INDONESIA TIDAK BOLEH BACKUP RUPIAH DENGAN EMAS OLEH IMF
Direktur Dana Moneter Internasional (IMF), Christine Lagarde, memuji
perekonomian Indonesia yang dianggap mampu bertahan dari krisis di
tengah pelemahan rupiah dan pelambatan ekonomi dunia.
Di masa lalu pujian seperti itu mungkin besar artinya mengingat ketergantungan Indonesia pada bantuan IMF, namun apakah Indonesia masih membutuhkan IMF seperti di masa lalu?
Pengamat ekonomi menilai kondisi ekonomi Indonesia jauh lebih baik dibandingkan saat krisis 1998-1999, sehingga tak memerlukan pinjaman dana dari IMF.
Ekonom Bank Mandiri, Andry Asmoro, menjelaskan kondisi ekonomi saat ini relatif sehat untuk menghadapi goncangan ekonomi.
“Sekarang budget kalaupun defisit bertambah, kita masih relatif sehat di bawah rasio yang 3% misalnya, defisit pemerintah pusat saja masih di bawah 2,5 persen, bahkan sekarang mungkin lebih rendah. Kalau kita lihat dari utang luar negeri sekarang, masih aman-aman saja, cadangan devisa masih cukup baik. Cadangan devisa kita masih di atas dari enam bulan impor yang jauh dari level IMF yang cuma tiga bulan impor,” jelas Andry.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga masih diatas 4 persen, dengan inflasi 7,26 persen, jika dibandingkan dengan masa krisis 1998 lalu, ketika pertumbuhan ekonomi Indonesia -13,1 persen sementara inflasi mencapai 82,4 persen.
Andry juga menilai kondisi negara Asia, termasuk Indonesia, relatif kuat dewasa ini.
Hal tersebut terlihat dari sumber pertumbuhan ekonomi dunia itu yang berada di kawasan Asia, dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dialami India, Cina, Filipina dan juga Indonesia.
Menurut Andry, perekonomian Indonesia dan negara-negara Asia itu lebih kuat dibandingkan Eropa seperti Yunani dan juga Brasil.
Indonesia punya sejarah kelam saat berurusan dengan International Monetary Fund (IMF) dua dekade silam.
Kekhawatiran Rizal Ramli soal IMF bukan tanpa alasan. Dia melihat beberapa negara malah terperosok makin dalam.
Sebagai bukti, pasca penandatanganan Leter of Intent antara IMF dengan Presiden Soeharto, IMF segera mengeluarkan aneka kebijakan yang membuat situasi makin buruk.
Saat itu, IMF menyarankan tingkat bunga bank dinaikkan dari 18 persen menjadi 80 persen. Dampaknya, banyak perusahaan langsung bangkrut.
Saran IMF untuk menutup 16 bank juga menuai polemik. Hal ini menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat pada perbankan Indonesia.
Para nasabah ramai-ramai menarik uang simpanan mereka di bank. Pemerintah terpaksa menyuntikkan dana BLBI sebesar USD 80 miliar.
Dari sini, kasus korupsi megatriliunan itu terjadi dan tidak tuntas sampai sekarang. Namun yang paling parah, IMF meminta Indonesia menaikkan harga BBM.
Permintaan itu yang membuat Indonesia makin terpuruk. Kerusuhan terjadi di mana-mana karena pemerintah menaikkan harga BBM hingga 74 persen.
Saat ditelusuri lebih jauh, butir-butir kesepakatan antara Indonesia dengan IMF menunjukkan bahwa kedaulatan ekonomi dan moneter itu lepas dari tangan kita:
Pemerintah diharuskan membuat Undang-Undang Bank Indonesia yang otonom, dan akhirnya pemerintah memang membuat undang-undang yang dimaksud.
Maka lahirlah Undang-undang no 23 tahun 1999 Tentang Bank Indonesia. Yang menarik dan jadi tanda tanya, kenapa untuk membuat UU BI sampai harus IMF yang turun tangan, bukan bangsa Indonesia sendiri?
Ternyata di sini letak jawabannya. Dalam salah satu pasal Articles of Agreement of the IMF (Arcticle V section 1) memang diatur bahwa IMF hanya mau berhubungan dengan bank sentral dari negara anggota.
Karena itu, keberadaan UU BI tentu sejalan dengan kemauan IMF. Dengan Undang-undang ini Bank Indonesia memang akhirnya mendapatkan otonominya yang penuh, tidak ada siapapun yang bisa mempengaruhinya (Pasal 4 ayat 2) termasuk Pemerintah Indonesia.
Tetapi ironisnya justru Bank Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh IMF karena harus tunduk pada Articles of Agreement of the IMF seperti yang diatur antara lain dalam beberapa contoh pasal-pasal berikut :
Article V Section 1, menyatakan bahwa IMF hanya berhubungan dengan bank sentral (atau institusi sejenis, tetapi bukan pemerintah) dari negara anggota.
Article IV Section 2, menyatakan bahwa sebagai anggota IMF Indonesia harus mengikuti aturan IMF dalam hal nilai tukar uangnya, termasuk didalamnya larangan menggunakan emas sebagai patokan nilai tukar.
Article IV Section 3.a., menyatakan bahwa IMF memiliki hak untuk mengawasi kebijakan moneter yang ditempuh oleh anggota, termasuk mengawasi kepatuhan negara anggota terhadap aturan IMF.
Article VIII Section 5, menyatakan bahwa sebagai anggota harus selalu melaporkan ke IMF untuk hal-hal yang menyangkut cadangan emas, produksi emas, expor impor emas, neraca perdagangan internasional dan hal-hal detil lainnya.
Pengaruh IMF terhadap kebijakan-kebijakan Bank Indonesia tersebut tentu memiliki dampak yang sangat luas terhadap Perbankan Indonesia karena seluruh perbankan di Indonesia dikendalikan oleh Bank Indonesia.
Dampak lebih jauh lagi karena perbankan juga menjadi tulang punggung perekonomian, maka perekonomian Indonesiapun tidak bisa lepas dari pengaruh kendali IMF.
Butir-butir sesudah ini hanya menambah panjang daftar bukti yang menunjukkan lepasnya kedaulatan ekononomi itu dari pemimpin negeri ini.
Pemerintah harus membuat perubahan Undang-Undang yang mencabut batasan kepemilikan asing pada bank-bank yang sudah go public.
Inipun sudah dilaksanakan, maka ramai-ramailah pihak asing menguasai perbankan di Indonesia satu demi satu sampai sekarang.
Pemerintah harus menambah saham yang dilepas ke publik dari Badan Usaha Milik Negara, minimal hal ini harus dilakukan untuk perusahaan yang bergerak di telekomunikasi domestik maupun internasional.
Diawali kesepakatan dengan IMF inilah dalam waktu yang kurang dari lima tahun akhirnya kita benar-benar kehilangan perusahaan telekomunikasi kita yang sangat vital yaitu Indosat.
Dari contoh-contoh ini, dengan gamblang kita bisa membaca begitu kentalnya kepentingan korporasi asing besar, pemerintah asing dan institusi asing
yang oleh John Perkins disebut sebagai korporatokrasi yang mendiktekan kepentingan mereka ketika kita dalam posisi yang sangat lemah, yang diawali oleh kehancuran atau penghancuran nilai mata uang Rupiah kita.
Keberadaan IMF di Indonesia adalah mimpi buruk. Jadi, masih mau Indonesia bergantung dengan IMF?
Runtuhnya Stalinisme pada dekade 1990-an memberi peluang bagi gerakan-gerakan kiri revolusioner untuk kembali menyusun kekuatan anti-kapitalisme, dengan isu bersama: perlawanan menentang neoliberalisme. Pertumbuhan pesat gerakan-gerakan kiri di seluruh dunia menyediakan potensi radikalisasi rakyat. Di negara-negara terbelakang, gerakan kiri berjuang menghancurkan militerisme dan peperangan. Di negara-negara industri baru, kekuatan kiri melawan modal internasional. Di negara-negara maju, melakukan aksi-aksi solidaritas internasional dan kembali menggalang kekuatan buruh guna menyerang partai-partai pro-kapitalis. Terlepas dari ideologi kiri dan kanan, yang jelas neoliberalisme harus dilawan dengan berdiri diatas kaki sendiri.
Di masa lalu pujian seperti itu mungkin besar artinya mengingat ketergantungan Indonesia pada bantuan IMF, namun apakah Indonesia masih membutuhkan IMF seperti di masa lalu?
Pengamat ekonomi menilai kondisi ekonomi Indonesia jauh lebih baik dibandingkan saat krisis 1998-1999, sehingga tak memerlukan pinjaman dana dari IMF.
Ekonom Bank Mandiri, Andry Asmoro, menjelaskan kondisi ekonomi saat ini relatif sehat untuk menghadapi goncangan ekonomi.
“Sekarang budget kalaupun defisit bertambah, kita masih relatif sehat di bawah rasio yang 3% misalnya, defisit pemerintah pusat saja masih di bawah 2,5 persen, bahkan sekarang mungkin lebih rendah. Kalau kita lihat dari utang luar negeri sekarang, masih aman-aman saja, cadangan devisa masih cukup baik. Cadangan devisa kita masih di atas dari enam bulan impor yang jauh dari level IMF yang cuma tiga bulan impor,” jelas Andry.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga masih diatas 4 persen, dengan inflasi 7,26 persen, jika dibandingkan dengan masa krisis 1998 lalu, ketika pertumbuhan ekonomi Indonesia -13,1 persen sementara inflasi mencapai 82,4 persen.
Andry juga menilai kondisi negara Asia, termasuk Indonesia, relatif kuat dewasa ini.
Hal tersebut terlihat dari sumber pertumbuhan ekonomi dunia itu yang berada di kawasan Asia, dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dialami India, Cina, Filipina dan juga Indonesia.
Menurut Andry, perekonomian Indonesia dan negara-negara Asia itu lebih kuat dibandingkan Eropa seperti Yunani dan juga Brasil.
Indonesia punya sejarah kelam saat berurusan dengan International Monetary Fund (IMF) dua dekade silam.
Bukannya lepas dari krisis monetar pada tahun 1998 silam,
Indonesia justru mengalami multi krisis yang masih bisa dirasakan sampai
sekarang.
Paling pahit, dampak akibat berurusan dengan IMF, Indonesia mengalami krisis politik dan keamanan.
Jauh
sebelumnya, mantan Menteri Keuangan era Presiden Abdurahman Wahid alias
Gus Dur, Rizal Ramli, sudah mengingatkan, pentingnya Indonesia tidak
bergantung dengan IMF.Kekhawatiran Rizal Ramli soal IMF bukan tanpa alasan. Dia melihat beberapa negara malah terperosok makin dalam.
Sebagai bukti, pasca penandatanganan Leter of Intent antara IMF dengan Presiden Soeharto, IMF segera mengeluarkan aneka kebijakan yang membuat situasi makin buruk.
Saat itu, IMF menyarankan tingkat bunga bank dinaikkan dari 18 persen menjadi 80 persen. Dampaknya, banyak perusahaan langsung bangkrut.
Saran IMF untuk menutup 16 bank juga menuai polemik. Hal ini menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat pada perbankan Indonesia.
Para nasabah ramai-ramai menarik uang simpanan mereka di bank. Pemerintah terpaksa menyuntikkan dana BLBI sebesar USD 80 miliar.
Dari sini, kasus korupsi megatriliunan itu terjadi dan tidak tuntas sampai sekarang. Namun yang paling parah, IMF meminta Indonesia menaikkan harga BBM.
Permintaan itu yang membuat Indonesia makin terpuruk. Kerusuhan terjadi di mana-mana karena pemerintah menaikkan harga BBM hingga 74 persen.
Saat ditelusuri lebih jauh, butir-butir kesepakatan antara Indonesia dengan IMF menunjukkan bahwa kedaulatan ekonomi dan moneter itu lepas dari tangan kita:
Pemerintah diharuskan membuat Undang-Undang Bank Indonesia yang otonom, dan akhirnya pemerintah memang membuat undang-undang yang dimaksud.
Maka lahirlah Undang-undang no 23 tahun 1999 Tentang Bank Indonesia. Yang menarik dan jadi tanda tanya, kenapa untuk membuat UU BI sampai harus IMF yang turun tangan, bukan bangsa Indonesia sendiri?
Ternyata di sini letak jawabannya. Dalam salah satu pasal Articles of Agreement of the IMF (Arcticle V section 1) memang diatur bahwa IMF hanya mau berhubungan dengan bank sentral dari negara anggota.
Karena itu, keberadaan UU BI tentu sejalan dengan kemauan IMF. Dengan Undang-undang ini Bank Indonesia memang akhirnya mendapatkan otonominya yang penuh, tidak ada siapapun yang bisa mempengaruhinya (Pasal 4 ayat 2) termasuk Pemerintah Indonesia.
Tetapi ironisnya justru Bank Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh IMF karena harus tunduk pada Articles of Agreement of the IMF seperti yang diatur antara lain dalam beberapa contoh pasal-pasal berikut :
Article V Section 1, menyatakan bahwa IMF hanya berhubungan dengan bank sentral (atau institusi sejenis, tetapi bukan pemerintah) dari negara anggota.
Article IV Section 2, menyatakan bahwa sebagai anggota IMF Indonesia harus mengikuti aturan IMF dalam hal nilai tukar uangnya, termasuk didalamnya larangan menggunakan emas sebagai patokan nilai tukar.
Article IV Section 3.a., menyatakan bahwa IMF memiliki hak untuk mengawasi kebijakan moneter yang ditempuh oleh anggota, termasuk mengawasi kepatuhan negara anggota terhadap aturan IMF.
Article VIII Section 5, menyatakan bahwa sebagai anggota harus selalu melaporkan ke IMF untuk hal-hal yang menyangkut cadangan emas, produksi emas, expor impor emas, neraca perdagangan internasional dan hal-hal detil lainnya.
Pengaruh IMF terhadap kebijakan-kebijakan Bank Indonesia tersebut tentu memiliki dampak yang sangat luas terhadap Perbankan Indonesia karena seluruh perbankan di Indonesia dikendalikan oleh Bank Indonesia.
Dampak lebih jauh lagi karena perbankan juga menjadi tulang punggung perekonomian, maka perekonomian Indonesiapun tidak bisa lepas dari pengaruh kendali IMF.
Butir-butir sesudah ini hanya menambah panjang daftar bukti yang menunjukkan lepasnya kedaulatan ekononomi itu dari pemimpin negeri ini.
Pemerintah harus membuat perubahan Undang-Undang yang mencabut batasan kepemilikan asing pada bank-bank yang sudah go public.
Inipun sudah dilaksanakan, maka ramai-ramailah pihak asing menguasai perbankan di Indonesia satu demi satu sampai sekarang.
Pemerintah harus menambah saham yang dilepas ke publik dari Badan Usaha Milik Negara, minimal hal ini harus dilakukan untuk perusahaan yang bergerak di telekomunikasi domestik maupun internasional.
Diawali kesepakatan dengan IMF inilah dalam waktu yang kurang dari lima tahun akhirnya kita benar-benar kehilangan perusahaan telekomunikasi kita yang sangat vital yaitu Indosat.
Dari contoh-contoh ini, dengan gamblang kita bisa membaca begitu kentalnya kepentingan korporasi asing besar, pemerintah asing dan institusi asing
yang oleh John Perkins disebut sebagai korporatokrasi yang mendiktekan kepentingan mereka ketika kita dalam posisi yang sangat lemah, yang diawali oleh kehancuran atau penghancuran nilai mata uang Rupiah kita.
Keberadaan IMF di Indonesia adalah mimpi buruk. Jadi, masih mau Indonesia bergantung dengan IMF?
IMF dan Neoliberalisme
Sejarah
IMF bisa dirunut sejak pasca-Perang Dunia II yang memporak-porandakan
perekonomian Eropa. Negara-negara pemenang perang merasa butuh sebuah
lembaga kreditur untuk menalangi dana pemulihan ekonomi. Maka
dibentuklah lembaga Dana Moneter Internasional (IMF) tahun 1945,
dengan ditandatanganinya pasal-pasal di dalam perjanjian yang merupakan
hasil dari Konferensi Bretton Woods tahun 1944 produk kerjasama antara
AS dan Inggris.
Perang Dunia Pertama
(1914-1918) dan Kedua (1938-1945) merupakan cacat terbesar bagi sistem
ekonomi kapitalisme yang mendominasi negara-negara Utara sejak revolusi
borjuis 1684 di Inggris dan 1789 di Perancis. Kapitalisme yang
didasarkan pada perluasan pasar terus-menerus untuk memupuk modal
membawa pada kebijakan imperialisme dan kolonialisme. Asia, Afrika dan
Amerika dikapling-kapling oleh negara-negara kapitalis maju sebagai
tanah jajahan, sumber bahan mentah dan pangsa pasar produk-produk
industri mereka. Perang-perang antar-negara kapitalis berlangsung di
ketiga benua, dan akhirnya merembet ke negeri induknya.
Pasca-Perang
Dunia Pertama, industri-industri di Eropa hancur-lebur. Amerika Serikat
(AS) memanfaatkan peluang tersebut untuk melempar produk-produknya ke
sana. Tetapi karena pondasi ekonomi Eropa sudah mapan, hanya dalam
sepuluh tahun mereka sudah mampu bangkit dari kehancuran. AS terkena
dampaknya. Produk-produk mereka tidak lagi mampu menembus pasar Eropa,
sementara jajahan AS sangat terbatas, tidak seluas negeri-negeri jajahan
Eropa. Terjadilah overproduksi, penumpukan barang di gudang pabrik.
Kelimpahan barang di pasaran AS ini memukul harga saham
perusahaan-perusahaan AS, dan kiamat itu pun terjadi: rontoknya nilai
saham-saham di Bursa Efek AS, terkenal sebagai The Black day (1929),
atau disebut pula Depresi Besar (malaise). Pabrik-pabrik gulung tikar, PHK massal menimpa buruh-buruh AS. Angka pengangguran mencapai 13 juta orang.Untuk mengatasi krisis, pemerintahan Franklin Delano Roosevelt menempuh kebijakan ekonomi terpimpin (New Deal). Target awal Roosevelt adalah menampung korban-korban PHK.
Apa yang dialami oleh Indonesia hampir mirip dengan kejadian-kejadian
di Amerika Latin dan belahan Asia (Korea Selatan, Thailand) pada dekade
70-an dan 80-an. Kehancuran rejim militer membawa negeri-negeri Dunia
Ketiga ke dalam era baru pemerintahan borjuasi sipil. Namun seperti
halnya kediktatoran militer, pemerintahan baru itu pun menggantungkan
legitimasinya bukan kepada rakyat, tetapi kepada lembaga-lembaga donor
internasional (IMF, World Bank, ADB, dll) dan perusahaan-perusahaan
multinasional (MNC/TNC). Inilah fenomena yang dalam literatur kiri
disebut sebagai era neoliberalisme: tatanan baru liberalisme yang pernah muncul pada awal kebangkitan kapitalisme.
Liberalisme
klasik mendasarkan diri pada globalisasi pasar: kapitalis-kapitalis
negara maju bersaing memperebutkan tanah jajahan sebagai sumber bahan
baku dan pangsa pasar industri-industri kapitalis di Eropa, Amerika
Utara dan Jepang. Dan fitrah kapitalisme membawa rakyat di negara-negara
tersebut ke jurang krisis ekonomi dan dua kali perang dunia (perang
perebutan tanah jajahan). Krisis terbesar di Amerika Serikat (terkenal
sebagai Depresi Besar 1929) mengakhiri dominasi liberalisme-klasik,
berganti menjadi kapitalisme-teregulasi (sering pula disebut
“welfare-state”). Di AS, ditandai dengan kebijakan ekonomi terpimpin New
Deal yang ditempuh oleh Presiden Roosevelt. Kapitalisme di
negara-negara maju bergeser menjadi bentuk demokrasi-sosial (social democracy). Partai-partai berhaluan sosial-demokrasi menguasai pemerintahan.
Ekonomi
sosdem memberi peluang bagi rakyat untuk mengorganisir diri, membentuk
serikat-serikat buruh dan petani. Gerakan mahasiswa menjadi semakin
radikal, dan meletus dalam bentuk revolusi-revolusi 1960-an di seluruh
dunia. Modal kapitalis terancam. Maka bermula dari pusat-pusat
penelitian ekonomi di universitas-universitas AS, digulirkan sebuah
bentuk baru liberalisme: ekonomi neoliberal. Naiknya Margaret Tatcher di
Inggris dan Ronald Reagen di AS menjadi kepala pemerintahan mengangkat
kebijakan neoliberal menjadi arah baru, arus utama bagi kebijakan
ekonomi-politik dunia era 1970-an hingga sekarang.
Jika liberalisme klasik terbatas pada globalisasi pasar, maka neoliberalisme lebih mendasarkan diri pada globalisasi modal.
Liberalisme klasik mengenal asosiasi-asosiasi dagang seperti VOC dan
EIC. Neoliberalisme mempunyai jauh lebih banyak lagi
perusahaan-perusahaan seperti itu, dengan jaringan berskala
internasional. Perusahaan minyak Schlumberger tersebar dari Eropa, Asia
hingga Amerika Latin. Neoliberalisme bertumpu pada investasi
modal besar-besaran ke negara-negara berkembang, pemangkasan
subsidi-subsidi sosial, privatisasi BUMN, pembatasan terhadap
organisasi-organisasi rakyat.
Dampak Neoliberalisme terhadap Rakyat
Filsafat liberalisme berintikan pada persaingan bebas.
Asumsinya, kekuatan pelaku-pelaku ekonomi dan politik adalah setara,
sehingga persaingan bebas berarti keuntungan bagi semua pihak. Dalam
kenyataan sehari-hari, setiap orang tidaklah sama, setiap negara tidak
sama kuat. Maka penerapan liberalisme berarti memusnahkan
kelompok-kelompok yang lemah, menciptakan kesenjangan sosial yang lebar.
Krisis demi krisis adalah konsekuensi logis dari sistem ekonomi
liberal. Ketika rakyat miskin harus menderita beban kenaikan
harga-harga, maka kerusuhan sangat mudah terjadi.
Liberalisme
sangat mementingkan bebasnya pasar dari intervensi Negara. Persaingan
bebas berarti setiap pihak harus menjadi pelaku pasar, bukan mengatur
pasar. Maka kedudukan Negara sebagai regulator ditentang habis-habisan
oleh ekonom-ekonom liberal. Negara dianggap sebagai penghalang bagi
pasar, benalu yang harus dikikis, parasit birokrasi yang membuat
pertumbuhan ekonomi berjalan lambat. Pemberian tunjangan sosial kepada
rakyat miskin dianggap menciptakan ketergantungan yang besar terhadap
Negara dan mematikan kreativitas warga negara. Keberadaan
perusahaan-perusahaan milik Negara dituding sebagai distorsi terhadap
pasar bebas sehingga harus diprivatisasi. Peran Negara harus dikurangi
pada tingkat minimal, yaitu mengamankan modal-modal kapitalis dengan
perangkat undang-undang dan aparat represif.
Ekonomi
liberal jelas-jelas mencerminkan kepentingan kelas pemodal, lapisan
borjuasi besar (nasional dan internasional) yang juga menempatkan
orang-orangnya di tubuh parlemen dan eksekutif. Demi lancarnya
investasi, Negara dipaksa untuk melindungi keamanan modal milik
borjuasi. Aksi-aksi buruh dan petani direpresi. Gerakan-gerakan
mahasiswa radikal yang bersentuhan dengan massa rakyat ditindas.
Mari
kita lihat dampak ekonomi neoliberal terhadap rakyat Indonesia.
Kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM dan tarif dasar listrik
diprotes keras oleh mahasiswa dan rakyat. Dasar pemikiran pemerintah
adalah bahwa subsidi BBM dan TDL sangat membebani anggaran Negara
sehingga harus dikurangi. Tetapi pemerintah tidak menyadari bahwa
kenaikan BBM dan TDL berarti kenaikan harga barang-barang kebutuhan
rakyat, menambah beban rakyat.
Usaha
gencar pemerintah memprivatisasi BUMN merupakan langkah yang sejalan
dengan tipe ekonomi neoliberal. Perusahaan-perusahaan yang melayani
publik berubah status menjadi PT, misalnya PT Telkom, PT PLN, PT Pos
Indonesia, PT Kereta Api Indonesia, dll. Dengan alasan meningkatkan
efisiensi, perusahaan-perusahaan yang memberi layanan umum itu
ditawarkan kepada swasta, yang artinya kenaikan tarif yang harus dibayar
oleh rakyat. Tuntutan pengusaha-pengusaha angkutan untuk menaikkan
tarif berarti bertambahnya beban rakyat. Kenaikan tarif angkutan tanpa
disertai peningkatan mutu layanan sama saja merangsang masyarakat
membeli mobil pribadi, yang ujung-ujungnya menimbulkan kemacetan dan
biang pencemaran udara.
Otonomi
kampus merupakan salah satu bentuk neoliberalisme. Perubahan status
perguruan tinggi negeri menjadi BUMN merupakan kamuflase bagi
privatisasi PTN. Dibukanya kampus bagi penanaman modal berarti
pengetatan standar kelulusan mahasiswa. Dampaknya, mahasiswa semakin
dikucilkan dalam tembok kampus untuk bersiap-siap menjadi buruh industri
manufaktur dan jasa.
Atas nama
pasar bebas, pada era pemerintah Habibie membuka keran impor beras
dengan bea masuk 0%. Akibatnya beras impor membanjiri Indonesia, dan
dampaknya dirasakan oleh petani-petani beras: harga beras domestik
jatuh. Demikian pula nasib petani tebu melawan gula impor. Dibukanya
Indonesia sebagai ladang investasi, baik di sektor pertanian, jasa
maupun manufaktur akan berakibat serius bagi rakyat Indonesia. Jaringan
ritel internasional mengalahkan ritel domestik, dan terutama
pedagang-pedagang sektor informal. Pedagang pasar tradisional dan
kakilima kalah bersaing dengan pemodal besar. Industri manufaktur dipacu
untuk memperbaiki mesin-mesinnya, yang berati PHK massal.
Bagaimana Menghentikan Kebijakan Neoliberal?
Kita percaya bahwa perubahan hanya bisa dilakukan oleh rakyat sendiri. Untuk itu diperlukan alat-alat perjuangan yang efektif di semua sektor rakyat.
Mahasiswa dan kaum intelektual berperan sebagai pemasok kesadaran
berorganisasi kepada rakyat, dan menjadi kekuatan pelopor yang tinggi
mobilitasnya. Gerakan mahasiswa dan intelektual harus bersentuhan dengan
rakyat. Mahasiswa dan kaum intelektual harus membantu rakyat membangun
organisasi-organisasi dan melakukan perubahan dan menyatukan
berbagai sektor rakyat dalam aliansi-aliansi multisektor dalam
mengkampanyekan isu bersama menentang bahaya neoliberalisme.
Dengan membentuk aliansi multisektor, maka akan dapat disatukan irisan
berbagai kepentingan massa rakyat. Aliansi multisektor juga merupakan
latihan bagi rakyat untuk menyusun organisasi-sosial baru, pengganti
bagi model demokrasi borjuis yang tidak berpihak kepada rakyat. Aliansi
ini harus melibatkan seluas-luasnya elemen-elemen progresif, termasuk
partai-partai politik yang komitmen dengan sikap anti-neoliberalisme.
Aksi-aksi menentang pertemuan WTO di Seattle (1999) dan IMF di
Washington (2000) merupakan contoh bentuk solidaritas internasional
anti-neoliberalisme.
Mungkinkah
ekonomi neoliberal dilawan? Dan ekonomi seperti apa yang layak
menggantikannya? Kapitalisme, sejak awal ditentang oleh gerakan-gerakan
sosialis. Marx pada abad ke-19 meramalkan keruntuhan kapitalisme, digantikan dengan fase corak produksi sosialis. Lenin
menambahkan peran partai pelopor revolusioner sebagai kekuatan
progresif untuk menghancurkan kapitalisme dan menegakkan tatanan
sosialisme. Tetapi ternyata ramalan Marx meleset, karena dua hal: (1)
Kapitalisme di negara-negara maju ternyata belajar dari krisis-krisis
yang menimpanya, bahkan mengadopsi konsep-konsep sosialisme, seperti
konsep jaring pengaman sosial, beasiswa, BUMN dsb, sehingga kapitalisme
selamat dari keruntuhan total (2) Kegagalan gerakan-gerakan kiri
melancarkan revolusi (pergeseran partai-partai sosialis menjadi
pro-kapitalisme sosdem) dan kejayaan paham Stalinisme di Blok Soviet
yang berdampak buruk bagi gerakan-gerakan kiri yang setia dengan konsep
Marxisme-Leninisme.
Runtuhnya Stalinisme pada dekade 1990-an memberi peluang bagi gerakan-gerakan kiri revolusioner untuk kembali menyusun kekuatan anti-kapitalisme, dengan isu bersama: perlawanan menentang neoliberalisme. Pertumbuhan pesat gerakan-gerakan kiri di seluruh dunia menyediakan potensi radikalisasi rakyat. Di negara-negara terbelakang, gerakan kiri berjuang menghancurkan militerisme dan peperangan. Di negara-negara industri baru, kekuatan kiri melawan modal internasional. Di negara-negara maju, melakukan aksi-aksi solidaritas internasional dan kembali menggalang kekuatan buruh guna menyerang partai-partai pro-kapitalis. Terlepas dari ideologi kiri dan kanan, yang jelas neoliberalisme harus dilawan dengan berdiri diatas kaki sendiri.
Post a Comment