ANTARA HIZBUT TAHRIR DAN PALESTINA


Sudah sering sekali saya menulis tentang keanehan-keanehan Hizbut Tahrir maupun “pemandu soraknya” di Indonesia: “almarhum” HTI. Salah satu keanehan HTI adalah tentang ambivalensinya dalam menyikapi Indonesia dan Palestina.

Misalnya, para makelar dan tengkulak Hizbut Tahrir di Indonesia selalu gencar mengatakan kalau Negara Republik Indonesia, karena tidak memakai “Khilafah”, dituduh menganut “sistem taghut” yang “kapir-njepir”. Baginya hanya “Khilafah” yang benar-benar sistem politik-pemerintahan Islami dan Qur’ani.

Tetapi pada saat yang sama, para cheerleaders Hizbut Tahrir ini demo bolak-balik egal-egol mendukung “Negara Palestina” yang kini sedang rebutan Yarusalem. Padahal sistem politik-pemerintahan Palestina sama dengan Indonesia: sama-sama “taghut” kalau menurut definisi HTI karena sama-sama menggunakan sistem politik-pemerintahan demokrasi sekuler.

Palestina juga menggunakan nama “Negara Palestina” (Daulah Filasthin) bukan “Khilafah Filasthin”. Seperti Indonesia, pemimpin negaranya juga bernama “President” (kini dijabat oleh Mahmoud Abbas), bukan “Khalifah”. Presiden Negara Palestina ditunjuk oleh Palestinian Central Council (PCC yang juga disebut PLO Central Council), salah satu lembaga PLO.

Juga, sama seperti Indonesia, Negara Palestina juga punya lembaga legislatif atau parlemen bernama Palestinian National Council, lembaga parlemen yang mendirikan Negara Palestina dan mengurus tetek-bengek yang berkaitan dengan masalah legislasi pemerintahan.

Juga, seperti Indonesia, Palestina juga berdasar pada Palestinian Declaration of Independence yang menjadi fondasi filosofis dan landasan hukum pendirian Negara Palestina (semacam Pancasila dan UUD 1945), selain Palestinian National Covenant dan PNA Palestine Basic Law. Jadi bukan Al-Qur’an yang dijadikan sebagai “pedoman sistem politik-pemerintahan”.

Yang diperjuangkan oleh Hizbut Tahrir (yang ori, bukan KW) itu adalah sistem politik-pemerintahan khilafah yang bersifat “supranational” yang wilayah kekuasaanya membentang dari Afrika Utara sampai Asia Tenggara. Bukan negara-bangsa yang bersifat lokal-partikular.

Keanehan lain dari HTI adalah mereka bengak-bengok bilang kalau nasionalisme dan memperjuangkan kebangsaan itu tidak ada dalilnya. Sementara pada saat yang sama mendukung semangat nasionalisme dan kebangsaan warga Palestina. Memang bedanya apa antara spirit nasionalisme warga Indonesia dengan spirit nasionalisme warga Palestina? Kenapa kalau untuk Indonesia nggak ada dalilnya tapi kalau untuk Palestina ujug-ujug ada dalilnya?

Jadi memang tidak salah kalau saya bilang para kawanan HTI itu selalu menggunakan “standar jembut” untuk mengelabui dan mendoboli orang-orang awam di Indonesia yang buta huruf, rabun sejarah dan pikun wawasan.


Direktur Muslim Moderat Society Zuhairi Misrawi beranggapan bahwa wacana sistem negara khilafah sesungguhnyha telah berakhir sejak runtuhnya sistem Khilafah di Turki (Turki Ustmani). Karenanya, sistem khilafah yang diusung Hizbut Tahrir Indonesia sudah tak lagi relevan dengan spirit zaman.

“Akar HTI adalah Ikhwanul Muslimin yang kemudian berkembang hingga sekarang. Padahal mereka sendiri sudah menilai bahwa Khilafah tak mungkin lagi bisa diterapkan hari ini,” ujar Zuhairi baru-baru ini (10/7) di Jakarta.

Dirinya menegaskan bahwa HTI sebenarnya adalah anak cucu dari Ikhwanul Muslimin. Ketika Ikhwanul Muslimin menolak sistem Khilafah, maka salah satu murid yang kuliah di Mesir, kemudian mendirikan Hizbut Tahrir. Dari sanalah kemudian cikal bakal paham Hizbut Tahrir muncul.
Zuhairi menjelaskan bahwa Hizbut Tahrir sendiri berdiri sejak tahun 1953an. Kala itu, misi yang diusung adalah membangkitkan sistem khilafah. Berawal dari Palestina paham ini kemudian mendapat pertentangan, sebelum akhirnya bermigrasi ke Yordania dan menetap di sana.
“Tahun 1953 dibentuk HTI dan membangkitkan lagi sistem khilafah. Dari Palestina ia terusir dan hidup di Yordania,” terangnya.

Menurutnya, HTI merupakan organisasi yang hampir semua negara Islam melarang keberadaannya. Model gerakan HTI tak jauh berbeda komunis di Indonesia. Ia melakukan gerakan bawah tanah. Mereka merekrut anank-anak muda.

“Di Al Azhar menilai bahwa khilafah adalah ideologi yang utopis. Dimana negara-negara Islam memilih sistem demokrasi,” ujar Zuhairi.

Zuhairi menyebutkan bahwa alasan ulama menolak Hizbut Tahrir salah satunya adalah keyakinan Hizbut Tahrir yang mudah mengkafirkan orang lain. Kata dia, barang siapa yang menerima demokrasi, ia adalh kafir.

“Seperti ulama-ulama Indonesia yang pro demokrasi dianggap kafir. Inilah alasan kenapa NU tegas menolaknya,” beber dia.

Di samping itu, lanjut Zuhairi, Hizbut Tahri juga berpotensi menimbulkan gejolak konflik yang besar. Misal, hanya karena mendukung demokrasi, langsung dibilang kafir. Alasan selanjutnya, HTI tegas dan jelas menolak Pancasila.

“Bagi HTI, negara yang mayoritas Islam tapi tak menerapkan hukum/syariat Islam, maka disebut negara kafir. Dan Pancasila adalah ideologi/sistem kafir,” pungkasnya.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.