MENGENAL SANDARAN AQIDAH HTI YNG BUKAN ASWAJA

Tidak jarang apabila Anda memasuki masjid-masjid di perkotaan, atau instansi-instansi publik seperti kantor pos dan lain-lain, Anda akan menemukan selebaran putih yang dibagikan secara gratis, dengan logo biru bertuliskan AL-ISLAM, dan tulisan artikel di bawahnya dengan tinta hitam. Buletin dakwah –demikian mereka menyebutnya-, yang terbit setiap hari Jum’at itu diterbitkan oleh saudara-saudara kita yang tergabung dalam organisasi politik Islam transnasional Hizbut Tahrir, yang di Indonesia dikenal dengan sebutan HTI.


Dari penampilan dan sikap aktifis-aktifis HTI, rata-rata mereka memiliki etika yang halus, tutur sapa yang lembut dan sopan, nada bicara dan retorika yang bagus dalam presentasi dan berargumentasi, memiliki militansi dan ghirah yang hebat terhadap Islam, cita-cita dan kesadaran yang tinggi untuk menegakkan penerapan syariat Islam dalam segala lini kehidupan, dan tentu saja –yang terpenting menurut mereka- tegaknya khilafah Islam sebagai sistem pemerintahan yang dianut kaum Muslimin. Demikian kira-kira ciri khas yang tidak jarang dimiliki aktifis HTI yang rata-rata terdiri dari kalangan terpelajar dan cerdas.


Meskipun demikian, organisasi politik yang didirikan oleh Taqiyuddin al-Nabhani (1909-1979) ini, hingga saat ini masih menghadapi berbagai rintangan dalam memperjuangkan cita-citanya, terutama dari ormas-ormas Islam lain yang terus berupaya menghalau laju pergerakan HTI, yang kian hari masih terus diminati oleh masyarakat kampus di berbagai perguruan tinggi. Di negara-negara Arab sendiri, HT relatif tidak berkembang, bahkan perkembangannya jauh lebih subur di Indonesia.

Dan sudah barang tentu, keberatan ormas-ormas Islam lain seperti Nahdlatul Ulama, terhadap HTI bukan tanpa alasan. Mereka memiliki alasan-alasan yang kuat yang patut dipertimbangkan dengan pikiran yang jernih dan disadari dengan hati nurani yang paling dalam, terutama oleh kaum HTI sendiri. Setidaknya berikut ini akan dikemukakan beberapa hal perbedaan HTI dengan kaum Muslim Indonesia:

Pertama, ideologi dan pola pikir HTI, berbeda dengan ideologi dan pola pikir mayoritas Muslim di Indonesia. Selama ini mayoritas Muslim di negeri ini memperjuangkan dan menganut faham Ahlussunnah Wal-Jama’ah dalam ideologi dan mengikuti pola pikir bermadzhab dalam amaliyah sehari-hari. Sementara al-Nabhani –pendiri HTI- dalam kitab-kitab yang ditulisnya sebagai rujukan pergerakan HTI, memiliki pandangan yang berbeda. Dalam ideologi tidak menganut Ahlussunnah, dalam furu’ tidak bermadzhab. Perbedaan ideologi dan pola pikir HTI dengan mayoritas Muslim lain di negeri ini sudah barang tentu akan membuat perpecahan baru di kalangan Muslim antara HTI dengan yang lain, sehingga bukan mempermudah tegaknya khilafah dan kesatuan umat, tetapi akan menggerus ukhuwah Islamiyah sesama Muslim. Dengan pola pikir anti madzhab ala HT, akan dapat pula memutus hubungan kaum Muslimin dengan pendahulunya yang bermadzhab pada saat-saat khilafah masih ditegakkan.
 
Adalah LKS Madrasah Ibtidaiyyah kelas 6 semester gasal. Dalam LKS tersebut pada halaaman 7-8 ketika membahas tentang makna iman kepada qadla dan qadar disebutkan:
 
1. Cara untuk merubah ketentuan Allah yang belum terjadi adalah dengan ikhtiyar atau kasab. Ikhtiyar atau kasab artinya usaha atau amal manusia
 
 2. Cara kedua untuk merubah taqdir Allah adalah dengan do’a
3. Karena bila usaha dan do’a kita terkabul kita harus yakin hal itu karena ilmu dna klebijaksanaan Allah, dan bila tidak berhasil itu semata-mata karena kebodohan dan kelemahan kita.

Pernyataan-pernyataan di atas sungguh sangat miris dan membahayakan aklidah, sebab pernyataan-pernyataan di atas memberikan pemahaman bahwa sebagaian taqdir Allah itu dapat dirubah oleh manusia dengan usaha dan do’a. Dan bahwa manusia itu dapat menentukan taqdirnya sendiri. Sedangkan pernyataan nomor 3 memberikan pengertian bahwa keburukan itu berasal dari manusia sendiri.

Aqidah sebagaimana dituturkan di atas adalah aqidah qadariyyah yang sekarang dianut oleh Hizbut Tahrir (HT) Aqidah ini bertentangan dengan aqidah Aswaja. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
القَدَرِيَّةُ مَجُوْسُ هَذِهِ اْلأُمَّةِ
Qadariyyah adalah Majusinya ummat ini.

Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah meyakini bahwa segala seuatu yang terjadi di alam semesta ini adalah terjadi dengan qadla dan qadar Allah ta’aalaa. Ahlussunnah juga meyakini bahwa seluruh sifat Allah adalah azaliyah (tanpa permualaan) dan abadiyyah (tanpa akhiran), tidak berubah, termasuk sifat iradah (kehendak Allah) dan ilmu Allah ta’aalaa. Apapun yang telah Allah kehendaki pada azal maka pasti terjadi dan apapun yang tidak Allah kehendaki pada azal pasti tidak terjadi. Rasulullah bersabda:
مَاشَاءَ اللهُ كَانَ وَمَا لَمْ يَشَأْ لَمْ يَكُنْ
“Apapun yang Allah kehendaki pada azal terjadi maka pasti terjadi dan apapun yang tidak Allah kehendaki pada azal maka pasti tidak terjadi”

Benar bahwa taqdir Allah terbagi menjadi dua bagian; mubram dan mu’allaq. Namun pengertiannya bukan berarti bahwa sebagian taqdir Allah dapat berubah.

Taqdir mubram adalah ketentuan yang azali yang tidak dapat berubah, tidak ada satupun yang bisa menolaknya, tidak doa, sedekah dan silaturrahim. Contohnya adalah sa’adah (mata husnul khatimah) dan syaqawah (mati su`ul khatimah) dan waktu datangnya hari kiamat.

Sedangkan taqdir mu’allaq adalah ketentuan yang dalam shuhuf (catatan) malaikat yang telah mereka kutip dari lauh al mahfudz digantungkan pada do’a, nadzar atau yang lainnya. Misalnya dalam shuhuf tersebut tertulis apabila si Fulan berdo’a maka keinginannya akan terwujud dan apabila tidak berdo’a maka keinginannya tidak terwujud. Para malaikat tidak mengetahui apa yang akan dilakukan oleh si Fulan tersebut, apabila ia berdoa maka berarti perbuatannya menolak/merubah salah satu dari dua qadha` tersebut, dan tidak menolak qadha’ Allah ta’aalaa yang merupakan sifatnya. Karena Allah ta’alaa telah menentukan pada azal apa yang akan dilakukan oleh si fulan tersebut.

Qadha` inilah yang dimaksud oleh sebuah hadits yang diriwayatkan imam Hakim dan imam Tirmidzi:
لاَ يَرُدُّ اْلقَضَاءَ إلاَّ الدُّعَاءُ
Maknanya: “Tidak ada yang menolak qadha`(yakni qadha` mu’allaq) kecuali do’a”
Taqdir mu’allaq tidak berarti bahwa qadha` Allah bisa berubah. Namun dalam pengetahuan Malaikat dalam catatannya, Allah memberikan pilihan kepada manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu yang menjadi sebab terwujudnya sesuatu yang diinginkan oleh manusia seperti berdo’a, silaturrahim, sedekah, bekerja keras, rajin belajar dan seterusnya, sehingga apa yang diinginkan oleh manusia berupa umur panjang, kebahagian, bebas dari musibah, kaya, pandai dan seterusnya dapat terwujud. Meskipun dalam pengetahuan Allah, Allah telah mengetahui dan menentukan pilihan manusia tersebut dan sesuatu yang terjadi padanya.

Adapun firman Allah :
( إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ۗ) 
Maknanya :“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu qoum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri,” (QS. al-Ra’d:11)

Ayat ini tidak menunjukkan bahwa taqdir Allah bisa berubah, tetapi ayat tersebut terkait dengan taqdir mu’allaq, bahwa apabila suatu kaum menginginkan sebuah perubahan pada diri mereka maka mereka harus melakukan sebab-sebab yang bisa menghantarkan pada perubahan tersebut, yaitu dengan beriman kepada Allah ta’aalaa. Allah telah mengetahui terhadap sesuatu yang akan dilakukan oleh kaum tersebut (melakukan perubahan dari kufur ke iman atau tidak), tetapi bagi Malaikat perubahan keadaan mereka masih mu’allaq (tergantung) pada apabila mereka mau melakuan perubahan yang dalam hal ini adalah beriman kepada Allah ta’aalaa. 

Jadi bukan Allah menunggu usaha manusia kemudian jika ia berkehendak maka ia merubahnya.

Kedua, sejak dulu kala kaum Muslim Indonesia meyakini bahwa rukun iman jumlahnya ada enam. Yaitu mempercayai adanya Allah, Malaikat, kitab-kitab Allah, rasul-rasul Allah, hari pembalasan dan qadar (kepastian) Allah, yang baik dan yang buruk. Tetapi HTI, sebagaimana ditegaskan oleh al-Nahbani dalam al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah (1/43), meyakini bahwa rukun iman seorang Muslim hanya ada lima, yaitu selain qadha’ dan qadar Allah.

Ketiga, Ahlussunnah Wal-Jama’ah meyakini dan mengikuti metodologi ta’wil terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang dianggap mutasyabihat. Penakwilan terhadap ayat-ayat mutasyabihat ini telah diajarkan oleh sahabat dan ulama salaf yang saleh seperti Ibn Abbas, Sufyan al-Tsauri, al-Bukhari, Ahmad bin Hanbal, al-Thabari, Ibn Hibban dan lain-lain. Sementara al-Nabhani dalam kitab al-Syakhshiyyah (1/53) berpandangan, bahwa ta’wil itu sebenarnya berasal dari ahli kalam sejak awal abad keempat Hijriah, bukan dari ulama salaf yang saleh. Sudah barang tentu, pernyataan al-Nabhani ini murni kebohongan dan pemalsuan yang tidak selayaknya dimiliki oleh kaum yang mengklaim bercita-cita mendirikan negara Islam atas nama khilafah. Pantaskah kelompok yang mengklaim menegakkan khilafah Islamiyah berbohong?

Keempat, al-Nabhani dalam kitab al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah (1/70) berpandangan bahwa seluruh ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah sejak dulu hingga sekarang telah gagal alias tersesat dan menyesatkan umat dalam menjelaskan persoalan qadha’ dan qadar, sehingga al-Nabhani menilai Ahlussunnah Wal-Jama’ah itu sebenarnya aliran Jabariyah. Pernyataan al-Nabhani yang secara terus terang menohok seluruh ulama panutan umat ini sangat tidak pantas dan tidak layak diikuti. Pernyataan tersebut menggambarkan kesombongan al-Nabhani, yang beranggapan dirinya lebih pandai dan lebih alim daripada seluruh ulama yang ada sebelumnya. Bahkan ia menganggap seluruh ulama telah tersesat. Padahal berdasarkan ijma’ ulama, orang yang berpandangan dengan suatu pendapat yang berimplikasi pada penilaian sesat terhadap seluruh umat adalah kafir secara definitif. Na’udzu billah min dzalik.

Kelima, al-Nabhani (1/74) berpandangan bahwa pemaknaan qadha’ dan qadar seperti yang terdapat dalam seluruh kitab Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah nihil dan dibuat-buat oleh ahli teolog (mutakallimin). Pernyataan al-Nabhani ini termasuk kebohongan murahan, karena para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah memberikan pemaknaan qadha’ dan qadar dalam kitab-kitab mereka didasarkan pada dalil-dalil al-Qur’an dan al-Sunnah. Justru pernyataan al-Nabhani yang membebek terhadap Mu’tazilah, yang anti qadha’ dan qadar, telah keluar dari ajaran al-Qur’an dan Sunnah. Dalam hadits riwayat Abu Dawud, al-Baihaqi, al-Hakim dan lain-lain disebutkan, al-Qadariyyah Majus Hadzihi al-Ummah (kelompok Qadariyah –aliah Mu’tazilah dan HT-, adalah sama dengan penganut Majusi dalam umat ini).

Keenam, al-Nabhani dan petinggi-petinggi HT yang lain, tidak jarang mengeluarkan fatwa-fatwa kontroversial dan melenceng dari ajaran Islam, seperti fatwa bolehnya berjabatan tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan istri dan bukan mahram. Sudah barang tentu fatwa ini tidak akan memudahkan tegaknya syariat Islam, bahkan menjadi jalan mulusnya dekadensi moral pemuda Muslim yang semakin hari memang semakin jauh dari nilai-nilai agama akibat serangan budaya Barat yang menerjang negara-negara Muslim. Bahkan lebih jauh lagi, sebagian petinggi HT ada yang berfatwa bolehnya ciuman laki-laki dengan perempuan bukan istri dan bukan mahram, seperti dalam selebaran yang pernah disebarkan HT di Lebanon pada awal-awal berdirinya HT.

Demikian beberapa contoh pandangan-pandangan kontroversial al-Nabhani dan HT yang berbeda dengan ideologi dan ajaran kaum Muslimin di dunia. Hal tersebut harus menjadi pertimbangan bagi saudara-saudara Muslim yang masih aktif di HTI, agar segera bertaubat, keluar dari HTI dan kembali ke pangkuan ajaran Islam yang benar, agar tidak termasuk, “orang-orang yang Telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. al-Kahf:104). 
Wallahul muwaffiq.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.