MINYAK DI CASPIA YANG MEMBUAT AMERIKA NGOTOT ( bag-2 )

ISU NUKLIR IRAN DAN ENERGI LISTRIK KAWASAN
Jika membayangkan nuklir, semua orang akan membayangkan senjata nuklir seperti dijatuhkan AS ke atas kota Nagasaki dan Hiroshima dalam Perang Dunia Kedua di Asia Pasifik. Kehebatan dan ancaman senjata nuklir itu pula yang didengungkan AS ke persoalan Iran.
Memang benar ADA laporan intelijen AS yang menyebutkan bahwa Iran telah memiliki kemampuan untuk memproduksi senjata nuklir, seiring dengan rencana Iran untuk membangun reaktor nuklir untuk pembangkit listrik. TAPI, apakah masyarakat dunia (termasuk Indonesia) tidak belajar dengan kasus Irak? AS menyerang Irak dengan dalih bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal, dalih itu berdasarkan laporan intelijen semata. MANA sekarang buktinya? (silahkan lihat lagi halaman 1 di artikel ini) Masyarakat AS sebagian besar telah sadar atas kebohongan publik yang dibuat oleh pemerintahannya. Pajak yang didapatkan dari masyarakat AS dibuang percuma demi Irak. Sementara itu, perusahaan alat militer dan perusahaan minyak besar (Big Oil Company) di AS ternyata yang memperoleh keuntungan. Di sisi lain, sebagian keluarga para tentara AS mulai tidak mau anggota keluarganya bertugas sia-sia dan tak jelas tujuannya di medan konflik Irak. SEKALI LAGI, isu senjata nuklir Irak ataupun Iran itu hanya isu kampungan yang digembar-gemborkan AS.
List of Locations Relevant to the Implementation of IAEA Safeguards
As of November 2003
nuklir-iran.jpg
Sumber: http://www.globalsecurity.org
Lalu, jika memang Iran memiliki kemampuan membuat senjata nuklir gara-gara potensi dari pengayaan uranium, darimana Iran mendapatkan teknologi nuklir itu sendiri? Mau tahu?! Kata Bung Karno: Jasmerah!
Yang pertama harus diingat adalah Iran sebenarnya telah berusaha membangun reaktor nuklir sejak tahun 1974, ketika Iran di bawah kepemimpinan Shah Reza Pahlevi. Anda tahu khan negara mana di balik sang Shah tersebut?.
Saat itu, Shah berencana membangun reaktor nuklir untuk pembangkit listrik dengan bantuan Jerman, Perancis, dan AS. Ya tentunya semua dengan restu Washington. Kemudian Shah memberikan kontrak pembangunan ke perusahaan Jerman, Siemens, untuk membangun 2 reaktor nuklir berkekuatan 1200 MW di wilayah Bushehr, Iran Kawasan Bushehr adalah salah satu kawasan yang diributkan oleh AS lewat IAEA saat ini.
Saat itu (tahun 1974), AS mendukung Iran untuk mengembangkan sumber energi alternatif; tidak berbasiskan minyak dan gas. Padahal saat itu, pembangkit listrik nuklir belum sangat dibutuhkan oleh Iran. Saat itu, jumlah penduduk Iran kurang dari 70 juta orang, produksi minyak sekitar 5,8 juta bpd, konsumsi energi domestik Iran saat itu sekitar seperempat dari saat ini. Kenapa saat itu pembangkit listrik nuklir Iran tidak dipersoalkan?!
Tapi oleh AS, sebuah penelitian pun digelar Stanford Research Institute. Penelitian lembaga tersebut menyebutkan bahwa pada tahun 1990, Iran membutuhkan kapasitas listrik sebesar 20.000 MW. Lalu, generasi pertama teknisi nuklir Iran dikirim dan dilatih ke Massachusetts Intitute of Technology.
Dalam dua Memorandum Keputusan Keamanan Nasional AS (National Security Decision Memoranda) tertanggal 22 April 1975 dan 20 April 1976, Presiden AS saat itu Gerald Ford menyetujui penjualan fasilitas pemrosesan dan pengayaan uranium ke Iran. Sebaliknya, Iran membeli 8 reaktor nuklir. Kerjasama Iran dan AS itu senilai 15 miliar Dollar Amerika. Amerika Serikat setuju membangun 8 pembangkit listrik tenaga nuklir yang total kapasitasnya 8000 MW. Kebijakan Gedung Putih saat itu diumumkan resmi oleh juru bicara Sydney Sober pada bulan Oktober 1977, dalam sebuah simposium, “The US and Iran: An Increasing Partnership.” Akhirnya, draft final US-Iran Nuclear Energy Agreement ditandatangani bersama Iran dan AS pada bulan Juli 1978. Penandatanganan tersebut dilakukan beberapa bulan sebelum adanya gejolak Revolusi Islam Iran. AS melongo……

Kemudian, pada 9 Februari 2003, Presiden Iran Mohammad Khatami mengumumkan program pengayaan uranium untuk bahan baku pembangkit listrik tenaga nuklir. Sejak itu, tenaga ahli dari IAEA (International Atomic Energy Agency) berdatangan ke Iran. Pihak Gedung Putih (AS) berkeyakinan bahwa pengayaan uranium Iran itu untuk pembuatan senjata nuklir. Sungguh lucu!
Kini, teknologi nuklir Iran untuk pembangkit listrik di-support oleh Rusia. Rusia dan Iran menjalin kerja sama strategis. Nilai kontraknya diperkirakan senilai 25 Miliar Dollar Amerika. Rusia membutuhkan Iran, demikian sebaliknya. Rusia membutuhkan Iran sebagai partner strategis untuk mengimbangi upaya dominasi AS di kawasan Eurasia (Eropa-Asia). Sementara Iran membutuhkan teknologi Rusia untuk agar nanti Iran menjadi pusat geopolitik-ekonomi di Timur Tengah. Dalam intelijen internasional, kawasan Eurasia memang merupakan target dominasi AS. Kegelisahan AS dan Sekutunya pun menjadi-jadi. Selain teknologi nuklir, Rusia ternyata juga mentransfer teknologi militer dan ruang angkasa ke Iran.
Kini, Rusia seperti “mengkhianati” Iran. Rusia lewat IAEA, mendukung resolusi PBB. Iran menilai sikap Rusia ambigu. Padahal Rusia sebenarnya mengkhawatirkan serangan AS ke Iran benar-benar akan terjadi. Sikap AS yang kelewatan sebenarnya tak seharusnya terjadi; karena nafsu. Yang patut ditiru adalah sikap Perancis, Jerman, dan Inggris yang menjanjikan pengiriman bantuan dan kerja sama teknis kepada Iran untuk pembangunan reaktor nuklir sipil (listrik), demi transparansi nuklir. Sikap negara-negara tersebut bijaksana ketimbang kekhawatiran yang membabi buta atas sikap Iran.
Lepas dari fakta tersebut, sebenarnya ada apa di balik sikap Iran yang “ngotot” untuk program nuklir sipilnya? Berdasarkan analisis, terdapat dua hal yang mendasari, yakni: antisipasi konsumsi energi listrik dalam negeri Iran yang makin tinggi, dan geopolitik kebutuhan energi listrik kawasan.
Antisipasi konsumsi energi listrik Iran. Menurut EIA, kebutuhan listrik domestik Iran makin tinggi, dan dibutuhkan investasi miliaran Dollar Amerika. Pada tahun 2004, kapasitas terpasang di Iran sebesar 34,3 GW. Produksi listrik sebesar 155,7 miliar KWH. Konsumsi listriknya 145,1 miliar KWH. Pada tahun 2004, kapasitas terpasang Iran naik menjadi sebesar 36 GW. Pertumbuhan konsumsi listriknya mencapai 7-9 persen. Pemerintahan Iran mau tak mau harus mengejar keamanan pasokan listrik domestik apalagi jumlah penduduk Iran diperkirakan mencapai 100 juta orang pada tahun 2025.
Kapasitas Pembangkit Listrik Iran Berdasar Jenisnya
kapasitas-pembangkit-iran.jpg
Dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi, Iran membutuhkan daya listrik 70.000 MW pada tahun 2021. Jika daya listrik tersebut dihasilkan dari minyak (BBM), dibutuhkan 112-140 juta barrel per tahun. Ini sebuah dilema untuk Iran. Pembangkit listrik besar Iran kebanyakan berbahan baku BBM. Padahal pendapatan Iran 80 persen berasal dari ekspor minyak, dan 45 persennya digunakan untuk APBN Iran. Selain itu, hasil produksi minyak Iran belum ada kemajuan pesat akibat konsumsi domestik yang naik 280 persen sejak tahun 1978, dan belum pula dibutuhkan biaya 40 miliar USD untuk perawatan kilang-kilang minyak Iran dalam 15 tahun. Jika situasi terus seperti itu, Iran diprediksi menjadi net oil importer pada tahun 2010.
Daftar Pembangkit Listrik Iran
pembangkit-iran.jpg
Bagaimana dengan pembangkit listrik berbahan baku gas? Jika Iran mengembangkan dan meningkatkan pembangunan pembangkit listrik berbahan baku gas, sangat percuma. Menurut Massachusetts Intitute of Technology (AS) sendiri, biaya produksi listrik dari gas berbanding sama dengan biaya produksi listrik dari reaktor nuklir. Selain itu, dilema Iran, Eropa, dan Asia yang lain adalah gas Iran termasuk yang SANGAT dibutuhkan untuk memasok kebutuhan Eropa dan Asia.
Penggunaan Nuklir Untuk Listrik Di Dunia
nuklir-dunia.jpg Sungguh tak masuk akal jika Iran harus mengikuti kemauan AS untuk menghentikan pengayaan uranium demi listrik Iran. Iran memang kaya akan minyak dan gas, tapi tetap membutuhkan sumber energi alternatif untuk listrik. Inggris, Canada, hingga Rusia adalah eksportir migas, tapi negara-negara ini tetap menggunakan pembangkit listrik tenaga nuklir.
Di dunia saat ini, 19 persen daya listrik dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga nuklir. Penggunaan reaktor nuklir di dunia sebagai penghasil daya listrik diperkirakan akan meningkat terus.
Yang jelas, Iran telah merencanakan sumber pasokan energi listrik pada tahun 2021 berasal dari 10 persen tenaga nuklir, 20 persen dari hydro (tenaga air), 60 persen dari gas, dan sisanya dari yang lain.
Geopolitik kebutuhan energi listrik kawasan. Seperti diketahui bersama, letak Iran yang sangat strategis membuat posisi Iran dekat dengan negara-negara Asia Selatan, Asia Tengah, ataupun Laut Caspia. Beberapa negara di kawasan tersebut kekurangan pasokan listrik untuk dalam negerinya. Sebut saja seperti negara-negara seperti Syria, Georgia, Azerbaijan, Afghanistan, Irak, Pakistan, hingga India.
Tapi, negara-negara yang minim pasokan daya listriknya mau tak mau harus bersyukur, karena jaringan interkoneksi telah dibangun dan sedang dikembangkan lagi menghubungkan antar-negara di kawasan Asia Tengah dan Asia Selatan Kabarnya jaringan interkoneksi ini menyambung hingga ke daratan Eropa; dari Iran melalui Armenia.
Jaringan Transmisi Listrik Utara Iran
jar-listrik-utara-iran.jpg

Afghanistan’s Cross-Border Electricity Interconnections
listrik-afghan-iran.jpg

potensi-dagang-listrik.jpg


Iran yang kaya akan minyak dan gas melihat peluang bisnis energi listrik kawasan. Tercatat, sejak tahun 1992, Iran mulai menjual daya listriknya ke negara-negara tetangga.
bisnis-listrik-iran.jpg

Ambisi Iran untuk mempengaruhi negara-negara kawasan lewat penjualan listrik, sepertinya seimbang dengan rencana Iran yang akan membangun reaktor nuklir untuk pembangkit listrik, walaupun juga untuk kebutuhan domestik Iran juga. Iran masih berencana memperluas pasar penjualan daya listriknya ke negara-negara tetangga.

Selain mencari pasar penjualan, Iran bersama Rusia, dan China termasuk concern berinvestasi pembangunan pembangkit listrik di Asia Tengah. Selain sebagai perluasan pengaruh geopolitik, juga untuk memasok kebutuhan energinya sendiri (seperti ke China). Tiga negara ini mendorong negara Asia Tengah untuk menjual ke luar negara bersangkutan. Tiga negara ini terlibat pendanaan pembangunan di negara-negara seperti Tajikistan dan Kazakhstan. Tercatat, tidak ada perusahaan asal AS satu pun yang terlibat di pengembangan pembangkit listrik di Asia Tengah.
Gerakan bisnis energi listrik Iran, Rusia, dan China bisa jadi membuat gerah AS. Secara geopolitik energi, gerakan tiga serangkai (Iran, Rusia, dan China) secara tidak langsung akan membuat negara-negara kawasan Asia Tengah ataupun Asia Selatan akan tergantung pada tiga negara tersebut, dan mengurangi pengaruh dominasi AS.

SELANJUTNYA : 3

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.