NU MUHAMMDIYAH BERSATU PAGARI BANGSA DAN UMMAT DARI SEKTE JAHAT WAHABI
Menjaga NKRI dari bahaya aksi terorisme dan radikalisme diperlukan
kebersamaan dan kekuatan umat Islam. Pasalnya, berbagai aksi kekerasan
dan teror yang selalu mengatasnamakan agama tersebut tidak hanya
mengancam keutuhan berbangsa dan bernegara, tapi juga membahayakan bagi
persatuan antar umat Islam.
NU dan Muhammadiyah yang menjadi cikal bakal tumbuh dan berkembangnya Islam di Indonesia, dalam sejarahnya telah terbukti memiliki kontribusi dan peran penting dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Karenanya, dua ormas terbesar di Indonesia tersebut harus bersatu dalam menjaga keutuhan NKRI.
Menyadari hal itu, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah H Syafiq A Mughni mengatakan, NU dan Muhammadiyah adalah satu. Perbedaan keduanya hanya terjadi pada pemahaman, termasuk pada penetapan sumber rujukan hukum.
Ia mencontohkan, Muhammadiyah melandaskan Al-Qur’an dan As-Sunah sebagai rujukan untuk memecahkan sebuah problem sebab ormas yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini menilai kedua pusaka warisan Nabi itu merupakan pedoman hidup.
Muhammadiyah, katanya, memang tidak bermadzhab sebagaimana NU. Tapi, bukan berarti Muhammadiyah antimadzhab. Muhammadiyah sendiri mengangkat nilai toleransi. Menurutnya, warga Muhammadiyah ada pula yang berziarah kubur sebab kembali pada Hadits yang memperbolehkannya.
Syafiq mengungkapkan hal itu dalam seminar nasional Sinergi NU dan Muhammadiyah yang digelar Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia (UII) di Auditorium Kahar Muzakkir, kampus setempat, Yogyakarta, Sabtu lalu (6/2). Hadir pula sebagai pemateri dalam kesempatan itu Mustasyar PBNU KH A Mustofa Bisri (Gus Mus).
Dalam kesempatan yang sama, Mustasyar PBNU KH A Mustofa Bisri atau Gus Mus menilai, ada sejumlah persamaan di antara dua ormas Islam terbesar di Tanah Air, yakni Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Keduanya mampu berhubungan secara sinergis.
Menurutnya, sinergi NU dan Muhammadiyah terlihat setidaknya dalam beberapa hal, di antaranya tradisi pendalaman ilmu Islam, kecintaan terhadap ibu pertiwi (hubbul wathan), dan kuatnya ruhud da’wah (semangat berdakwah).
“NKRI ini tidak lepas dari sejarah NU dan Muhammadiyah, sama seperti kampus UII ini di mana tokoh-tokoh dari NU dan Muhammadiyah diabadikan menjadi nama gedung fakultas di kampus ini, dilatarbelakangi sejarah dari kedua organisasi ini,” ujar Gus Mus.
Kedua ormas itu juga memiliki titik temu pada kedua pendirinya, yakni KH Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama) dan KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) yang belajar pada guru yang sama.
Seminar yang mengangkat tema “Membangun Peradaban Rahmatan lil ‘Alamin” tersebut dihadiri civitas akademik UII, beberapa pengurus lembaga NU dan Muhammadiyah di wilayah DI Yogyakarta dan sekitarnya, serta masyarakat secara umum.
Sumber NU Online
NU dan Muhammadiyah yang menjadi cikal bakal tumbuh dan berkembangnya Islam di Indonesia, dalam sejarahnya telah terbukti memiliki kontribusi dan peran penting dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Karenanya, dua ormas terbesar di Indonesia tersebut harus bersatu dalam menjaga keutuhan NKRI.
Menyadari hal itu, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah H Syafiq A Mughni mengatakan, NU dan Muhammadiyah adalah satu. Perbedaan keduanya hanya terjadi pada pemahaman, termasuk pada penetapan sumber rujukan hukum.
Ia mencontohkan, Muhammadiyah melandaskan Al-Qur’an dan As-Sunah sebagai rujukan untuk memecahkan sebuah problem sebab ormas yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini menilai kedua pusaka warisan Nabi itu merupakan pedoman hidup.
Muhammadiyah, katanya, memang tidak bermadzhab sebagaimana NU. Tapi, bukan berarti Muhammadiyah antimadzhab. Muhammadiyah sendiri mengangkat nilai toleransi. Menurutnya, warga Muhammadiyah ada pula yang berziarah kubur sebab kembali pada Hadits yang memperbolehkannya.
Syafiq mengungkapkan hal itu dalam seminar nasional Sinergi NU dan Muhammadiyah yang digelar Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia (UII) di Auditorium Kahar Muzakkir, kampus setempat, Yogyakarta, Sabtu lalu (6/2). Hadir pula sebagai pemateri dalam kesempatan itu Mustasyar PBNU KH A Mustofa Bisri (Gus Mus).
“Kami membenarkan tradisi NU seperti ziarah kubur dan tahlil. Itu boleh. Kami menyadari bahwa ziarah kubur itu bukan tradisi meminta-meminta kepada orang yang sudah mati dan juga tahlil yang dilakukan oleh orang NU pun bukan serangkaian doa untuk diri sendiri melainkan untuk orang banyak,” lanjut Syafiq.Beberapa Persamaan Muhammadiyah dan NU
Dalam kesempatan yang sama, Mustasyar PBNU KH A Mustofa Bisri atau Gus Mus menilai, ada sejumlah persamaan di antara dua ormas Islam terbesar di Tanah Air, yakni Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Keduanya mampu berhubungan secara sinergis.
Menurutnya, sinergi NU dan Muhammadiyah terlihat setidaknya dalam beberapa hal, di antaranya tradisi pendalaman ilmu Islam, kecintaan terhadap ibu pertiwi (hubbul wathan), dan kuatnya ruhud da’wah (semangat berdakwah).
“NKRI ini tidak lepas dari sejarah NU dan Muhammadiyah, sama seperti kampus UII ini di mana tokoh-tokoh dari NU dan Muhammadiyah diabadikan menjadi nama gedung fakultas di kampus ini, dilatarbelakangi sejarah dari kedua organisasi ini,” ujar Gus Mus.
Kedua ormas itu juga memiliki titik temu pada kedua pendirinya, yakni KH Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama) dan KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) yang belajar pada guru yang sama.
Seminar yang mengangkat tema “Membangun Peradaban Rahmatan lil ‘Alamin” tersebut dihadiri civitas akademik UII, beberapa pengurus lembaga NU dan Muhammadiyah di wilayah DI Yogyakarta dan sekitarnya, serta masyarakat secara umum.
Sumber NU Online
Post a Comment