PALESTINA SELALU MENETESKAN AIRMATA

Pada 6 Desember 2017, Presiden AS Donald Trump mengejutkan dunia dengan deklarasi pengakuan AS atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Tindakan kontroversial ini dilakukan di tengah frustrasi Palestina akibat buntunya proses perdamaian sejak 2014, desakan komunitas internasional agar Trump mengurungkan niatnya itu, dan pelanggaran sejumlah Resolusi Majlis Umum maupun Dewan Keamanan PBB serta perjanjian Palestina-Israel. Sejak dulu orang Palestina tidak pernah berharap presiden AS akan berlaku adil terhadap mereka terkait konfliknya dengan Israel, tetapi langkah Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel – yang akan disusul dengan pemindahan keduataan besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem – sungguh keterlaluan. Masalahnya, Palestina hendak menjadikan kota itu, khususnya Yerusalem Timur tempat bercokolnya Masjid Al-Aqsa, sebagai ibu kota negara Palestina merdeka kelak. Komunitas internasional sendiri, termasuk AS, menganggap Yerusalem Timur yang direbut Israel pada 1967 sebagai wilayah pendudukan.

Pada 1947, dalam skema pembagian tanah antara Israel dengan Palestina, PBB mengeluarkan Resolusi 181 yang menetapkan Yerusalem sebagai kota internasional disebabkan sensitivitas kota itu bagi tiga agama Ibrahimik: Islam, Kristen, dan Yahudi. Resolusi DK PBB No 242 tahun 1967 menyerukan Israel mundur dari wilayah pendudukan, yaitu Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur. Dalam Kesepakatan Oslo 1993 antara Istrael dan Palestina di mana AS menjadi mediator status final Yerusalem Timur akan ditentukan di meja perundingan. Masih banyak lagi Resolusi PBB yang menegaskan Yerusalem Timur sebagai wilayah pendudukan. Resolusi DK PBB 252 tahun 1968, misalnya, mendesak Israel membatalkan semua aktivitas di Yerusalem dan mengutuk pendudukan tanah Palestina melalui agresi bersenjata. Juga menuntut Israel berhenti mengambil langkah lanjutan yang dapat mengubah status quo kota itu. Resolusi 298 tahun 1971 menegaskan bahwa semua tindakan yang diambil Israel untuk mengubah status Yerusalem, seperti penyitaan tanah, adalah ilegal. Resolusi 465 tahun 1980 menuntut Israel menghentikan perencanaan dan pembangunan pemukiman Yahudi di Yerusalem. Resolusi itu juga mendesak Israel membongkar pemukiman Yahudi yang ada.

Paling tidak ada empat faktor yang menyebabkan Trump mempunyai keberanian mengambil langkah yang menyakiti 1,6 miliar kaum Muslim di dunia. Pertama, negara-negara Arab sedang tercerai-berai dan dalam posisi sangat lemah disebabkan perang di Irak, Suriah, Yaman, Libya, dan menghadapi ancaman Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) serta Al-Qaeda. Kedua, Trump memenuhi janji kampanye pemilihan presiden kepada kelompok sayap kanan dan jemaat Gereja Evangelis bahwa ia akan memindahkan kedutaaan besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. Sebenarnya sejak 1995 Kongres telah mengeluarkan UU Pemindahan Kedutaan Besar AS ke Yerusalem (Jerusalem Embassy Act), namun memberi hak prerogatif kepada presiden untuk mengimplementasikannya. Presiden Bill Clinton, Georger Walker Bush, dan Barack Obama tidak mengimplementasikannya – meskipun juga berjanji dalam kampanye pilpres – guna menjga hubungan baik dengan dunia Arab dan Islam. Trump berani melakukannya karena tahu persis bahwa sekutu Arab tidak akan mengorbankan persekutuannya demi Palestina. Terlebih Trump mendukung posisi Arab vis a vis Iran.

Ketiga, keberhasilan partai-partai garis keras Israel yang sejak 1995 mendesak lobby Yahudi, dalam hal ini Komite Urusan Publik Amerika-Israel (AIPAC), melancarkan tekanan pada Gedung Putih untuk menerapkan UU itu. Kelompok garis keras Israel yang dipimpin Partai Likud menentang Kesepakatan Oslo yang dibuat antara PLO pimpinan Yasser Arafat dan Partai Buruh pimpinan duet Yitzhak Rabin dan Shimon Peres. Kesepakatan Oslo adalah perjanjian perdamaian sementara yang diproyeksikan akan menjadi perjanjian permanen dalam waktu lima tahun di mana Palestina akan mendapatkan kemerdekaan dengan wilayah terbatas di Jalur Gaza dan Tepi Barat serta Yerusalem Timur menjadi ibu kota Palestina.

Keempat, Trump telah mendapat lampu hijau dari sekutunya di Timur Tengah, khususnya Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), dan Mesir. Mereka ini melihat Palestina telah menjadi beban bagi mereka dalam realitas politik kawasan. Turki dan Iran dipandang sebagai ancaman terhadap keamanan internal mereka. Dengan membangun aliansi dengan Qatar dan mendukung Ikhwanul Muslimin (IM) serta Hamas, rezim Saudi, UEA, dan Mesir memandang Turki menghadirkan ancaman bagi kelangsungan kekuasaan mereka. Sementara politik sektarian, agresif, dan ekspansif Iran telah menciptakan instabilitas kawasan. Dengan mendukung milisi-milisi Syiah di Irak, Suriah, Lebanon, dan Yaman, Iran menjadi faktor destabilitor Timur Tengah.

Dalam konteks inilah Saudi dan UEA ingin berdamai dengan Israel. Tapi rekonsiliasi dengan Israel tidak dapat dilakukan sebelum isu Palestina diselesaikan. Kalau tidak, penguasa Saudi dan UEA akan mengalami delegitimasi berhubung isu Palestina masih sangat mempengaruhi masyarakat Arab. Dalam rangka secepatnya mengatasi isu Palestina, Putra Mahkota Pangeran Mohammad bin Salman (MBS), dengan dukungan Mesir dan UEA, menyusun konsep perdamaian Palestina-Israel bersama Jared Kushner, penasihat politik senior Trump. Konsep ini menawarkan negara bagi Palestina tanpa Yerusalem. Pemukiman Yahudi di Tepi Barat dipertahankan dan empat juta pengungsi Palestina kehilangan hak untuk pulang ke kampung halaman mereka di Israel. Sebagai imbalan Saudi, UEA, dan AS menyokong ekonomi Palestina dan Israel membebaskan ribuan tahanan Palestina dari penjara-penjara Israel. Sebagai pengganti Yerusalem, Saudi menawarkan Abu Dis di pinggiran Yerusalem sebagai ibu kota Palestina. Ketika MBS memaparkan konsep ini kepada Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas di Riyadh pada November lalu, Abbas langsung menolak. Kalau sekarang Riyadh, Kairo, dan Abu Dhabi ikut mengungkapkan keprihatinan dengan langkah Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, tujuannya hanya untuk konsumsi dalam negeri setelah maraknya reaksi keras dari dunia Arab dan dunia Islam, bahkan komunitas internasional.

Deklarasi Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel jelas akan menggencarkan yahudinisasi kota suci ketiga umat Islam itu. Sebenarnya yahudinisasi Yerusalem Timur, yang dianeksasi Israel pada 1980, telah dimulai segera setelah Israel menduduki kota itu dengan menambahkan sekitar 115 km persegi tanah ke dalam wilayah Yerusalem. Tanah ini sama sekali bukan diambil dari wilayah yang secara tradisionil termasuk Yerusalem, melainkan dari 28 desa Palestina yang tanahnya diserobot. Sebelum tahun 1967, luas Yerusalem adalah 50 km persegi, setelah pendudukan, luasnya menjadi 185 km persegi.

Salah satu di antara kekhawatiran utama Israel adalah menjaga agar warga Yahudi tetap mayoritas di Yerusalem. Kuota perumahan nyaris tidak ada hubungannya dengan perencanaan kota, melainkan digunakan untuk mendesak orang Palestina meninggalkan kota tersebut. Pada 1999, penasihat tinggi mantan Walikota Yerusalem, Teddy Kolek, mengungkapkan bahwa pemerintahnya mempunyai target rahasia untuk membatasi populasi Palestina pada angka 28,8 persen. Inilah inti kebijakan pemerintah kota dan pemerintah pusat agar tidak ada yang dapat menggugat kepemilikan Israel atas Yerusalem yang lebih besar di masa mendatang.

Israel juga berusaha mengubah karakter etnis Yerusalem. Para pejabat pemerintah menerapkan kuota rasial. Pada saat kepadatan populasi Palestina di kota itu meningkat, orang Palestina menghadapi pilihan-pilihan yang pelik. Jika tinggal di luar batas kota, mereka akan kehilangan kartu tanda penduduk yang diperlukan untuk bekerja. Jika membangun di atas tanah milik keluarga, buldoser-buldoser Israel akan datang menghancurkannya. Dengan kebijakan Trump itu, bukan tidak mungkin warga Palestina – jumlahnya sekitar 420 ribu jiwa – yang masih bertahan di kota itu akan diusir Israel. Toh, mereka tidak berkewargaan negara. Israel hanya menetapkan mereka sebagai pemukim tetap. Status mereka hanya sebagai migran asing.

Tindakan Trump kontradiktif. Ia berjanji akan menuntaskan isu konflik Israel-Palestina, tapi nyatanya menghancurkan proses perdamaian. Mimpi Palestina memiliki negara sendiri yang merdeka berdaulat dengan ibu kota Yerusalem Timur buyar sudah. Harapan Palestina agar Liga Arab mengambil sikap keras terhadap AS untuk memaksanya membatalkan pengakuan atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel berakhir mengecewakan. Dalam pertemuan tingkat mentri luar negeri di Kairo membahas tindakan sepihak AS atas Yerusalem pada 9 Desember, Liga Arab hanya menyatakan AS merusak kepercayaan Arab dan menghancurkan perannya sebagai mediator perdamaian Palestina-Israel. Memang tak dapat diharapkan Liga Arab yang sangat dipengaruhi Saudi, Mesir, dan UEA bersikap keras terhadap AS. Toh, mereka butuh dukungan AS dalam konfrontasinya dengan IM dan Iran.

Setelah Inggris memberikan tanah Palestina kepada gerakan Zionis seratus tahun lalu, kini giliran Amerika Serikat (AS) menyerahkan Yerusalem kepada Israel. Pada 2 November silam, Inggris, tanpa rasa bersalah mengundang PM Israel Benjamin Netanyahu untuk merayakan seabad peristiwa surat Menteri Luar Negeri Inggris Arthur James Balfour kepada Lord Walter Rothschild, pemimpin komunitas Yahudi Inggris, untuk dikirimkan kepada Federasi Zionis. Peristiwa yang dikenal sebagai Deklarasi Balfour itu berisi dukungan Inggris bagi rencana-rencana Zionis mendirikan tanah air Yahudi di tanah Palestina.

Aneh, Inggris tidak menjanjikan tanah air bagi bangsa Palestina, padahal orang Palestina — yang telah menetap di negeri itu paling kurang selama 1.200 tahun — merupakan mayoritas dengan 91 persen dari total populasi. Bagaimana mungkin sebuah negara asing (Inggris) memberikan tanah orang lain (Palestina) kepada pihak ketiga (orang Yahudi). Deklarasi Balfour merupakan cakal bakal penderitaan bangsa Palestina. Israel telah memiliki negara sejak 1948, sementara nasib Palestina masih terkatung-katung. Inggris pun hingga kini belum mengakui kemerdekaan Palestina.


Di tengah kebuntuan proses perdamaian Israel-Palestina sejak 2014 akibat pemerintahan Netanyahu menolak menyerahkan Tepi Barat dan Yerusalem Timur kepada Palestina sesuai Resolusi DK PBB No 242 dan Kesepakatan Oslo 1993, pemerintahan Presiden AS Donald Trump mendeklarasikan pengakuan AS atas seluruh Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Ini bertentangan dengan kebijakan para pedahulu Trump yang, sebagaimana seluruh negara di dunia, tidak mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Resolusi Liga Bangsa-Bangsa No 181 tahun 1947 menetapkan Yerusalem sebagai kota internasional berhubung di kota ini terdapat tempat-tempat suci tiga agama: Yahudi, Kristen, dan Islam. Resolusi DK PBB No 242 mengharuskan Israel mundur dari semua wilayah Arab, termasuk Yerusalem Timur, yang diduduki menyusul perang Arab-Israel pada 1967; dan Kesepakatan Oslo di mana status final Yerusalem akan ditentukan lewat perundingan Palestina-Israel.


Bila Deklarasi Balfour bertujuan menarik dukungan kaum Yahudi di seluruh dunia bagi upaya perang Inggris dalam Perang Dunia I, Deklarasi Trump bertujuan memuaskan warga sayap kanan dan Gereja Evangelis AS serta Israel. Toh ini merupakan janji Trump kepada mereka selama kampanye pemilihan presiden bahwa ia akan memindahkan kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. Selain melanggar semua hukum internasional, tindakan ini menghancurkan proses perdamaian Palestina-Israel dan menciptakan instabilitas di dunia Arab dan Islam, bahkan mungkin juga kaum Kristiani di seluruh dunia, selain Gereja Evangelis.


Di Yerusalem Timur, yang ingin dijadikan ibu kota Palestina Merdeka kelak terdapat Masjid al-Aqsa, masjid tersuci ketiga setelah Masjidil Haram di Mekah dan Masjid Nabawi di Madinah. Kaum muslim percaya dari masjid ini Nabi Muhammad bertolak ke langit (mi’raj). Di Yerusalem Timur juga terdapat Gereja Makam Suci, gereja tersuci di dunia, tempat Yesus di salib dan dimakamkan. Di sini juga terdapat Tembok Ratapan, tempat tersuci umat Yahudi, yang merupakan sisa tembok kuil Nabi Sulaiman yang dihancurkan tentara Romawi pada abad ke-2. Israel menganeksasi Yerusalem Timur pada 1980 karena menganggap Kota Damai itu telah menjadi identitas bangsa Yahudi.

Deklarasi Trump akan memuluskan yahudinisasi Yerusalem Timur. Bukan tidak mungkin Masjid al-Aqsa akan dirobohkan untuk kemudian di atasnya dibangun kembali Kuil Nabi Sulaiman. Toh, selama ini upaya orang Yahudi mengambil alih kompleks Masjid al-Aqsa terus dilakukan, baik oleh arkeolog Israel yang menggali di bawah Masjid al-Aqsa untuk menemukan peninggalan sejarah maupun oleh orang-orang Yahudi fanatik yang terus berupaya mendapat akses beribadah di masjid itu. Tindakan Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel juga dapat menjadi awal pengusiran orang Palestina dari Yerusalem Timur dan penguasaan Yahudi atas Masjid al-Aqsa sebagaimana Deklarasi Balfour menjadi awal pengusiran orang Palestina dari kampung halaman mereka di Israel dan di atasnya dibangun pemukiman-pemukiman orang Yahudi yang didatangkan dari berbagai negara di dunia.


Wajar jika Palestina, Arab, bahkan kaum muslim seluruh dunia marah. Sulit dimengerti mengapa Trump nekat mengambil tindakan yang hanya merugikan kepentingan AS di dunia Islam dan menyuburkan terorisme. Memang deklarasi Trump ini akan diikuti tekanan atas Israel untuk memerdekakan Palestina dengan wilayah Jalur Gaza dan sebagian Tepi Barat sebagai kompensasi. Namun, itu tidak sepadan dengan lepasnya Yerusalem Timur ke tangan Israel. Kota itu terlalu penting bagi Palestina, Arab, dan muslim seluruh dunia. Bagi Palestina, tanpa Yerusalem Timur, yang telah menjadi identitas bangsa Palestina baik Muslim maupun Kristen, kemerdekaan Palestina tidak ada artinya.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.