-masing negara, melainkan juga bagi dunia internasional lain.

Oleh karena itu, kedua negara bersepakat meningkatkan program pertukaran di antara para ahli, pemimpin agama, masyarakat sipil, dan mahasiswa. Dengan pertukaran yang melibatkan berbagai lingkungan elite strategis, pesan-pesan moderasi keagamaan, perdamaian, dan harmoni dapat disebarkan ke masyarakat akar rumput.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.