DAVID RANSOM:CATATAN MAFIA BERKELEY CIA DI INDONESIA

“Dunia sudah hampir seluruhnya terkotak-kotak, dan yang tersisa sudah terbagi-bagi, dikuasai, dan diduduki. Membuatku berpikir mengenai bintang-bintang yang kulihat di langit malam, dunia-dunia luas yang tak terjamah. Aku akan mencaplok planet-planet itu kalau bisa, aku seringkali berpikir mengenainya. Hatiku sedih melihat mereka, tapi begitu jauh tak terjangkau” (Cecil Rhodes, Last Will and Testament 1902).

Setelah menerbitkan buku “Confessions of an Economic Hitman” (2004), John Perkins mendapat banyak kunjungan dari berbagai lapisan masyarakat, dan mereka kebanyakan meminta agar Perkins melanjutkan bukunya dengan berbagai keterangan yang jauh lebih jujur dan berani. Salah satunya—seperti yang ditulis John Perkins dalam pengantar “Pengakuan Bandit Ekonomi: Kelanjutan Kisah Petualangannya di Indonesia & Negara Dunia Ketiga” (2007)—meminta dirinya agar memaparkan arti kata “Imperium” dengan sederhana, agar banyak orang terbuka kesadarannya.
Atas permintaan tersebut, John Perkins pun menulis bahwa Imperium adalah negara-bangsa (atau bisa juga korporatokrasi dan oligarkhi kaum korporat) yang mendominasi negara-bangsa lainnya dan menunjukkan satu atau lebih ciri-ciri berikut: (1) Mengeksploitasi sumber daya dari negara yang didominasi, (2) Menguras sumber daya dalam jumlah yang tidak sebanding dengan jumlah penduduknya jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain, (3) Memiliki angkatan militer yang besar untuk menegakkan kebijakannya ketika upaya halus gagal, (4) Menyebarkan bahasa, sastra, seni, dan berbagai aspek budayanya ke seluruh tempat yang berada di bawah pengaruhnya, (5) Menarik pajak bukan hanya dari warganya sendiri, tapi juga dari orang-orang di negara lain, dan (6) Mendorong penggunaan mata uangnya sendiri di negara-negara yang berada di bawah kendalinya.

John Perkins melanjutkan, “Semua ciri imperium global itu ada pada Amerika.” Dengan kata lain, Amerika adalah Imperium Global di masa sekarang, sebagaimana kata ONE dalam One Dollar itu sendiri dapat diplesetkan sebagai Ordo Novus Empirium alias Ordo Imperialisme Baru. Sebagai mantan tim perusak ekonomi, yang diistilahkannya sendiri sebagai “The Economic Hit Men”, John Perkins memang berani mengungkapkan kesaksiannya, meski dengan resiko ia dipecat dari pekerjaannya, jika dewasa ini negara-negara dunia ketiga, alias negara terkebelakang, merupakan jajahan Imperium Amerika, termasuk Indonesia.

Dalam hal ini, jika penguasanya disebut “Empire” atau “Emperor”, maka sistem yang berlaku adalah Imperialisme. Di sini, menurut definisi Wikipedia, sebagai tambahan, Imperialisme ialah sebuah kebijakan di mana sebuah negara besar dapat memegang kendali atau pemerintahan atas daerah lain agar negara itu bisa dipelihara atau berkembang. Sebuah contoh, imperialisme terjadi saat negara-negara itu menaklukkan atau menempati tanah-tanah yang mereka taklukkan.

Sedangkan perkataan Imperialisme itu sendiri muncul pertama kali di Inggris pada akhir abad XIX. Disraeli, Perdana Menteri Inggris, menciptakan politik ekspansif yang bernafsu meluaskan pengaruh kerajaan Inggris hingga ke seluruh dunia. Namun Disraeli mendapat tentangan. Golongan oposisi ini takut kalau-kalau politik Disraeli itu akan menimbulkan beragai krisis internasional. Kaum oposisi ini disebut golongan “Little England” dan golongan Disraeli (bersama Joseph Chamberlain dan Cecil Rhodes) disebut golongan “Empire” atau golongan “Imperialisme”. Timbulnya perkataan imperialis atau imperialisme, mula-mula hanya untuk membeda-bedakan golongan Disraeli dari golongan oposisinya, namun dalam perkembangannya istilah ini meluas hingga seperti yang dikenal sekarang ini.

IMPERARE SEBAGAI MUASAL ISTILAH

Penting diketahui, istilah imperialisme berasal dari kata Latin “imperare” yang artinya “memerintah”. Hak untuk memerintah (imperare) ini disebut “imperium”. Sedangkan orang yang diberi hak itu (diberi imperium) disebut “imperator”. Yang lazimnya diberi imperium itu ialah raja, dan karena itu lambat-laun raja disebut imperator dan kerajaannya (daerah dimana imperiumnya berlaku) disebut imperium.

Nah, pada zaman dahulu kebesaran seorang raja diukur menurut luas daerahnya atau cakupan wilayah yang berada dalam pengaruh dan perintah politik dan kebijakan ekonominya, maka raja suatu negara ingin selalu memperluas kerajaannya dengan merebut negara-negara lain. Tindakan raja yang seperti inilah yang disebut imperialisme oleh orang-orang sekarang, dan kemudian ditambah dengan pengertian-pengertian lain hingga perkataan imperialisme mendapat arti-kata yang kita kenal saat ini.

Dulu, tindakan untuk menguasai suatu wilayah kerajaan selalu menggunakan senjata api atau peperangan. Namun sekarang tidak selalu. Sekarang, penguasaan bisa dilakukan dengan kekuatan ekonomi, kultur, pendidikan, dan ideologi. Dan tentu saja, perang sebagai alat terakhir seperti yang menimpa Irak dan Suriah saat ini, ketika Amerika, Ingris, Israel, Rezim Saud, Turki, Perancis dkk menggunakan ISIS dan kelompok-kelompok pemberontak Suriah untuk membuat kekacauan dan konflik di kawasan tersebut.

DAVID RANSOM DAN MAFIA BERKELEY

Sementara itu, di tahun 70-an, muncul tulisan “Berkeley Mafia and Indonesian Massacre”, di mana yang dimaksud pembunuhan massal ini adalah pembantaian ratusan ribuan (bahkan konon jutaan) anggota PKI (Partai Komunis Indonesia) dan mereka (penduduk sipil) yang dicurigai merupakan simpatisan PKI. Dalam tulisan tersebut juga ada beberapa hal yang diungkapkan oleh David Ransom, yang antara lain “Kronologi penggulingan Soekarno”, yang tidak lain adalah campur tangan Amerika melalui jaringan-jaringan terselubungnya (covert action CIA).
Ini berawal saat munculnya pengakuan kemerdekaan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1950, pengakuan tersebut ternyata mensyaratkan Indonesia untuk menanggung beban utang luar negeri yang dibuat oleh pemerintahan Hindia Belanda. Alhasil, sejak tahun 1950 bangsa Indonesia mewarisi utang Hindia Belanda sebesar US$ 4 Milliar. Dan dengan adanya hutang tersebut, pemerintahan Soekarno tidak bisa lepas dari tekanan pihak pemberi hutang (baca Amerika).

Tekanan tersebut antara lain adalah adanya intervensi saat periode 1950-1956. Yakni saat adanya tekanan dari Amerika Serikat bahwa Indonesia harus mengakui keberadaan pemerintahan Bao Dai di Vietnam. Klimaksnya adalah saat terjadi konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia tahun 1964. Di mana ketika itu Malaysia didukung oleh Inggris. Pemerintahan Soekarno yang saat itu geram, lantas menasionalisasi seluruh perusahaan Inggris di Indonesia. Hal tersebut adalah kali kedua pemerintahan Soekarno melakukan nasionalisasi setelah menasionalisasikan perusahaan milik Belanda tahun 1956.

Rupanya, Amerika turut campur dengan masalah tersebut. Pemerintahan Amerika menuntut bahwa konfrontasi Indonesia dengan Malaysia harus segera diakhiri. Hal tersebut yang lantas menyulut kemarahan Soekarno hingga mengatakan “go to hell with your aid”. Penolakan keras tersebutlah yang membuatnya harus menyerahkan tangkup kepemimpinan Negara pada Soeharto, tepat pada tanggal 11 Maret 1966. Kebijakan politik Amerika dengan misi anti-komunisnya ini telah menjerat bangsa-bangsa dan negeri-negeri lain untuk masuk ke dalam strategi globalnya (liberalisasi dan kapitalisasi yang menguntungkan Amerika).

Langkah-langkah yang dilakukan oleh badan intelijen Amerika Serikat (CIA) telah menyusupi hampir semua badan, lembaga, kekuatan sosial-politik, dan oknum-oknum penting untuk kemudian diperalat oleh Amerika.

Yayasan-yayasan yang menyediakan dana-dana bantuan pendidikan semacam Ford Foundation dan Rockefeller Foundation, yang disamping sering memberi bantuan-bantuan perlengkapan, tenaga-tenaga ahli, juga membiayai pengiriman mahasiswa-mahasiswa di luar negeri adalah merupakan alat, pangkalan (sarang) dan kedok CIA untuk melancarkan operasi-operasinya ke berbagai penjuru dunia. Perguruan-perguruan tinggi semacam Berkeley, Cornell, MIT (Massachusetts Institute of Technology), Havard dan lain-lain telah dijadikan sarang dan dapur CIA untuk mencekokkan ilmu-ilmu liberal (ideologi Amerika) dan meng-amerika-kan para mahasiswa yang datang dari berbagai negeri, serta menggemblengnya menjadi agen dan kaki tangan Amerika (CIA) yang setia.
Kita tahu, dalam liberalisme, yang telah lebih dulu memiliki modal kuat lah yang menguasai arena pasar politik dan ekonomi global melalui korporasi dan MNC-MNC mereka yang mengeruk kekayaan negara lain, contohnya Indonesia.

Bahwa banyak badan-badan pendidikan dan perikemanusiaan sekedar dijadikan kedok semata-mata untuk kepentingan Amerika. Tulisan itu juga menjelaskan mengapa Soekarno mesti digulingkan dan nasionalisme yang dibawanya mesti dihancurkan. Juga, bagaimana kaum Sosialis Kanan/PSI telah berpuluh tahun mengadakan persekongkolan dengan CIA untuk merebut kekuasaan di Indonesia ini dari tangan Soekarno. Bagaimana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia di Jakarta telah dijadikan dapur dan sarang komplotan PSI-CIA dan untuk dari sana pula-lah melancarkan gerilya politik dan subversinya kemana-mana.

Bagaimana bantuan-bantuan ahli dari Amerika seperti Guy Parker, George Kahin, John Howard, Harris, Glassburner, dan kaum Sosialis Kanan/PSI seperti Soemitro Djojohadikusumo, Widjojo Nitisastro, M. Sadli, Emil Salim, Subroto, Barli Halim, dan Soedjatmoko yang populer sebagai kaum teknokrat-ekonom dan berhasil menduduki posisi-posisi penting dalam lembaga-lembaga pemerintahan puncak itu, telah lama “mengadakan permainan bersama yang lihai” bersama dengan kepentingan Amerika.

Singkatnya, tulisan David Ransom itu memberi informasi tentang bagaimana CIA ikut meng-create (menciptakan) Rezim Orde Baru Soeharto demi menggusur Soekarno yang menurut Amerika berbahaya bagi kepentingan (imperialis) Amerika.


SEJARAH KEBIJAKAN EKONOMI OLEH BERKELEY MAFIA

Marilah sekarang kita telusuri bagaimana kronologi atau urut-urutan kejadiannya? Yang saya kemukakan bukan temuan dan pendapat saya, tetapi temuan dan pendapat orang-orang Inggris dan Amerika. Ceriteranya adalah sebagai berikut.

Izinkan saya sekarang mengutip observasi dari seorang wartawan terkemuka berkewarganegaraan Australia yang bermukim di Inggris, yaitu John Pilger yang membuat film dokumenter tentang Indonesia dan juga telah dibukukan dengan judul : “The New Rulers of the World”. Dua orang lainnya adalah Prof. Jeffrey Winters, guru besar di North Western University, Chicago dan Dr. Bradley Simpson yang meraih gelar Ph.D. dengan Prof. Jeffrey Winters sebagai promotornya. Yang satu berkaitan dengan yang lainnya, karena beberapa bagian penting dari buku John Pilger mengutip temuan-temuannya Jeffrey Winters dan Brad Simpson.
Sebelum mengutip hal-hal yang berkaitan dengan Indonesia, saya kutip pendapatnya John Pilger tentang Kartel Internasional dalam penghisapannya terhadap negara-negara miskin.
Saya kutip :
“Dalam dunia ini, yang tidak dilihat oleh bagian terbesar dari kami yang hidup di belahan utara dunia, cara perampokan yang canggih telah memaksa lebih dari sembilan puluh negara masuk ke dalam program penyesuaian struktural sejak tahun delapan puluhan, yang membuat kesenjangan antara kaya dan miskin semakin menjadi lebar. Ini terkenal dengan istilah “nation building” dan “good governance” oleh “empat serangkai” yang mendominasi World Trade Organisation (Amerika Serikat, Eropa, Canada dan Jepang), dan triumvirat Washington (Bank Dunia, IMF dan Departemen Keuangan AS) yang mengendalikan setiap aspek detil dari kebijakan pemerintah di negara-negara berkembang. Kekuasaan mereka diperoleh dari utang yang belum terbayar, yang memaksa negara-negara termiskin membayar $ 100 juta per hari kepada para kreditur barat. Akibatnya adalah sebuah dunia, di mana elit yang lebih sedikit dari satu milyar orang menguasai 80% dari kekayaan seluruh umat manusia.”
Saya ulangi sekali lagi paragraf yang sangat relevan dan krusial, yaitu yang berbunyi :
“Their power derives largely from an unrepayable debt that forces the poorest countres….” atau “Kekuatan negara-negara penghisap didasarkan atas utang besar yang tidak mampu dibayar oleh negara-negara target penghisapan.”
John Pilger mengutip temuan, pernyataan dan wawancara dengan Jeffrey Winters maupun Brad Simpson. Jeffrey Winters dalam bukunya yang berjudul “Power in Motion” dan Brad Simpson dalam disertasinya mempelajari dokumen-dokumen tentang hubungan Indonesia dan dunia Barat yang baru saja menjadi tidak rahasia, karena masa kerahasiaannya menjadi kadaluwarsa.
Saya kutip halaman 37 yang mengatakan :
“Dalam bulan November 1967, menyusul tertangkapnya ‘hadiah terbesar’, hasil tangkapannya dibagi. The Time-Life Corporation mensponsori konferensi istimewa di Jenewa yang dalam waktu tiga hari merancang pengambil-alihan Indonesia. Para pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili : perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel. Di seberang meja adalah orang-orangnya Soeharto yang oleh Rockefeller disebut “ekonoom-ekonoom Indonesia yang top”.
“Di Jenewa, Tim Sultan terkenal dengan sebutan ‘the Berkeley Mafia’, karena beberapa di antaranya pernah menikmati beasiswa dari pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di Universitas California di Berkeley. Mereka datang sebagai peminta-minta yang menyuarakan hal-hal yang diinginkan oleh para majikan yang hadir. Menyodorkan butir-butir yang dijual dari negara dan bangsanya, Sultan menawarkan : …… buruh murah yang melimpah….cadangan besar dari sumber daya alam ….. pasar yang besar.”
Di halaman 39 ditulis :
“Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi, sektor demi sektor. ‘Ini dilakukan dengan cara yang spektakuler’ kata Jeffrey Winters, guru besar pada Northwestern University, Chicago, yang dengan mahasiwanya yang sedang bekerja untuk gelar doktornya, Brad Simpson telah mempelajari dokumen-dokumen konperensi. ‘Mereka membaginya ke dalam lima seksi : pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di kamar lain, perbankan dan keuangan di kamar lain lagi; yang dilakukan oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para investor lainnya. Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling dari satu meja ke meja yang lain, mengatakan : ini yang kami inginkan : ini, ini dan ini, dan mereka pada dasarnya merancang infra struktur hukum untuk berinvestasi di Indonesia. Saya tidak pernah mendengar situasi seperti itu sebelumnya, di mana modal global duduk dengan para wakil dari negara yang diasumsikan sebagai negara berdaulat dan merancang persyaratan buat masuknya investasi mereka ke dalam negaranya sendiri.
Freeport mendapatkan bukit (mountain) dengan tembaga di Papua Barat (Henry Kissinger duduk dalam board). Sebuah konsorsium Eropa mendapat nikel Papua Barat. Sang raksasa Alcoa mendapat bagian terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan-perusahaan Amerika, Jepang dan Perancis mendapat hutan-hutan tropis di Sumatra, Papua Barat dan Kalimantan. Sebuah undang-undang tentang penanaman modal asing yang dengan buru-buru disodorkan kepada Soeharto membuat perampokan ini bebas pajak untuk lima tahun lamanya. Nyata dan secara rahasia, kendali dari ekonomi Indonesia pergi ke Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI), yang anggota-anggota intinya adalah Amerika Serikat, Canada, Eropa, Australia dan, yang terpenting, Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia.”

John Perkins

Benarkah sinyalemen John Pilger, Joseph Stiglits dan masih banyak ekonom AS kenamaan lainnya bahwa utanglah yang dijadikan instrumen untuk mencengkeram Indonesia ?
Dalam rangka ini, izinkankanlah saya mengutip buku yang menggemparkan. Buku ini ditulis oleh John Perkins dengan judul : “The Confessions of an Economic Hitman”, atau “Pengakuan Seorang Perusak Ekonomi”. Buku ini tercantum dalam New York Times bestseller list selama 7 minggu. Saya kutip sambil menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia sebagai berikut.
Halaman 12 :
“Saya hanya mengetahui bahwa penugasan pertama saya di Indonesia, dan saya salah seorang dari sebuah tim yang terdiri dari 11 orang yang dikirim untuk menciptakan cetak biru rencana pembangunan pembangkit listrik buat pulau Jawa.”
Halaman 13 :
“Saya tahu bahwa saya harus menghasilkan model ekonomterik untuk Indonesia dan Jawa. Saya mengetahui bahwa statistik dapat dimanipulasi untuk menghasilkan banyak kesimpulan, termasuk apa yang dikehendaki oleh analis atas dasar statistik yang dibuatnya.”
Halaman 15 :
“Pertama-tama saya harus memberikan pembenaran (justification) untuk memberikan utang yang sangat besar jumlahnya yang akan disalurkan kembali ke MAIN (perusahaan konsutan di mana John Perkins bekerja) dan perusahan-perusahaan Amerika lainnya (seperti Bechtel, Halliburton, Stone & Webster, dan Brown & Root) melalui penjualan proyek-proyek raksasa dalam bidang rekayasa dan konstruksi. Kedua, saya harus membangkrutkan negara yang menerima pinjaman tersebut (tentunya setelah MAIN dan kontraktor Amerika lainnya telah dibayar), agar negara target itu untuk selamanya tercengkeram oleh kreditornya, sehingga negara pengutang (baca : Indonesia) menjadi target yang empuk kalau kami membutuhkan favours, termasuk basis-basis militer, suara di PBB, atau akses pada minyak dan sumber daya alam lainnya.”
Halaman 15-16 :
“Aspek yang harus disembunyikan dari semua proyek tersebut ialah membuat laba sangat besar buat para kontraktor, dan membuat bahagia beberapa gelintir keluarga dari negara-negara penerima utang yang sudah kaya dan berpengaruh di negaranya masing-masing. Dengan demikian ketergantungan keuangan negara penerima utang menjadi permanen sebagai instrumen untuk memperoleh kesetiaan dari pemerintah-pemerintah penerima utang. Maka semakin besar jumlah utang semakin baik. Kenyataan bahwa beban utang yang sangat besar menyengsarakan bagian termiskin dari bangsanya dalam bidang kesehatan, pendidikan dan jasa-jasa sosial lainnya selama berpuluh-puluh tahun tidak perlu masuk dalam pertimbangan.”
Halaman 15 :
“Faktor yang paling menentukan adalah Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Proyek yang memberi kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan PDB harus dimenangkan. Walaupun hanya satu proyek yang harus dimenangkan, saya harus menunjukkan bahwa membangun proyek yang bersangkutan akan membawa manfaat yang unggul pada pertumbuhan PDB.”
Halaman 16 :
“Claudia dan saya mendiskusikan karakteristik dari PDB yang menyesatkan. Misalnya pertumbuhan PDB bisa terjadi walaupun hanya menguntungkan satu orang saja, yaitu yang memiliki perusahaan jasa publik, dengan membebani utang yang sangat berat buat rakyatnya. Yang kaya menjadi semakin kaya dan yang miskin menjadi semakin miskin. Statistik akan mencatatnya sebagai kemajuan ekonomi.”
Halaman 19 :
“Sangat menguntungkan buat para penyusun strategi karena di tahun-tahun enam puluhan terjadi revolusi lainnya, yaitu pemberdayaan perusahaan-perusahaan internasional dan organisasi-organisasi multinasional seperti Bank Dunia dan IMF.”
Bab tiga khusus tentang Indonesia dengan judul : “Indonesia, pelajaran buat Penghancur Ekonomi”.
Halaman 21 :
“Prioritas dari kebijakan luar negeri Amerika Serikat ialah supaya Suharto melayani Washington seperti yang dilakukan oleh Shah Iran. AS juga mengharapkan bahwa Indonesia akan menjadi model buat negara-negara di sekitarnya. Washington mendasarkan sebagian dari strateginya pada asumsi bahwa manfaat yang diperoleh dari Indonesia akan mempunyai dampak positif pada seluruh dunia Islam, terutama di Timur Tengah yang eksplosif. Dan kalau itu tidak cukup, Indonesia mempunyai minyak. Tidak seorangpun yang mengetahui dengan pasti tentang besarnya dan kualitas dari cadangan minyaknya, tetapi para akhli seismologi sangat antusias tentang kemungkinan – kemungkinannya.”
Halaman 28 :
“Akhirnya kepada kami diberikan keanggotaan dari Bandung Golf & Racket Club yang ekslusif, dan kami bekerja dalam kantor cabang Bandung dari Perusahaan Umum Listrik Negara (PLN), perusahaan listrik yang dimiliki oleh pemerintah.”
Dari sanalah John Perkins dengan Tim-nya beroperasi, yang didukung sepenuhnya oleh para anak bangsa yang menjadi pengkhianat terhadap rakyat dan bangsanya sendiri.

Baik John Pilger maupun John Perkins mengemukakan bahwa instrumen terpenting dari kekuatan penjajahan baru adalah penggerojokan utang, seperti yang dapat kita baca dari uraian-uraiannya yang saya kutip di atas.

Untuk itu para teknokrat yang duduk dalam pemerintahan telah berhasil diindoktrinasi dengan dalil-dalil yang sangat tidak lazim dan sangat tidak masuk akal. Selama Orde Baru kebijakan pembangunan didasarkan atas dalil bahwa anggaran pembangunan dari APBN harus sepenuhnya dibiayai dari utang luar negeri yang dsediakan oleh IGII/CGI.

Kemudian utang luar negeri ini dalam APBN disebut pos “Pemasukan Pembangunan” (bukan utang), sehingga APBN yang jelas-jelas defisit disebut berimbang.

Sejak saya kembali di tahun 1970 dari studi dan bekerja di luar negeri untuk memperoleh pengalaman praktis, saya mengemukakan ketidak pahaman saya tentang logika dari dalil-dalil tersebut yang diyakini dan diterapkan oleh para guru besar yang duduk dalam pemerintahan.

Namun semuanya tidak digubris, dan kalau saya tanyakan dalam berbagai kesempatan seminar dan diskusi, saya dilecehkan dengan jawaban-jawaban yang sifatnya membanyol dengan senyum-senyum dewata, yang menganggap anak kecil yang tidak mengetahui apa-apa.

Namun kelompok yang sama atas perintah lembaga-lembaga internasional yang sama pula kini mengenal APBN yang defisit, menerbitkan Surat Utang Negara dalam denominasi rupiah. Lagi-lagi saya tidak habis pikir bagaimana mungkin para doktor dan para guru besar dari universitas yang dianggap paling hebat di Republik ini bisa diombang-ambing logikanya oleh ndoro-ndoro baru, walaupun kita telah lama merdeka dan berdaulat. Inikah yang oleh para filosoof Yunani kuno sudah disebut sebagai the corrupted mind? Jadi apakah kebijakan ekonomi selama Orde Baru didasarkan atas corrupted mind.

Ternyata semua Presiden kecuali Bung Karno tunduk pada para teknokrat yang jelas-jelas didudukkan oleh kartel IMF. Corrupted mind dari para teknokrat ini juga mewujud dalam sikapnya yang tidak peduli siapa presidennya, apakah mereka itu dihormati atau dihina di dalam batinnya, mereka harus selalu menguasai ekonomi. Yang hebat, mereka berhasil dengan gemilang. Hanya dalam era Gus Dur yang sekitar dua tahun itu sajalah yang merupakan perkecualian.

Ketika dalam berbagai kesempatan melakukan refleksi yang juga mengandung kegagalan era Orde Baru, mereka ramai-ramai menyalahkan Dr. BJ Habibie yang digambarkan sebagai seorang Vach Idiot dalam bidang teknologi. Berapa sih yang “dihamburkan” oleh beliau dibandingkan dengan hancur leburnya keuangan negara karena BLBI, Obligasi Rekap, Recovery Rate 15% yang dianggap wajar, beban bunga utang luar negeri, dan sebagainya?

Kelanjutan Struktural dari Konperensi Jenewa November 1967

Pengaruh pada kehidupan nyata dan praktis yang bahkan sudah menjadi kebijakan resmi pemerintah adalah ditiadakannya barang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak.
Apakah ini perkembangan baru-baru ini saja? Tidak. UU no. 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing yang rancangannya disiapkan oleh kelompok David Rockeffeler di Jenewa bersama-sama dengan kelompok yang oleh David Rockeffeler dinamakan Berkeley Mafia masih mengakui adanya cabang-cabang produksi yang dianggap menguasai hajat hidup orang banyak, dan oleh karenanya tidak terbuka bagi modal asing, yaitu yang dirinci dalam pasal 6 ayat 1 sebagai berikut :
a.
pelabuhan-pelabuhan;
b.
produksi, transmisi dan distribusi tenaga listrik untuk umum;
c.
telekomunikasi
d.
pelayaran;
e.
penerbangan;
f.
air minum;
g.
kereta api umum;
h.
pembangkitan tenaga atom;
i.
mass media.

Undang-undang nomor 6 tahun 1968 mengenai Penanaman Modal Dalam Negeri pasal 3 ayat 1 sudah mengizinkan investor asing memasuki cabang-cabang produksi yang jelas disebut “menguasai hajat hidup orang banyak” itu asalkan porsinya modal asing tidak melampaui 49%. Namun ada ketentuan bahwa porsi investor Indonesia yang 51% itu harus ditingkatkan menjadi 75% tidak lebih lambat dari tahun 1974.

Di tahun 1994 terbit peraturan pemerintah nomor 20 dengan pasal 5 ayat 1 yang isinya membolehkan perusahaan asing melakukan kegiatan usaha yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak yaitu pelabuhan, produksi dan transmisi serta distribusi tenaga listrik umum, telekomunikasi, pelayaran, penerbangan, air minum, kereta api umum, pembangkitan tenaga atom dan mass media.”

Pasal 6 ayat 1 mengatakan : “Saham peserta Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) huruf a sekurang-kurangnya 5% (lima perseratus) dari seluruh modal disetor perusahaan pada waktu pendirian.”

Apa artinya ini? Artinya adalah bahwa pasal 6 ayat 1 UU no. 1/1967 mengatakan bahwa perusahaan asing tidak boleh memasuki bidang usaha yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak beserta perinciannya. UU no. 6/1968 pasal 3 ayat 1 mengatakan bahwa kalau di dalam sebuah perusahaan kandungan Indonesianya kurang dari 51%, harus dianggap sebagai perusahaan asing. UU no. 4/1982 melarang asing sama sekali masuk di dalam bidang usaha pers. PP 20/1994 lalu dengan enaknya mengatakan bahwa kalau di dalam perusahaan kandungan Indonesianya adalah 5% sudah dianggap perusahaan Indonesia yang dapat melakukan kegiatan usaha yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak beserta perinciannya. Jadi PP no. 20/1994 menentang UU no. 1/1967, menentang UU no. 6/1968, menentang UU no. 4/1982 dan menentang jiwa pasal 33 UUD 1945.

Dalam aspek lain PP 20/1994 juga menentang UU no. 6/1968 pasal 6 yang berbunyi : ” Waktu berusaha bagi perusahaan asing, baik perusahaan baru maupun lama, dibatasi sebagai berikut :
a.
Dalam bidang perdagangan berakhir pada tanggal 31 Desember 1997;
b.
Dalam bidang industri berakhir pada tanggal 31 Desember 1997;
c.
Dalam bidang-bidang usaha lainnya akan ditentukan lebih lanjut oleh Pemerintah dengan batas waktu antara 10 dan 30 tahun.”

PP no. 20/1994 menentukan bahwa batas antara boleh oleh asing atau tidak adalah kepemilikan oleh pihak Indonesia dengan 5%. Tidak ada lagi pembatasan waktu tentang dikuranginya porsi modal asing.

PENGINGKARAN TERHADAP UUD 1945 YANG SENGAJA DITUANGKAN DALAM BENTUK PELECEHAN DAN PENGHINAAN

Yang saya kemukakan tadi semuanya saya tulis di harian Kompas di tahun 1994 segera setelah ditebitkannya PP no. 20 tahun yang sama. Dalam artikel tersebut saya memberikan komentar sebagai berikut :

Kita disuruh ikut P-4 supaya memahami dan menghayati Pancasila dan UUD 1945. Pemahaman dan penghayatan itu tentunya jiwanya, spiritnya atau itikadnya. Jiwa, spirit dan itikad ini sekarang dihargai dengan 5% keikut sertaan pihak Indonesia.
Saya tulis juga ketika itu bahwa “Yang sangat menyakitkan adalah juga diambilnya rumusan pasal 33 UUD 1945 secara mentah-mentah, yang lalu dikatakan bahwa itu sekarang boleh ada di tangan asing dengan kandungan Indonesia 5%. Jadi seperti menantang atau meremehkan UUD 1945.

Bagaimana Posisinya Hari Ini?

Posisinya per hari ini ialah yang dikumandangkan dalam Infra Struktur Summit ke I di Hotel Shangrilla oleh Menko Perekonomian yang ketika itu dijabat oleh Aburrizal Bakrie. Dalam kesempatan itu diumumkan kepada dunia bahwa di Indonesia sudah tidak ada lagi cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Karena itu, barang dan jasa publik apapun boleh dimiliki, dikuasai dan dikendalikan oleh pemodal swasta. Swasta asing boleh menguasainya 100%. Tidak ada lagi sisa 5% seperti yang tercantum dalam PP nomor 20 tahun 1994. Tidak ada lagi kewajiban pemerintah untuk mengadakannya secara gotong royong melalui instrumen pajak. Semuanya adalah obyek mencari laba oleh swasta yang bersaing dengan mekanisme pasar.

Infra Struktur Summit ke II

Infra Struktur Summit ke II diselenggarakan tidak lama setelah Dr. Boediono diangkat sebagai Menko Perekonomian atas saran dari negara adi kuasa dan lembaga-lembaga internasional.
Dalam Summit tersebut Boediono mengulanginya lagi apa yang telah dikemukakan oleh pendahulunya, Menko Aburizal Bakrie. Tetapi sekarang ditambah dengan menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia sekali-kali tidak akan melakukan perbedaan perlakuan antara perusahaan Indonesia dan Perusahaan asing dalam bidang dan dalam bentuk apapun.

Semuanya didahului dengan mempengaruhi pikiran dan pembentukan opini publik dalam bidang mekanisme pasar, liberalisasi total, swastanisasi total dan globalisasi total yang harus memusnahkan nasionalisme dan patriotisme.

Saya kira dalam hisap menghisap kekayaan, kita praktis sudah habis. Memang elitnya masih enak, banyak orang kaya, tetapi mayoritas sangat besar hidup dalam kondisi yang mirip dengan segobang sehari. Ke mana sisanya yang jelas dan pasti jauh melampaui yang dimiliki oleh orang-orang terkaya Indonesia? Bukankah ke perusahaan-perusahaan yang berkumpul di Jenewa dalam bulan November tahun 1967 dan yang oleh elit bangsa Indonesia dituntun masuk ke Indonesia untuk melakukan yang oleh John Pilger disebut plunder (perampokan).

Kolonialisme Baru

Golongan yang mapan selalu mengemukakan pendiriannya dengan bertanya : Bukankah kehidupan kita sekarang ini makmur dan nyaman? Lihat betapa banyaknya gedung-hedung pencakar langit dengan seluruh isinya yang super mewah, hotel-hotel, restoran-restoran dan toko-toko yang luar biasa gemerlapannya. Apa yang anda keluhkan?

Jawabnya : zaman kolonial dahulu juga ada golongan mapan yang menikmati semuanya ini. Mereka juga berpesta pora setiap malamnya di sociteit yang ekslusif. Tetapi bagian terbesar dari rakyat hidup dalam kemelaratan yang oleh Bung Karno digambarkan sebagai rakyat yang hidup dengan segobang (dua setengah sen) sehari.

Dahulu penjajahnya Belanda yang sampai sekarang menghuni kota Wassenaar yang merupakan simbol dari kekayaan hasil penjajahan. Maka oleh rakyat Belanda kota ini disebut sebagai kotanya oud Indische gasten (mantan tamu-tamu di Hindia Belanda). Simbol kekayaan yang dihisap adalah gedung-gedung sepanjang sungai-sungai buatan yang memenuhi Amsterdam, yang terkenal dengan herenhuizen.

Kalau Belanda dengan kroni-kroninya elit bangsa Indonesia bisa menghisap selama 350 tahun, mengapa lembaga-lembaga internasional, perusahaan-perusahaan raksasa asing beserta kroni-kroninya bangsa Indonesia yang berkuasa tidak dapat menjajah dan menghisap bangsa Indonesia selama ratusan tahun juga? Dan juga dengan bagian terbesar rakyat Indonesia yang maksimal hidup dengan 2 dollar AS sehari? (Definisi Bank Dunia untuk garis kemiskinan).

Kartel Internasional

Dengan apa yang dinamakan globalisasi banyak lembaga-lembaga internasional yang tercipta dan berperan sangat penting buat negara-negara sasaran.

Seperti telah dikatakan tadi instrumen penting yang dipakai untuk menghisap Indonesia dalam peperangan ekonomi atau yang oleh Jenderal Ryamizard Ryakudu dan Seskoad dinamakan “Perang Modern” adalah utang oleh pemerintah, baik luar negeri maupun dalam negeri.
Negara-negara yang memberi utang kepada Indonesia tergabung dalam sebuah organisasi sangat rapi yang bernama CGI. Negara-negara yang sama, tetapi dalam menghadapi Indonesia dalam perundingan penundaan pembayaran cicilan utang pokok dan bunganya yang tidak mampu dibayar ketika jatuh tempo tergabung dalam Paris Club. Negara-negara yang sama juga memberikan utang kepada negara-negara sasaran melalui lembaga-lembaga internasional tanpa dapat diketahui asal usul negaranya, yaitu melalui Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan IMF. Keseluruhannya disatukan sikap dan perilakunya terhadap Indonesia di bawah pimpinan IMF.

Semua lembaga internasional ini melakukan pendiktean kepada Indonesia dalam bidang perumusan kebijakannya. Program IMF yang “dipaksakan” kepada Indonesia melalui apa yang dinamakan Extended Fund Facility atau Letter of Intent. Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia menerbitkan apa yang dinamakan “country strategy report” untuk Indonesia yang isinya penuh dengan kebijakan yang harus dilakukan oleh Indonesia. Kalau semuanya ini digabung menjadi satu dan kita baca dengan teliti, akan menjadi sangat jelas bahwa sudah lama pemerintah Indonesia tidak pernah merumuskan kebijakannya sendiri yang mendasar. Semua aspek penting ditentukan oleh CGI, IMF, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia. Yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia hanyalah kebijakan-kebijakan detil yang sifatnya penjabaran untuk pelaksanaan dari kebijakan-kebijakan dasar yang ditentukan oleh apa yang saya namakan Kartel IMF.

Untuk menjamin kebijakan-kebijakan Kartel IMF, Presiden RI, siapapun orangnya harus mengangkat orang-orang yang ditentukan oleh Kartel IMF menjadi menteri-menteri ekonomi yang strategis. Kalau tidak, semua kroninya akan menjaga supaya menteri-menteri yang tidak masuk dalam kroninya ditekan oleh Presidennya sendiri atau opini publik yang diciptakan untuk menuruti apa saja yang dimaui oleh Kartel IMF, dan Kartel IMF secara blok yang kuat memberikan dukungan sepenuhnya dalam bentuk kebijakan pemberian utangnya kepada Indonesia beserta perlakuan selanjutnya dari utang ini.

PENUTUP

Tulisan ini dimaksud memberikan refleksi tentang kebijakan-kebijakan mendasar di era Soeharto atau yang secara resmi kita kenal dengan Orde Baru. Lakonnya memang berakhir dengan lengsernya Pak Harto.

Namun demikian, tulisan ini memuat gambaran lanjutannya setelah Pak Harto lengser yang disambung dengan zaman yang dinamakan Orde Reformasi yang masih berlangsung.
Mengapa? Karena apa yang berlangsung selama Orde Reformasi tidak dapat terjadi begitu saja. Landasannya telah diletakkan selama Orde Baru, dan sampai sekarangpun para penguasa ekonominya tidak berubah, yaitu para akhli ekonomi dari kelompok dan mashab pikiran yang sama, yang dipilih dan dikendalikan oleh lembaga-lembaga internasional dan perusahaan-perusahaan multinasional raksasa yang sama.

Widjojo Nitisastro dan Ali Wardhana tidak pernah tidak memperoleh Keputusan Presiden, siapapun orangnya sampai sekarang ini, yang mengangkatnya sebagai Penasihat Presiden urusan ekonomi. Dan beliau-beliau sampai saat ini masih berkantor di gedung Departemen Menko Perekonomian dan Departemen Keuangan, yang sejak Orde Baru sudah merupakan benteng kekuatan kolonial pasca Perang Dunia Kedua.
Kalau kolonialisme Belanda diakhiri dengan pemberontakan perjuangan kemerdekaan, apakah Orde Kolonialisme Baru ini akan ada akhirnya, dan apakah kira-kiranya bentuknya kalau akan ada. Juga berapa lamakah Kolonialisme Baru dengan kombinasi baru ini akan bertahan? 350 tahun, atau 100 tahun, atau lebih pendek lagi?

Sejak awal Pak Harto mencanangkan landasan dan tonggak-tonggak kebijakannya yang sangat tegas, padat dan memang merupakan pondasi yang kokoh, yaitu Trilogi Pembangunan.
Salah satu pondasi, dan menurut saya yang terpenting adalah Stabilitas Sosial Politik. Tanpa ketenangan dan kepastian tidak mungkin kita merencanakan dan melakukan apapun.
Namun stabilitas sosial politik saja adalah bangunan kokoh yang belum ada isinya. Karena itu, rumah yang kokoh ini bisa diisi dengan hal-hal yang busuk. Saya khawatir bahwa sejarah akan mencatat era Orde Baru sebagai kehidupan negara bangsa kita yang berlangsung dalam rumah yang kokoh, tetapi kehidupan bernegara dan berbangsa berlangsung dengan menanamkan benih-benih yang sekarang secara sepenuhnya menjadi malapetaka yang membuat kehidupan kita bagaikan tanpa arah, tanpa moral, chaos dan anarki.

Bidang ekonomi telah saya kemukakan dalam tiga buah artikel sebelumnya.
Dalam bidang stabilitas, ciri pokoknya ialah pemerintahan tangan besi yang diktatorial, menanamkan rasa takut dan bersifat represif. Penanganan yang demikian untuk kondisi yang kalut setelah peristiwa dan kerusuhan G-30-S memang sangat dibutuhkan, dan memang terbukti sangat kondusif dan berhasil pada tahap-tahap awalnya.

Buat mereka yang tidak peduli terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara secara keseluruhan, melainkan hanya ingin hidup tenteram, serba kecukupan dan sejahtera, serta tidak mempunyai kebutuhan memperoleh kebebasan menyatakan pendapat dan ikut serta dalam kegiatan-kegiatan penyelenggaraan negara, stabilitas yang demikian dirasa nyaman. Lebih nyaman lagi buat mereka yang sedang memegang kekuasaan. Kenyamanan inilah yang menjadi batu ujian, apakah stabilitas dipakai untuk kepentingan dirinya sendiri (power tends to corrupt) ataukah kekuasaan dihayati sebagai amanah yang harus digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyatnya secara adil dan beradab.

Kalau yang terakhir ini yang menjadi tujuan dari kekuasaan, kita seharusnya segera menyadari bahwa kebebasan yang bertanggung jawab adalah kebutuhan hakiki manusia. Maka pemerintahan tangan besi yang diktatorial dan represif tidak dapat bertahan selama-lamanya. Karena itu, pemerintahan tangan besi dibutuhkan untuk mengembalikan kekalutan pada ketertiban, dan sangat diperlukan guna melakukan pembangunan selama rakyatnya masih belum dapat menggunakan kebebasan secara bertanggung jawab. Sehingga sambil membangun secara perlahan dan terencana rakyat harus dididik, dimatangkan jiwanya dengan maksud memberikan pemahaman bahwa kebebasan tanpa rasa tanggung jawab hanya akan mengakibatkan kekalutan dan anarki.
Yang berlangsung selama Orde Baru ialah kurang atau hampir tiadanya kebijakan pendidikan politik kepada rakyat kita yang tujuannya adalah mendemokrasikan kehidupan berbangsa dan bernegara kita secara bertanggung jawab dan beradab.

Setelah 32 tahun memang ternyata rakyat tidak dapat menahan lebih lama lagi pemerintahan tangan besi yang opresif, sehingga pecahlah gejolak yang mengakibatkan lengsernya Pak Harto.
Dr. BJ Habibie sebagai penerusnya Pak Harto melakukan politik bandul. Dari pemerintahan tangan besi yang otoriter, Presiden Habibie memberlakukan kebijakan politik yang sangat ekstrem bebasnya.
Timor Timur dilepas dalam waktu sangat singkat tanpa memperhitungkan sama sekali reaksi yang dapat ditimbulkan pada para prajurit kita yang mempertaruhkan jiwanya selama 21 tahun, yang menyaksikan rekan-rekannya tewas dicincang dengan cara-cara yang sangat kejam dan biadab dalam pertempurannya melawan Fretillin. Kita tidak membutuhkan pengetahuan psikologi untuk memahami bahwa setelah 21 tahun lamanya disuruh mati-matian, memberikan jiwa raganya mempertahankan Timor Timur, dan lantas mendadak disuruh meninggalkannya supaya menjadi negara merdeka yang lepas dari NKRI, setiap manusia akan sangat gusar yang pelampasiannya bisa mengambil bentuk yang sangat dahsyat.

Inilah yang terjadi dengan Timor Timur, yang sambil menarik diri, sambil melakukan bumi hangus. Tidak ada satupun bangunan yang utuh di Dilli seperti yang dikeluhkan oleh Xanana Gusmao kepada Gus Dur di Istana Merdeka yang saya hadiri. Ketika itu saya berkesempatan menjelaskan kepada Xanana bahwa pembumi-hangusan Timtim sebagai akibat kebijakan yang ekstrem seperti yang dilakukan oleh Habibie atas tekanan PBB sudah diramalkan oleh Ibu Megawati (ketika itu hanya Ketua Umum PDIP, belum Wapres atau Presiden). Ceriteranya adalah sebagai berikut,
Wakil Sekjen PBB yang khusus ditugasi untuk referendum di Timtim, Jamseed Marker selalu mengajak diskusi dengan Ibu Mega yang minta didampingi oleh Laksamana Sukardi dan saya. Demikian juga dengan Menlu Australia Alexander Downer. Ketika ditanya pendapatnya tentang referendum di Timtim beserta jadwal waktunya, Megawati selalu mengingatkan tentang reaksi yang bisa timbul dari para prajurit yang 21 tahun lamanya disuruh mempertahankan Timtim sebagai bagian dari NKRI dengan seluruh jiwa raganya.

Ternyata Megawati benar. Pembumi-hangusan Timtim berlangsung spontan, bukan atas perintah Jenderal Wiranto yang ketika itu menjabat sebagai PANGAB. Beliau sendiri terkejut, taken by surprise oleh pembumi-hangusan Timtim oleh para prajurit kita. Justru Megawati yang bisa merasakan sebelumnya.

Saya kemukakan ini untuk membagi pendapat saya dengan para pembaca tentang kekurangan yang mendasar dari politik stabilisasi era Orde Baru. Kekurangan itu adalah rencana mendemokrasikan secara bertahap. Kekurangan itu adalah jiwa besar yang secara sangat sadar melepaskan kekuasaannya yang absolut secara setahap demi setahap ke arah demokrasi sambil memberikan pendidikan, bahwa kebebasan harus disertai tanggung jawab.
Tidak ada orang yang mengatakan bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara kita dewasa ini, setelah kita memasuki era dan suasana yang dinamakan “reformasi” adalah baik dan nyaman, serta berjalan sebagaimana mestinya seperti yang kita inginkan bersama. Semua pemimpin dipilih secra langsung melalui Pilkada di mana-mana. Setiap 3 hari ada satu Pilkada yang keseluruhannya sampai sekarang telah menelan biaya Rp. 200 trilyun. Kebanyakan Pilkada mengakibatkan perkelahian oleh pihak-pihak yang tidak dapat menerima pemenangnya. Kehidupan bernegara kita menjadi chaos dan anarkis.

Mengapa? Kita ibaratkan rakyat Indonesia adalah puluhan juta per (pegas) yang sangat kuat. Per-per ini ditindas oleh lempengan-lempengan besi yang masing-masing setebal 10 cm. Memberi kelonggaran kepada per-per yang tertindas supaya bisa mekar secara teratur dan terkendali ialah dengan cara mengambil satu lempengan. Dengan demikian, per-per itu bergerak naik, memperoleh ruang setebal 10 cm. Kita saksikan dan rasakan apakah kebebasan yang 10 cm ini sudah bisa dinikmati dengan tanggung jawab yang sepadan. Setelah itu kita ambil satu lempeng lagi, sehingga kebebasannya menjadi 20 cm. Maka ketika kebebasan sudah dianggap memadai, per-per tersebut tetap di tempat masing-masing, tetapi dalam suasana yang bebas dan demokratis.

Yang dilakukan oleh pimpinan bangsa, baik legislatif maupun eksekutifnya ketika memasuki era reformasi ialah dengan sekaligus mengambil seluruh lempengan besi yang menekan dan menindas berpuluh juta per itu, sehingga serta merta puluhan juta per yang tidak lain adalah rakyat Indonesia (atau sebagian dari rakyat yang vokal dan aktif) itu berlompatan ke semua penjuru tanpa arah, tanpa kendali dan tanpa tujuan. Akibatnya yang terjadi adalah chaos dan anarki. Itulah yang sedang kita alami sekarang, dan yang setiap harinya semakin parah.

Ironisnya, dalam situasi dan kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara kita seperti ini, orang mulai mendambakan adanya pemerintahan yang kuat. Dalam berbagai percakapan dan diskusi, yang diartikan dengan pemerintahan yang kuat adalah pemerintahan tangan besi yang otoriter, karena kondisi seperti ini hanya dapat ditertibkan melalui tangan besi terlebih dahulu.

Tetapi elit kita tidak bodoh. Maka sambil mengatakan bahwa kita butuh pemimpin dan sistem pemerintahan yang tangan besi untuk mengembalikan suasana chaos dan anarki ini pada katertiban, sekaligus juga mengatakan bahwa sang diktator yang akan menyelamatkan bangsa ini, dan yang harus mulai dengan tangan besi, haruslah orang yang bisa memahami dan menghayati sejarah dengan maksud belajar dari sejarah. Apa itu?

Jadilah Soeharto, tapi yang sejak awal sudah merencanakan mendemokrasikan kembali secara bertahap, sambil mendidik rakyatnya supaya bisa berdemokrasi secara bertanggung jawab. Dan (ini yang paling penting) yang mengerti bahwa demokrasi tidak universal. Demokrasi sangat terikat dengan latar balakang budaya dan nilai dari setiap bangsa. Bangsa Indonesia tidak akan mungkin dapat mengadopsi demokrasi ala Amerika yang diterapkan oleh National Democratic Institute dan The Ohio Mafia di bawah piminan Prof. Bill Liddle.

Demokrasi Indonesia adalah demokrasi dengan kelembagaan dan sistem yang telah dengan matang direncanakan oleh para founding fathers kita yang para intelektual betulan, bukan pseduo intelektual. Mereka belajar sangat serius berdekade-dekade sebelum Indonesia merdeka. Mereka (terutama Prof. Supomo) sudah sangat lama sebelumnya merenung, mengkombinasikan semua falsafah demokrasi Barat dengan kebudayaan dan nilai-nilai Indonesia yang tertuang dalam UUD 1945.
Maka setelah kesasar sebentar menjadi Negara Federal dan kesasar memberlakukan konstitusi lain, Bung Karno mendekritkan kembali ke UUD 1945 yang asli. Pak Harto memahami hal tersebut dan tetap mempertahankannya.

Sayang seribu sayang bahwa dengan munculnya para pseudo filosoof dan pseudo intelektual yang sangat dangkal, UUD 1945 diobrak-abrik, seperti halnya per-per yang berlompatan ke semua penjuru.
Apa sistem UUD 1945 itu? Esensinya Presiden tidak dipilih secara langsung, tetapi melalui getrapte democratie, yaitu yang memilih MPR. Sebagian dari anggota MPR diplilih secara langsung untuk belajar demokrasi. Tetapi sebagian diseleksi (bukan dipilih) dari kaum profesional yang disebut kelompok-kelompok fungsional (functionele groepen). Sekali lagi, diseleksi secara cermat yang berkualitas, bermoral tinggi dan bijaksana. Sebagian lain adalah wakil-wakil daerah yang mengerti betul kondisi setiap daerah dari Indonesia yang demikian luasnya, dan yang dihormati serta mempunyai wibawa di daerahnya masing-masing.

Dengan demikian perwakilan kita yang akan memilih Presiden terdiri dari kombinasi antara keinginan rakyat (yang melalui pemilu), dan yang diseleksi sebagai de wijze mannen van het volk.
Lantas sistem musyawarah mufakat yang harus diperjuangkan mati-matian. Hanya kalau benar-benar deadlock dengan akibat tanpa keputusan yang bisa mengakibatkan kekosongan yang lantas menjurus pada chaos, maka pemungutan suara baru diberlakukan. Ini telah mentradisi yang dengan terharu saya alami sendiri di tahun 1987 ketika berfungsi sebagai anggota Badan Pekerja MPR. Terharu, betapa Golkar yang bisa memungut suara dan langsung bisa menggilas aspirasinya PDI dan PPP toh tidak mau melakukannya. Golkar menanggapi setiap pendapat dan argumentasinya PDI dan PPP dengan bersungguh-sungguh, berargumentasi dan meyakinkan PDI dan PPP supaya keputusan diambil secara bulat. Mengapa?

Bung Karno mengatakan, apakah 51% yang memenangkan yang 49% dengan perbedaan 2% saja itu sudah kehendak rakyat? Sudahkan itu dianggap sebagai Vox Populi Vox Dei?
Saya sendiri menyaksikan parlemen Inggris yang sedang menduduki mayoritas langsung keluar sidang ngobrol ketika partai minoritas mengajukan usulan beserta argumentasinya. Sama sekali tidak didengarkan. Hanya ketika pemungutan suara, partai mayoritas masuk ruang, menggunakan hak suaranya yang mayoritas untuk menggilas minoritas tanpa mengetahui apa yang dikehendaki minoritas. Sangat mungkin untuk kebaikan seluruh bangsa, termasuk mayoritas itu juga yang adalah anak bangsa. Toh a priori tidak didengar dengan maksud digilas pada waktu pemungutan suara. Inikah demokrasi?

Para founding fathers kita telah mengenali ekses seperti ini jauh sebelum Indonesia merdeka. Parlemen Inggris sudah tidak seperti itu lagi perilakunya sekarang. Namun kesadaran mereka bahwa yang demikian itu bukan demokrasi setelah para founding fathers kita mengenalinya, dan memasukkan ke dalam UUD 1945 cara pengambilan keputusan yang melalui “sistem musyawarah untuk mencapai mufakat yang dibimbing oleh hikmah kebijaksanaan”.
Demikianlah refleksi saya tentang kebijakan politik di era Orde Baru. Mohon dibantah, supaya kita saling asah, asih dan asuh menjadi bangsa yang pandai dan bijaksana.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.