BIARKAN NU TETAP BENGKOK

Rabu, 31 Januari 2018
Hari ini, 31 Januari, Nahdlatul Ulama, salah satu ormas terbesar di dunia, memperingati hari lahirnya yang ke-92. Selama kurun waktu tersebut orang pasti bertanya-tanya, apa yang sudah NU lakukan untuk bangsa ini? Pertanyaan itu muncul pula di benak saya, seorang anak petani kampung yang sebelum merantau ke Jawa tidak kenal apa itu NU. Pada saat itu saya mengenal NU melalui hiasan dinding salah seorang guru madrasah sore tanpa pernah mencari tahu organisasi berlogo lintang jagat ini.

Saya mulai mengenal NU secara keorganisasian ketika mengikuti kegiatan Latihan Kader Muda (Lakmud) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) pada 2014 silam. Di situlah saya mengenal bagaimana organisasi massa Islam ini ternyata memiliki kontribusi nyata bagi bangsa Indonesia, bahkan dunia. Hal ini bisa dilihat dari sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama secara kelembagaan pada tahun 1926 silam.

Alkisah, ketika Bani Saud menguasai Arab Saudi, makam Nabi Muhammad SAW akan dibongkar dan dipindahkan dari kompleks masjid Nabawi. Alasannya, makam tersebut dikultuskan oleh umat Islam yang berziarah ke sana. Pembongkaran makam Nabi dianggap solusi oleh keluarga Saud yang memiliki tujuan memurnikan Islam. Tentu saja rencana itu mendapat kecaman dari umat Islam sedunia.

Ulama-ulama dari Indonesia pun gelisah, lalu mengirim utusan ke Hijaz (sekarang Arab Saudi) untuk menyampaikan penolakan rencana pembongkaran itu. Konon, para ulama mengancam umat Islam Indonesia tidak akan melaksanakan haji apabila pembongkaran itu benar-benar dilakukan. Setelah lobi itu, makam Nabi Muhammad SAW akhirnya bisa diselamatkan. Para utusan yang dikirim ke Hijaz itu sesampainya di Indonesia kemudian mendirikan jam’iyyah (organisasi) Nahdlatul Ulama.

Kisah pendirian organisasi ini saya dengar beberapa kali, terutama di saat pengajian-pengajian yang diisi oleh kiai-kiai NU. Biasanya kiai NU sekaligus mengkritik orang-orang yang tidak mengenal NU tetapi asal njeplak menghujat organisasi ini. Sampai-sampai segelintir orang membuat NU tandingan bernama NU Garis Lurus.
  Dijelaskan pula bahwa NU Garis Lurus adalah upaya pengembalian pemahaman warga NU kepada ajaran KH Hasyim Asy`ari yang murni Sunni Syafi`i Non SEPILIS (Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme). Ada dua hal yang terdengar cukup geli bagi saya. Pertama, ajaran KH Hasyim Asy’ari yang murni Sunni Syafi’i dan yang kedua adalah non-sepilis (sekularisme, pluralisme, dan liberalisme). Sebagai pendiri organisasi, Mbah Hasyim memang dikenal sebagai Sunni yang bermazhab Syafi’i. Tetapi secara kelembagaan, NU mempersilakan para anggotanya untuk mengikuti satu dari empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali). Artinya, siapa pun yang mengikuti salah satu mazhab bisa jadi anggota NU, tidak harus yang bermazhab Syafi’i belaka. Hal ini menunjukkan keterbukaan para pendiri NU terhadap perbedaan pandangan yang ada di dalam agama Islam yang sudah berlangsung selama ribuan tahun.

    Lalu tentang sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Saya tidak tahu apa yang dimaksud sipilis bagi mereka. Jika sekularisme disebut sebagai pemisahan secara total antara agama dan negara, maka hal itu tidak perlu dikhawatirkan. Sejak berdirinya, NU setia mengawal negara Indonesia menggunakan agama. Sebagai contoh, jika terjadi banyak bencana, di berbagai titik orang NU akan mengadakan istighotsah. Jika ada situasi genting yang dikhawatirkan akan terjadi perpecahan, para kiai NU akan turun dan mendamaikan menggunakan ayat-ayat al-Qur’an.

Dan ingat pula bahwa Resolusi Jihad 1945 untuk melakukan perlawanan tentara sekutu di Surabaya adalah hasil dari kesepakatan para kiai NU. Lalu, di mana letak sekularismenya? Malahan, tradisi-tradisi keagamaan semacam itu justru dianggap sebagai bid’ah oleh orang yang baru belajar agama beberapa hari saja.


Saya justru khawatir dengan gerakan lurus-lurusan ini. Sebab, dari namanya saja sudah terdengar arogansinya. Apalagi jika menyimak postingan-postingan di media sosial mereka, terutama fanpage Facebook (NU Garis Lurus @SelamatkanNU), yang isinya sangat jauh dari akhlak dan kultur seorang Nahdliyin.


Misalnya saja postingan video tentang 10 tokoh NU liberal (tanggal 19 Januari 2018): Gus Dur, KH Hasyim Muzadi, Ulil Abshar Abdalla, KH Said Aqil Siradj, KH Salahuddin Wahid, Abdul Moqsith Ghozali, KH Masdar Farid Mas’udi, KH A. Mustofa Bisri, KH Husein Muhammad, dan Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA. Entah apa ukuran liberal menurut mereka, yang jelas semua tokoh yang disebutkan adalah para kiai yang sangat dihormati di kalangan NU.


 Para santri NU selalu dibekali pelajaran akhlak yang menekankan pentingnya penghormatan kepada semua kiai dan guru, walau berbeda pandangan. Jika tidak setuju dengan pendapat salah seorang guru, yang harus dilakukan adalah bertabayun kepada guru tersebut, atau perbanyak membaca. Jangan-jangan apa yang kita anggap salah adalah bentuk kebodohan kita. Atau malah admin yang jumlah pengikutnya sudah lebih dari 300 ribu itu tidak pernah mengenyam kitab Akhlak Lil Banin, Ta’limul Muta’allim, dan kitab-kitab akhlak yang biasa dipelajari santri NU pada umumnya? Karenanya, diam adalah lebih baik daripada menghujat tanpa ilmu.

Sebagai contoh adalah perbedaan pandangan antara KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahid Hasyim, putra sekaligus muridnya. Mbah Hasyim saat itu mengharamkan celana dan bahasa Inggris karena menyerupai penjajah. Sementara Mbah Wahid justru selalu mengenakan celana dan mulai memberlakukan bahasa Inggris sebagai kurikulum di pesantren Tebuireng dengan alasan para pelajar Indonesia juga harus bisa menguasai bahasa asing dan berpenampilan kece.

 Lalu apakah para murid Mbah Hasyim menuduh Mbah Wahid ini tidak NU lagi, lalu mendirikan NU original? Nyatanya tidak, karena perbedaan di tubuh NU bukanlah sesuatu yang perlu dibesar-besarkan, bahkan perlu dibincangkan, syukur-syukur diakomodasi.

Terkait adanya perbedaan NU di zaman Mbah Hasyim dan NU saat ini, para pejuang kemurnian NU harus rajin baca sejarah. Sebelum Muktamar Situbondo tahun 1984, sejak tahun 1952 NU merupakan partai politik. Baru pada tahun 1984 NU kembali pada khittahnya menjadi organisasi keagamaan kemasyarakatan. Dinamika dalam sebuah organisasi adalah suatu hal yang lumrah. Jika tidak setuju dengan dinamika yang ada, maka rebutlah pucuk kepemimpinan melalui jalur yang ditentukan oleh organisasi tersebut, bukan malah bikin organisasi tandingan.

    Untuk itu, sebagai anggota salah satu Banom NU, saya sangat berharap di ulang tahun yang ke-92 ini para warga NU sadar tentang pentingnya menjaga NU dari segala bentuk kerusakan. Tak perlu dilurus-luruskan kalau memang sejak awal NU dibentuk bengkok. Ibarat keris, ia akan sakti jika tetap berkelok-kelok. Tak perlu membuatnya lurus seperti pisau dapur yang hanya membuatnya rusak dan tidak bertaji lagi. Wallahua’lam. * Beliau merupakan pegiat Islam Institute Yogyakarta.


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.