MASON DI YOGYA

Radjiman adalah satu-satunya anggota Freemason berdarah Jawa yang tulisannya dimuat dalam Gedenkboek van de Vrijmetselarij in Nederlandsche Oost Indie 1767-1917 ( Buku Kenang-Kenangan Freemasonry di Hindia Belanda 1767-1917) yang diterbitkan di Semarang, Jawa Tengah, pada 1917.


Berdebat tentang soal paham Pluralisme Agama dengan menggunakan ayat-ayat al-Quran bisa tidak bermanfaat, jika tidak ada satu standar definisi dan metodologis penafsiran yang dipegang bersama. Kaum Pluralis tidak menerima penafsiran ayat-ayat al-Quran sebagaimana yang dilakukan Nabi Muhammad saw, para sahabatnya, dan para mufassir yang mu’tabar (otoritatif). Mereka tidak mengakui otoritas para mufassir dan merasa berhak menafsirkan al-Quran menurut perspektif pluralisme, sebagaimana kalangan feminis, homoseksual, Marxis, dan sebagainya.
Maka, dalam kajian masalah Pluralisme Agama, adalah lebih bermanfaat jika kita menelusuri terlebih dahulu asumsi-asumsi dasar dan akar pemikiran Pluralisme Agama ini. Dengan berbagai rumusan dan legitimasinya, paham ini dibangun di atas dasar asumsi bahwa ‘semua agama adalah benar dan jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan’. Menurut mereka, adalah tidak adil jika Tuhan hanya membenarkan satu agama saja. Tidak ada satu agama yang berhak menyatakan, bahwa hanya agamanya sendiri yang benar dan merupakan satu-satunya jalan keselamatan. Berangkat dari asumsi inilah, maka dicarikan ayat-ayat al-Quran yang dapat mendukung kesimpulan tersebut. Dengan itu, kaum Pluralis Agama sudah menempatkan keadilan Tuhan dalam kerangka persepsinya.

Teosofi
Adalah menarik, sejak ratusan tahun lalu, gagasan ‘pembenaran semua agama’ semacam ini sudah dikembangkan kalangan Freemason, Teosofi, Kristen Liberal, dan menyusul kemudian kalangan yang menamakan dirinya ‘Islam pluralis’. Gagasan yang menyatakan bahwa pada intinya semua agama adalah sama, merupakan salah satu ajaran penting dalam Freemason. Pada abad ke-18, para Mason di Inggris meyakini agama adalah ‘apa yang semua manusia setuju… yaitu, menjadi manusia yang baik dan benar’ (Religion is which all men agree… that is, to be Good Men and True).
Pada abad ke-19, tepatnya pada tanggal 17 November, 1875, para Mason di New York mempelopori terbentuknya The Theosophical Society (Masyarakat Teosofis). Dalam pidato peresmian acara tersebut, Henry Steel Olcott (1832-1907), pendiri Masyarakat Teosofis berharap supaya para anggota membuat penelitian dalam perbandingan agama untuk menemukan “ancient wisdom,” khususnya dalam sumber sumber primer dari semua agama, buku-buku Hermes dan Veda (primeval source of all religions, the books of Hermes and the Vedas).
Annie Wood Besant, (1847-1933) yang memegang jabatan sebagai ketua Masyarakat Teosofis pada tahun 1907, menggantikan posisi Olcott, merumuskan Teosofi sebagai agama universal (universal religion). Dalam Teosofi, sebuah doktrin agama akan diuji terlebih dahulu dengan prinsip Semper, ubique et ab omnibus (Selalu, dimana saja dan dari semua). Semua agama adalah benar dan universal. Besant menyatakan Masyarakat Teosofis menerapkan kepada pengikutnya bahwa agama-agama adalah ungkapan dari hikmah ilahi yang lahir dan berasal dari Zat yang satu. Oleh sebab itu, keragaman dan perbedaan dalam manifestasi lahiriah dan bentuk bukanlah inti dari ajaran agama. Semua agama memiliki keaslian dan kebenaran karena berasal dari Zat yang satu.
Dalam perkembangannya, The Theosophical Society mewarnai pemikiran-pemikiran Rene Guénon (m. 1951) dan Frithjof Schuon (m.1998), yang menjadi tokoh utama Hikmah Abadi (Sophia Perennis). Guénon, yang awalnya Katolik, lalu memeluk Islam pada 1912, namun tetap menghidupkan pemikiran hikmah abadi. Pengalaman spiritual Guénon dalam Freemason dan gerakan Teosofi mendorongnya untuk menyimpulkan semua agama memiliki kebenaran dan bersatu pada pada level Kebenaran. Salah seorang penerus pemikiran Guénon adalah Frithjof Schuon, seorang tokoh spiritualis terkemuka abad ke-20. Schuon, yang terpengaruh dengan pemikiran Guénon, menyingkap titik temu antar agama pada level esoterik.
Pengalaman kalangan Freemason ini kemudian merambah masuk ke dalam Kristen Liberal. Sebagian analisis menyebutkan, pengaruh Freemason kepada Kristen merupakan bentuk balas dendam terhadap Gereja yang selama ratusan tahun menindas mereka. Teologi eksklusif Gereja yang bersemboyan ‘extra ecclesiam nulla salus’ (Diluar Gereja Tidak Ada Keselamatan) tidak mampu lagi bertahan. Pada tahun 1965, dalam Konsili Vatikan II dirumuskan konsep teologi inklusif seperti anonymous Christianity (Kristen tanpa nama), satu konsep yang mengakui adanya keselamatan pada kalangan non-Katolik). Konsep ini dirumuskan untuk membendung arus Pluralisme dalam Kristen.
Barat pasca modern yang mengusung paham ‘pluralism’ dan ‘equality’ semakin gencar memaksa semua agama untuk menyesuaikan diri. Kalangan Yahudi Liberal banyak yang kemudian menerimanya. Demikian juga kalangan Kristen Liberal. Mereka tak segan-segan mengubah konsep teologisnya dalam memandang agama-agama lain. Apalagi setelah terjadi perubahan dalam teologi Katolik Roma – yang pemeluknya sekitar 1,1 milyar — dalam Konsili Vatikan II.
‘Giliran Islam !’
Setelah kalangan Yahudi dan Kristen bisa ‘dipaksa’ mengubah teologi eksklusifnya, maka giliran umat Islam yang didesak untuk mengikuti jejak mereka agar mengubah keyakinannya, bahwa ‘hanya Islam satu-satunya agama yang benar dan agama wahyu’. (QS 3:19, 85). Majalah The Theosophist edisi Maret 1929 yang terbit di Madras India, memuat satu artikel berjudul “Where Islam and Theosophy Meet”, oleh Mark K. Neff. “They see every religion as a partial expression of the Divine Wisdom.. Theosophy is the body of truths which forms the basis of all religions,” begitu pandangan Teosofis terhadap agama-agama. Semboyan Teosofi yang tertera pada simbolnya adalah “There is no religion higher than Truth.”
Di Indonesia, cara pandang kaum teosofi terhadap agama-agama ini banyak dianut kalangan ilmuwan penganut paham Pluralis Agama. Seorang tokoh pluralis yang sudah meninggal, menulis: “Sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat inklusif dan merentangkan tafsirannya ke arah yang semakin pluralis. Sebagai contoh, filsafat perenial yang belakangan banyak dibicarakan dalam dialog antar agama di Indonesia merentangkan pandangan pluralis dengan mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai Agama.”
Berangkat dari asumsi semacam itulah, maka kalangan Pluralis di kalangan masyarakat Islam, juga mencari legitimasi dan justifikasi dari ayat-ayat al-Quran – seperti QS 2: 62 dan 5:69 – dan tokoh-tokoh atau ulama Islam, seperti Ibnu Arabi, Jalaluddin Rumi, Rasyid Ridha, termasuk Hamka. Padahal, banyak penelitian sudah membuktikan, berbagai kutipan kaum Pluralis terhadap para tokoh dan ulama Islam itu tidak tepat.
Begitu juga kutipan mereka terhadap Tafsir Al-Manar-nya Rasyid Ridha dan Moh. Abduh. Tak berbeda pula dengan Tafsir al-Azhar-nya Hamka. Ketika menafsirkan kedua ayat al-Qur’an tersebut, Buya Hamka jelas menyebutkan, bahwa yang disebut beriman secara benar adalah beriman kepada segala wahyu yang diturunkan Allah kepada para RasulNya; tidak membeda-bedakan diantara satu Rasul dengan Rasul yang lain, percaya kepada keempat kitab yang diturunkan. (Prof. Dr. Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz 1 dan Juz 6).
Jadi, meyakini Muhammad saw sebagai Rasullullah dan meyakini kebenaran al-Qur’an, dalam pandangan Buya Hamka, adalah pra-syarat mutlak bagi iman yang benar. Keyakinan terhadap al-Qur’an berarti mengakui kebenaran isi al-Qur’an. Itu artinya, seorang Kristiani harus menolak konsep ketuhanan Yesus, dan meyakini Nabi Isa adalah Rasul Allah, bukan Tuhan atau anak Tuhan. Sebab, Allah sangat murka dituduh mempunyai anak. (QS 19:88-91).
Buya Hamka juga memberi contoh pada zaman Rasulullah saw beberapa individu baik dari Yahudi maupun Nasrani yang telah beriman kepada Allah, hari akhirat dan mengerjakan amal salih. Mereka tentu mengimani Muhammad saw sebagai utusan Allah. Dari kalangan Yahudi adalah Abdullah bin Salam, Ubai bin Ka’ab; dari kalangan Nasrani seperti Tamim ad-Dari, Adi bin Hatim atau Kaisar Najasyi (Negus), selain juga Salman al-Farisi yang berpindah dari Majusi kepada Nasrani yang akhirnya memeluk Islam. Semua contoh yang diberikan Buya Hamka, menunjukkan bahwa mereka memeluk Islam karena meyakini kebenaran ajaran Islam dan kenabian Muhammad saw. Karena itu, pintu gerbang masuk Islam adalah membaca dua kalimat syahadat. Tidak bisa dikatakan seorang Muslim dan mukmin, jika seseorang tidak beriman kepada kenabian Muhammad saw.
Di zaman yang penuh dengan fitnah Akhir Zaman, dimana kebenaran dan kebatilan dicampur aduk, sudah seyogyanya kaum Muslim kembali kepada al-Quran dan hadits, ditambah dengan metodologi pemahaman yang benar, sebagaimana yang telah diajarkan oleh para sahabat Nabi saw dan para ulama pewaris Nabi. Pada hemat saya, lebih selamat mengikuti pendapat Abu Bakar r.a., Umar r.a., Imam Syafii, al-Ghazali, dan ulama-ulama Islam terkemuka lainnya, ketimbang bertaklid kepada Anni Besant, Mahatma Gandhi, John Hick, Paul F. Knitter, Habermas, Derrida, dan sebagainya. Wallahu a’lam.
 Radjiman Wedyodiningrat Salah Seorang Tokoh Theosofi

 Siapa tak kenal Radjiman Wedyodiningrat? Tokoh kelahiran, desa Mlati, Yogyakarta, 21 April 1879 ini adalah orang yang memimpin jalannya sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan ideolog yang cukup berpengaruh di negeri ini, khususnya di kalangan kelompok nasionalis sekular. Bahkan, ada yang menyebut dirinya sebagai ideolog pertama yang dimiliki bangsa Indonesia.

Dalam sidang BPUPKI yang dipimpin Radjiman inilah, pertama kalinya Soekarno yang diberi kesempatan berpidato, memperkenalkan istilah Pancasila. Sidang dilaksanakan di Pejambon, Jakarta Pusat, dengan beranggotakan 62 orang yang terdiri dari kalangan Islam dan nasionalis sekular. Dalam persiangan yang berlangsung selama dua kali; tanggal 1 Juni 1945  dan 10-16 Juli 1945, dibahas tentang dasar negara dan konsep berbangsa dan bernegara. Nah, di tangan Radjiman inilah palu sidang dipegang.

Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T) Radjiman Wedyodiningrat termasuk salah seorang founding father (pendiri) negeri ini. Ia dikenal sebagai aktivis Theosofi. Bahkan, sebelum dirinya berangkat menimba ilmu di Eropa, ia sudah menjadi anggota organisasi internasional yang didirikan oleh Helena Petrovna Blavatsky tersebut.[1] Selain terpengaruh oleh pemikiran para petinggi Theosofi seperti Blavatsky, Annie Besant, Leadbeather, dll, Radjiman juga sangat terpengaruh dengan para filsuf Barat, seperti; Immanuel Kant[2], Henry Bergson[3], dan Karl Marx. [4]

Selain itu, sebagaimana dalam artikel-artikel yang ditulisnya di Surat Kabar Timboel yang dipimpinnya, Radjiman juga banyak mengutip pendapat Syekh Siti Jenar, Budha, Kristus, Hendrik Kraemer (seorang misionaris Kristen Jesuit yang cukup terkenal di Indonesia), bahkan Sigmund Freud. Artikel-artikel Radjiman kebanyakan bertemakan filsafat dan hal-hal yang berkaitan dengan kebatinan, mitologi, dan pencampuradukkan doktrin dari berbagai agama dan kepercayaan. Kejawaan dan pemikiran Barat menjadi sumber kepribadian dan pemikirannya.[5]




radjiman6
Kumpulan tulisan karya Radjiman

Radjiman adalah dokter alumunus School toot Ovleiding van Indische Artsen (STOVIA) yang banyak mengenyam pendidikan di Eropa. Beragam penghargaan juga pernah diraihnya dari negara-negara yang pernah dijadikan tempatnya menimba ilmu. Radjiman mengaku mengenal Theosofi saat bertugas di Rumah Sakit Semarang. Saat bertugas di daerah itu, ia berkenalan dengan seorang guru bernama R. Prawirahardja, yang mengenalkan dirinya pada ajaran Theosofi. Keduanya sering terlibat diskusi mengenai Theosofi dan filsafat.[6]

Radjiman yang sudah tenggelam dalam ajaran Theosofi kemudian mengembangkan ajaran itu ketika bertugas sebagai dokter di Sragen, Jawa Tengah. Pasien-pasien yang berobat kepadanya diberi ‘suplemen’ tambahan tentang Theosofi. Mereka yang sembuh kemudian ditarik menjadi anggota Theosofi. Di kota inilah Radjiman kemudian mendirikan cabang Theosofi dengan menggunakan nama organisasi “Wedha Sanjaya” (Sumber Penerang).[7]

Radjiman juga rajin mengadakan diskusi mengenai Theosofi dengan para Theosof keturunan priayi Jawa lainnya. Misalnya pertemuan Rabu Wage yang diselenggarakan  di rumah Ki Hadjar Dewantara. Selain membicarakan soal Theosofi, pertemuan yang juga dihadiri oleh Ki Ageng Suryomentaram, Mr Singgih, Dr Supomo, Dr Sukiman Wirjosanjoyo, dan Ali Sastromijoyo, juga membicarakan tentang masalah yang berkaitan dengan pergerakan nasional.[8]
Sebelumnya, Radjiman juga berkenalan dengan Ny. Zehenter dan Tuan Warstadt yang menggiringnya untuk mempelajari spiritisme atau pemanggilan roh halus. Kemudian,untuk memperdalam Theosofi, Radjiman belajar dan berinteraksi langsung dengan tokoh Theosofi, seperti Dirk van Hinloopen Labberton. Selain di Indonesia, Radjiman juga menjalin hubungan dengan para Theosof dunia, seperti Annie Besant, Charles Webster Leadbeater, dan Jiddu Krisnamurti. Pertemuannya dengan Annie Besant terjadi saat dirinya menghadiri ceramah Krisnamurti di Belanda.[9]

Selain dekat dengan kalangan Theosofi, setahun sebelum dirinya diangkat sebagai Ketua Boedi Oetomo (1914),  pada 1913 Radjiman secara resmi masuk menjadi anggota Freemasonry (Vrijmetselarij) atau Golongan Kemasonan sebagaimana istilah yang disebut oleh para priyai Jawa pada masa itu. Perkenalannya dengan berbagai tokoh Theosofi dunia, tentu tak menyulitkannya untuk masuk sebagai anggota Freemasonry. Untuk menjadi seorang Mason, harus mendapat rekomendasi sedikitnya oleh dua orang yang terlebih dulu menjadi Mason.[10]

Melihat kedekatan Radjiman dengan beberapa tokoh Theosofi yang juga Mason, besar kemungkinan Radjiman mendapat rekomendasi dari mereka. Selain Radjiman, saat  itu juga banyak dari para elit Jawa dan anggota Boedi Oetomo yang masuk dalam organisasi ini. Setelah menjadi anggota Freemasonry, Radjiman juga pernah diamanahi sebagai Ketua Neutrale Onderwijs Vereeniging (Perhimpunan Pendidikan Sekular), sebuah organisasi milik Freemasonry.[11]

Radjiman pernah menjabat sebagai dokter pribadi di Keraton Surakarta. Karena pengetahuannya yang luas, Radjiman menjadi orang kepercayaan para elit keraton. Ia misalnya pernah menemani Pangeran Ario Koesumo Yoedo bertemu dengan Sri Ratu Wilhelmina pada 1923 di Belanda. Pangeran Ario adalah orang Indonesia pertama yang menuntut ilmu di Universitas Leiden, Belanda. Selain ke Belanda, keduanya juga berkeliling ke negara-negara Eropa dan Mesir. Keduanya melakukan perjalanan keliling ke beberapa negara selama enam bulan.[12]

Hubungannya dengan kalangan keraton inilah disebut-sebut menjadi gerbang pembuka bagi Radjiman untuk bertemu dengan tokoh-tokoh nasional lainnya, diantaranya Soekarno.Selain menjadi pimpinan sidang BPUPKI, bersama Soekarno, Radjiman juga pernah menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).[13]

Saat Boedi Oetomo di bawah kepemimpinan Radjiman, corak organisasi ini sangat kental dengan nuansa Theosofi. Dan di organisasi Boedi Oetomo, Radjiman-lah sosok yang dikenal dalam menjegal aspirasi Islam.Dalam laporan kongres yang diselenggarakan pada 5-6 Juli 1917, Radjiman dengan tegas menolak usulan agar ajaran Islam dimasukkan dalam Boedi Oetomo. Ia mengatakan,
“Kebudayaan Jawa sifatnya bukan Islam. Hinduisme dan Budhaisme yang merangsang terciptanya karya-karya dan monumen-monumen seni. Karya-karya tersebut, baik berbentuk kata maupun batu, adalah yang kini menjadi harta nasional bangsa. Jika mengikuti hukum Islam secara konsekuen, maka seni pahat, seni patung, seni sastra Jawa akan lenyap. Demikian pula nasib adat istiadat Jawa. Kebiasaan utama pada saat kelahiran, perkawinan dan peristiwa-peristiwa keluarga lainnya, dasarnya adalah agama Hindu dan Budha. Berdasarkan berbagai alasan, ia menyatakan sama sekali tidak dapat dipastikan bahwa orang Jawa Tengah sungguh-sungguh dan sepenuhnya menganut agama Islam.”[14]
Usulan Radjiman yang menolak masuknya ajaran Islam dalam Boedi Oetomo kemudian diterima oleh peserta kongres. Inilah fakta sejarah, dimana sebuah organisasi yang dijadikan landasan sebagai kebangkitan nasional di sebuah negeri yang mayoritas penduduknya Muslim, tetapi sangat alergi terhadap ajaran Islam. Boedi Oetomo tak lebih dari organisasi yang menjadikan asas sekularisme, Kejawen, dan Theosofi sebagal pijakan pergerakannya.




radjiman4
Buku Biografi Radjiman

Sikap Radjiman terhadap Islam juga terlihat dalam tulisannya di Majalah Timboel, 1927. Bersama Singgih, teman diskusinya di pertemuan Rebo Wage, Radjiman menulis artikel yang menyerang Sarekat Islam dan H.Agus Salim. Tulisan itu menyatakan, Sarekat Islam yang mula-mula organisasi rakyat, telah jatuh ke tangan para rohaniawan seperti H Agus Salim, sehingga mengabaikan kepentingan sosial, ekonomi, dan dikalahkan oleh kepentingan religius murni, serta menjalankan Pan-Islamisme yang membahayakan gerakan nasionalis.[15]

Radjiman adalah satu-satunya Mason berkebangsaan Jawa yang tulisannya dimuat dalam Gedenkboek der Vrijmetselarij in Nederlandsche Indie 1767-1917( Buku Kenang-Kenangan Freemasonry di Hindia Belanda 1767-1917) yang diterbitkan di Semarang, Jawa Tengah, pada 1917. Dalam buku tebal yang menjadi bukti tak terbantahkan tentang keberadaan Freemasonry di negeri ini, Radjiman menulis sebuah artikel berjudul, ”Een Broderketen der Volken” (Persaudaraan Rakyat). Tentu, jika bukan bagian dari orang-orang penting Freemasonry di Hindia Belanda, tulisan Radjiman tak mungkin dimasukkan dalam buku yang menjadi bukti sejarah keberadaan para Mason di Hindia Belanda tersebut.[16]




radjiman3
Rumah Radjiman di Ngawi, Jawa Timur

Radjiman meninggal di Ngawi, Jawa Timur, pada  20 September 1952. Ia meninggal dalam usia 73 tahun. Rumah kediamannya di desa Dirgo, Widodaren, Ngawi, sampai hari ini masih berdiri dan dijadikan museum. Radjiman mendapat gelar Pahlawan Nasional berdasarkan. Keputusan Presiden RI Nomor 68/TK/2013 tertanggal 6 November 2013.
Dengan beragam jabatan penting yang pernah didudukinya, Radjiman tentu meninggalkan jejak sejarah dan pemikiran yang tidak sedikit. Tulisan ini, hanya sekilas memotret perjalanan hidupnya. 

—-
Disarikan dari buku Gerakan Theosofi di Indonesia karya Artawijaya
Catatan kaki:
[1] Robert van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia, Jakarta: Pustaka Jaya, hlm.79. Mengenai sebutan bahwa Radjiman adalah ideolog pertama yang dimiliki bangsa Indonesia, lihat: Soebaryo Mangoenwidodo, DR. K.R.T Radjiman Wediodiningrat Perjalanan Seorang Putra Bangsa 1879-1952, Jakarta: Yayasan DR. K.R.T Radjiman Wediodiningrat, 1994, hlm..45. Lihat juga: M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta:Serambi Ilmu,2008, hlm. 345.
[2] Immanuel Kant (1724-1804) adalah filosof yang mengusung paham subyektifisme.Ia menulis berbagai macam kritik terhadap akal budi, kehendak manusia, rasa, dan agama.
[3] Henry Bergson (1859-1941) adalah filosof berdarah Yahudi yang corak filsafatnya bersifat spiritualistis dan anti-rasionalisme.
[4]Karl Marx (1818-1883) adalah pria kelahiran Jerman, keturunan Yahudi yang kemudian masuk Kristen dan menjadi Atheis. Marx menyelesaikan S-3 filsafat dalam usia yang sangat muda, 24 tahun. Marxisme, dengan teori pertentangan kelas yang menghasilkan survival of the fittest, dalam perjalanan sejarahnya sangat berdarah-darah. Marx bahkan pernah mengatakan, “agama adalah madat” dan “Tuhan adalah konsep yang menjijikan”. Marx juga bagian dari jaringan rahasia Illuminati, yang ditugaskan bersama Friedrich Engels untuk menyusun program revolusi dunia. Keduanya menulis buku Manifesto Komunis dan Das Kapital untuk diserahkan kepada Loge Komunis atas perintah Illuminati. Mengenai para filsuf dan filsafat yang diajarkannya, lihat: DR. Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat, Jakarta:Ghalia Indonesia,1986, Cet.Kedua.
[5] Soebaryo Mangoenwidodo, DR. K.R.T Radjiman Wediodiningrat Perjalanan Seorang Putra Bangsa 1879-1952, Op.Cit., hlm..44 dan 124. Pikiran-pikiran Radjiman, terutama yang berbau Theosofi dan kebatinan, juga bisa dilihat dalam Radjiman Wediodiningrat, Himpunan Karangan: Peringatan 17 Agustus 1952, Jogjakarta:Kanisius, 1952. Sampul depan buku Radjiman bergambar simbol kepercayaan anggota Mason, ”Mendes” atau juga biasa disebut ”Baphomet”.
[6] Ibid, hlm.27
[7] Ibid,hlm.30.
[8] Ibid
[9] Ibid, hlm.122-123
[10] Norman Mackenzie, Secret Societies, New York:The MacMillah Company, 1971, hlm.129
[11] Op.Cit., hlm.44 dan 61
[12] Ibid, hlm. 40. Tak ada keterangan jelas mengenai kunjungan keduannya ke beberapa negara yang memakan waktu setengah tahun itu. Ada dugaan, keduanya berkunjung ke negara-negara yang sangat lekat dengan peninggalan-peninggalan kebudayaan dan tradisi kuno, seperti Yunani dan Mesir.
[13] Ibid, hlm.45
[14] Dikutip dari W Poespoprodjo, Jejak-Jejak Sejarah 1908-1926 Terbentuknya Suatu Pola, Bandung: Remadja Karya, 1984, hal.36-40
[15] Seperti dikutip dari Zaini Muctarom, Santri dan Abangan di Jawa, Jakarta:INIS, 1988, hal.50
[16]Lihat, Gedenkboek van de Vrijmetselaaren in Nederlandsche Oost Indie 1767-1917, Semarang-Soerabaia’s Gravenhage: G.C.T van Dorp&Co., 1917

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.