FIQIH TAHAWWULAT YANG MENINJAU MASALAH DARI BERBAGAI SUDUT
Berawal dari Hadist Jibril Beliau Al-Habib Abu Bakar Al
Adny, mengambil kesimpulan bahwa rukun agama ada tiga, namun menurut
habib Abubakar rukun agama ada empat, dengan tambahan MENGETAHUI TANDA
TANDA KIAMAT. Rukun ke empat ini di istilahkan oleh beliau dengan
istilah fiqih tahawwulat.
Bedanya dengan tiga rukun yang pertama, rukun keempat bersifat elastis atau selalu berobah tergantung marhalah (masa)nya. Sedangkan yang lainnya bersifat baku yang tidak bisa berobah dengan peredaran waktu dan zaman.
Adapuan faidah mengetahui fiqih ini adalah: MENGETAHUI SIKAP YANG BENAR DALAM MENYIKAPI BERBAGAI FITNAH YG TIMBUL DISEPANJANG MASA DGN BERLANDASKAN NAS NABAWIY. Dimana fitnah yang menjadi tanda-tanda kiamat akan terjadi sepanjang masa, sejak masa Rasulullah hingga pada puncak terjadinya kiamat.
Istinbat/pengambilan fiqih tahawwulat ini berdasarkan teks-teks suci/al-Quran dan Hadits dengan menggabungkan antara sejarah peradaban dan realitas masyarakat saat ini.
Menurut beliau, "TIDAK SEDIKIT PARA ULAMA YG TERJEBAK MENJADI PEMBANTU IBLIS DAN DAJJAL TANPA MENYADARI AKAN HAL ITU, penyebabnya adalah MEREKA TIDAK MEMAHAMI FIQIH TAHAWWULAT." Beliau juga mencontohkan sikap para sahabat dan ulama yang menunjukan akan pemahaman mereka terhadap fiqih tahawwulat ini, seperti sikap Imam Ali bin Abi Tolib ketika menghadapi fitnah pemberontak dan khawarij, Ibnu Abbas dan Abu Hurairah menurut beliau termasuk salah satu dari sahabat yang faham betul akan fiqih ini.
Sedangkan dari kalangan ulama beliau mencontohkan sikap al-Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa yang hijrah dari Basrah menuju Hadramaut, atau sikap Faqih al-Muqaddam yang mematahakan pedangnya dan bergabung dalam dunia tasawuf.
Perubahan adalah suatu keniscayaan dalam hidup. Perubahan itu sendiri memainkan dinamika yang urgen dalam setiap lini kehidupan, tak terkecuali disiplin ilmu dalam Islam. Fiqih misalnya, sebagai produk ijtihad, ia merespon setiap perubahan yang terus bergulir dan ujug-ujug menuntut untuk disikapi, sehingga kemudian banyak kita temukan kompilasi fatwa kontemporer yang sama sekali berbeda dengan fatwa yang merespon permasalahan serupa pada masa sebelumnya.
Jika fenomena perubahan itu telah direspon aktif oleh para yuris dan melahirkan banyak produk fiqih yang up to date, maka justru minim sekali -untuk tidak mengatakan tidak ada- yang berusaha memahami fenomena-fenomena perubahan itu secara intens dan mengkomparasikannya dengan beberapa teks alquran dan hadist Nabi yang menjelaskan tentang Asyrothussa'ah (tanda-tanda hari kiamat).
Asyrothussa'ah, sejauh ini –sepertinya- menjadi ranah yang unthouchkable. Sebagai dogma dalam Islam, asyrothussa'ah mengalami pemarginalan secara massif. Indikasi tersebut terbukti dengan minimnya perhatian intelektual muslim terhadap pembahasan dogma ini dalam sebuah buku. Padahal jika kita melakukan reaktualisasi terhadap Hadist Jibril, maka sebenarnya Sa'ah (hari kiamat) merupakan bagian yang mengintegrasi dalam Al-Din (agama) Adalah Abu Bakar Al-Adniy, seorang cendekia sekaligus pemikir muslim, dengan berpijak pada Hadist Jibril serta melalui proses dialog intensif dengan fenomena perubahan mengusung sebuah pemikiran baru, perubahan baru, fiqih baru ; Fiqih Tahawwulat.
Disebut sebagai pemikiran baru karena sebagai mainstream, Fiqh Tahawwulat adalah murni produk pemikiran Al Adniy. Disebut perubahan baru karena Mabadi' Al-Din (prinsip-prinsip agama) yang selama ini fixed, tiba-tiba direkontruksi olehnya dengan menambahi satu item. Dan disebut sebagai Fiqh baru karena Fiqh Tahawwulat yang diusung olehnya merupakan terma yang sama sekali gress dalam ranah fiqh, baik menurut terminology etimologis maupun syariah.
Secara sederhana, Fiqh Tahawwulat dapat didefinisikan sebagai berikut : Memahami setiap fenomena perubahan dan hal-hal baru yang terjadi dalam setiap fase kehidupan yang selalu berubah berikut nilai yang terkandung di dalamnya, baik yang positif maupun negative, dan memahami fenomena perubahan yang memiliki kompatibilitas dengan teks-teks alquran dan Al-Sunnah.
Sebagai produk pemikiran baru yang diusung Al Adniy, Fiqh Tahawwulat lahir dari perenungan yang mendalam atas Hadist Jibril. Sebuah dialog antara Nabi Muhammad dan Malaikat Jibril yang mengetengahkan prinsip-prrinsip agama Islam. Dalam Hadist tersebut secara detail Rosululloh menjawab pertanyaan Jibril mengenai Islam, Iman, Ihsan dan hari kiamat. Namun ironisnya, ketika Islam, Iman, dan Ihsan dirumuskan oleh Ulama Islam lintas generasi sebagai prinsip agama sehingga dapat kita temukan banyak kitab yang membahas tentang ketiganya secara panjang lebar, Sa'ah dan tanda-tandanya justru mengalami peminggiran.
Dengan pembacaan ulang terhadap sejarah Islam, kita akan menemukan bahwa sebenarnya pemahaman terhadap rukun keempat sudah merupakan tema yang diakses dengan aktif oleh para sahabat rosul. Hanya saja, kehawatiran terhadap fitnah yang bisa saja muncul jika tema itu diflourkan pada masyarakat muslim waktu itu yang kemudian membuat pemahaman terhadap hal itu hanya dimiliki oleh beberapa Intelektual Sahabat. Oleh karena itu, kalangan tertentu dari para sahabat memilih mengkonsentrasikan pada tiga Arkan al Din, Islam, Iman, dan Ihsan.
Namun, upaya preventif yang dilakukan para sahabat dan ulama' berikutnya untuk menghindari ledakan fitnah itu pada ahirnya menjadikan Al Ilmu bi alamat al Sa'ah sebagai dogma yang untinkable sehingga menjadikan masyarakat Islam berada dalam titik rawan dalam memahami prinsip-prinsip agamanya sendiri.
Menyadari itu, Al Adniy kemudian melakukan rekonstruksi dengan menambahkan Al-ilmu bi 'alamat al Sa'ah (mengetahui tanda-tanda hari kiamat) sebagai prinsip (rukun) Islam, karena dengan melakukan pembacaan kritis terhadap redaksi hadist, hal tersebut (bagi Al Adniy) sebenarnya merupakan poinment yang harus disejajarkan dengan Arkan al Din al Tsalatsah.
Perbedaan mendasar dari Al Ilmu bi 'Alamat al Sa'ah sebagai rukun keempat (baru) dengan tiga rukun lainnya adalah ; Ketiga rukun awal merupakan pokok yang memiliki konsep tetap, memiliki penjelasan dan tujuan yang jelas, dan merupakan titik awal bagi muslim dalam ranah berteologi, bersyariat, dan berperilaku. Sementara Al ilmu bi 'alamat al Sa'ah sebagai prinsip agama tidak memiliki konsep tetap, bahkan berubah-ubah. Ia tidak memiliki korelasi dengan prinsip pendidikan dan proses persiapan mukallaf dalam hal idologi, syariat, dan perilaku. Ia hanya memiliki korelasi husus dengan hal-hal baru dan latar belakangnya berikut semua hal yang selaras dengan isyarat yang diberikan Nabi, juga keadaan golongan munafik, golongan yang berusaha menghancurkan Islam, dan keadaan orang kafir berikut semua pengaruhnya dalam derap perubahan kemanusiaan, juga gejala-gejala yang mengancam ummat mulai dari krisis hokum, ilmu, hubungan sosial, dekadensi moral, dan hilangnya sesuatu yang bersifat primer dalam agama dan keberagamaan.
Terahir, sebagai agent of social change, kita sebagai sebagai mahasiswa dan pelajar Islam dihadapkan dengan premis baru dalam aktifitas dakwah yang kelak akan kita emban. Memahami perubahan, memahamkan masyarakat akan perubahan itu, mengemasnya dengan apik dalam aktivitas dakwah kita. Dan yang
harus kita sadari, sebagai bagian dari komunitas social, kita tidak bisa lari dari tanggung jawab social itu. Sudahkan kita siap menyongsong fase itu ?? Wallahu A'lam
Bedanya dengan tiga rukun yang pertama, rukun keempat bersifat elastis atau selalu berobah tergantung marhalah (masa)nya. Sedangkan yang lainnya bersifat baku yang tidak bisa berobah dengan peredaran waktu dan zaman.
Adapuan faidah mengetahui fiqih ini adalah: MENGETAHUI SIKAP YANG BENAR DALAM MENYIKAPI BERBAGAI FITNAH YG TIMBUL DISEPANJANG MASA DGN BERLANDASKAN NAS NABAWIY. Dimana fitnah yang menjadi tanda-tanda kiamat akan terjadi sepanjang masa, sejak masa Rasulullah hingga pada puncak terjadinya kiamat.
Istinbat/pengambilan fiqih tahawwulat ini berdasarkan teks-teks suci/al-Quran dan Hadits dengan menggabungkan antara sejarah peradaban dan realitas masyarakat saat ini.
Menurut beliau, "TIDAK SEDIKIT PARA ULAMA YG TERJEBAK MENJADI PEMBANTU IBLIS DAN DAJJAL TANPA MENYADARI AKAN HAL ITU, penyebabnya adalah MEREKA TIDAK MEMAHAMI FIQIH TAHAWWULAT." Beliau juga mencontohkan sikap para sahabat dan ulama yang menunjukan akan pemahaman mereka terhadap fiqih tahawwulat ini, seperti sikap Imam Ali bin Abi Tolib ketika menghadapi fitnah pemberontak dan khawarij, Ibnu Abbas dan Abu Hurairah menurut beliau termasuk salah satu dari sahabat yang faham betul akan fiqih ini.
Sedangkan dari kalangan ulama beliau mencontohkan sikap al-Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa yang hijrah dari Basrah menuju Hadramaut, atau sikap Faqih al-Muqaddam yang mematahakan pedangnya dan bergabung dalam dunia tasawuf.
Perubahan adalah suatu keniscayaan dalam hidup. Perubahan itu sendiri memainkan dinamika yang urgen dalam setiap lini kehidupan, tak terkecuali disiplin ilmu dalam Islam. Fiqih misalnya, sebagai produk ijtihad, ia merespon setiap perubahan yang terus bergulir dan ujug-ujug menuntut untuk disikapi, sehingga kemudian banyak kita temukan kompilasi fatwa kontemporer yang sama sekali berbeda dengan fatwa yang merespon permasalahan serupa pada masa sebelumnya.
Jika fenomena perubahan itu telah direspon aktif oleh para yuris dan melahirkan banyak produk fiqih yang up to date, maka justru minim sekali -untuk tidak mengatakan tidak ada- yang berusaha memahami fenomena-fenomena perubahan itu secara intens dan mengkomparasikannya dengan beberapa teks alquran dan hadist Nabi yang menjelaskan tentang Asyrothussa'ah (tanda-tanda hari kiamat).
Asyrothussa'ah, sejauh ini –sepertinya- menjadi ranah yang unthouchkable. Sebagai dogma dalam Islam, asyrothussa'ah mengalami pemarginalan secara massif. Indikasi tersebut terbukti dengan minimnya perhatian intelektual muslim terhadap pembahasan dogma ini dalam sebuah buku. Padahal jika kita melakukan reaktualisasi terhadap Hadist Jibril, maka sebenarnya Sa'ah (hari kiamat) merupakan bagian yang mengintegrasi dalam Al-Din (agama) Adalah Abu Bakar Al-Adniy, seorang cendekia sekaligus pemikir muslim, dengan berpijak pada Hadist Jibril serta melalui proses dialog intensif dengan fenomena perubahan mengusung sebuah pemikiran baru, perubahan baru, fiqih baru ; Fiqih Tahawwulat.
Disebut sebagai pemikiran baru karena sebagai mainstream, Fiqh Tahawwulat adalah murni produk pemikiran Al Adniy. Disebut perubahan baru karena Mabadi' Al-Din (prinsip-prinsip agama) yang selama ini fixed, tiba-tiba direkontruksi olehnya dengan menambahi satu item. Dan disebut sebagai Fiqh baru karena Fiqh Tahawwulat yang diusung olehnya merupakan terma yang sama sekali gress dalam ranah fiqh, baik menurut terminology etimologis maupun syariah.
Secara sederhana, Fiqh Tahawwulat dapat didefinisikan sebagai berikut : Memahami setiap fenomena perubahan dan hal-hal baru yang terjadi dalam setiap fase kehidupan yang selalu berubah berikut nilai yang terkandung di dalamnya, baik yang positif maupun negative, dan memahami fenomena perubahan yang memiliki kompatibilitas dengan teks-teks alquran dan Al-Sunnah.
Sebagai produk pemikiran baru yang diusung Al Adniy, Fiqh Tahawwulat lahir dari perenungan yang mendalam atas Hadist Jibril. Sebuah dialog antara Nabi Muhammad dan Malaikat Jibril yang mengetengahkan prinsip-prrinsip agama Islam. Dalam Hadist tersebut secara detail Rosululloh menjawab pertanyaan Jibril mengenai Islam, Iman, Ihsan dan hari kiamat. Namun ironisnya, ketika Islam, Iman, dan Ihsan dirumuskan oleh Ulama Islam lintas generasi sebagai prinsip agama sehingga dapat kita temukan banyak kitab yang membahas tentang ketiganya secara panjang lebar, Sa'ah dan tanda-tandanya justru mengalami peminggiran.
Dengan pembacaan ulang terhadap sejarah Islam, kita akan menemukan bahwa sebenarnya pemahaman terhadap rukun keempat sudah merupakan tema yang diakses dengan aktif oleh para sahabat rosul. Hanya saja, kehawatiran terhadap fitnah yang bisa saja muncul jika tema itu diflourkan pada masyarakat muslim waktu itu yang kemudian membuat pemahaman terhadap hal itu hanya dimiliki oleh beberapa Intelektual Sahabat. Oleh karena itu, kalangan tertentu dari para sahabat memilih mengkonsentrasikan pada tiga Arkan al Din, Islam, Iman, dan Ihsan.
Namun, upaya preventif yang dilakukan para sahabat dan ulama' berikutnya untuk menghindari ledakan fitnah itu pada ahirnya menjadikan Al Ilmu bi alamat al Sa'ah sebagai dogma yang untinkable sehingga menjadikan masyarakat Islam berada dalam titik rawan dalam memahami prinsip-prinsip agamanya sendiri.
Menyadari itu, Al Adniy kemudian melakukan rekonstruksi dengan menambahkan Al-ilmu bi 'alamat al Sa'ah (mengetahui tanda-tanda hari kiamat) sebagai prinsip (rukun) Islam, karena dengan melakukan pembacaan kritis terhadap redaksi hadist, hal tersebut (bagi Al Adniy) sebenarnya merupakan poinment yang harus disejajarkan dengan Arkan al Din al Tsalatsah.
Perbedaan mendasar dari Al Ilmu bi 'Alamat al Sa'ah sebagai rukun keempat (baru) dengan tiga rukun lainnya adalah ; Ketiga rukun awal merupakan pokok yang memiliki konsep tetap, memiliki penjelasan dan tujuan yang jelas, dan merupakan titik awal bagi muslim dalam ranah berteologi, bersyariat, dan berperilaku. Sementara Al ilmu bi 'alamat al Sa'ah sebagai prinsip agama tidak memiliki konsep tetap, bahkan berubah-ubah. Ia tidak memiliki korelasi dengan prinsip pendidikan dan proses persiapan mukallaf dalam hal idologi, syariat, dan perilaku. Ia hanya memiliki korelasi husus dengan hal-hal baru dan latar belakangnya berikut semua hal yang selaras dengan isyarat yang diberikan Nabi, juga keadaan golongan munafik, golongan yang berusaha menghancurkan Islam, dan keadaan orang kafir berikut semua pengaruhnya dalam derap perubahan kemanusiaan, juga gejala-gejala yang mengancam ummat mulai dari krisis hokum, ilmu, hubungan sosial, dekadensi moral, dan hilangnya sesuatu yang bersifat primer dalam agama dan keberagamaan.
Terahir, sebagai agent of social change, kita sebagai sebagai mahasiswa dan pelajar Islam dihadapkan dengan premis baru dalam aktifitas dakwah yang kelak akan kita emban. Memahami perubahan, memahamkan masyarakat akan perubahan itu, mengemasnya dengan apik dalam aktivitas dakwah kita. Dan yang
harus kita sadari, sebagai bagian dari komunitas social, kita tidak bisa lari dari tanggung jawab social itu. Sudahkan kita siap menyongsong fase itu ?? Wallahu A'lam
Post a Comment