Jebakan Letter of Intent IMF
Lawatan Direktur Pelaksana IMF, Rodrigo de Rato Figaredo, ke Indonesia
beberapa waktu lalu, menyisakan keputusan penting dari pemerintah
Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menyatakan, tidak lagi
berutang kepada IMF dan menyatakan posisi sebagai equal partner.
Selain itu, presiden juga mengeluarkan satu kebijakan penting yakni,
membubarkan forum Consultative Groups for Indonesia (CGI) sebagai
komitmen untuk kemandirian ekonomi bangsa. Sekaligus, mengungkapkan
keinginan untuk mengurangi beban utang dan mencari alternatif pembiayaan
pembangunan di luar utang luar negeri.
Keputusan ini, oleh banyak kalangan, dinilai cukup mengejutkan. Mengingat prestasi kebijakan pemerintahan SBY-Kalla selama dua tahun, banyak mengekor pada kepentingan asing.
Keputusan mempercepat pelunasan seluruh utang IMF dan membubarkan CGI, sangat tepat secara ekonomi maupun politik. Berdasar pengalaman, utang IMF yang disertai berbagai kebijakan yang tertuang dalam Letter of Intent, telah menjerumuskan Indonesia ke dalam arus liberalisasi ekonomi yang menjajah dan memiskinkan rakyat. Kondisi tersebut, tercermin dari peningkatan kebangkrutan usaha, kehancuran perbankan nasional, peningkatan pengangguran, serta peningkatan beban utang dalam dan luar negeri dalam selama lima tahun terakhir. Tambahan beban utang dalam dan luar negeri, meningkat menjadi dua kalinya. Kewajiban utang dalam negeri dari semula nol rupiah menjadi Rp 650 triliun (US$ 72 miliar), merupakan bom waktu yang akan menghancurkan perekonomian nasional.
Demikian pula peran CGI di Indonesia. Sejak lama, forum kreditor ini telah sangat dalam mengintervensi kebijakan ekonomi dan politik di Indonesia. Kehadiran Consultative Group on Indonesia (CGI) yang menggantikan Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), telah menjerumuskan Indonesia menjadi negara miskin yang terjebak utang. Kreditur yang tergabung dalam CGI, memberlakukan sejumlah persyaratan untuk memperoleh utang baru yang diajukan pemerintah. Persyaratan ini telah mengambilalih kebijakan anggaran negara (APBN) dan kebijakan strategis lainnya yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak.
Rencana Jahat Mafia Barkeley
Terobosan pembubaran CGI dan percepatan pelunasan utang IMF, sebagai jalan untuk menumbuhkan kemandirian ekonomi, ternyata tidak dikehendaki oleh Mafia Berkeley (MB) di negeri ini. Mereka adalah sekelompok ekonom beraliran neoklasik, yang berpengaruh besar dalam menentukan arah, strategi, dan kebijakan ekonomi negara selama hampir 41 tahun. Besarnya pengaruh itu nyaris tanpa henti, dari 1966-2007. Dalam sejarahnya, kelompok MB ini dipersiapkan secara sistematis oleh kekuatan luar Indonesia, selama sepuluh tahun sebelum berkuasa (1956-1965). Pembangunan kapasitas intelektual serta jaringan kerjanya, merupakan bagian dari strategi perang dingin menghadapi kekuatan progresif dan revolusioner di kawasan Asia. Kelompok ini disebut dengan istilah “Mafia Berkeley,” karena kebanyakan dari generasi pertamanya adalah lulusan Program Khusus di Universitas Berkeley, California, Amerika Serikat. Program ini, dibiayai oleh The Ford Foundation dan The Rockefeller Foundation.
Dalam masa studinya, sebagaimana ditulis David Ransom (Ramparts, Oktober 1970), kelompok ini dicekoki teori-teori ekonomi liberal, yang percaya bahwa ekonomi berorientasi pasar adalah jalan terbaik untuk kemajuan Indonesia. Doktrin ini mengajarkan, Indonesia hanya bisa duduk sejajar dengan negara maju lainnya, jika mengintegrasikan diri ke dalam sistem kapialisme global.
Generasi pertama kelompok MB terdiri dari Sumitro Djojohadikusumo, yang merupakan perintisnya. Berbaris di belakangnya sekitar 40 ekonom, dimana yang paling terkemuka di antaranaya adalah Widjojo Nitisastro, Emil Salim, M. Sadli, Subroto, Sudjatmoko, Barli Halim, Rachmat Saleh, dan Radius Prawiro. Kaderisasi ini berlanjut dengan memberikan kesempatan akademis dan politis bagi generasi selanjutnya seperti, Dorojatun Kuntjoro-Jakti, Budiono, Sri Mulyani Indrawati, Mohamad Chatib Basri, Mohamad Ikhsan, dan Rizal Malaranggeng.
Selain kapasitas akademik, kelompok Mafia Berkeley ini juga memiliki jaringan internasional yang kuat dan luas seperti, USAID, IMF, Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia. Bahkan sumber pembiayaan utama lembaga-lembaga akademik dan penelitian yang dikontrol MB, berasal dari bantuan atau grant lembaga internasional tersebut. Tidak aneh, bila produk hasil penelitian dan rekomendasi kebijakan biasanya sejalan dan sebangun dengan rekomendasi Washington Konsensus/IMF-Bank Dunia, Policy Pappers USAID atau lembaga kreditor internasional lainnya.
Dalam mengawal arah strategis kebijakan ekonomi Indonesia, agar sejalan dengan arahan IMF-Bank Dunia, dan USAID, Mafia Berkeley menyepakati penyusunan Undang-undang atau peraturan pemerintah yang dikaitkan dengan pinjaman utang luar negeri. Dengan mekanisme seperti ini, kepentingan rakyat dan nasional Indonesia diletakkan sebagai sub-ordinasi kepentingan global. Mekanisme pengaitan utang luar negeri dengan penyusunan Undang-undang dan peraturan pemerintah, tak lain adalah bentuk intervensi kepentingan global terhadap kedaulatan ekonomi dan politik Indonesia. Inilah sebabnya, mengapa Mafia Berkeley enggan atau bahkan, menolak mencari alternatif pembiayaan pembangunan di luar utang luar negeri.
Sikap inilah ditunjukkan oleh para kader Mafia Berkeley seperti Menko Ekuin Budiono dan Menkeu Sri Mulyani. Setelah tidak lagi berhubungan dengan CGI, para menteri itu berniat melakukan pembicaraan utang luar negeri dengan negara kreditor secara bilateral (G to G). Mengingat beberapa negara atau lembaga keuangan internasional, seperti JBIC, ADB, Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Islam (IDB), masih memiliki keinginan besar untuk memberi pinjaman pada Indonesia. Termasuk China, yang memberikan tawaran pinjaman. Selain itu, Indonesia bisa mengandalkan Surat Utang Negara (SUN) untuk membiayai defisit anggaran.
Rencana berutang kembali, sebenarnya telah dikemukakan jauh hari oleh para menteri perekonomian ini. Pada pertengahan Desember 2006, pemerintah merencanakan untuk kembali berutang dalam jumlah besar. Pada periode 2006-2009, pemerintah mengusulkan untuk menambah utang sebesar 30-35 miliar dolar AS. Bahkan, dalam pemberitaan terakhir angkanya sudah mencapai 40 miliar dolar AS (Tajuk Media Indonesia, 01 Februari 2007). Itu berarti jauh di atas rata-rata utang per tahun yang sebesar tiga miliar dolar AS. Daftar shopping list tersebut diajukan sejumlah kementerian dan lembaga pemerintah, termasuk pemerintah daerah. Beberapa di antaranya adalah kebutuhan untuk pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) Departemen Pertahanan dan Kepolisian Republik Indonesia, sebesar 4,5 miliar dolar AS, serta kebutuhan investasi PLN 13,3 senilai miliar dolar AS sampai 2009 (Republika, 18 Desember 2006).
Kebijakan tersebut, justru makin menjerumuskan Indonesia ke dalam jebakan utang yang lebih berat. Parahnya lagi, anggaran negara juga harus menanggung beban berat dari SUN, yang masa jatuh temponya pendek dan suku bunganya tinggi. Sikap ini patut dicurigai sebagai agenda jahat atas keputusan pembubaran CGI, yang dimaksudkan untuk menegakkan kedaulatan ekonomi dan politik bangsa Indonesia.
Mengubah Paradigma
Penyelesaian persoalan utang di Indonesia, sangat erat kaitannya dengan ideologi yang melatarbelakangi para pembuat keputusan dalam mengelola perekonomian. Keinginan untuk mandiri hanya menjadi retorika, jika tidak diiringi dengan perubahan haluan ekonomi nasional, dari yang bercorak neoliberal menjadi antineoliberal. Sebab, segala bentuk transaksi utang, terutama yang berasal dari luar negeri, sejatinya dibuat sebagai bentuk transaksi jual-beli yang hanya menguntungkan pembuat keputusan di negara-negara industri maju dan para elit di negara penerima utang. Selain itu, pinjaman luar negeri juga menyangkut bentuk bantuan teknis, yang diarahkan pada perubahan undang-undang, peraturan, dan kebijakan pemerintah. Tujuannya, memudahkan aliran barang dan jasa dari negara-negara pemberi utang ke negara penerima utang. Termasuk melapangkan jalan bagi perusahaan-perusahaan asing yang berasal dari negara pemberi utang, untuk menguasai perekonomian nasional. Singkatnya, utang luar negeri sudah sejak lama digunakan sebagai upaya sistematis pusat-pusat kapitalisme dunia, dalam menjalankan kolonialisme di berbagai negara dunia ketiga.
Sejalan dengan prinsip kemandirian ekonomi, langkah kongkret yang harus dilakukan pemerintah adalah mengoreksi kebijakan yang telah meliberalisasi sektor keuangan seperti, kebijakan rezim devisa bebas dan nilai tukar bebas mengambang. Liberalisasi sektor keuangan ini telah mematikan peran intermediary yang melekat pada institusi keuangan termasuk perbankan. Dampaknya telah mematikan potensi sektor riil domestik dan membuat Indonesia semakin tergantung pada kekuatan ekonomi dan produk asing. Keuangan negara juga semakin terbebani, karena harus menanggung bukan saja bunga obligasi rekap tapi, juga pembayaran bunga surat berharga seperti Seritifikat Bank Indonesia (SBI), Surat Utang Negara (SUN) dan Obligasi Republik Indonesia (ORI). Beban ini semakin berat karena pembayaran utang luar negeri (cicilan pokok dan bunganya), sudah sangat membebani alokasi belanja pemerintah dalam APBN.
Kedaulatan dan kemandirian tersebut, hanya mungkin diperoleh jika pemerintah melakukan penghapusan utang Indonesia, membatalkan segala produk kebijakan yang lahir dari hasil intervensi lembaga-lembaga kreditor, meninjau kembali keanggotaan Indonesia di lembaga-lembaga kreditor, dan mulai memikirkan upaya mencari alternatif pembiayaan pembangunan yang tidak berasal dari utang luar negeri.
Berbagai skema penghapusan utang sudah banyak ditawarkan oleh berbagai kalangan. Salah satunya, membatalkan komitmen utang luar negeri yang belum dicairkan senilai US$203,75 miliar. Pembatalan tersebut berkorelasi dengan penghentian kewajiban pemerintah, untuk membayar biaya komitmen atas utang yang belum dicairkan. Berdasarkan perhitungan Koalisi Anti Utang sampai tahun 2005, jumlah yang belum dicairkan itu mencapai lebih dari US$24 miliar. Jika hal ini dilakukan pemerintah, terdapat peluang yang cukup leluasa untuk merumuskan kebijakan anggaran negara yang menyumbang pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Dan tentunya, dapat merealisasikan upaya kemandirian dalam pembiayaan pembangunan, sebagaimana dikemukakan presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
IMF DAN ROTHSCHILD
Di Bretton Woods, New Hampshire, IMF dan Bank Dunia
(awalnya disebut International Bank for Reconstruction and Development atau
IBRD – nama Bank Dunia baru diadopsi mulai 1975) disetujui dengan keikutsertaan
penuh Amerika Serikat. IMF diberikan kuasa untuk menerbitkan sebuah uang perintah
dunia yang bernama "Special Drawing Rights (Hak Tarik Istimewa) atau
SDR's". Negara-negara anggota pada akhirnya akan ditekan untuk membuat
mata uang mereka sepenuhnya bisa ditukar dengan SRD's.
Keputusan ini, oleh banyak kalangan, dinilai cukup mengejutkan. Mengingat prestasi kebijakan pemerintahan SBY-Kalla selama dua tahun, banyak mengekor pada kepentingan asing.
Keputusan mempercepat pelunasan seluruh utang IMF dan membubarkan CGI, sangat tepat secara ekonomi maupun politik. Berdasar pengalaman, utang IMF yang disertai berbagai kebijakan yang tertuang dalam Letter of Intent, telah menjerumuskan Indonesia ke dalam arus liberalisasi ekonomi yang menjajah dan memiskinkan rakyat. Kondisi tersebut, tercermin dari peningkatan kebangkrutan usaha, kehancuran perbankan nasional, peningkatan pengangguran, serta peningkatan beban utang dalam dan luar negeri dalam selama lima tahun terakhir. Tambahan beban utang dalam dan luar negeri, meningkat menjadi dua kalinya. Kewajiban utang dalam negeri dari semula nol rupiah menjadi Rp 650 triliun (US$ 72 miliar), merupakan bom waktu yang akan menghancurkan perekonomian nasional.
Demikian pula peran CGI di Indonesia. Sejak lama, forum kreditor ini telah sangat dalam mengintervensi kebijakan ekonomi dan politik di Indonesia. Kehadiran Consultative Group on Indonesia (CGI) yang menggantikan Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), telah menjerumuskan Indonesia menjadi negara miskin yang terjebak utang. Kreditur yang tergabung dalam CGI, memberlakukan sejumlah persyaratan untuk memperoleh utang baru yang diajukan pemerintah. Persyaratan ini telah mengambilalih kebijakan anggaran negara (APBN) dan kebijakan strategis lainnya yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak.
Rencana Jahat Mafia Barkeley
Terobosan pembubaran CGI dan percepatan pelunasan utang IMF, sebagai jalan untuk menumbuhkan kemandirian ekonomi, ternyata tidak dikehendaki oleh Mafia Berkeley (MB) di negeri ini. Mereka adalah sekelompok ekonom beraliran neoklasik, yang berpengaruh besar dalam menentukan arah, strategi, dan kebijakan ekonomi negara selama hampir 41 tahun. Besarnya pengaruh itu nyaris tanpa henti, dari 1966-2007. Dalam sejarahnya, kelompok MB ini dipersiapkan secara sistematis oleh kekuatan luar Indonesia, selama sepuluh tahun sebelum berkuasa (1956-1965). Pembangunan kapasitas intelektual serta jaringan kerjanya, merupakan bagian dari strategi perang dingin menghadapi kekuatan progresif dan revolusioner di kawasan Asia. Kelompok ini disebut dengan istilah “Mafia Berkeley,” karena kebanyakan dari generasi pertamanya adalah lulusan Program Khusus di Universitas Berkeley, California, Amerika Serikat. Program ini, dibiayai oleh The Ford Foundation dan The Rockefeller Foundation.
Dalam masa studinya, sebagaimana ditulis David Ransom (Ramparts, Oktober 1970), kelompok ini dicekoki teori-teori ekonomi liberal, yang percaya bahwa ekonomi berorientasi pasar adalah jalan terbaik untuk kemajuan Indonesia. Doktrin ini mengajarkan, Indonesia hanya bisa duduk sejajar dengan negara maju lainnya, jika mengintegrasikan diri ke dalam sistem kapialisme global.
Generasi pertama kelompok MB terdiri dari Sumitro Djojohadikusumo, yang merupakan perintisnya. Berbaris di belakangnya sekitar 40 ekonom, dimana yang paling terkemuka di antaranaya adalah Widjojo Nitisastro, Emil Salim, M. Sadli, Subroto, Sudjatmoko, Barli Halim, Rachmat Saleh, dan Radius Prawiro. Kaderisasi ini berlanjut dengan memberikan kesempatan akademis dan politis bagi generasi selanjutnya seperti, Dorojatun Kuntjoro-Jakti, Budiono, Sri Mulyani Indrawati, Mohamad Chatib Basri, Mohamad Ikhsan, dan Rizal Malaranggeng.
Selain kapasitas akademik, kelompok Mafia Berkeley ini juga memiliki jaringan internasional yang kuat dan luas seperti, USAID, IMF, Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia. Bahkan sumber pembiayaan utama lembaga-lembaga akademik dan penelitian yang dikontrol MB, berasal dari bantuan atau grant lembaga internasional tersebut. Tidak aneh, bila produk hasil penelitian dan rekomendasi kebijakan biasanya sejalan dan sebangun dengan rekomendasi Washington Konsensus/IMF-Bank Dunia, Policy Pappers USAID atau lembaga kreditor internasional lainnya.
Dalam mengawal arah strategis kebijakan ekonomi Indonesia, agar sejalan dengan arahan IMF-Bank Dunia, dan USAID, Mafia Berkeley menyepakati penyusunan Undang-undang atau peraturan pemerintah yang dikaitkan dengan pinjaman utang luar negeri. Dengan mekanisme seperti ini, kepentingan rakyat dan nasional Indonesia diletakkan sebagai sub-ordinasi kepentingan global. Mekanisme pengaitan utang luar negeri dengan penyusunan Undang-undang dan peraturan pemerintah, tak lain adalah bentuk intervensi kepentingan global terhadap kedaulatan ekonomi dan politik Indonesia. Inilah sebabnya, mengapa Mafia Berkeley enggan atau bahkan, menolak mencari alternatif pembiayaan pembangunan di luar utang luar negeri.
Sikap inilah ditunjukkan oleh para kader Mafia Berkeley seperti Menko Ekuin Budiono dan Menkeu Sri Mulyani. Setelah tidak lagi berhubungan dengan CGI, para menteri itu berniat melakukan pembicaraan utang luar negeri dengan negara kreditor secara bilateral (G to G). Mengingat beberapa negara atau lembaga keuangan internasional, seperti JBIC, ADB, Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Islam (IDB), masih memiliki keinginan besar untuk memberi pinjaman pada Indonesia. Termasuk China, yang memberikan tawaran pinjaman. Selain itu, Indonesia bisa mengandalkan Surat Utang Negara (SUN) untuk membiayai defisit anggaran.
Rencana berutang kembali, sebenarnya telah dikemukakan jauh hari oleh para menteri perekonomian ini. Pada pertengahan Desember 2006, pemerintah merencanakan untuk kembali berutang dalam jumlah besar. Pada periode 2006-2009, pemerintah mengusulkan untuk menambah utang sebesar 30-35 miliar dolar AS. Bahkan, dalam pemberitaan terakhir angkanya sudah mencapai 40 miliar dolar AS (Tajuk Media Indonesia, 01 Februari 2007). Itu berarti jauh di atas rata-rata utang per tahun yang sebesar tiga miliar dolar AS. Daftar shopping list tersebut diajukan sejumlah kementerian dan lembaga pemerintah, termasuk pemerintah daerah. Beberapa di antaranya adalah kebutuhan untuk pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) Departemen Pertahanan dan Kepolisian Republik Indonesia, sebesar 4,5 miliar dolar AS, serta kebutuhan investasi PLN 13,3 senilai miliar dolar AS sampai 2009 (Republika, 18 Desember 2006).
Kebijakan tersebut, justru makin menjerumuskan Indonesia ke dalam jebakan utang yang lebih berat. Parahnya lagi, anggaran negara juga harus menanggung beban berat dari SUN, yang masa jatuh temponya pendek dan suku bunganya tinggi. Sikap ini patut dicurigai sebagai agenda jahat atas keputusan pembubaran CGI, yang dimaksudkan untuk menegakkan kedaulatan ekonomi dan politik bangsa Indonesia.
Mengubah Paradigma
Penyelesaian persoalan utang di Indonesia, sangat erat kaitannya dengan ideologi yang melatarbelakangi para pembuat keputusan dalam mengelola perekonomian. Keinginan untuk mandiri hanya menjadi retorika, jika tidak diiringi dengan perubahan haluan ekonomi nasional, dari yang bercorak neoliberal menjadi antineoliberal. Sebab, segala bentuk transaksi utang, terutama yang berasal dari luar negeri, sejatinya dibuat sebagai bentuk transaksi jual-beli yang hanya menguntungkan pembuat keputusan di negara-negara industri maju dan para elit di negara penerima utang. Selain itu, pinjaman luar negeri juga menyangkut bentuk bantuan teknis, yang diarahkan pada perubahan undang-undang, peraturan, dan kebijakan pemerintah. Tujuannya, memudahkan aliran barang dan jasa dari negara-negara pemberi utang ke negara penerima utang. Termasuk melapangkan jalan bagi perusahaan-perusahaan asing yang berasal dari negara pemberi utang, untuk menguasai perekonomian nasional. Singkatnya, utang luar negeri sudah sejak lama digunakan sebagai upaya sistematis pusat-pusat kapitalisme dunia, dalam menjalankan kolonialisme di berbagai negara dunia ketiga.
Sejalan dengan prinsip kemandirian ekonomi, langkah kongkret yang harus dilakukan pemerintah adalah mengoreksi kebijakan yang telah meliberalisasi sektor keuangan seperti, kebijakan rezim devisa bebas dan nilai tukar bebas mengambang. Liberalisasi sektor keuangan ini telah mematikan peran intermediary yang melekat pada institusi keuangan termasuk perbankan. Dampaknya telah mematikan potensi sektor riil domestik dan membuat Indonesia semakin tergantung pada kekuatan ekonomi dan produk asing. Keuangan negara juga semakin terbebani, karena harus menanggung bukan saja bunga obligasi rekap tapi, juga pembayaran bunga surat berharga seperti Seritifikat Bank Indonesia (SBI), Surat Utang Negara (SUN) dan Obligasi Republik Indonesia (ORI). Beban ini semakin berat karena pembayaran utang luar negeri (cicilan pokok dan bunganya), sudah sangat membebani alokasi belanja pemerintah dalam APBN.
Kedaulatan dan kemandirian tersebut, hanya mungkin diperoleh jika pemerintah melakukan penghapusan utang Indonesia, membatalkan segala produk kebijakan yang lahir dari hasil intervensi lembaga-lembaga kreditor, meninjau kembali keanggotaan Indonesia di lembaga-lembaga kreditor, dan mulai memikirkan upaya mencari alternatif pembiayaan pembangunan yang tidak berasal dari utang luar negeri.
Berbagai skema penghapusan utang sudah banyak ditawarkan oleh berbagai kalangan. Salah satunya, membatalkan komitmen utang luar negeri yang belum dicairkan senilai US$203,75 miliar. Pembatalan tersebut berkorelasi dengan penghentian kewajiban pemerintah, untuk membayar biaya komitmen atas utang yang belum dicairkan. Berdasarkan perhitungan Koalisi Anti Utang sampai tahun 2005, jumlah yang belum dicairkan itu mencapai lebih dari US$24 miliar. Jika hal ini dilakukan pemerintah, terdapat peluang yang cukup leluasa untuk merumuskan kebijakan anggaran negara yang menyumbang pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Dan tentunya, dapat merealisasikan upaya kemandirian dalam pembiayaan pembangunan, sebagaimana dikemukakan presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
IMF DAN ROTHSCHILD
"Para bankir-bankir internasional lewat kegiatan
peminjaman modal yang bergerak bebas di bank-bank konvensional benar-benar
telah menghancurkan peradaban manusia di bumi,tempat di mana anak cucu kita
mencari sesuap nasi". Nun jauh di negeri sana, sebuah gelombang kekuatan lahir, yang akan
mencengkeram dunia dari semua sudut. Politk, ekonomi, rekayasa militer, propaganda,
pembunuhan keji, ataupun menghancurkan kehidupan melalui utang-utang perbankan
dan monopoli uang dunia.
Fakta
lainnya adalah saat ini, 90% orang Yahudi di dunia adalah keturunan dari
Khazar, atau yang lebih sering disebut sebagai Yahudi Ashkenazi. Orang-orang
ini berbohong kepada seluruh dunia bahwa tanah Israel adalah tanah leluhur
mereka, padahal kampung halaman sebenarnya dari nenek moyang mereka ada di
Georgia yang terletak 800 mil dari Israel.
Dan apapun cerita yang telah kita dengar, pada saat
masa inilah sejarah kehancuran peradaban manusia pun dimulai.
Zaman kelam ini dimulai tepatnya pada tanggal 23
Februari 1744, ketika seorang pria Yahudi Ashkenazi (orang-orang Yahudi dari
ras Turki-Mongolia yang hidup berabad-abad lalu di Kerajaan Khazaria, yang
diintegrasi ke dalam kekaisaran Rusia), bernama Mayer Amschel Bauer, putera
dari Moses Amschel Bauer, dilahirkan di Frankfurt, Jerman. Pria inilah kemudian
yang akan menurunkan Dinasti Rothschild, kekuatan dinasti uang dan propaganda
anti-semit yang berhasil mendirikan Negara Israel di tanah Palestina.
Mayer Amschel Bauer merubah namanya menjadi Mayer
Amschel Rothschild setelah kembali ke Frankfurt pasca kematian ayahnya. Sebelumnya dia
menetap di Hanover, Jerman, dan bekerja di sebuah bank. Kembalinya Mayer
Amschel Rothschild ke Frankfurt untuk meneruskan usaha ayahnya yang merupakan
seorang peminjam uang (pemberi kredit) dan pemilik sebuah rumah pembukuan.
Pada saat inilah, Mayer Amschel Rothschild mengendalikan pentingnya
"Heksagram Merah" ayahnya yang digantung di atas pintu masuk, yang
melambangkan atau diterjemahkan menjadi angka 666, yang dibawah instruksi
Rothschild akan menjadi bendera Israel sekitar 2 abad kemudian.
Mayer Amschel Rothschild menikah dengan seorang wanita Yahudi Ashkenazi
yang bernama Gutle Schnaper, puteri dari Wolf Solomon Schnaper, seorang
pedagang kenamaan, Dari pernikahanya ini, dia dikarunia 5 anak laki-laki dan 5
anak perempuan.
Yang menarik dari Dinasti Rothschild adalah penetapan
6 hukum keluarga, yang terdapat dalam surat wasiat Mayer Amschel Rothschild
setelah dia meninggal, yaitu:
Jabatan kunci bisnis keluarga dipegang oleh anggota
keluarga. Anggota keluarga laki-laki yang boleh ikut dalam bisnis keluarga.
Keluarga Rothschild akan kawin dengan sepupu-sepupu pertama dan kedua untuk
melestarikan kekayaan keluarga Inventaris publik mengenai tanahnya tidak boleh
dipublikasikan Tidak ada tindakan hukum sehubungan dengan nilai warisan. Putera tertua
dari putera tertua menjadi kepala keluarga, dan hanya bisa diubah setelah
sebagian besar anggota keluarga menyetujui hal lainnya.
Dinasti Rothschild di Amerika
1791: Keluarga Rothschild dapat "mengendalikan uang
suatu negara" lewat Alexander Hamilton (utusan mereka di kabinet George
Washington), ketika mereka mengatur sebuah bank sentral di Amerika Serikat yang
disebut "First Bank of the United States". Bank ini didirikan
dengan sebuah piagam 20 tahun. Kondisi ini jelas berhubungan erat dengan
pernyataan Mayer Amschel Rothschild pada tahun 1790:
"Cuma saya yang menerbitkan dan mengendalikan uang
suatu negara dan saya tidak peduli siapa yang menulis hukumnya".
1811: Setelah 20 tahun, piagam Bank of the United States milik
Keluarga Rothschild kadaluwarsa dan suara yang dipungut di Konggres menentang
pembaruannya. Hal tersebut membuat Nathan Mayer Rothschild (anak ke-4 Mayer
Amschel Rothschild) mengeluarkan ancaman untuk memberi pelajaran kepada
orang-orang Amerika dan membuat status mereka menjadi kolonial lagi.
1812: Dengan didukung oleh uang Rothschild dan perintah
dari Nathan Mayer Rothschild, Inggris menyatakan perang terhadap Amerika
Serikat. Tujuan penyerangan ini untuk membuat Amerika Serikat terlilit utang
yang besar sehingga menyerah kepada Inggris dan piagam Bank of the United
States kembali diperbarui. Namun karena Inggris masih sibuk melawan Napoleon,
mereka tidak bisa mengalahkan Amerika, dan perang pun berakhir pada tahun 1814
dengan Amerika tidak terkalahkan.
1816: Konggres Amerika meluluskan sebuah rancangan
undang-undang yang mengizinkan satu bank sentral yang dikuasai Rothschild, yang
kemudian terkenal dengan sebutan "Second Bank of the United States",
dengan sebuah piagam yang berlaku selama 20 tahun.
Setelah 12 tahun kemudian, Second Bank of the United
States membuat rakyat Amerika muak karena praktek manipulasi ekonomi dengan
meraih keuntungan besar dan merugikan rakyat, sehingga musuh-musuh bank ini
menominasi Senator Andrew Jackson untuk Tennessee agar mencalonkan diri menjadi
presiden.
Sialnya bagi Keluarga Rothschild, Jackson memenangkan
pencalonan presiden dan mulai memecat 2.000 orang dari 11.000 pegawai
Pemerintah Federal, sebagai aksi melawan bank Rothschild.
1832: Perlawanan Presiden Jackson semakin terlihat, Second
Bank of the United States yang dikuasai Rothschild meminta Konggres meluluskan
pembaruan piagam, 4 tahun lebih cepat. Konggres menyetujui usulan tersebut yang
menyebabkan Presiden Jackson memveto rancangan undang-undang tersebut.
Pada bulan Juli tahun yang sama, Presiden Jackson maju
untuk kedua kalinya pada pencalonan presiden Amerika. Di sisi lain, Keluarga
Rothschild yang memusuhinya selama masa kampanye pemilihan presiden,
menghabiskan lebih dari 3.000.000 Dollar untuk membantu Senator Henry Clay dari
Partai Republik untuk mengalahkan Jackson, Meski kemudian, Presiden Jackson
memenangkannya dengan selisih suara yang amat banyak pada November 1832.
Setelah terpilih, Presiden Jackson mulai memindahkan
deposito pemerintah dari Second Bank of the United States ke bank-bank yang
langsung dipimpin oleh bankir-bankir mandiri. Peristiwa ini menjadi sejarah
penting bagi Amerika karena Presiden Jackson adalah satu-satunya Presiden yang
pernah lunas membayar utang, dengan menebus angsuran terakhir utang negara.
1835: Perseteruan antara Presiden Jackson dan Keluarga
Rothschild, mengakibatkan aksi pembunuhan terhadap presiden. Tapi ajaib, kedua
pistol si pembunuh meleset. Belakangan Presiden Jackson mengklaim tahu bahwa
Keluarga Rothschild bertanggung jawab atas usaha pembunuhan tersebut.
Bahkan si pembunuh bayaran, Richard Lawrence, yang
dianggap tidak bersalah dengan alasan gangguan jiwa, belakangan membual bahwa
orang-orang kuat di Eropa yang telah menyewa dia dan berjanji akan
melindunginya kalau dia tertangkap.
1836: Presiden Andrew Jackson berhasil melempar bank
sentral Rothschild keluar dari Amerika, setelah berakhir dan tidak diperbarui
kembali piagam bank tersebut.
Seiring perjalanan waktu, Dinasti Rothschild memiliki
hasrat untuk menguasai kembali Amerika, ditandai dengan perkembangan bisnis
katun antara kaum ningrat Amerika Selatan dan Pabrik katun di Inggris. Katun itu
diangkut dari Amerika ke Perancis dan Inggris dengan kapal-kapal milik
Rothschild.
1860: Keluarga Rothschild juga secara hati-hati memanipulasi
penduduk dengan berkonspirasi dengan politisi-politisi setempat yang mereka
genggam. Hal ini menyebabkan pemisahan diri Carolina Selatan pada Desember
1860. Hanya beberapa minggu kemudian, 6 negara bagian lain bergabung dengan
konspirasi melawan Serikat dan membentuk sebuah negara pecahan
"Confederate States of Amerika (Amerika Sekutu)" dengan Jefferson
Davis sebagai presidennya. Inilah awal dari perseteruan Selatan dan Utara
Amerika, buah dari hasil propaganda Keluarga Rothschild.
1861: Propaganda Dinasti Rothschild terus berlanjut, bahkan
setelah Presiden Abraham Lincoln dilantik. Mereka memberikan pinjaman kepada
Napoleon III Prancis (sepupu Napoleon dari perang Waterloo) sebesar 210 juta
franc untuk merampas Meksiko, lalu memangkalkan pasukan di sepanjang perbatasan
Selatan Amerika Serikat, mengambil keuntungan dari perang saudara Amerika.
Sementara itu, Inggris menyusul dengan menggerakkan 11.000 pasukan ke Kanada
dan menempatkan pasukan mereka di sepanjang perbatasan utara Amerika. Presiden
Lincoln tahu dia berada dalam masalah, bersama Sekretaris Bendahara, Salomon P.
Chase, mereka berangkat ke New York untuk mengajukan pinjaman yang dibutuhkan
untuk mendanai Departemen Pertahanan Amerika.
Keluarga Rothschild kemudian memberikan instruksi kepada bank-bank Amerika
yang dibawah kontrol mereka, untuk menawarkan pinjaman dengan bunga 24 % sampai
26 %. Presiden Lincoln pun menolak ini seperti yang mereka duga dan kembali ke
Washington.
1863: Tsar Rusia, Alexander II (1855-1881), yang juga memiliki
masalah dengan Keluarga Rothschild karena menolak tawaran terus-menerus untuk
mendirikan bank sentral di Rusia, memberikan bantuan tak terduga kepada
Presiden Lincoln.
Sang Tsar membuat perintah, jika Inggris dan Perancis terlibat aktif dan
campur tangan dalam perang saudara Amerika dengan membantu Selatan, Rusia akan
memihak Presiden Lincoln. Lalu Sang Tsar mengirim sebagian dari Armada
Pasifiknya untuk berlabuh di San Fransisco dan sebagian lainnya berlabuh di New
York.
Dalam kurun waktu ini juga, Keluarga Rothschild menggunakan salah seorang
dari keluarga mereka sendiri di Amerika, John D. Rockefeller (salah seorang
Rothschild lewat garis darah perempuan), untuk membentuk bisnis minyak bernama
"Standard Oil" yang pada akhirnya mengalahkan semua pesaingnya.
1865: Tepatnya pada tanggal 14 April, atau setelah 41 hari
setelah pelantikannya yang kedua, Presiden Lincoln ditembak oleh John Wilkes
Booth di Ford's Theater. Dia meninggal akibat lukanya, kurang dari 2 bulan
sebelum perang saudara Amerika berakhir.
Lebih dari 70 tahun kemudian, cucu perempuan Booth
yang bernama Izola Forrester, memberikan bocoran di dalam bukunya tentang
Booth, "This One Mad Act", bahwa Booth dipesan melakukan pembunuhan
ini oleh orang-orang kuat di Eropa (Keluarga Rothschild). Pernyataan ini
dikuatkan oleh seorang Jaksa Kanada bernama Gerald G. Mcgeer yang mengatakan,
bahwa pembunuhan Lincoln dilakukan oleh bankir-bankir internasional (sebutan
untuk Keluarga Rothschild karena setengah kekayaan dunia mereka kuasai dari pusat-pusat
perbankan yang mereka miliki di seluruh dunia).
Menyusul satu masa latihan singkat di Bank London,
Keluarga Rothschild, Jacob Schiff (seorang Rothschild yang lahir di rumah
mereka di Frankfurt) tiba di Amerika pada usia 18 tahun dengan instruksi dan
uang yang diperlukan untuk membeli sebagian usaha rumah perbankan di sana.
Tujuannya adalah:
Mendapatkan kendali sistem uang Amerika dengan mendirikan sebuah bank
sentral. Mencari orang-orang yang akan menjadi antek-antek
"Illuminati" dan mempromosikan mereka ke posisi tinggi di Pemerintah
Federal, Konggres, Mahkamah Agung dan semua badan Federal. Membuat kelompok
minoritas cekcok di seluruh penjuru negeri, khususnya isu perseteruan kaum
kulit putih dan hitam. Membuat gerakan untuk menghancurkan agama di Amerika
Serikat dengan Kristen sebagai sasaran utama
1869: Dalam kaitan persekongkolan ini, menarik untuk dicermati
pernyataan Rabi Reichorn di pemakaman Rabi Besar Simeon Ben-Iudah:
"Berkat kekuatan dahsyat bank-bank internasional
kita, kita telah memaksa orang Kristen berperang tanpa jumlah. Perang punya
nilai istimewa bagi orang Yahudi, karena orang Kristen saling membantai
sehingga ada ruang lebih luas bagi kita orang Yahudi. Perang adalah panen
Yahudi, dan bank-bank Yahudi menjadi gemuk saat orang Kristen berperang. Lebih
dari 100 juta orang Kristen telah tersapu dari muka bumi berkat perang, dan ini
belum berakhir".
1871: Seorang Jenderal Amerika bernama Albert Pike, yang
telah terbujuk ikut "illuminati" oleh Guiseppe Mazzini (seorang
pemimpin revolusioner Italia, yang dipilih oleh "Illuminati" untuk
memimpin program revolusioner mereka di seluruh dunia), menyelesaikan cetak
biru militernya untuk 3 perang dunia dan berbagai macam revolusi di seluruh penjuru
dunia. Perang Dunia Pertama, dipecahkan untuk menghancurkan Tsar di Rusia,
sebagaimana dijanjikan oleh Nathan Mayer Rothschild pada 1815. Perang Dunia
Kedua, digunakan untuk menyulut kontroversi antara Fasisme dan Zionisme politis
dengan penindasan Yahudi di Jerman. Ini adalah unsur terpenting untuk membawa
kebencian terhadap orang-orang Jerman. Dan Perang Dunia Ketiga, dimainkan
dengan menggerakkan kebencian terhadap dunia Muslim demi mengadu dunia Islam
dan Zionis politik.
Albert Pike sendiri adalah Komandan Besar Kedaulatan
untuk Yurisdiksi Selatan Scottish Rite of Freemasonry pada tahun 1859, yang
merupakan Freemason terkuat di Amerika.
1880: Utusan-utusan Rothschild mulai menyulut rangkaian
pembasmian ras di Rusia, Polandia, Bulgaria dan Rumania. Pembasmian-pembasmian
ini mengakibatkan dibantainya ribuan orang Yahudi, menyebabkan sekitar 2 juta
orang melarikan diri ke New York, Chicago, Philadelphia, Boston dan Los
Angeles. Namun, beberapa orang yang dibantu dengan uang Rothschild mulai
bermukim di Palestina.
Alasan-alasan pembantaian-pembantaian ini adalah
menciptakan sebuah basis Yahudi yang besar di Amerika. Lalu mereka dididik
untuk memberikan suara Demokrat. Dan sekitar 20 tahun kemudian, orang-orang
terdepan Rothschild seperti Woodrow Wilson terpilih ke kursi presiden untuk
menjalankan perintah Keluarga Rothschild.
Di Amerika, kekuatan Dinasti Rothschild juga menembus dunia jurnalisme. Ini
tergambar jelas dari pernyataan John Swinton, seorang jurnalis ulung, yang
marah dalam sebuah jamuan makan karena seseorang mengajaknya bersulang untuk
kebebasan pers:
"Saat ini dalam sejarah dunia, di Amerika tidak ada
yang namanya kebebasan pers. Kalian tahu itu dan saya tahu itu. Tidak ada satu
pun di antara kalian yang berani menulis pendapat kalian dengan jujur, dan
kalau kalian melakukannya, kalian sudah tahu bahwa pendapat itu tidak akan
pernah dicetak. Saya dibayar perminggu untuk menjauhkan pendapat jujur saya
dari koran tempat saya bekerja. Kalian juga ada yang dibayar dengan harga
serupa untuk hal-hal seperti itu, dan siapa pun di antara kalian yang dengan
bodohnya menulis pendapat jujur akan terlantar di jalanan mencari pekerjaan
baru. Kalau saya membiarkan pendapat jujur saya muncul di salah satu terbitan
koran saya, sebelum 24 jam pekerjaan saya sudah melayang. Tugas para jurnalis
adalah menghancurkan kebenaran, berdusta sama sekali, menyesatkan, memfitnah,
menjilat kaki dewa kekayaan dan menjual negara dan rasnya demi sesuap nasi
sehari-hari. Kalian tahu itu dan saya tahu itu, dan kebodohan apa ini mengajak
kita bersulang bagi kebebasan pers? Kita adalah alat-alat pengikut orang-orang
kaya di balik panggung. Kita adalah dongkrak, mereka menarik benang lalu kita
menari. Bakat kita, kemungkinan kita, dan hidup kita semua, adalah milik orang
lain. Kita adalah pelacur intelektual".
1907: Seorang Rothschild, Jacob Schiff, kepala Kuhn Loeb
and Co., dalam sebuah pidato kepada Dewan Perniagaan New York, memperingatkan:
"Kalau kami tidak mendapatkan sebuah bank sentral
dengan kendali yang cukup atas sumber kreditnya, negara ini akan mengalami
kepanikan uang yang paling parah dan luas jangkauannya dalam sejarah".
Mendadak Amerika terjebak di tengah-tengah krisis finansial yang dikenal
sebagai "Panik 1907". Krisis tersebut lalu melumatkan kehidupan jutaan
orang Amerika.
1912: George R. Conroy, dalam majalah Truth terbitan Desember,
menggambarkan Jacob Schiff sebagai ahli strategi keuangan. Dia bahu-membahu
bersama Kelurga Harriman, Keluarga Gould dan Keluarga Rockefeller di semua
perusahaan rel kereta api dan telah menjadi kekuatan dominan dalam bisnis rel
kereta api dan kekuatan finansial Amerika.
Jacob Schiff juga mendirikan ADL atau Anti-Demafation League (Liga
Anti-Penistaan) sebagai cabang B'nai n B'rith (didirikan oleh orang-orang
Yahudi di New York City sebagai sebuah kelompok lokal Mason) di Amerika
Serikat. Organisasi ini diciptakan untuk mengidentifikasi orang-orang yang
menentang tindakan-tindakan ilegal orang-orang elit Yahudi atau konspirasi
global Rothschild sebagai "Anti-Semit" dan menentang ras Yahudi
secara keseluruhan.
1913: Tepatnya tanggal 31 Maret, J. P Morgan (penguasa Wall
Street) meninggal. Dia dikira sebagai orang terkaya di Amerika, tapi wasiatnya
mengungkapkan bahwa dia hanya memiliki 19 % perusahaan J. P Morgan. Sedangkan
81 % sisanya dimiliki oleh Keluarga Rothschild.
Pada tahun yang sama, orang-orang Yahudi mendirikan
bank sentral terakhir di Amerika yang masih berdiri sampai sekarang ini, yaitu
"Federal Reserve atau Bank Cadangan Negara", untuk mendapatkan dukungan
dari publik, mereka dengan kurang ajar menyatakan bahwa sebuah bank sentral
yang bisa mengekang inflasi dan depresi. Padahal, bank sentral didirikan untuk
memanipulasi asupan uang untuk menyebabkan inflasi dan depresi.
Penting untuk dicatat, bahwa Federal Raserve atau Bank
Cadangan Negara adalah perusahaan swasta, bukan Federal dan tidak punya
cadangan apapun. Dan diperkirakan bahwa labanya melebihi 150 miliar Dollar
pertahun, tapi Federal Reserve tidak pernah sekalipun dalam sejarah menerbitkan
laporan keuangannya. Beberapa bukti telah tersingkap tentang siapa sebenarnya yang memiliki
Federal Reserve, yaitu bank-bank berikut ini:
Rothschild Bank of London
Warburg Bank of Hamburg
Rothschild Bank of Britain
Lehman Brothers of New York
Lazard Brothers of Paris
Kuhn Loeb Bank of New York
Israel Moses Seif Banks of Italy
Goldman Sachs of New York
Warburg Bank of Amsterdam
Chase Manhattan Bank of New York
Semua ini adalah Bank Rothschild.
1919: Pada tanggal 30 Mei, sebuah pertemuan tambahan dari
"Konferensi Perdamaian Versailles" diadakan di Hotel Majestic di
Paris. Di sana diputuskan bahwa sebuah organisasi akan didirikan untuk
memberikan nasehat (mengendalikan) apa yang dilakukan pemerintah. Lembaga ini
disebut "Institute of International Affairs (Lembaga Urusan
Internasional)", yang akan bermetamorfosis menjadi 2 cabang:
Royal Institute of International Affairs (RIIA) di
Inggris pada tahun 1920, dan Council on Foreign Relations (CFR) di Amerika
Serikat pada tahun 1921
Menariknya, tuan rumah Konferensi Perdamaian
Versailles dan ketua pertemuan tambahan dari konferensi ini adalah Baron Edmond
de Rothschild. Baron Edmond de Rothschild adalah anak termuda dari Jacob
(James) Mayer Rothschild (putera bungsu dari Mayer Amschel Rothschild), hasil
dari pernikahannya dengan dengan kopanakannya sendiri, Betty von Rothschild,
anak perempuan Salomon Mayer Rothschild (Putera ke-3 dari Mayer Amschel
Rothschild).
Di samping itu, munculnya CFR (Council of Foreign
Relations atau Dewan Hubungan Luar Negeri) di Amerika di bawah perintah Jacob
Schiff, yang didirikan oleh orang Yahudi Ashkenazi, yaitu Bernard Baruch dan
Kolonel Edward Mandell House. Keanggotaan CFR pada awalnya sekitar 1.000 orang
di Amerika Serikat. Keanggotaan ini termasuk bos-bos industri di Amerika, semua
bankir internasional berbasis Amerika dan kepala semua yayasan mereka yang
bebas pajak. Pada dasarnya mereka adalah semua orang yang memberikan modal yang
diperlukan bagi siapa pun yang ingin mencalonkan diri untuk kursi Konggres,
Senat atau Presiden.
Tugas pertama CFR adalah mendapatkan kendali pers.
Tugas ini diberikan kepada John D. Rockefeller yang mendirikan sejumlah majalah
berita nasional seperti Life and Time. Rockefeller mendanai Samuel Newhouse
(seorang Yahudi) untuk membeli dan mendirikan secara besar-besaran serentetan
surat kabar di seluruh penjuru negeri. Dia juga mendanai orang Yahudi lainnya,
Eugene Meyer, yang akan membeli banyak penerbitan seperti Washington Post,
Newsweek dan The Weekly Magazine.
Federal Reserve atau Bank Cadangan Negara mengklaim
bahwa mereka akan melindungi negara terhadap inflasi dan depresi. Namun antara
tahun 1929 dan 1933, mereka mengurangi asupan uang sampai 33 %. Bahkan Milton
Friedman, pakar ekonomi pemenang penghargaan nobel, menyatakan hal berikut ini
dalam sebuah wawancara radio pada Januari 1996:
"Federal Reserve jelas menyebabkan depresi besar
yang menyusutkan jumlah uang yang beredar sampai sepertiganya dari 1929 sampai
1933".
Di saat depresi besar ini terjadi, jutaan Dollar Amerika
dihabiskan untuk membangun ulang Jerman akibat kerusakan yang diderita selama
Perang Dunia I, untuk persiapan Keluarga Rothschild berikutnya yaitu Perang
Dunia II.
Menariknya, uang yang dipompakan ke Jerman untuk
membangunnya sebagai persiapan Perang Dunia II masuk ke bank-bank German
Thyssen yang berafiliasi dengan kelompok Harriman yang dikendalikan oleh
Keluarga Rothschild di New York.
Antara tahun 1930 dan 1935, Elizabeth Donnan
menerbitkan bukunya yang terdiri dari 4 jilid, "Document Illustrative of
the History of the Slave Trade to America (Dokumen Bergambar tentang Sejarah
Perdagangan Budak ke Amerika)". Buku ini menunjukkan bahwa orang Yahudi
mendominasi perdagangan budak Afrika ke Amerika dan setidaknya 15 kapal yang
digunakan untuk mengangkut para budak dimiliki oleh Yahudi, beberapa di
antaranya sangat erat berkaitan dengan Keluarga Rothschild. Untuk menipu pihak
berwenang bahwa tidak ada orang Yahudi yang terlibat, mereka sering mengganti
semua kru dan kapten non-Yahudi.
1936: Pada 3 Oktober, seorang pejabat Konggres dari Partai
Republik, Louis T. McFadden, Ketua House Banking and Currency Committee (Komite
Rumah Perbankan dan Mata Uang) diracun sampai mati. Ini adalah usaha pembunuhan
ketiga terhadap dirinya. Sebelumnya dia pernah selamat dari keracunan dan
ditembak dengan senjata api. McFadden adalah pengkritik setia Federal Reserve
dan kelompok kriminal Yahudi yang ada dibaliknya.
Post a Comment