Perang Asimetris dan Skema Penjajahan Gaya Baru
Isu-isu Sensitif Diletupkan Supaya Negara-negara Imperialis Bebas Mengeruk Sumber Daya Alam Indonesia
Bulan Desember 2016 lalu, sebuah buku yang menarik telah terbit. Judulnya Perang Asimetris dan Skema Penjajahan Gaya Baru. Buku tersebut diterbitkan oleh Global Future Institute. Penulisnya adalah para pakar kajian geopolitik, Pak Hendrajit dan Pak M Arief Pranoto.
Bulan Desember 2016 lalu, sebuah buku yang menarik telah terbit. Judulnya Perang Asimetris dan Skema Penjajahan Gaya Baru. Buku tersebut diterbitkan oleh Global Future Institute. Penulisnya adalah para pakar kajian geopolitik, Pak Hendrajit dan Pak M Arief Pranoto.
Buku
ini sangat cocok dibaca siapa pun yang ingin memahami muara dari
konflik-konflik di negara ini. Juga bagi mereka yang memiliki pertanyaan
"Mengapa banyak konflik terjadi seperti konflik soal SARA atau isu-isu
sektarian?" "Mengapa ada moderat vs konservatif atau sunni vs syiah?"
Temukan jawaban lengkapnya di buku ini.
Setelah
perang dunia II berakhir, negara-negara imperialis yang dipelopori oleh
Amerika Serikat dan Inggris masih belum mengakhiri penjajahan terhadap
negara-negara yang baru merdeka. Penjajahan tersebut hanya beralih
bentuk yang semula kolonialisme klasik menjadi neo kolonialisme.
Jika
kolonialisme klasik menggunakan kekuatan militer untuk melumpuhkan
target negara yang dijajah, maka neo kolonialisme membuat negara target
menjadi tergantung dengan hutang-hutang dan modal asing. Apabila negara
target tidak mampu melunasi hutang yang diberikan kepada mereka, maka
konsekuensinya negara tersebut harus mengikuti keinginan asing
mengganti sistem ekonomi yang pro rakyat menjadi sistem ekonomi
neoliberal.
Dalam sejumlah kajian, perang gaya baru tersebut dinamakan asymmetric warfare atau
perang asimetris. Perang asimetris ini memang tidak menimbulkan bau
mesiu, tidak melibatkan senapan namun dampaknya lebih mengerikan dari
serangan bom atom. Inilah yang menjadi nilai lebih dari perang
asimetris, membutuhkan dana yang tidak begitu banyak namun efektif
mencapai tujuan.
Perang
asimetris merupakan peperangan yang melibatkan dua aktor atau lebih
melalui medan tempur yang luas yang mencakup trigatra (geografi,
demografi, dan SDA) dan pancagatra (ideologi, ekonomi politik, sosial
budaya, dan hankam).
Pola
perang asimetris ini adalah dengan menerapkan ITS (Isu, Tema, dan
Skema). Untuk menyebarkan isu, para negara imperialis biasanya
menggunakan LSM, personal, atau lembaga bentukan sendiri. Sedangkan
untuk mengangkat tema, akan ada media massa, LSM, media sosial dan
lain-lain yang ikut bermain. Pada tahap akhir, skema dipasang oleh
pihak-pihak yang mengendalikan kebijakan negara. Pihak-pihak inilah yang
disebut sebagai komprador atau orang yang menghancurkan bangsanya
sendiri dengan berbagai pembenaran.
Perang
asimetris tentu saja menyerang negara-negara yang memiliki SDA melimpah
tak terkecuali Indonesia. Mengapa Indonesia? Ditinjau dari segi
geopolitik, Indonesia memliki banyak bahan mentah untuk industri modern
dan jalur pelayaran yang strategis.
Serangan
perang asimetris yang dilancarkan asing sangat kentara terutama di
bidang politik. Amandemen 4 kali UUD 1945 adalah salah satu buktinya.
Dengan UUD 1945 hasil amandemen, banyak terlahir UU yang pro asing. UU
tersebut memberikan kelonggaran bagi asing untuk menancapkan
kekuasaannya di nusantara.
Dalam
bidang sosial budaya, konflik yang dihembuskan antar mazhab di Madura
yaitu sunni vs syiah tidak lain adalah skenario Amerika Serikat cs untuk
mengeruk SDA di sana yang kaya akan minyak dan hasil bumi. Isu-isu
tersebut dimunculkan supaya sebagain besar orang tidak sadar bahwa SDA
mereka sedang dieksploitasi habis-habisan. Apakah mungkin ada konflik
sunni vs syiah di Madura jika Madura hanya penghasil ketela rambat atau
singkong?
Perang
asimetris kemudian berkembang menjadi perang hibrida. Perang hibrida
adalah perang yang mengkombinasikan teknik perang konvensional, perang
asimetris, perang proxy, perang informasi dan lain-lain demi kemenangan atas pihak lawan. Perang proxy adalah
konfrontasi antara dua negara atau dua kekuasaan besar dengan
menggunakan pemain pengganti guna menghindari konfrontasi secara
langsung.
Contoh
implementasi dari perang hibrida ini adalah konflik panjang di Libya
dan Suriah. Para negara imperialis ingin meruntuhkan pemerintah Libya
melalui Arab Spring namun gagal. Lalu disulutlah isu-isu
seperti korupsi, pemimpin tirani dan semacamnya oleh LSM yang didanai si
pemilik kepentingan.
Libya
kemudian dibombardir dengan militer namun sayang Khadafi merespon
dengan keras sehingga sejumlah LSM internasional menanggapi dengan
stigma “Ada pelanggaran HAM berat di Libya.” Setelahnya AS dan NATO
memasuki Libya dengan dalih tersebut. Libya dibuat porak poranda dan
pemerintahan rezim Khadafi jatuh. Suriah lebih beruntung karena berhasil
mempertahankan keadaan tidak lebih buruk. Ini tentu tidak terlepas dari
kecerdikan Assad dalam menyiasati konflik di negaranya.
Munculnya
kelompok ISIS dengan berbagai nama yang berbeda di negara-negara Timur
Tengah tidak lain berperan sebagai pion. ISIS hanyalah dalih invasi
Amerika Serikat dan sekutunya agar leluasa menguasai sumber daya alam di
negara-negara yang menjadi target. Jika PBB tidak menyetujui resolusi
yang diajukan oleh AS, maka ISIS menjadi senjata pamungkas.
Di
samping perang non militer oleh AS dan sekutunya, Cina muncul sebagai
penyeimbang hegemoni dan kekuatan baru. Cina mengusulkan pembangunan
Kanal Isthmus di Thailand yang akan memudahkan kepentingan nasionalnya
dalam mendapatkan bahan-bahan mentah. Strategi Cina mengirimkan satu
paket proyek dan tenaga ahli sampai tenaga kasar yang disebut sebagai
modus Turnkey Project juga tidak lain bertujuan memuluskan kepentingan nasional Cina.
Buku
ini menyingkap akar dari konflik-konflik yang muncul pada media
belakangan ini. Kita menjadi sadar bahwa isu-isu sensitif diletupkan
supaya negara-negara imperialis bisa bebas mengeruk sumber daya alam
Indonesia yang melimpah ruah.
Kesadaran
inilah yang semestinya disebarluaskan supaya publik tidak terlena oleh
kegaduhan superfisial namun malah melalaikan keberadaan para penjajah
yang berusaha menjarah milik kita. Ke depannya, buku-buku semacam ini
semakin dibutuhkan bukan hanya oleh para peminat kajian gepolitik semata
namun untuk seluruh anak bangsa.
Semakin
banyak orang yang menyadari pola perang asimetris di Indonesia, semakin
banyak pula orang yang mampu menyikapi konflik lebih cerdas dan tidak
mudah dibenturkan oleh isu SARA atau sektarian. Bahkan tidak menutup
kemungkinan, mereka akan membuat upaya-upaya preventif demi melindungi
kekayaan bangsa ini. Sehingga Indonesia tak akan menjadi penonton saja
namun juga aktif menangkal perang asimetris.
Secara
umum, data-data yang ditampilkan di sini valid serta diambil dari
berbagai sumber. Data-data yang diambil dari buku, jurnal maupun media online saling
mendukung analisa dan disajikan secara sistematis sehingga pembaca bisa
memahami alur penjelasan dengan baik. Bahasa yang digunakan di dalam
buku tidak terlalu rumit untuk ukuran buku ilmiah. Pembaca yang baru
berkenalan dengan dunia geopolitik bisa memahami inti pembahasan dengan
mudah.
Post a Comment