KHILAFAH MANA YANG DI GADANG ITU
Diantara "Fitnah Fitnah Akhir Zaman" adalah para pengaku "khalifah' pengaku akan mendirikan ke khalifahan sementara kekhalifahan akhir zaman sejatinya adalah ke khalifahan al imam mahdi alaihis salam
Bagi saya Pribadi, mau dia DAESH ISIS HIZBUTTAHRIR HTI atau siapapun organisasi manapun, yang menclaim yg di kibar kibarin bendera hitam itu katanya bendera Kanjeng Rasul Sholallahu alaihi wasallam dan ngaku ngaku "Ashabul Daulah" saya "WAJIB TIDAK PERCAYA" ..sampeyan mau ngomong apa saja egp..
.
diakhir zaman "mata satu" adalah isyarat yg harus d baca.. .
.
"ada bendera asli, khilafah asli yg hanya akan dibawa beliau shohibuz zaman Sayyidina al imam mahdi alaihis salam."
.
"Dan akan ada bendera palsu yg dikibarkan para pengaku pendiri khalifahpalsu "
.
Saya mahh akan nurut saja pada pesan beliau "Sayyidina Ali Karamallahu wajhah" untuk waspada tiarap diam..ketika MEREKA YG MENGAKU SBG "ASHABUL DAULAH" ( mengaku mengusung mendirikan negara Islam ) sambil kibar kibarkan bendera itu bermunculan...
KHILAFAH FIKTIF :
SOURCE : http://nadirhosen.net/artikel-isnet/262-khilafah-islam-fiktif
1. Wajibkah mendirikan khilafah?
Tidak wajib! Yang wajib itu adalah memiliki pemimpin, yang dahulu disebut khalifah,
kini bebas saja mau disebut ketua RT, kepala suku, presiden, perdana
menteri, dll. Ada pemelintiran seakan-akan para ulama mewajibkan
mendirikan khilafah, padahal arti kata “khilafah” dalam teks klasik tidak otomatis bermakna sistem pemerintahan Islam (SPI) yang dipercayai oleh para pejuang pro-khilafah.Bagi saya Pribadi, mau dia DAESH ISIS HIZBUTTAHRIR HTI atau siapapun organisasi manapun, yang menclaim yg di kibar kibarin bendera hitam itu katanya bendera Kanjeng Rasul Sholallahu alaihi wasallam dan ngaku ngaku "Ashabul Daulah" saya "WAJIB TIDAK PERCAYA" ..sampeyan mau ngomong apa saja egp..
.
diakhir zaman "mata satu" adalah isyarat yg harus d baca.. .
.
"ada bendera asli, khilafah asli yg hanya akan dibawa beliau shohibuz zaman Sayyidina al imam mahdi alaihis salam."
.
"Dan akan ada bendera palsu yg dikibarkan para pengaku pendiri khalifahpalsu "
.
Saya mahh akan nurut saja pada pesan beliau "Sayyidina Ali Karamallahu wajhah" untuk waspada tiarap diam..ketika MEREKA YG MENGAKU SBG "ASHABUL DAULAH" ( mengaku mengusung mendirikan negara Islam ) sambil kibar kibarkan bendera itu bermunculan...
KHILAFAH FIKTIF :
SOURCE : http://nadirhosen.net/artikel-isnet/262-khilafah-islam-fiktif
1. Wajibkah mendirikan khilafah?
Masalah kepemimpinan ini simple saja: “Nabi mengatakan kalau kita pergi bertiga, maka salah satunya harus ditunjuk jadi pemimpin”. Tidak ada nash yang qat’i di al-Qur’an dan Hadis yang mewajibkan mendirikan SPI (baca: khilafah ataupun negara Islam). Yang disebut “khilafah” sebagai SPI itu sebenarnya hanyalah kepemimpinan yang penuh dengan keragaman dinamika dan format. Tidak ada format kepemimpinan yang baku.
2. Bukankah ada Hadis yang mengatakan khilafah itu akan berdiri lagi di akhir zaman?
Para pejuang berdirinya khilafah percaya bahwa Nabi telah menjanjikan akan datangnya kembali khilafah di akhir jaman nanti. Mereka menyebutnya dengan khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Ini dalil pegangan mereka:“Adalah masa Kenabian itu ada di tengah-tengah kamu sekalian, adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Khilafah yang menempuh jejak kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya (menghentikannya) apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Kerajaan yang menggigit (Mulkan ‘Adldlon), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Kerajaan yang menyombong (Mulkan Jabariyah), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya, apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Khilafah yang menempuh jejak Kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah). Kemudian beliau (Nabi) diam.” (Musnad Ahmad: IV/273).
Cukup dengan berpegang pada dalil di atas, para pejuang khilafah menolak semua argumentasi rasional mengenai absurd-nya sistem khilafah. Mereka menganggap kedatangan kembali sistem khilafah adalah sebuah keniscayaan. Ada baiknya kita bahas saja dalil di atas. Salah satu rawi Hadis di atas bernama Habib bin Salim. Menurut Imam Bukhari, “fihi nazhar”.
Inilah sebabnya imam Bukhari tidak pernah menerima hadis yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim tsb. Di samping itu, dari 9 kitab utama (kutubut tis’ah) hanya Musnad Ahmad yang meriwayatkan hadis tersebut. Sehingga “kelemahan” sanad hadis tersebut tidak bisa ditolong.
Rupanya Habib bin salim itu memang cukup “bermasalah.” Dia membaca hadis tersebut di depan khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz untuk menjustifikasi bahwa kekhilafahan ‘Umar bin Abdul Aziz merupakan khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Saya menduga kuat bahwa Habib mencari muka di depan khalifah karena sebelumnya ada sejumlah hadis yang mengatakan: “Setelah kenabian akan ada khilafah ‘ala minhajin nubuwwah, lalu akan muncul para raja.”
Hadis ini misalnya diriwayatkan oleh Thabrani (dan dari penelaahan saya ternyata sanadnya majhul). Saya duga hadis Thabrani ini muncul pada masa Mu’awiyah atau Yazid sebagai akibat pertentangan politik saat itu.
“Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah” di teks Thabrani ini mengacu kepada khulafa al-rasyidin, lalu “raja” mengacu kepada Mu’awiyah dkk. Tapi tiba-tiba muncul Umar bin Abdul Azis -dari dinasti Umayyah-yang baik dan adil. Apakah beliau termasuk “raja” yang ngawur dalam hadis tsb?
Maka muncullah Habib bin Salim yang bicara di depan khalifah Umar bin Abdul Azis bahwa hadis yang beredar selama ini tidak lengkap. Menurut versi Habib, setelah periode para raja, akan muncul lagi khilafah ‘ala minhajin nubuwwah-dan ini mengacu kepada Umar bin Abdul Azis. Jadi nuansa politik hadis ini sangat kuat.
Repotnya, istilah khilafah ‘ala minhajin nubuwwah yang dimaksud oleh Habib (yaitu Umar bin Abdul Azis) sekarang dipahami oleh Hizbut Tahrir (dan kelompok sejenis) sebagai jaminan akan datangnya khilafah lagi di kemudian hari. Mereka pasti repot menempatkan ‘Umar bin Abdul Aziz dalam urutan di atas tadi: kenabian, khilafah ‘ala mihajin nubuwwah periode pertama (yaitu khulafa al-rasyidin), lalu para raja, dan khilafah ‘ala minhajin nubuwwah lagi. Kalau khilafah ‘ala minhajin nubuwwah periode yang kedua baru muncul di akhir jaman maka Umar bin Abdul Azis termasuk golongan para raja yang ngawur.
Saya kira kita memang harus bersikap kritis terhadap hadis-hadis berbau politik. Sayangnya sikap kritis ini yang sukar ditumbuhkan di kalangan para pejuang khilafah.
3. Bukankah khilafah adalah solusi dari masalah ummat? Selama ummat Islam mengadopsi sistem kafir (demokrasi) maka ummat Islam tidak akan pernah jaya?
Di sinilah letak perbedaannya: sistem khilafah itu dianggap sempurna, sedangkan sistem lainnya (demokrasi, kapitalis, sosialis, dll) adalah buatan manusia. Kalau kita menemukan contoh “jelek” dalam sejarah Islam, maka kita buru-buru bilang, “yang salah itu manusianya, bukan sistem Islamnya!”. Tapi kalau kita melihat contoh “jelek” dalam sistem lain, kita cenderung untuk bilang, “demokrasi hanya menghasilkan kekacauan!” Jadi, yang disalahkan adalah demokrasinya. Ini namanya kita sudah menerapkan standar ganda.Biar adil, marilah kita melihat bahwa yang disebut sistem khilafah itu sebenarnya merupakan sistem yang juga tidak sempurna, karena ia merupakan produk sejarah, dimana beraneka ragam pemikiran dan praktek telah berlangsung. Sayangnya, karena dianggap sudah “sempurna” maka sistem khilafah itu seolah-olah tidak bisa direformasi. Padahal banyak sekali yang harus direformasi.
Contoh: dalam sistem khilafah pemimpin itu tidak dibatasi periode jabatannya (tenure). Asalkan dia tidak melanggar syariah, dia bisa berkuasa seumur hidup. Dalam sistem demokrasi, hal ini tidak bisa diterima. Meskipun seorang pemimpin tidak punya cacat moral, tapi kekuasaannya dibatasi sampai periode tertentu.
Saya maklum kenapa sistem khilafah tidak membatasi jabatan khalifah. Soalnya pada tahun 1924 khilafah sudah bubar, padahal pada tahun 1933 (the 22nd Amendment) Amerika baru mulai membatasi jabatan presiden selama dua periode saja. Sayangnya, buku tentang khilafah yang ditulis setelah tahun 1933 masih saja tidak membatasi periode jabatan khalifah. Itulah sebabnya kita menyaksikan bahwa dalam sepanjang sejarah Islam, khalifah itu naik-turun karena wafat, dibunuh, atau dikudeta. Tidak ada khalifah yang turun karena masa jabatannya sudah habis.
Contoh lainnya, sistem khilafah selalu mengulang-ulang mengenai konsep baiat (al-bay’ah) dan syura. Tapi sayang berhenti saja sampai di situ [soalnya sudah dianggap sempurna]. Dalam tradisi Barat, electoral systems itu diperdebatkan dan terus “disempurnakan” dalam berbagai bentuknya. Dari mulai sistem proporsional, distrik, sampai gabungan keduanya.
Begitu juga dengan sistem parlemen. Dari mulai unicameral sampai bicameral system dibahas habis-habisan, dan perdebatan terus berlangsung untuk menentukan sistem mana yang lebih bisa merepresentasikan suara rakyat dan lebih bisa menjamin tegaknya mekanisme check and balance.
Tapi kalau kita mau “melihat” ke teori Barat, nanti kita dituduh terpengaruh orientalis atau terjebak pada sistem kafir. Akhirnya kita terus menerus memelihara teori yang sudah ketinggalan kereta.
4. Kalau khilafah berdiri, maka ummat islam akan bersatu. Lantas kenapa harus ditolak? Bukankah kita menginginkan persatuan ummat
Sejumlah dalil mengenai persatuan ummat Islam dan kaitannya dengan khilafah banyak dikutip oleh “pejuang khilafah” belakangan ini: Rasulullah SAW bersabda: “Jika dibai’at dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR. Muslim)Bagaimana “rekaman” sejarah soal ini? Ini daftar tahun berkuasanya khilafah yang sempat saya catat:
- Ummayyah (661-750)
- Abbasiyah (750-1258)
- Umayyah II (780-1031)
- Buyids (945-1055)
- Fatimiyah (909-1171)
- Saljuk (1055-1194)
- Ayyubid (1169-1260)
- Mamluks (1250-1517)
- Ottoman (1280-1922)
- Safavid (1501-1722)
- Mughal (1526-1857)
Di masa Abbasiyah, Cordova (Andalusia) juga memisahkan diri dan punya kekhalifahan sendiri (Umayyah II). Di Andalusia inilah sejarah Islam dicatat dengan tinta emas, namun pada saat yang sama terjadi kepemimpinan ganda di tubuh ummat, toh tetap dianggap sukses juga.
Pada masa Fatimiyyah di Mesir (909-1171), juga berdiri kekuasaan lainnya: Buyids di Iran-Iraq (945-1055). Buyids hilang, lalu muncul Saljuk (1055-1194), sementara Fatimiyah masih berkuasa di Mesir sampai 1171. Ayubid meneruskan Fatimiyyah dengan kekuasaan meliputi Mesir dan Syria (1169-1260). Dan seterusnya, … silahkan diteruskan sendiri.
Jadi, sejarah menunjukkan bahwa khilafah itu tidak satu; ternyata bisa ada dua atau tiga khalifah pada saat yang bersamaan. Siapa yang dipenggal lehernya dan siapa yang memenggal? Mana yang sah dan mana yang harus dibunuh?
Kita harus kritis membaca Hadis-Hadis “politik” di atas. Saya menduga kuat Hadis semacam itu baru dimunculkan ketika terjadi pertentangan di kalangan ummat islam sepeninggal rasul. Alih-alih bermusyawarah, seperti yang diperintahkan Qur’an, para elit Islam tempo doeloe malah melegitimasi pertempuran berdarah dengan Hadis-Hadis semacam itu.
Sejumlah Ulama yang datang belakangan kemudian berusaha “mentakwil” makna Hadis di atas. Mereka menyadari bahwa situasi sudah berubah, dan Islam sudah meluas sampai ke pelosok kampung. Pernyataan Nabi di atas tidak bisa dilepaskan dari konteks traditional-state di Madinah, dimana resources, jumlah penduduk, dan luas wilayah masih sangat terbatas. Cocok-kah Hadis itu diterapkan pada saat ini?
Berpegang teguh pada makna lahiriah Hadis di atas akan membuat darah tumpah di mana-mana. Contoh saja, karena tidak ada aturan yang jelas, maka para ulama berdebat, seperti direkam dengan baik oleh al-Mawardi, M. Abu faris dan Wahbah al-Zuhayli: berapa orang yang dibutuhkan untuk membai’at seorang khalifah? Ada yang bilang lima [karena Abu Bakr dipilih oleh 5 orang], tiga [dianalogikan dengan aqad nikah dimana ada 1 wali dan 2 saksi], bahkan satu saja cukup [Ali diba’iat oleh Abbas saja]. Jadi, cukup 5 orang saja untuk membai’at khalifah. Aturan itu cocok untuk kondisi Madinah jaman dulu, namun terhitung “menggelikan” untuk jaman sekarang.
Disamping itu, urusan “memenggal kepala” itu tidak lagi cocok dengan situasi sekarang. Contoh: ribut-ribut jumlah suara antara Al Gore dengan Bush 4 tahun lalu diselesaikan bukan dengan putusnya leher salah satu di antara mereka.
Begitu juga Gus Dur tidak bisa meminta kepala Mega dipenggal ketika Mega “merebut” kekuasaannya tempo hari. Mekanisme konstitusi yang menyelesaikan semua itu. Nah, mekanisme itu yang di jaman dulu kagak ada. Apa kita mau balik ke jaman itu lagi?
Akhirnya, dengan adanya catatan sejarah yang menunjukkan bahwa terdapat beberapa khalifah dalam masa yang sama, di wilayah yang berbeda. Hadis politik di atas sudah tidak cocok lagi diterapkan.
5. Jawaban anda sebelumnya seolah-olah hendak mengatakan bahwa berdirinya khilafah justru akan menimbulkan pertumpahan darah sesama ummat islam, bukan menghadirkan persatuan seperti yang didengungkan para pejuang khilafah saat ini. Betulkah demikian? Benarkah sejarah khilafah menunjukkan pertumpahan darah tersebut?
Ketika Bani Abbasiyah merebut khilafah, darah tertumpah di mana-mana. Ini “rekaman” kejadiannya:Pasukan tentara Bani Abbas menaklukkan kota Damsyik, ibukota Bani Umayyah, dan mereka “memainkan” pedangnya di kalangan penduduk, sehingga membunuh kurang lebih lima puluh ribu orang. Masjid Jami’ milik Bani Umayyah, mereka jadikan kandang kuda-kuda mereka selama tujuh puluh hari, dan mereka menggali kembali kuburan Mu’awiyah serta Bani Umayyah lainnya. Dan ketika mendapati jasad Hisyam bin Abdul Malik masih utuh, mereka lalu menderanya dengan cambuk-cambuk dan menggantungkannya di hadapan pandangan orang banyak selama beberapa hari, kemudian membakarnya dan menaburkan abunya.Mereka juga membunuh setiap anak dari kalangan Bani Umayyah, kemudian menghamparkan permadani di atas jasad-jasad mereka yang sebagiannya masih menggeliat dan gemetaran, lalu mereka duduk di atasnya sambil makan. Mereka juga membunuh semua anggota keluarga Bani Umayyah yang ada di kota Basrah dan menggantungkan jasad-jasad mereka dengan lidah-lidah mereka, kemudian membuang mereka di jalan-jalan kota itu untuk makanan anjing-anjing.
Demikian pula yang mereka lakukan terhadap Bani Umayyah di Makkah dan Madinah.
Kemudian timbul pemberontakan di kota Musil melawan as-Saffah yang segera mengutus saudaranya, Yahya, untuk menumpas dan memadamkannya. Yahya kemudian mengumumkan di kalangan rakyat: “Barangsiapa memasuki masjid Jami’, maka ia dijamin keamanannya.” Beribu-ribu orang secara berduyun-duyun memasuki masjid, kemudian Yahya menugaskan pengawal-pengawalnya menutup pintu-pintu Masjid dan menghabisi nyawa orang-orang yang berlindung mencari keselamatan itu. Sebanyak sebelas ribu orang meninggal pada peristiwa itu. Dan di malam harinya, Yahya mendengar tangis dan ratapan kaum wanita yang suami-suaminya terbunuh di hari itu, lalu ia pun memerintahkan pembunuhan atas kaum wanita dan anak-anak, sehingga selama tiga hari di kota Musil digenangi oleh darah-darah penduduknya dan berlangsunglah selama itu penangkapan dan penyembelihan yang tidak sedikit pun memiliki belas kasihan terhadap anak kecil, orang tua atau membiarkan seorang laki-laki atau melalaikan seorang wanita.
Seorang ahli fiqh terkenal di Khurasn bernama Ibrahim bin Maimum percaya kepada kaum Abbasiyin yang telah berjanji “akan menegakkan hukum-hukum Allah sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah”. Atas dasar itu ia menunjukkan semangat yang berkobar-kobar dalam mendukung mereka, dan selama pemberontakan itu berlangsung, ia adalah tangan kanan Abu Muslim al-Khurasani. Namun ketika ia, setelah berhasilnya gerakan kaum Abbasiyin itu, menuntut kepada Abu Muslim agar menegakkan hukum-hukum Allah dan melarang tindakan-tindakan yang melanggar kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, segera ia dihukum mati oleh Abu Muslim.
Cerita di atas bukan karangan orientalis tapi bisa dibaca di Ibn Atsir, jilid 4, h. 333-340, al-Bidayah, jilid 10, h. 345; Ibn Khaldun, jilid 3, h. 132-133; al-Bidayah, jilid 10, h. 68; al-Thabari, jilid 6, h. 107-109. Buku-buku ini yang menjadi rujukan Abul A’la al-Maududi ketika menceritakan ulang kisah di atas dalam al-Khilafah wa al-Mulk.
Note:
Yang jelas sejarah “buruk” kekhilafahan bukan hanya milik khalifah Abbasiyah, tapi juga terjadi di masa Umayyah (sebelum Abbasiyah) dan sesudah Abbasiyah. Misalnya, menurut al-Maududi, dalam periode khilafah pasca khulafatur rasyidin telah terjadi: perubahan aturan pengangkatan khalifah seperti yang dipraktekkan sebelumnya, perubahan cara hidup para khalifah, perubahan kondisi baitul mal, hilangnya kemerdekaan mengeluarkan pendapat, hilangnya kebebasan peradilan, berakhirnya pemerintah berdasarkan syura, munculnya kefanatikan kesukuan, dan hilangnya kekuasaan hukum.Sejarah itu seperti cermin: ada yang baik dan ada yang buruk. Kita harus menyikapinya secara proporsional; jangan “buruk muka, cermin dibelah”. Sengaja saya tampilkan sisi buruknya agar kita tidak hidup dalam angan-angan atau nostalgia masa lalu saja, tanpa mengetahui sisi buruk masa lalu itu.
Ada kesan bahwa dengan menjadikan “khilafah is the (only) solution“, maka kita melupakan bahwa sebenarnya banyak kisah kelam (sebagaimana juga banyak kisah “keemasan”) dalam masa kekhilafahan itu. Jadi, mendirikan kembali khilafah tidak berarti semua problem akan hilang dan lenyap; mungkin kehidupan tanpa problem itu hanya ada di surga saja.
6. Ada sejumlah kewajiban yang pelaksanaannya tidak terletak di tangan individu rakyat. Di antaranya adalah pelaksanaan hudûd, jihad fi sabilillah untuk meninggikan kalimat Allah, mengumpulkan zakat dan mendistribusikannya, dan seterusnya. Sejumlah kewajiban syariat ini bergantung pada pengangkatan Khalifah. Bukankah di sinilah letak urgensinya kita mendirikan khilafah?
Cara berpikir anda itu masih menganggap khilafah itu sama dengan sebuah sistem pemerintahan Islam [SPI], padahal hadis-hadis yang menyinggung soal khilafah itu hanya bicara mengenai pentingnya mengangkat pemimpin (dan sekarang semua negara punya pemimpin kan?).Kalau pertanyaannya saya tulis ulang: bukankah sebagian pelaksanaan syariat islam membutuhkan campur tangan pemimpin? Jawabannya benar, dan itulah yang sudah dilakukan di sejumlah negara: misalnya memungut zakat, memberangkatkan jamaah pergi haji, membuat peradilan Islam (mahkamah syariah), menentukan 1 Ramadan dan 1 Syawal, dst. Jadi, syariat Islam sudah bisa berjalan saat ini tanpa harus ada khilafah.
Lha wong kita sholat, puasa, sekolah, makan, bekerja, menikah, dst. adalah bagian dari syariat Islam dan kita bisa menjalaninya meski tidak ada khilafah dalam arti SPI. Kita menjalaninya karena pemimpin kita membebaskan kita melakukan itu semua. Kita tidak dilarang menjalankannya.
Di Saudi Arabia, tanpa ada khilafah sekalipun hukuman potongan tangan (hudud) sudah diberlakukan. Bukan berarti saya setuju dengan penerapan hudud ini. Saya hanya ingin menunjukkan tanpa khilafah (baca: SPI) maka syariat Islam juga bisa diterapkan.
7. Apa lagi letak keberatan anda terhadap ide mendirikan khilafah?
Kalau khilafah berdiri maka dunia ini tidak akan damai. Perang terus menerus. Para pejuang khilafah menerima saja mentah-mentah Hadis yang mengungkapkan 3 langkah dalam berurusan dengan non-muslim:
Ajak mereka masuk Islam
Kalau mereka enggan, suruh mereka bayar jizyah
Kalau enggan masuk Islam dan enggan bayar jizyah, maka perangilah mereka.
Kalau Indonesia sekarang berubah menjadi khilafah, maka Singapura,
Thailand, Philipina dan Australia akan diajak masuk Islam, atau bayar
jizyah, atau diperangi. Masya Allah!Simak cerita Dr. Jeffrey Lang di bawah ini (yang diceritakan ulang oleh Dr Jalaluddin Rakhmat):
Sekian kutipan dari Dr Jeffrey Lang.Kira-kira dua bulan setelah saya masuk Islam, mahasiswa-mahasiswa Islam di universitas tempat saya mengajar mulai mengadakan pengajian setiap Jum’at malam di masjid universitas. Ceramah kedua disampaikan oleh Hisyam, seorang mahasiswa kedokteran yang sangat cerdas yang telah belajar di Amerika selama hampir sepuluh tahun. Saya sangat menyukai dan menghormati Hisyam. Dia berbadan agak bulat dan periang, dan mukanya tampak sangat ramah. Dia juga mahasiswa Islam yang sangat bersemangat.Malam itu Hisyam berbicara tentang tugas dan tanggungjawab seorang Muslim. Dia berbicara panjang lebar tentang ibadah dan kewajiban etika orang yang beriman. Ceramahnya sangat menyentuh dan telah berjalan kira-kira satu jam ketika dia menutupnya dengan ucapan yang tidakdisangka- sangka berikut ini.“Akhirnya, kita tidak dapat lupa –dan ini benar-benar penting– bahwa sebagai orang Muslim, kita wajib untuk merindukan, dan ketika mungkin berpartisipasi di dalamnya, yakni menggulingkan pemerintah yang tidak Islami –di mana pun di dunia ini– dan menggantinya dengan pemerintahan Islam.”“Hisyam!” Saya mencela. “Apakah anda bermaksud mengatakan bahwa warga negara Muslim Amerika harus melibatkan diri dalam penghancuran pemerintah Amerika? Sehingga mereka harus menjadi pasukan kelima di Amerika; suatu gerakan revolusioner bawah tanah yang berusaha untuk menggulingkan pemerintah? Apakah yang kamu maksudkan adalah jika seorang Amerika masuk Islam, dia harus melibatkan diri dalam pengkhianatan politik?”Saya berfikir begitu dengan maksud memberikan Hisyam suatu skenario yang sangat ekstrem, sehingga dapat memaksanya untuk melunakkan atau mengubah pernyataannya. Dia menundukkan pandangannya ke lantai sementara dia merenungi pertanyaan saya sebentar. Kemudian dia menatap saya dengan suatu ekspresi yang mengingatkan saya terhadap seorang doktor yang hendak menyampaikan khabar kepada pesakitnya bahwa tumornya adalah tumor berbahaya. “Ya,” dia berkata, “Ya, itu benar.”Dr. Jeffrey Lang, muslim Amerika yang juga profesor matematik di Universitas Kansas, menceritakan pengalaman di atas untuk menunjukkan betapa “absurdnya” gagasan mendirikan negara Islam bagi orang Islam di Amerika. “Bagi mereka, ide bahwa kaum Muslim –menurut agama mereka– berkewajiban untuk menyerang negara-negara yang tidak agresif seperti Swiss, Brazil, Ekuador atau jika mereka tidak mau tunduk kepada Islam sangat tidak masuk akal,” kata Dr. Lang selanjutnya.Anehnya, di mana saja Dr. Lang menemukan wacana negara Islam ini dikemukakan, baik di meja diskusi ilmiah maupun di medan perang.
Kalau kita sekarang nggak suka dengan doktrin pre-emptive strikenya Bush, maka sebenarnya kalau sekarang khilafah berdiri, maka khilafah itu juga memiliki doktrin yang sama. Sungguh mengerikan.
Hadis di atas telah diplintir maknanya sedemikian rupa sehingga khilafah akan menjadi monster yang memaksa negara sekitarnya untuk memeluk Islam dengan cara diperangi. Inilah salah satu keberatan saya dengan ide mendirikan kembali khilafah.
8. Saya heran dengan anda. CIA saja sudah bisa memprediksi bahwa khilafah akan berdiri pada tahun 2020. Kalau musuh-musuh Islam saja percaya dengan hal ini, bagaimana mungkin anda sebagai Muslim malah tidak mendukung berdirinya khilafah?
Biar nggak Ge-Er, kawan-kawan yang pro-khilafah coba baca baik-baik laporan lengkapnya di sini: http://www.foia.cia.gov/2020/2020.pdf. Intinya, CIA membuat 4 skenario FIKTIF sebagai gambaran situasi tahun 2020. Khilafah itu hanya satu dari empat skenario fiktif tsb. Jadi jangan diplintir seolah-olah CIA mengatakan khilafah akan berdiri tahun 2020.Yang menarik, laporan itu juga menyebut-nyebut soal Indonesia. Ini prediksi mereka:Possible FuturesIn this era of great flux, we see several ways in which major global changes could take shape in the next 15 years, from seriously challenging the nation-state system to establishing a more robust and inclusive globalization. In the body of this paper we develop these concepts in four fictional scenarios which were extrapolated from the key trends we discuss in this report. These scenarios are not meant as actual forecasts, but they describe possible worlds upon whose threshold we may be entering, depending on how trends interweave and play out:“Davos World” illustrating “how robust economic growth, led by China and India, could reshape the globalization process”;“Pax Americana” “how US predominance may survive the radical changes to the global political landscape and serve to fashion a new and inclusive global order”;“A New Caliphate” “how a global movement fueled by radical religious identity politics could constitute a challenge to Western norms and values as the foundation of the global system”; and“Cycle of Fear” proliferation of weaponry and terrorism “to the point that large-scale intrusive security measures are taken to prevent outbreaks of deadly attacks, possibly introducing an Orwellian world.”(The quotes are taken from the report’s executive summary.)Of course, these scenarios illustrate just a few of the possible futures that may develop over the next 15 years, but the wide range of possibilities we can imagine suggests that this period will be characterized by increased flux, particularly in contrast to the relative stasis of the Cold War era. The scenarios are not mutually exclusive: we may see two or three of these scenarios unfold in some combination or a wide range of other scenarios.
Lalu apa yang akan terjadi dengan Amerika, masih menurut laporan tersebut:“The economies of other developing countries, such as Brazil, could surpass all but the largest European countries by 2020; Indonesia’s economy could also approach the economies of individual European countries by 2020.”
Jadi, dari skenario fiktif yang mereka susun, Amerika tetap saja jaya. Kerjaan CIA kan ya memang begitu…kok bisa-bisanya kawan-kawan pejuang pro-khilafah percaya sama CIA. Bukankah prestasi terbesar CIA adalah saat mengatakan di Iraq ada weapon of mass destruction (WMD)?“Although the challenges ahead will be daunting, the United States will retain enormous advantages, playing a pivotal role across the broad range of issues –economic, technological, political,and military– that no other state will match by 2020.”
Kita tahu ternyata WMD memang fiktif belaka. Yah jangan-jangan khilafah juga bakalan bernasib sama: fiktif.
Beberapa tahun lalu saya mengkritisi Hadis yang sering
digunakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) untuk memprediksi bahwa akan
datang kembali sistem pemerintahan khilafah yang sesuai dengan manhaj
kenabian (silakan digoogle tulisan saya tsb). Saya sebutkan bahwa
riwayat Thabrani soal itu majhul dan riwayat imam Ahmad bermasalah
khususnya pada perawi yang bernama Habib bin Salim.
Kritikan saya itu juga diikuti oleh sahabat saya Agus Maftuh
Abegebriel (sekarang beliau Dubes RI untuk saudi Arabia). Akibat
kritikan kami tsb, DPP HTI kemudian berusaha keras mendukung riwayat
yang kami persoalkan itu. Mereka menganggap Hadis soal khilafah ‘ala
minhajin nubuwwah kalau tidak shahih ya minimal hasan. Mereka tidak mau
bilang dha’if meski mereka mengakui kutipan saya bahwa Imam Bukhari
tidak mau meriwayatkan dari Habib bin Salim. Fihi nazhar (ia perlu
diteliti), kata Imam Bukhari. Ini menunjukkan bahwa Habib bin Salim itu
perlu ditinggalkan dan tidak dianggap kredibel. DPP HTI mati-matian
hendak menunjukkan bahwa kalimat fihi nazhar dari imam Bukhari bukan
berarti Hadisnya menjadi lemah. Siapapun yang belajar jarh wa ta’dil
tentu tahu bahwa jarh harus didahulukan ketimbang ta’dil. Maka kalau
Imam Bukhari sudah men-jarh Habib bin Salim, maka diskusi sudah selesai
sebenarnya. Tidak perlu berpanjang kalam. Memang kita siapa dibanding
Imam Bukhari. Apa lagi dari 9 kitab hadis utama (kutubut tis’ah) hanya
Musnad Ahmad yang meriwayatkan Hadis khilafah ‘ala minhajin nubuwwah.
Jadi, kelemahan hadis ini tidak bisa tertolong.Semakin saya pelajari dan kaji lebih jauh semakin yakin saya dengan kritikan saya beberapa tahun yang lalu itu. Ini saya coba ringkaskan:
1. Kritik Sanad
A. Habib bin Salim ini tidak banyak meriwayatkan Hadis, dan beberapa diantaranya juga bermasalah. Kitab al-Muwatha dan Tuhfatul Ahwazi mendhaifkan riwayat lain dari Habib. Kitab Faidul Qadir mengatakan riwayat Habib dari Huzaifah itu mursal dan Hadis soal khilafah ala minhajin nubuwwah ini diriwayatkan Habib bin Salim dari Huzaifah. Tarikhul islam li dzahabi mengatakan hadis-hadis riwayat Habib bin Salim dari Abi Basyir itu dhaif.Kitab al-Du’afa al-kabir lil Uqayli juga mendhaifkan riwayat Habib bin Salim. Kata Ibn Adi, sanad dia sering tertukar. Al-Suyuti mengatakan dia lemah. Jadi, jelas selain Imam Bukhari banyak juga ulama lain yang men-jarh-kan Habib bin Salim ini. Sekali lagi, kita harus mendahulukan jarh dibanding ta’dil.
B. Perawi berikutnya Dawud ibn Ibrahim al-Washitiy ternyata juga bermasalah. Musnad Ahmad hanya sekali meriwayatkan dari dia, yaitu Hadis ini saja. Begitu kita lacak ke kitab hadis utama lainnya nama ini juga tidak muncul. Dalam Silsilah Dha’ifah disebutkan oleh Syekh al-Albani bahwa Dawud ini bermasalah (fihi layyin) dan cacat (fahuwa al-‘illat). Ibn Hibban mengatakan dawud ini tsiqah tetapi ibn Hibban sendiri tidak pernah meriwayatkan Hadis darinya. Jadi, kita patut skeptis dengan perawi ini.
C. Riwayat lain, seperti sudah saya sebutkan, berasal dari Mu’jam Thabrani (Hadis No 368), dan majhul karena salah sau perawinya bernama Habib bin Abi Tsabit dikomentari Ibn Hibban dan Ibn Khuzaimah sebagai mudallis. Bahkan dalam jalur riwayat ini Habib bin Abi Tsabit meriwayatkan dari seorang lelaki suku Quraisy. Tidak jelas siapa orangnya. Maka sanad dari jalur ini jelas bermasalah.
2. Kritik Matan
Dari segi matan mari kita simak menurut riwayat jalur Musnad Ahmad (Hadis No 18406) periode khilafah itu:a. khilafah ‘ala minhajin nubuwwah: ini disepakati ulama sebagai periode khulafa al-rasyidin. Yang dalam riwayat lain disebutkan hanya 30 tahun.
b. kemudian memasuki masa Kerajaan yang Menggigit/zhalim (Mulkan ‘Adhan)
c. setelah itu periode Kerajaan yang diktator (Mulkan Jabariyah)
d. setelah itu akan datang masa khilafah ‘ala minhajin nubuwwah
Sudah saya sebutkan dalam tulisan saya sebelumnya bahwa indikasi dari riwayat Musnad Ahmad ini Habib bin Salim tegas merujuk kepada khalifah Umar Bin Abdul Azis sebagai periode keempat (d) yaitu khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Jadi, sudah selesai periodisasi di atas.
Begitu juga pendapat para ulama seperti al-Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Bakar al-Bazzar, Abu Dawud al-Thayalisi, Abu Nu’aim al-Ashfihani, al-Baihaqi, Ibn Rajab al-Hanbali, al-Suyuthi, bahkan Syaikh Yusuf bin Isma’il al-Nabhani (kakek Taqiyyuddin al-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir) juga berpendapat Umar Bin Abdul Azis lah yang dimaksud dalam periode keempat.
HTI menganggap periode keempat itu akan muncul nanti makanya mereka getol sekali mau kembali ke sistem khilafah. Kalau periode keempat itu baru muncul belakangan apa mereka tega mau bilang Umar Bin Abdul azis termasuk yang Mulkan ‘Adhan atau Mulkan Jabariyah? Lagipula sekarang ini kita tidak berada pada periode Mulkan Jabariyah (ketiga) karena kita berada pada jaman negara bangsa (ad-Duwal al-Islamiyah al-Qaumiyah) yang tidak disebut dalam riwayat yang bermasalah itu. Jadi, riwayat di atas sudah selesai periodisasinya dan sudah tidak cocok lagi mau dipakai terus oleh HTI.
Kalau kita periksa riwayat Thabrani justru periodisasinya berbeda: Kenabian, Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah terus Mulkan Jabariyah. Berarti menurut riwayat ini tidak ada nanti khilafah lagi.
Kitab Majma’ Zawaid mencantumkan riwayat dari Muadz bin Jabbal bahwa urutannya adalah kenabian, khilafah, mulkan adhan dan mulkan jabariyah. Tidak disebut periode akhirnya adalah khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Begtu juga tiga riwayat yang tercantum dalam Kanzul Umal (Hadis No 15111, 15112, dan 15113) tidak menyebutkan ujungnya adalah khilafah ‘ala minhajin nubuwwah.
Habib bin Salim ini budak yang dimerdekakan oleh Gubernur Nu’man, dan diangkat sebagai sekretaris. Anaknya Nu’man yang bernama Yazid kawan dari khalifah Umar bin Abdul Azis. Maka untuk mendukung anak bossnya, Habib bin Salim menulis surat kepada Khalifah Umar bin Abdul azis bahwa yang dimaksud sebagai khalifah ‘ala minhajin nbuwwah itu adalah Umar bin Abdul Azis, dan Khalifah merasa gembira dengan kabar dari Habib bin Salim ini. Jelas kita harus berhati-hati menerima riwayat ‘politis’ dan cukup ‘berbau menjilat’ kepada penguasa ini.
Kesimpulan:
Ini semua menguatkan kajian saya beberapa tahun silam bahwa term ‘khilafah a’la minhajin nubuwwah’ yg disebutkan dalam riwayat Habib bin Salim itu hanyalah(1) tambahan belaka dan
(2) ditujukan untuk khalifah umar bin abdul azis bukan untuk akhir zaman
(3) sanad dan matan riwayat khilafah ‘ala minhajin nubuwwah ini sangat bermasalah. Karena itu gugur seketika semua propaganda HTI untuk kembali ke jaman khilafah. Dalil sudah runtuh dan diskusi sudah selesai.
Saya mendukung keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama tahun 2014 yang menolak kembali ke Khilafah. Saya mendukung pernyataan KH Hasyim Muzadi di depan pengurus DPP HTI bahwa HTI tidak perlu lagi mempromosikan Khilafah di NKRI ini. Saya juga mendukung sepenuhnya pernyataan Ketua Umum GP Ansor Gus Yaqut Cholil Qoumas yang meminta pemerintah untuk #bubarkanHTI.
Gerakan apapun, mau komunis ala PKI, NII dengan negara islam atau khilafah model HTI adalah gerakan makar yang hendak menghancurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahkan darah dan air mata para pejuang dan ulama untuk menegakkan dan mempertahankan NKRI ini dinistakan oleh seorang da’i HTI yang beredar videonya di youtube yang mengatakan semuanya telah mati dalam keadaan kafir karena tidak mendukung berdirinya khilafah. Dalil mereka saja sangat bermasalah kok seenaknya mengkafirkan-kafirkan para pejuang dan pendiri Republik Indonesia. Na’udzubillah.
Tabik,
Post a Comment