10 DOKTRIN PEMBATALAN KEISLAMAN INI ADA PENGARUHNYA PADA STABILITAS NEGARA..YANG DIANGGAP THOGUT....DAN MUDAHNYA MENGKAFIRKAN..

Bismillahirrahmannirahim,.
4 IMAM MAZHAB TIDAK MENGENAL ADANYA 10 PEMBATALAN KEISLAMAN ( SESUAI AJARAN ABDUL WAHHAB/PENDIRI WAHABI ) NAMUN 4 IMAM MADZHAB MENGENAL ADANYA 7 MACAM DOSA BESAR..10 DOKTRIN PEMBATALAN KEISLAMAN INI ADA PENGARUHNYA PADA STABILITAS NEGARA..YANG DIANGGAP THOGUT....DAN MUDAHNYA MENGKAFIRKAN..
==========================================================

dalam Mazhab Syafi'i, belum pernah menemukan kaidah 10 Macam, pembatalan Islam karya ( Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Washabi ) dalam kitab ringkasnya “Al-Qaulul Mufid fi Adillati At-Tauhid,” pun halnya dalam imam mazhab yang lainnya ( Hanafi, Maliki, Hambali ) tidak ditemukan 10 pembatalan tersebut.
Kami yang bermazhab syafi'i, dituntun oleh ulama ulama kami untuk tetap santun walaupun dia "non muslim"..mari..bermuamallah..urusan agama..kita "lakum dinukum walyadin" terhadap non muslimpun kami harus beradab apalagi terhadap sesama muslim tidak boleh kami mencap "kafir" atau mengkafirkan sesama muslim....pun halnya dalam bernegara..kami diwajibkan untuk patuh pada hukum negara kami diajarkan HUBUL WATHON MINAL IMAN, namun ada filter syariah dan tata krama akidah koridor agama dalam kehidupan kami, ada aturan aturan mainnya, yang sesuai tuntunan ALQUR'AN, SUNNAH, IJMA DAN QIYAS.. kami mengenal adanya : 7 MACAM DOSA BESAR


: TUJUH MACAM DOSA BESAR

A. Hadist Tujuh Macam Dosa Besar LM:56

حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ» قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ وَما هُنَّ قَالَ: «الشِّرْكُ بِاللهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِناتِ الْغافِلَاتِ». ﴿أَخْرَجَهُ البُخَارِيّ﴾
Artinya: Hadis riwayat Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu dari Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan”. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah itu? Beliau bersabda: “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, makan harta anak yatim, melarikan diri pada hari perperangan dan menuduh zina pada wanita yang menjaga kesuciaan dan beriman”. (Şaĥīĥ al-Bukhāriy ĥadīś )


  UNTUK 10 MACAM PEMBATALAN TERSEBUT sesuai DOKTRIN ABDUL WAHHAB..pendiri Wahabi silahkan disearch saja..bertebaran di internet..berikut salah satunya..http://dakwahsunnahpekanbaru.blogspot.co.id/.../10...

  ULASAN : Poin ketiga yang membatalkan keislaman,[1] menurut Muhammad bin Abdil Wahab, adalah tidak mengafirkan orang musyrik atau ragu atas kekufurannya atau membenarkan madzhabnya maka dia kafir.[2] Musyrik adalah kata sifat (isim fa’il) dari syirik yang berarti pelaku syirik. Siapakah pelaku syirik menurut Ibnu Abdil Wahab? Sebagaimana disebut dalam pembatal Islam poin kesatu dan kedua, yaitu orang yang menyekutukan Allah dalam ibadah. Seperti meminta tolong pada orang mati[3] dan bertawasul pada orang mati.[4] Sebagaimana sudah dijelaskan, definisi syirik pada poin pertama dan kedua bukanlah ijmak ulama sebagaimana yang diklaim pendiri Wahabi ini. Bahkan, dalam masalah tawasul, baik pada orang hidup atau yang sudah mati, mayoritas ulama madzhab empat membolehkannya dan mengamalkannya.[5] Oleh karena itu, poin ketiga ini merupakan sikap pemaksaan kehendak yang tidak dapat diterima.

  BERANGGAPAN SISTEM PEMERINTAHAN ADALAH THOGUT

Poin keempat dari 10 Pembatal Islam versi Wahabi adalah barangsiapa yang meyakini bahwa sistem bernegara selain syariah adalah lebih sempurna dari syariah. Atau hukum selain Islam lebih baik dari hukum Isl
am seperti orang yang lebih memilih hukum taghut dibanding hukum Islam, maka dia KAFIR.[6] Pandangan ini masih menjadi masalah khilafiyah, bahkan di kalangan ulama Wahabi sendiri. Shaleh Al-Munajjid, salah satu ulama Wahabi, misalnya berpendapat bahwa selagi masih mengakui wajibnya mengimplementasikan hukum syariah, walaupun tidak dilakukan, maka hukumnya berdosa, bukan kafir.[7] Di kalangan ulama Ahlussunnah kontemporer, seperti Dr. Yusuf Qardhawi, menganut sistem non-Islam tidak masalah. Qardhawi berpendapat bahwa sistem demokrasi yang saat ini banyak diterapkan oleh sejumlah negara mayoritas muslim tidak berlawanan dengan esensi syariah Islam. Karena, menurut Qardhawi, inti dari sistem demokrasi adalah rakyat mendapat hak untuk memilih penguasa yang memiliki kapasitas, disukai dan dipercaya untuk mengemban amanah mengatur jalannya pemerintahan dan tidak memilih (lagi) penguasa yang berbuat salah.[8]


  Yusuf Qardawi mendukung pendapatnya dengan sejumlah dalil dari hadits. Antara lain hadits yang menyatakan hendaknya seorang bermakmum pada imam yang disukai. Hadits sahih riwayat Muslim Nabi bersabda: “Sebaik-baik imam kalian adalah mereka yang kamu sukai dan menyukaimu, kamu doakan mereka dan mereka mendoakanmu. Seburuk-buruk imam adalah mereka yang kamu benci dan mereka membencimu, kamu laknat mereka dan mereka melaknatmu.”[9] Menurut Qardhawi, apabila dalam shalat saja Islam menganjurkan untuk memilih imam yang disukai, apalagi dalam masalah kehidupan dan politik.[10] Sejumlah ulama Ahlussunnah kontemporer sepakat dengan pandangan Yusuf Qardhawi akan bolehnya memakai sistem bernegara non-Islam seperti sistem demokrasi seperti Fathi Usman, Abul Ala Maududi, Ali Jumah dan lainnya.[11] Ini semakin menunjukkan bahwa pandangan Wahabi adalah pendapat yang tidak didukung oleh mayoritas ulama ASWAJA

  MENOLAK DAN MEMBENCI AJARAN ISLAM ITU SENDIRI PADA HAKEKATNYA

Poin kelima dari 10 pembatal keislaman adalah bahwa muslim yang tidak menyukai syariah, walaupun mengamalkannya, maka dia KAFIR !!!!.[12] Ini artinya, kalau ada seorang muslim tidak suka me
melihara jenggot, maka dia kafir. Pandangan ini sangat sembrono dan tidak pernah disebut oleh para ulama mazhab juga ulama terdahulu para shobat, tabi'in. Karena, a) pengamalan syariah pada dasarnya adalah bersifat zhahir; b) hukum syariah terbagi lima yaitu wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah. Meninggalkan perkara wajib atau melakukan perkara haram adalah dosa tapi tidak sampai berakibat kafir sedangkan meninggalkan perkara sunnah atau melakukan perkara makruh atau mubah tidak berdosa. Imam Syafi’i mengatakan: “Kami (ahli fiqih) menghukumi perkara yang zahir. Sedang perkara batin itu urusan Allah.”[13]


  MERENDAHKAN ISLAM ITU SENDIRI

Poin keenam dari 10 pembatal keislaman ala Wahabi adalah bahwa “Menghina agama Islam atau pahala atau siksa adalah KAFIR.”[14] Dalil yang digunakan adalah QS At-Taubah 9:65-66. Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, seorang ul
ama Wahabi berpengaruh, menjelaskan bahwa yang dimaksud menghina agama adalah mencela agama, memaki, menghina Rasulullah. Apabila demikian, maka ulama Ahlussunnah sepakat atas kekufuran pelakunya.[15]

Namun demikian, harus dilihat bentuk penghinaannya. Apakah menghina agama secara langsung atau pada individu muslim. Al-Jaziri menyatakan, “Menghina agama seorang muslim mengandung dua kemungkinan. Satu, menghina individu tersebut dan akhlaknya. Apabila itu yang dimaksud, maka dia tidak kufur. Dua, menghina agama itu sendiri. Apabila ini yang terjadi maka dia kafir. Oleh karena itu, tidak bisa langsung mengkafirkan orang yang menghina agama sebagai murtad.[16]

Kemudian, apakah penghina agama itu diterima taubatnya atau tidak. Menurut Bin Baz, pelakunya murtad dan kafir dan boleh dibunuh dan diambil hartanya.[17] Namun, menurut mayoritas ulama dari madzhab empat, apabila pelakunya bertaubat, maka harus dimaafkan dan dilindungi sebagaimana muslim yang lain.[18] Pendapat jumhur ulama ini penting dan perlu diketahui agar muslim mudah memaafkan saudaranya sesama muslim yang pernah khilaf dan tidak mudah mengumbar kebencian pada sesama apalagi sampai menghalalkan darahnya..


  Ilmu Sihir dan Mengamalkan Sihir

Poin ketujuh adalah sihir. Menurut pendiri Wahabi, pelaku sihir atau siapapun yang rela pada sihir hukumnya kafir.[20] Menurut ulama ASWAJA dari madzhab empat, sihir itu tergantung cara melakukannya. Apabila dalam meng
aplikasikan ilmu sihir ini mengandung unsur yang menafikan atau menista agama, maka hukumnya murtad. Namun apabila mantra yang dipakai tidak mengandung unsur-unsur tersebut, maka hukumnya haram.[21] Menurut Imam Nawawi, ilmu sihir haram dan termasuk dosa besar. Sihir bisa berakibat kafir apabila ada ucapan atau perbuatan dalam proses sihir itu yang menimbulkan kekufuran, apabila tidak maka haram saja. Yang ijmak, menurut Imam Nawawi, adalah haramnya mengamalkan sihir. Sedangkan sihir sebagai penyebab kekufuran masih terjadi khilaf di kalangan ulama.[22] Bahkan, mempelajari ilmu sihir itu sendiri menurut Imam Ahmad bin Hanbal adalah boleh apabila bertujuan agar tercegah dari serangan sihir atau sekedar untuk mempelajari saja.[23]

  Bersekutu dengan Orang Kafir untuk Memerangi Sesama Muslim

Poin kedelapan adalah menolong orang kafir untuk memerangi kaum muslimin adalah kafir atau murtad dengan mendasarkan argumennya pada QS Al-Maidah 5:51.[24] Pandangan ini berlawanan dengan pand
angan ulama Ahlussunnah Wal Jamaah. Lajnah Fatawa Al-Azhar mengeluarkan fatwa bahwa bersekutu dengan non-muslim untuk memerangi muslim adalah haram.[25] Keharaman ini dalam konteks apabila koalisi yang memerangi muslim tersebut dipimpin oleh non-muslim. Sedangkan apabila koalisi muslim dan non-muslim itu dipimpin oleh muslim, maka ada tiga rincian sebagai berikut:

Bersekutu dengan pasukan kafir untuk memerangi negara muslim yang adil. Hukumnya haram dan dosa besar. Namun tidak sampai kufur yang mengeluarkan mereka dari Islam.[26]
Bersekutu dengan pasukan kafir untuk memerangi negara muslim yang zhalim. Hukumnya dirinci berdasarkan niat dan maksud pelakunya: apakah bertujuan demi kekuasaan semata, atau untuk memberantas kezhaliman penguasa yang diserang atau memberi jalan bagi non-muslim untuk berkuasa di kawasan tersebut. Ketiga-tiganya hukumnya haram dengan tingkat keharaman yang berbeda-beda.
Bersekutu dengan pasukan kafir untuk menumpas pemberontak muslim. Dalam hal inipun ulama berbeda pendapat dari keempat madzhab, namun secara umum mereka berpendapat haramnya hal tersebut.[27]

Ringkasnya, apapun kondisinya, bersekutu dengan non-muslim untuk memerangi muslim lain adalah haram. Namun tidak sampai berakibat kufur tidak sebagaimana yang dikatakan Muhammad bin Abdil Wahab.

  Poin kesembilan adalah muslim yang berkeyakinan bahwa sebagian orang boleh keluar dari syariah seperti Nabi Khidir yang keluar dari syariah Nabi Musa, maka dia kafir.[28] Bagi ulama ASWAJA, prinsipnya adalah selagi orang yang melangar syariah Islam itu masih menganggap hukum haram sebagai haram, yang wajib tetap wajib dan perkara halal sebagai halal, maka dia tidak keluar dari Islam walaupun dia berdosa atas ketidaktaatannya tersebut.
Tidak Belajar Agama dan Tidak Mengamalkan

Poin kesepuluh pembatal keislaman versi Wahabi adalah berpaling dari agama Allah dengan tidak mempelajarinya dan tidak mengamalkannya.[29] Ulama Aswaja tidak semudah itu mengkafirkan orang yang tidak belajar a
gama. Belajar agama terbagi menjadi dua: a) fardhu ain yang wajib bagi setiap individu muslim; b) fardhu kifayah yang wajib untuk sebagian muslim saja. Ibnu Abdil Bar menjelaskan, “Ulama sepakat bahwa hukum mempelajari ilmu agama ada dua jenis yaitu fardhu ain dan fardhu kifayah… Termasuk yang fardhu ain adalah ilmu terkait kewajiban yang diwajibkan syariah seperti … shalat lima waktu itu wajib dan wajib memiliki ilmu tentangnya dan tentang perkara yang berkaitan dengan shalat. Dan bahwa puasa Ramadhan itu wajib dan wajib memiliki ilmu tentangnya dan yang berkaitan dengannya .. sampai pada perkara yang wajib diketahui secara global seperti haramnya zina, riba, khamar (alkohol), babi, bangkai, najis, ghasab, suap, persaksian palsu, memakan harta orang lain, .. haramnya membunuh sesama muslim tanpa hak dan lain-lain perka yang disebut dalam Quran dan Sunnah dan menjadi ijmak ulama.”[30]

  Sedangkan ilmu yang fardhu kifayah adalah meliputi mempelajari ilmu agama secara mendalam dan ilmu duniawi yang bermanfaat bagi manusia seperti ilmu kedokteran, matematika, biologi, kimia, fisika, komputer, dan lain-lain. Al-Jashash dalam menafsiri QS At-Taubah 9:22 menyatakan, “Ayat ini menunjukkan wajibnya mencari ilmu dan sifatnya fardhu kifayah karena dalam ayat ini terkandung perintah pada sebagian golongan untuk berangkat menuntut ilmu dan memerintahkan yang lain untuk tinggal di rumah.”[31] Terkait ilmu duniawi yang bermanfaat bagi manusia, Ibnu Muflih menyatakan, “Ibnu Hubairah menuturkan bahwa ilmu matematika, kedokteran, pertanian adalah fardhu kifayah.”[32]

Tentang ilmu agama yang fardhu ain, maka tidak mempelajarinya adalah berdosa. Begitu juga apabila tidak mengamalkannya. Namun, menurut ulama Aswaja, hal itu tidak berakibat kafir, kecuali apabila itu dilakukan dalam bentuk pembangkangan dalam arti menganggap tidak wajib pada perkara fardhu, dan menganggap halal pada perkara yang haram.[33]

  Ideologi Takfiri dan Sikap Toleran Ahlussunnah

Pada akhir doktrinnya tentang 10 pembatal keislaman, Muhammad bin Abdil Wahab menyatakan, “Tidak ada bedanya dalam melakukan kesepuluh pembatal keislaman ini antara bercanda, atau serius atau takut kecual
i orang yang dipaksa. Semuanya termasuk perkara yang paling berbahaya dan sering terjadi. Maka hendaknya muslim berhati-hati.”[34] Kalau nasihat ini bertujuan agar kita berhati-hati dari perkara yang melanggar syariah, maka itu adalah nasihat yang baik. Setiap individu muslim harus berusaha maksimal untuk dapat melaksanakan syariah: menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya.

Namun, apabila hal itu disertai ancaman hukum yang tidak sesuai dengan pandangan mayoritas ulama Ahlussunnah dengan mengeluarkan pelaku pelanggaran dari Islam seperti berakibat bid’ah, syirik, kafir dan murtad, maka sikap ini perlu dikoreksi. Karena, doktrin ini akan mengakibatkan sikap ekstrim penganutnya dalam menilai muslim lain. Inilah yang disebut ideologi takfiri yaitu akidah yang mudah mengafirkan dan menyesatkan sesama muslim; dan bahwa golongan yang benar hanyalah dirinya sendiri. Ideologi takfiri inilah yang digunakan kalangan teroris seperti ISIS dan Al-Qaidah untuk membunuh sesama muslim di Timur Tengah dan berbagai belahan dunia dengan berbagai aksi terorisme.[35] Padahal Allah sudah menegaskan bahwa perbedaan itu adalah hal yang bersifat fitrah[36] dan bahwa sesama muslim itu adalah saudara yang harus saling berbuat baik dan menghormati.[37] Islam bahkan memerintahkan berbuat baik kepada non-muslim yang tidak berbuat zhalim pada kita.[38]


Oleh karena itu, sikap ideal dalam menilai muslim yang lain adalah toleransi sebagaimana pandangan madzhab Hanafi. Menurut Al-Jaziri, kalangan muhaqqiq dari ulama madzhab Hanafi menyatakan: “Tidak boleh mengkafirkan sesama muslim kecuali apabila tidak mungkin mentakwil atau menafsirkan ucapan (dan perbuatan)nya. Apabila seorang muslim mengucapkan suatu kata yang masih mengandung unsur keimanan di satu sisi dan kekufuran di sisi yang lain, maka hendaknya diputuskan masih beriman. Bahkan, apabila seorang muslim mengucapkan suatu kata atau melakukan suatu perbuatan yang secara lahiriah berakibat kafir akan tetapi ada suatu riwayat (hadits) dhaif yang menyatakan dia masih beriman, maka tidak sah mengkafirkannya.”[39]

 
  Sikap madzhab Hanafi di atas selaras dengan hadits riwayat Tirmidzi Nabi bersabda: “Hindari hukuman pada umat Islam sebisa mungkin. Apabila ada jalan keluar maka bebaskan dia. Imam yang salah dalam memberi pengampunan itu lebih baik daripada salah dalam memberi hukuman.”[40] Al-Qari menjelaskan maksud hadits ini menurut ulama madzhab Hanafi adalah: “Apabila ada 99 pendapat yang mengindikasikan kafirnya seorang muslim namun ada satu pendapat yang menyatakan keislamannya maka hendaknya bagi mufti dan hakim untuk mengambil pendapat yang satu tersebut.”[41] Demikian juga bagi kita masyarakat awam agar tidak mudah memberi label BID'AH, SYIRIK, MURAD dan KAFIR pada sesama muslim. Langkah pertama menuju sikap yang toleran ini adalah dengan menjauhi paham Wahabi Salafi dengan semua doktrinnya meliputi tauhid uluhiyah rububiyah, ideologi al-wala wal bara’, dan 10 pembatal keislaman.

  Wahabi mengajarkan perang terhadap semua mazhab Islam, menghapuskan nalar rasional dan tabiat kebenaran melalui pembantaian dan menegakkan kekuasaan kabilah. Hal ini dengan jelas dan tegas terabadikan dalam kitab sucinya kaum Wahabi sbb :
قال الشيخ محم
د بن عبد الوهاب : فا نواقض الإسلام : الثالث : من لم يكفر المشركين أو شك فى كفرهم, أو صحح مذهبهم كفر, وقال شيخ الإ سلام ابن تيمية : من دعل علي بن أبى طالبو فقد كفر ومن شك في كفره فقد كفر
“ Berkata Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam Nawaqidh al-Islam mengatakan : “ Perkara ketiga adalah, barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang-orang musyrik (maksudnya adalah semua kaum muslimin) atau ragu dalam mengkafirkan mereka atau membenarkan madzhab mereka (ahlusunnah dan Syi’ah), maka dia telah kafir “. Berkata Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah : “ Siapa saja yang memanggil-manggil Ali bin Ali Thalib maka dia benar-benar kafir, dan barangsiapa saja yang ragu untuk mengkafirkannya maka dia juga kafir “
قال الشيخ محمد بن عبد الوهاب : انى أدعوكم إلى التوحيد وترك الشرك بالله وجميع ما هو تحت السبع الطباق مشرك على الإطلاق ومن قتل مشركا فله الجنة. من دخل فى دعوتنا فله مالنا وعليه ما علينا ومن لم يدخل معنا فهو كافر حلال الدّم والمال
“ Berkata Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab : “ Sesungguhnya aku mengajak kalian kepada tauhid dan meninggalkan syirik terhadap Allah. Semua yang ada di bawah tujuh lapis langit ini benar-benar musyrik, dan barangsiapa yang membunuh orang-orang musyrik (maksudnya adalah kaum muslimin) maka dia mendapatkan surga. Siapa saja yang masuk ke dalam dakwah kami, maka dia memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kami, dan barangsiapa yang tidak masuk (ke dalam dakwah kami) bersama kami, maka dia kafir, halal nyawa dan hartanya “



1 komentar:

  1. Anda belum baca. Sepuluh pembatal keislaman itu bukan pendapat satu atau dua org ulama. Itu ijma'ulama. Makannya di sana selalu ada kata "kafaro ijmaa'an" artinya siapa yg berkeyakinan seperti itu (dari salah satu poin pembatal keislaman) maka dia kafir menurut ijma'. Dan dalil tentang berpegang teguh pada kebanyakan ijma' ada pada Al-Qur'an dan pastilah kita telah mengetahui nya. Ketika kita meyakini seseorang bermasalah akidahnya tidak serta Merta kita tunjuk hidungnya dan ngarai nya "anda kafir" bukan demikian. Bhkan betapa indahnya mu'aamalah nabi bersama org2 kafir zimmah. Masalah 10 pmbatal keislaman itu i'todiyyah. Dan seorang muslim memang harus teliti dlm urusan aqidahnya. Bhkan sebagian ulama menulis lebih dari 10 pmbatal keislaman . Kita wajib tau demi kemurnian Aqidah kita. Bukan untuk mengkafirkan. Ini keliru. ketika kita melihat saudara kita salah dalam Aqidah maka tugas kita dengan kasih sayang dengan perkataan yg lembut dengan cara yg ma'ruf kita sampaikan ilmunya. Bukan mengkafirkan ini salah. Sekali lagi bukan mengkafirkan. Dan kita jgn terlalu cepat su'uzon sama saudara2 kita yg belajar 10 kaidah itu. Mereka belajar bukan untuk mengkafirkan, tapi untuk diwaspadai. Karna jika Aqidah rusak maka rusak semua amalan.

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.