OMNIBUSLAW UNTUK SIAPA ? INVESTASI KAPITALIS - BURUH - LINGKUNGAN


Adanya Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law tampaknya menjadi kian riuh, penuh pro-kontra di berbagai media baik lingkup lokal maupun nasional. Latar belakang pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk mempercepat disahkanya RUU Omnibus Law tak lain karena harapan bahwa investasi kelak menjadi daya ungkit perekonomian nasional. Sementara menurut data dari BKPM (2019), realisasi investasi dalam negeri dan investasi asing sebesar Rp 200,5 triliun dengan komposisi PMA sebesar Rp 104,9 triliun (52,3%) dan PMDN 95,6 triliun (47,7%) pada Triwulan II tahun 2019.

Sektor yang menjadi primadona untuk PMA adalah Listrik, Gas, dan Air dengan nilai investasi sebesar USD 1.350,5 juta. Dengan demikian RUU Omnibus Law merupakan kekuatan supra-struktur untuk menarik investor sebanyak mungkin untuk berinvestasi di Indonesia.

Ada beberapa poin yang menjadi substansi dalam rancangan undang-undang Omnibus Law; penyederhanaan perizinan berusaha, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi (menghapus pidana), pengadaan lahan, serta kemudahan proyek pemerintah dan kawasan ekonomi. Kesembilan aspek tersebut menjadi pokok usulan yang diharapkan memberikan kontribusi terhadap penciptaan lapangan pekerjaan yang besar dengan harapan mampu mengurangi jumlah angka pengangguran terbuka sebesar 6,82 juta jiwa (data BPS 2019).

Pertanyaan mendasar, mampukah RUU Omnibus Law menjadi pemecah kebuntuan ihwal pengangguran di Indonesia? Serta, sejauh mana Omnibus Law mampu memberikan harapan bahwa investasi kelak akan berdampak pada masyarakat kecil --atau, investasi hanya dapat dinikmati oleh elite dan segelintir orang saja? Bukankah investasi sejatinya bermuara pada penciptaan lapangan pekerjaan yang kelak berdampak pada peningkatan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat?

Melihat tren data yang ditunjukkan oleh BKPM bahwa sektor industri di tahun 2016 hanya mampu menyerap sebesar 15,8 Juta tenaga kerja, tahun 2017 mengalami peningkatan sebesar 10% yaitu di angka 17,4 juta tenaga kerja. Tetapi di tahun 2018 peningkatan jumlah penyerapan tenaga kerja tidak mengalami jumlah yang signifikan yaitu sebesar 18,1 juta tenaga kerja atau hanya mengalami peningkatan sebesar 4% dari tahun sebelumnya. Sedangkan nilai investasi tahun 2018 mencapai Rp 361,6 triliun, artinya pertumbuhan investasi di sektor industri tak selamanya berbarengan dengan penyerapan jumlah tenaga kerja di sektor industri tersebut.

Alih-alih membela kepentingan buruh, Omnibus Law justru dapat menjadikan buruh tak ubahnya seperti mesin-mesin produksi. Adanya usulan dalam draf tersebut seperti yang pertama adalah hilangnya upah minimum yang diganti dengan upah per jam tentunya memiliki konsekuensi bahwa produktivitas akan diukur dari berapa jam buruh menyelesaikan pekerjaannya. Kedua, hilangnya atau ditiadakannya upah untuk pembayaran pesangon pasti akan menciptakan problematika dan ketidakharmonisan hubungan industrial antara buruh dengan pemilik usaha/perusahaan.

Ketiga, dengan diperbolehkan outsourcing dan pekerja kontrak tanpa batas, dimungkinkan akan membuat perusahaan dengan mudah untuk membuat kebijakan yang banyak merugikan buruh. Perusahaan akan dengan mudah untuk menempatkan banyak alokasi SDM melalui model outsourcing dan pekerja kontrak tanpa batas artinya jenjang karier seorang pekerja atau buruh ada di wilayah abu-abu.

Selain itu juga, yang keempat, dengan adanya kebijakan pembukaan kran yang selebar-lebarnya untuk tenaga kerja asing dimungkinkan menyebabkan berkurangnya kesempatan bagi tenaga kerja dalam negeri untuk bersaing di pasar kerja, mengingat SDM kita juga masih membutuhkan peningkatan skill dan kompetensi. Kemudian yang kelima, dihilangkannya jaminan pensiun dan kesehatan juga akan melahirkan persoalan di kemudian hari. Hingga yang keenam, ditiadakannya sanksi pidana pengusaha yang melanggar aturan ketenagakerjaan dan sanksi terhadap pengusaha yang melanggar ketentuan lingkungan juga akan menciptakan persoalan ke depan.

Simalakama

Di sisi lain, dalam draf RUU Omnibus Law terdapat pasal-pasal yang tidak berpihak pada isu-isu lingkungan, sosial, dan budaya. Salah satu usulan dalam draf RUU tersebut adalah bagaimana mekanisme penilaian mengenai analisis dampak lingkungan (Amdal) yang tertuang dalam Pasal 29 UU Nomor 32 tahun 2009 akan diubah melalui mekanisme assessment yang dilakukan oleh pihak ketiga dengan cara penunjukan langsung oleh pelaku usaha.

Dengan demikian, adanya perubahan tersebut sangat rentan terjadinya praktik-praktik manipulatif dalam mengukur dampak lingkungan, bahkan dimungkinkan pelaku usaha dapat memesan hasilnya sesuai dengan permintaan serta kebutuhan mereka demi kelancaran investasi dan menjalankan usaha.

Selain itu juga, RUU Omnibus Law dapat menjadi celah kepada para pelaku usaha yang melakukan kejahatan lingkungan (illegal logging, deforestasi, dan aktivitas perusakan hutan lainnya). Pelaku usaha dengan mudah melenggang untuk mengeksploitasi lingkungan demi akumulasi capital. Salah satunya adalah dengan memberi kemudahan penggunaan kawasan hutan, kemudahan dan percepatan Izin Penggunaan Kawasan Hutan (IPKH), Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), dan pelepasan Kawasan hutan.

Seperti yang tertuang dalam UU No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Pasal 26, 27, 28 dan 29, yang mengatur pemanfaatan hutan lindung, usulan Omnibus Law seolah memberi angin segar bagi para pelaku usaha untuk mendapatkan izin pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan lindung. Jika usulan perubahan UU No 41 Tahun 1999 tersebut disepakati, maka keberlanjutan serta keanekaragaman hayati dan lingkungan menjadi pertaruhan.

Sementara di satu sisi berdasarkan data Kementerian Kehutanan Republik Indonesia sepanjang 2000-2019, sedikitnya 1,1 juta hektar atau 2% dari hutan Indonesia menyusut tiap tahunnya. Kondisi ini apabila tidak ada kekuatan supra-struktur yang mengatur tentang konservasi, terkhusus hutan lindung akan menjadi mimpi buruk bagi keanekaragaman hayati serta flora dan fauna yang ada di hutan-hutan di Indonesia.

Upaya advokasi terhadap satwa-satwa yang rentan (vulnerable animals) sangat mendesak. Menurut data yang disajikan oleh Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) 2015-2020, hutan Indonesia menjadi tempat berkembang biak 12 persen spesies mamalia dunia, 7,3 persen spesies reptil dan amfibi, serta 17 persen species burung dari seluruh dunia. Selain itu juga riset yang dilakukan oleh WWF menunjukkan, antara tahun 1994-2007 telah ditemukan lebih dari 400 spesies baru dalam dunia sains di hutan Pulau Kalimantan.

Bahkan The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) telah merumuskan framework untuk melakukan monitoring terhadap isu perubahan iklim melalui Green Growth Framework yang terbagi dalam empat indikator. Pertama, lingkungan produktivitas sumber daya; kedua, aset sumber daya alam; ketiga, dimensi lingkungan dan kualitas hidup; keempat, peluang ekonomi dan respons kebijakan.

Poin krusial Omnibus Law sebetulnya merupakan bagian dari dimensi green growth yang ada pada indikator ke empat, di mana ikhtiar untuk menciptakan akselerasi ekonomi melalui penyederhanaan izin berusaha harus tetap berpegang teguh pada kesadaran ekologi, keanekaragaman hayati, dan local wisdom.

Lebih lanjut lagi, OECD memproyeksikan bahwa polusi udara luar ruangan dapat menyebabkan antara 6 dan 9 juta kematian prematur per tahun pada tahun 2060 dan menelan biaya 1% dari PDB global sekitar USD 2,6 triliun per tahun. Pencemaran lingkungan dan polusi udara menjadi permasalahan serius. Pemerintah, industriawan, investor, bahkan masyarakat umum perlu menyadari bahaya tersebut. Untuk itu perlu regulasi yang tepat dan kontekstual guna merespons problem tersebut. Jika problem-problem ihwal lingkungan kita anggap sebagai persoalan yang remeh, maka kita dapat menjamin bahwa target yang ditetapkan oleh UN melalui SGDs hanya isapan jempol.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan akan selalu menempatkan ekonomi sebagai pemimpin tertinggi dalam setiap dimensi. Tetapi pembangunan ekonomi yang digerakkan oleh sumber daya manusia guna mengelola sumber daya alam acap menyebabkan konflik di berbagai bidang seperti kerusakan lingkungan, keanekaragaman hayati, bahkan mengusik nilai-nilai kearifan lokal.

Dengan demikian RUU Omnibus Law ibarat dua sisi mata pisau --payung hukum tersebut di satu sisi dapat memacu laju investasi, tetapi di sisi lain dapat menjadi bom waktu yang dapat mengancam keberlanjutan lingkungan, keanekaragaman hayati, bahkan budaya dan kearifan lokal. Jadi kata simalakama mungkin istilah yang tepat apabila pemerintahan Presiden Joko Widodo kelak mengesahkan RUU tersebut.

Omnibus Law dimungkinkan menjadi alat untuk mengendalikan kuasa modal para elite. Oleh karena itu semua eksponen harus melihat secara kritis di balik diusulkannya RUU tersebut. Jangan sampai atas nama investasi dan cipta lapangan kerja banyak hal-hal yang dikorbankan.

Surat Presiden (Surpres) beserta draf Omnibus Law/Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja telah disampaikan pemerintah kepada parlemen pada Rabu, 12 Februari 2020. Enam orang Menteri Kabinet Indonesia Maju 2019-2024 hadir langsung dalam prosesi penyerahan draf Omnibus Law tersebut kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).

Secara prinsip, tujuan Pemerintahan Jilid II Joko Widodo menginisiasi Omnibus Law adalah menciptakan lompatan pertumbuhan ekonomi. Produk Domestik Bruto (GDP) Indonesia yang berada di peringkat ke-7 pada tahun 2019 ditargetkan meningkat ke posisi 5 besar pada 2045 nanti. Menurut pemerintah, lompatan economic growth Indonesia akan lebih mudah tercapai apabila postur peraturan perekonomian ramah terhadap investasi. Dua elemen kunci yang dianggap memiliki signifikansi terhadap hadirnya investasi adalah prosedur izin bisnis dan tenaga kerja. Para promotor Omnibus Law menganggap bahwa kedua aspek tersebutlah yang justru masih menjadi kelemahan Indonesia.

Berdasarkan Ease Business Survey 2020 yang dirilis Bank Dunia, kemudahan izin usaha di Indonesia berada di peringkat ke-73 dari total 190 negara. Jauh dibawah posisi Singapura yang berada di peringkat ke-2 atau Malaysia dan Thailand yang berada di urutan ke-12 dan 21. Omnibus Law diharapkan mampu meringkas prosedur izin bisnis di Indonesia yang saat ini diatur oleh lebih dari 24.000 peraturan, baik peraturan pemerintah pusat maupun daerah.

Konon para investor juga tidak tertarik dengan urusan ketenagakerjaan di Indonesia. Selama periode waktu tahun 2004-2018, tingkat produktivitas tenaga kerja Indonesia berada di bawah Tiongkok dan Malaysia, namun biaya tenaga kerja (Indeks Unit Tenaga Kerja) Indonesia justru lebih tinggi dari kedua negara tersebut.

Proses pengesahan Omnibus Law akan berdampak terhadap sedikitnya 81 UU dengan 1.244 pasal. 11 klaster pembahasan yang akan menjadi kerangka pewacanaan lanjutan RUU ini adalah (1) penyederhanaan izin bisnis; (2) prasyarat investasi; (3) ketenagakerjaan; (4) pemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan Usaha Kecil, Mikro, dan Menengah (UMKM); (5) kemudahan usaha; (6) fasilitasi kegiatan riset dan inovasi; (7) administrasi pemerintahan; (9) pengenaan sanksi; (10) pengadaan tanah dan pemanfaatan kawasan hutan; (11) proyek dan investasi pemerintah, dan optimalisasi kawasan ekonomi.

Esai ini fokus pada pembahasan izin usaha dan kaitannya dengan pelestarian lingkungan serta aspek ketenagakerjaan yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak pekerja.
Potensi Kekerasan Struktural

Membangun infrastruktur yang ramah terhadap investasi dengan melonggarkan prosedur pelestarian lingkungan hidup sekaligus abai pada kesejahteraan pekerja akan berpotensi pada berlangsungnya kekerasan struktural. Terminologi kekerasan struktural diperkenalkan oleh Johan Galtung, sosiolog asal Norwegia yang fokus pada studi-studi mengenai konflik dan perdamaian. Menurut Galtung, peristiwa kekerasan tidak melulu harus dilakukan secara langsung (direct violence) dalam bentuk perlukaan fisik atau psikis di mana pelaku dan korbannya berada dalam satu momen waktu dan/atau lokasi yang sama (Galtung & Hoivik,1971).

Kekerasan, sebagai suatu alat kontrol dan alat kuasa (Parsons, 2007), juga bisa terjadi secara tidak langsung. Kekerasan struktural dimulai saat sumber daya terdistribusikan secara timpang. Galtung memberikan contoh bahwa membiarkan kelompok marjinal tidak bisa mengakses layanan kesehatan merupakan bentuk kekerasan struktural; sebab secara substansial, tidak memberikan pertolongan medik kepada orang sakit yang lemah secara ekonomi memiliki dampak penderitaan yang sama dengan peristiwa penyerangan fisik kepada seseorang yang dilakukan secara langsung.

Dalam konteks Omnibus Law, kekerasan struktural bisa berpotensi terjadi apabila wacana perizinan amdal (analisa dampak lingkungan hidup) jadi diperlonggar atau dihapuskan. Dalam proyeksi RUU ini, terdapat diversitas mekanisme penilaian terhadap dampak lingkungan berdasarkan jenis usaha. Hanya jenis usaha yang di anggap ”memiliki dampak penting” terhadap lingkungan yang membutuhkan izin lingkungan.

Prosedur untuk memastikan terjaganya keseimbangan ekologi bisa jadi memakan waktu. Bagi badan usaha, bisa jadi proses ini dianggap tidak ekonomis. Dengan prosedur amdal saja sebenarnya bukan jaminan lingkungan hidup kita tetap lestari, apalagi jika prosedur tersebut diperlonggar atau dihilangkan. Suhu panas yang ekstrem, polusi udara, asap akibat pembakaran hutan, banjir, dan peristiwa alam lain yang telah kerap muncul sebagai dampak dari rusaknya lingkungan, akan semakin parah apabila pelestarian alam dikesampingkan dalam upaya pencapaian kemajuan ekonomi. Potensi kekerasan struktural lain yang berpotensi terjadi adalah wacana munculnya sejumlah gagasan dalam RUU yang tidak berpihak pada kesejahteraan pekerja. Sejauh ini sejumlah kekhawatiran kelompok-kelompok buruh terhadap Omnibus Law antara lain, wacana penghapusan pengaturan tentang upah minimum, pengurangan jumlah pesangon, dan dekriminalisasi kejahatan yang dilakukan perusahaan dengan memindahkannya kedalam wilayah hukum perdata.

Dengan sudut pandang kekerasan struktural, Omnibus Law berpotensi memiliki fungsi sama dengan buldoser yang menumbangkan pohon-pohon dan mengeksploitasi hutan dalam jumlah masif, serta menjadi mesin yang merepresi posisi pekerja dalam hubungan kerja industrial dengan pemilik modal. Ekses lain dari dampak kekerasan struktural ini (ketidakadilan dan ketimpangan akses terhadap sumber daya dan kesejahteraan) adalah potensi lahirnya kejahatan-kejahatan yang bersifat konvensional. Saat struktur sosial tidak memberikan individu pilihan untuk secara sah memenuhi kebutuhan hidup, maka cara tidak sah akan menjadi jalan keluar yang terpaksa harus dipilih individu untuk bertahan.
Minim Ruang Partisipasi

Muncul kesan bahwa pemerintah menginginkan agar proses pembahasan dan pengesahan Omnibus Law berlangsung cepat. Bahkan, perampungan draf RUU itu menjadi salah satu target dalam 100 hari pertama masa jabatan periode ke-2 Presiden Joko Widodo. Namun proses penyusunan produk hukum yang memiliki dampak luas ini sepatutnya dilakukan dengan membuka ruang partisipasi selebar mungkin. Komunikasi politik dengan seluruh pemangku kepentingan harus segera dilakukan.

Saat esai ini diajukan, belum satu pun situs laman resmi, baik dari lembaga eksekutif maupun legislatif yang mengumumkan RUU Cipta Kerja beserta naskah akademiknya kepada publik. Termasuk kantor-kantor kementerian yang para menterinya mengantarkan langsung draf Omnibus Law itu ke Senayan. Pada beberapa kalangan beredar dokumen digital naskah akademik RUU Cipta Karya setebal 2.276 halaman. Namun, pada naskah tersebut tidak terdapat keterangan tertulis yang jelas bahwa dokumen itu adalah rancangan milik pemerintah yang diajukan ke DPR RI.

Protes publik yang luas selama proses Revisi UU KPK dan RUU KUHP yang berlangsung pada akhir tahun 2019 lalu, selain problem substansi, juga dipengaruhi buruknya komunikasi politik yang dilakukan oleh eksekutif dan parlemen kepada warga. Harapannya, pemerintah dan DPR RI tidak kembali melakukan kegagalan komunikasi serupa ketika menyusun Omnibus Law ini. Para pembahas Omnibus Law harus memperhatikan betul prinsip efisiensi berkeadilan dan prinsip berwawasan lingkungan yang merupakan basis dalam penyelenggaraan ekonomi nasional (Pasal33 Ayat 4 UUD 1945). Konstitusi harus menjadi mantra yang bisa mencegah negara melakukan praktik kekerasan struktural. (ysw)

Negara mana yang tidak mau jika memiliki ekonomi yang stabil, mengalami pertumbuhan, dan mempunyai Sumber Daya Manusia dengan daya saing. Namun di dalam berproses menuju tujuan tersebut, pasti ada sebuah aturan ataupun kebijakan yang diberlakukan.

RUU Cipta Kerja yang diciptakan pada masa kepemimpinan Jokowi-MA atau yang dikenal dengan Omnibus-Law menurut saya terdapat beberapa poin-poin pasal dalam RUU tersebut bertentangan dengan semangat juang bangsa, budaya maupun hukum-hukum yang ada di Pancasila.

Hal ini terindikasi pada hak-hak pekerja buruh yang dihilangkan sebagai contoh buktinya adalah diubahnya perhitungan UMP, status pekerja, waktu kerja, dan lain sebagainya.

Perinciannnya adalah Omnibus Law ini pemerintah ingin mendatangkan investor-investor dari luar untuk memperbaiki perekonomian Indonesia saat ini. Investor yang datang memang membuat perekonomian Indonesia meningkat tetapi dalam waktu yang bersamaan, hak-hak yang harusnya dimiliki seorang buruh itu dihilangkan.

Contoh hak-hak yang mulai dikurangi adalah upah minimum buruh yang seharusnya sudah ditetapkan antara pemerintah dan buruh sekarang mulai diturunkan tergantung kepada kesepkatan investor mau memberikan bayaran berapa.

Tentu ini bertentangan dengan sila-sila yang ada di Pancasila termasuk sila ke-4 dan sila ke-5. Untuk sila ke-4 yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan". Omnibus Law bertentangan dengan inti dari sila tersebut yaitu tentang permusyawaratan atau musyawarah.

Di mana dalam sidang perumusan RUU Cipta Kerja ini, rakyat sebagai perwakilan dari para pekerja-pekerja kelas bawah tidak bisa meyalurkan aspirasi maupun pendapatnya mengenai RUU tersebut. Walaupun anggota DPR pada saat itu datang untuk mewakili rakyat, tetapi itu tidak cukup dalam menampung semua aspirasi dari semua rakyat terutama yang bekerja sebagai buruh.

Tentu hal ini sangat bertentangan dengan makna sila ke-4 yaitu tentang musyawarah untuk mecapai mufakat. Untuk sila ke-5 yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia".

Di dalam sila ini Omnibus Law bertentangan dengan keadilan yang diterima antara investor yang datang dan pekerja buruh kelas bawah maupun menengah.

Di mana buruh yang dipekerjakan oleh investor tersebut mendapat upah yang lebih sedikit daripada upah yang selayaknya mereka dapatkan sebelum adanya Omnibus Law ini. Sedangkan Investor yang mempekerjakan mendapatkan upah yang tinggi.

Tentu saja ini secara tidak sengaja sedikit demi sedikit mulai menghilangkan hak upah dari pekerja buruh. Dengan adanya peristiwa RUU Cipta Kerja ini atau Omnibus Law apakah pemerintah sudah benar-benar menerpkan nilai-nilai Pancasila di dalam RUU tersebut?

Atau malah RUU tersebut hanya untuk mengelabui masyarakat atas nama Pancasila hanya demi kepentingan segelintir orang atas maupun investor. Dengan adanya permasalahan Omnibus Law ini alangkah lebih baiknya masyarakat maupun pemerinah kembali mengevaluasi kembali semua  nilai-nilai Pancasila yang mana Pancasila ini sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia ini  baik dari segi ekonomi, politik, sosial budaya, maupun hukum.

Alangkah baiknya poin-poin di dalam RUU tersebut dievaluasi kembali dan disejajarkan dengan nilai-nilai Pancasila karena letak sumber hukum yang paling utama negara Indonesia adalah Pancasila.

Seharusnya Pemerintah berpikir bagaimana cara memaksimalkan investasi yang sekarang ada di Indonesia guna lebih berkualitas, bukanya malah memperbanyak Investasi yang hasilnya hanya dirasakan oleh segelintir elit.

Jika Investasi terus dimanjakan terdapat konsekuensinya, pertama penekanan upah buruh dan kedua pengabaian aturan Amdal (analisis dampak lingkungan) sangat bertentangan dengan nafas konstitusi.

Poin RUU Omnibus Law yang bertentangan dengan Pancasila di bidang Pendidikan, ketika terdapat poin didalam Omnibus Law pada pararagraf ke-12 tentang Pendidikan dan Kebudayaan, mengubah maupun menghapus Undang-Undang sebelumnya, salah satunya adalah pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Pada pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 berbunyi tentang kewajiban guru dalam memiliki sertifikat pendidik, kompetensi, kualifikasi akademik, sehat jasmani dan rohani. Namun pada RUU Omnibus Law yang telah diserahkan pemerintah di DPR, tepatnya pada halaman 498 draf RUU Omnibus Law, Pasal 8 jadi memiliki 2 ayat atau ayat tambahan ini bertentangan dengan makna dari Undang-Undang sebelumnya.

Ayat tambahan tersebut berbunyi tentang sertifikat pendidik tidak wajib dimiliki oleh guru maupun dosen yang berasal dari lulusan perguruan tinggi luar negeri yang terakreditasi.

Dengan demikian guru maupun dosen yang merupakan lulusan dari luar negeri tidak wajib memiliki sertifikat pendidik dan untuk guru ataupun dosen yang berasal dari lulusan perguruan tinggi dalam negeri wajib memiliki sertifikat pendidik.

Nah isi dari draf pasal Omnibus Law ini bertentangan dengan sila di Pancasila yaitu sila ke-5 di mana sila ke-5 memiliki makna untuk bersikap adil kepada seluruh rakyat Indonesia. Akan tetapi pasal di dalam Omnibus Law tersebut seakan akan mendiskriminasi guru ataupun dosen yang merupakan lulusan dalam negeri.

Saya setuju jika pasal-pasal dari Omnibus law ini perlu direvisi dengan mengedepankan asas-asas seluruh aspek kehidupan bernegara karena jika ini tidak segera diselesaikan, saya yakin akan muncul permasalahan baru seperti dalam penyusunan peraturan perundang undangan hingga ketidakpastian hukum.

Terkait sisi positip, disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pada publish di portal CNBC Indonesia, disebutkan bahwa banyak dampak positip dari rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) yang akan dibahas di DPR RUU ini tak hanya berimplikasi apda sektor ketenagakerjaan tapi juga kemudahan berusaha sehingga tercipta Penciptaan Lapangan Kerja baru bagi Masyarakat.

Airlangga juga menambahkan, bahwa RUU Cipta kerja bahwa RUU ini bukan revisi total UU 13 (tentang Ketenagakerjaan tahun 2003), dimana disebutkan judulnya job creation jadi strukturnya terkait ekosistem perijinan keberpihakan ke UKM, situasi kerja yang berbeda dengan tahun 2003, saat tahun 200-an saat sistem lebih  rigit sedangkan 2020 ini masuk digitalisasi or revolusi industri 4.0.

Berbeda dengan pandangan Wisang Geni seorang penulis pengamat sosial politik, dampak positif yang ditulis pada  kabar-banten.com, disebutkan bahwa Omnibus Law akan menguntungkan warga Indonesia, misalnya akses investasi yang menguatkan ekonomi negara, penciptaan lapangan pekerjaan, secara besar-besaran, aturan pengupahan yang sesuai, adanya tax holiday yang disebut-sebut menjadi angin segar bagi pengusaha atas pajak yang sedemikian membenani.

Terkait pentingnya penyederhanaan regulasi sebagai upaya perwujudan perbaikan ekonomi dan kesejahteraan sosial, disampaikan juga oleh Hj. Nur Nadlifah Anggota DPR RI Komisi IX yang dulu pernah menjadi Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja di kementerian Ketenagakerjaan RI.

Dia menjelaskan terkait omnibus Law Cipta Kerja ternyata memiliki sejumlah keunggulan salah satunya adalah regulasi tersebut menjadi upaya terobosan hukum dan penyederhanaan hukum di Indonesia. Karena pada RUU tersebut bisa menjadi jaminan terhadap kepastian, perlindungan dan keadilan bagi para pemangku kepentingan, Jangan Skeptis dulu dengan regulasi yang mau dibahas, prinsipnya dalam proses membahas Draf RUU ini masih menutup keterbukaan dan transparansi sehingga masyarakat bisa saja memberikan masukan atas rancangan ini.

Bagi kelompok buruh, aktivis lingkungan, pers dan termasuk kalangan kampus dan kelompok yang terdampak langsung bisa memberikan masukan untuk perbaikan RUU ini, DPR RI masih memberikan saluran masukan yang penting dari mereka yang berimbas ketika regulasi ini ditetapkan.

Disisi lain, Teten Masduki selaku Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah ( Menkop UKM) mengatakan seperti yang ada di suaradewata.com bahwa omnibus law akan berdampak positip bagi UMKM, pertama menurutnya adalah soal kebijakan pengupahan karena pada aturan ini untuk kebijakan pengupahan UMKM dikecualikan dari upah minimum dan lainnya, artinya kelak UMKM dapat lebih kompetitif dengan usaha besar.

Kedua diberlakukan omnibus law cipta lapangan kerja, diharapkan industri yang sebelumnya aktif bergerak dari satu daerah ke daerah lain karena mencari upah kerja yang lebih murah, nanti tidak lagi demikina karena lebih memilih bermitra dengan UMKM. Sisi yang lain pada Omnibus Law tidak akan memberikan beban biaya pelaku UMK yang akan mengajukan sertifikasi halal, artinya mengurangi pembiayaan bagi UMKM.

Sisi Negatif Omnibus Law

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyatakan 9 alasan untuk menolak draf tersebut, dianggap Draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Ombibus Law Cipta yang diserahkan Pemerintah kepada DPR telah mereduksi kesejahteraan buruh, bukan perlindungan, demikian disampaikan oleh Presiden KSPI Said Iqbal yang dilangsir di katadata.co.id.

Ada 9 alasan antara lain, hilangnya ketentuan upah minimum di Kab/kota, Masalah aturan pesangon yang kualitasnya dianggap menurun dan tanpa kepastian, Omnibus akan membuat penggunaan tenaga alih daya semakin bebas, awalnya di UU itu outsourching berupa ke core business. sangsi pidana bagi perusahaan yang melanggar dihapuskan, kelimat aturan mengenai jam kerja yang dainggap eksploitatif, karyawan kontrak susah diangkat menjadi karyawan tetap, penggunaan tenaga kerja asing (TKA) termasuk buruh kasar yang bebas, PHK yang dipermudah dan terakhir hilangnya jaminan sosial bagi buruh khususnya jaminan kesehatan dan jaminan pensiun.

Sementara peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia Aqil Oktaryal yang ditulis dalam Kolom.Tempo.co menjelaskan intisari dari tulisannya, bahwa omnibus law berpotensi mengabaikan ketentuan formal pembentukan undang-undang, omnibus mempersempit keterbukaan dan partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang. Omnibus juga menambah beban regulasi jika gagal diterapkan. Jika hanya akan mengancam dan mencederai prinsi-prinsip demokratis, sebaiknya nilai tersebut ditiadakan sama sekali.



Pro dan kontra jelas terjadi dalam setiap pembahasan rancangan Undang-Undang, bahkan membuat regulasi dilevel Kabupaten/Kot pun Pemerintah Kabupaten/Kota akan menuai protes dari berbagai pihak, ada yang mendukung dan ada yang menolak, pandangan mereka juga ada yang berpendapat positif dan ada pendapat negatif, semuanya ini pastinya diserahkan kepada DPR RI sebagai perwakilan yang sah dan kita sendiri juga memilih mereka untuk duduuk di parlemen dan menyuarakan usulan dari masyarakat dan dipertahankan dilevel parlemen, agar anggaran rakyat ini pro rakyat jangan pro pemerintah, sisi yang lain bahwa amanat sebagai wakil rakyat juga dilindungi oleh UU terutama dalam mengambil kebijakan regulasi karena tugas wakil rakyat yang sudah kita pilih, mereka harus membawa aspirasi masyarakat, membahas peraturan perundang-undangan, penganggaran dan pengawasan sehingga dapat mempengaruhi sebuah kebijakam yang tentunya berdaya guna bagi kepentingan publik.

Mestinya yang terdampak akan regulasi ini harus selalu update dengan aturan yang ada, tahapan demi tahapan harus diperhatikan dengan baik, jika memang RUU yang ada kemudian sangat merugikan rakyat atau mereka yang terdampak, mestinya ada mekanisme pembahasan sebelum masuk penetapan regulasi. Mari kita sikapi persoalan kebijakan ini dengan arif dan bijaksana.

Masukan dari masyarakat baik dari sisi positif maupun sisi negatif harus menjadi pertimbangan bagi para Wakil Rakyat di DPR RI yang membahas RUU Omnibus Law ini, agar tidak mencederai amanat rakyat yang sudah diembannya. Prinsip menuju Indonesia maju tetap ada, Pemerataan pembangunan juga penting, dan upaya meningkatkan pendapatan masyarakat di segala bidang juga diperlukan. Semoga Wakil Rakyat yang sedang mengemban tugas di parlemen ini tetap ikhitiar kebaikan melalui regulasi yang Idhar bukan Ikkhfa dalam menyusun Rancangan RUU Omnibus Law.

Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja sudah diserahkan ke DPR. Aturan 'sapu jagat' itu langsung memantik polemik. Dari banyak pasal, dirampingkan dalam satu undang-undang. Banyak pasal-pasal dihapus.

Dalam pembahasan UU Ketenagakerjaan misalnya. Beberapa pasal hilang. Namun ada aturan baru yang justru memicu protes dari kalangan buruh. Mulai dari soal kontrak kerja sampai jam kerja. Buruh pun mengancam akan melakukan protes.

Seperti diketahui, pemerintah saat ini tengah gencar melakukan reformasi struktural menangkal resesi ekonomi global. Salah satunya melalui bersih-bersih aturan lewat Omnibus Law. Tujuannya tak lain perbaikan tata kelola perekonomian.

Pemerintah menyadari banyaknya peraturan membuat daya saing Indonesia kalah dibandingkan negara tetangga di Asia Tenggara. Pada 2019, menurut laporan World Economic Forum (WEF), peringkat daya saing Indonesia turun 5 posisi ke 50. Indonesia berada pada peringkat keempat di ASEAN. Negara ini di belakang Singapura (1), Malaysia (27) dan Thailand (40).

Hal ini tentu merugikan. Di saat, Indonesia membutuhkan banyak suntikan dana investasi guna menjaga otot perekonomian. Presiden Jokowi menilai banyaknya perizinan, baik di tingkat pusat maupun daerah, menjadi masalah investor tak melirik Indonesia.

Presiden pun meminta untuk dilakukan perbaikan aturan-aturan yang dinilai menghambat. "Ini ada apa? Kita harus mau introspeksi. Masalahnya ada pada ruwetnya perizinan di pusat termasuk di daerah. Ruwet semuanya," tegas Presiden Jokowi saat pembukaan rakornas di Sentul, Bogor.

Atas dari inilah pemerintah mencetuskan Omnibus Law atau peleburan Undang-Undang. Menurut Asisten Deputi Humas Kementerian Sekretariat Negara, Eddy Cahyono Sugiarto, Omnibus Law dilakukan untuk menyederhanakan, memangkas, serta menyelaraskan berbagai regulasi yang tumpang–tindih atau pun bertentangan dalam rumpun bidang yang sama.

Secara historis, praktik penerapan Omnibus Law telah banyak diterapkan di negara–negara penganut sistem common law yang bertujuan untuk memperbaiki regulasi dalam rangka meningkatkan iklim serta daya saing investasi.

Sebagai gambaran, penerapan Omnibus Law di Amerika Serikat (AS) cukup sering menggunakan hukum omnibus, utamanya untuk merangkum beberapa aturan yang lebih kecil. Penggunaan hukum itu biasanya terjadi dalam aturan untuk mendanai badan pemerintah, dan mencegah penutupan layanan negara (shutdown).

Adapun jika dirunut sejarahnya, pada abad 19, setidaknya AS mencatat mempunyai tiga Omnibus Law yang cukup signifikan. Salah satunya adalah Kompromi 1850 berisi lima ketentuan berbeda yang dirancang oleh Senator Henry Clay dari Kentucky.

Saat itu, Clay membuat kompromi tersebut guna meredam perbedaan yang bisa mengancam pemisahan diri dari negara bagian yang tidak melarang perbudakan. Satu lagi adalah Omnibus Law pada 22 Februari 1889. Mengatur penerimaan empat negara bagian ke AS: North dan South Dakota, Montana, dan Washington.

Di Irlandia, pemerintah setempat mengesahkan Amendemen Kedua Konstitusi pada 1941, berisi perubahan fundamental pada aturan hukum di sana. Kemudian di Selandia Baru, sebuah Omnibus Law disahkan pada November 2016 berisi legislasi bagi Wellington untuk memasuki Kerja Sama Trans Pasifik (TPP). Kemudian di Australia, Canberra menelurkan Artikel 55 dalam Konstitusi berisi UU yang mengubah sejumlah perpajakan.

Oleh karena itu, dia melanjutkan, pilihan strategi Indonesia dalam menerapkan Omnibus Law sangatlah masuk akal mengingat iklim investasi dan daya saing Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara lain (peer group) seperti Malaysia dan Thailand.

"Hal tersebut tercermin dari laporan 'Ease of Doing Business (EODB)' 2020 yang dirilis oleh Bank Dunia, Indonesia masih berada di peringkat 6 besar negara di ASEAN dengan total skor 69,6 sedangkan Malaysia dan Thailand masing masing memiliki total skor 81,5 serta 80,1," jelas Eddy seperti dikutip dari laman Setneg.go.id.

Eddy menilai upaya untuk menciptakan lompatan besar demi mendekatkan visi Indonesia Maju pasti membutuhkan sinergi berbagai bauran kebijakan dalam mendukung investasi yang dapat dilakukan menggunakan instrumen Omnibus Law.

Upaya pemerintah Indonesia dalam menggenjot laju investasi untuk pertumbuhan ekonomi nasional selaras dengan argumen Hermes & Lensink (2003) yang menyatakan bahwa Foreign Direct Investment (FDI) memiliki dampak positif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi terhadap negara penerima di mayoritas negara-negara Amerika Latin dan Asia.

Sebagai negara berkembang dengan mayoritas penduduk usia produktif, peran investasi dalam menyediakan lapangan kerja untuk mendorong sektor-sektor produktif menjadi fokus yang perlu mendapat perhatian.

Dalam publikasi World Bank pada September 2019 dengan judul 'Global Economic Risks and Implications for Indonesia', kunci dari pertumbuhan ekonomi terletak pada seberapa besar Penanaman Modal Asing (PMA). Persoalan yang digarisbawahi World Bank mengenai masih rendahnya kontribusi PMA Indonesia terhadap PDB terletak pada regulasi Indonesia yang dinilai terlalu rigid sehingga menyebabkan kurang kompetitif di pasar global.

Maka dari itu, dia menilai dengan adanya rencana penerapan Omnibus Law memiliki nilai strategis pada masa mendatang untuk mendorong iklim investasi yang lebih dinamis. Skema Omnibus Law diharapkan menjadi terobosan yang inovatif dalam upaya debirokratisasi dan deregulasi sesuai dengan arahan Presiden Jokowi serta menjadi momentum krusial dalam mendobrak laju investasi nasional.

Sebab, penerapan Omnibus Law akan dapat mengarahkan pada cipta lapangan kerja yang substansinya menciptakan ekosistem investasi yang kondusif untuk penguatan perekonomian dengan penciptaan dan perluasan lapangan kerja, peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan serta perlindungan UMKM.


Namun, Omnibus Law tak begitu saja diterima seluruh kalangan. Salah satunya dari Deputi Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KPSI), Muhammad Rusdi. Dia menyebut pihaknya tegas menolak Omnibus Law Cipta Kerja yang diusulkan pemerintah. Dia menilai proses pembahasan RUU Omnibus Law yang berlangsung tertutup melanggar aturan perundang-undangan yang berlaku.

"Bahasan RUU Omnibus itu dari awal tertutup, bertentangan dengan undang-undang. KSPI tidak pernah diundang dan tidak pernah diminta pandangan oleh menko perekonomian, masuk ke dalam tim yang dibentuk berdasarkan SK Menko Perekonomian No.121 Tahun 2020," tegasnya.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Andi Gani mengaku kecewa dengan pemerintahan Presiden Joko Widodo. Andi menilai UU ini aneh dan terkesan disembunyikan. Andi meminta Jokowi untuk melibatkan kaum buruh dalam pembahasannya.

Tapi, yang terjadi malah Menko Perekonomian Airlangga Hartarto membentuk Satgas Omnibus Law, yang ditugaskan untuk merancang UU tersebut, berisi para pengusaha. Andi mengatakan, para buruh bergejolak menanggapi Omnibus Law Cipta Kerja karena ada kesan disembunyikan pemerintah.

Anggota Ombudsman RI, Alamsyah Saragih, mengkritik pemerintah yang terkesan tertutup dalam membahas Omnibus Law. Alamsyah mengatakan, banyak pihak termasuk akademisi sulit mengakses isi Omnibus Law tersebut.

Menurut Alamsyah, pembahasan Omnibus Law malah dilakukan dengan penerima manfaat yaitu para pengusaha dan Kadin. Dia nilai langkah ini berbahaya. "Pembahasan lebih banyak ke dunia pengusaha yang kita tahu tidak semua pengusaha itu oke."

Poin-Poin yang Tuai Sorotan


Adapun Presiden KSPI, Said Iqbal, menjabarkan sejumlah poin di Omnibus Law yang dinilai merugikan. Salah satunya, dia menilai upah minimum dalam RUU Cipta Kerja hanya didasarkan pada Upah Minimum Provinsi (UMP). Padahal, UMP tidak dibutuhkan.

Sebab, tidak ada daerah di seluruh wilayah Indonesia, pengusahanya membayar pakai UMP. Tetapi mereka membayar upah minimum buruh dengan menggunakan UMK atau UMSK, kecuali di DKI Jakarta dan Yogyakarta.

Selain itu, pada pasal 95, tidak ada denda bagi pengusaha yang terlambat membayar upah. Padahal dalam UU 13/2003, pengusaha yang terlambat membayar upah bisa dikenakan denda keterlambatan.

ruu omnibus law

Pasal 95 UU 13/2003 mengatakan:
(1) Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda.

(2) Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh.

(3) Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau pekerja/buruh, dalam pembayaran upah.

(4) Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.

Sementara, di aturan Omnibus Law pasal 95 diubah menjadi:

(1) Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, upah dan hak lainnya yang belum diterima oleh pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.

(2) Upah pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya sebelum pembayaran kepada para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan.

(3) Hak lainnya dari pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya setelah pembayaran kepada para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan.

"Dampaknya, pengusaha akan semena-mena dalam membayar upah kepada buruh," ujar Said Iqbal.
4 dari 6 halaman

Said Iqbal menambahkan, ketentuan pesangon pun menjadi sorotan. Salah satunya, nantinya pekerja yang resign tidak lagi mendapatkan pesangon karena ketentuan pasal pada UU 13/2003 dihapus pada Omnibus Law.

Pekerja yang melakukan hal ini, nantinya tidak akan mendapatkan pesangon. Antara lain:

Ketentuan pesangon dalam Pasal 161 UU 13/2003 dihapus. Dengan demikian, pekerja yang di PHK karena mendapatkan Surat Peringatan Ketiga tidak lagi mendapatkan pesangon.

Ketentuan pesangon dalam Pasal 162 UU 13/2003 dihapus. Dengan demikian, pekerja yang mengundurkan diri tidak mendapatkan pesangon.

Ketentuan pesangon dalam Pasal 163 UU 13/2003 dihapus. Dengan demikian, pekerja yang di PHK karena terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan tidak lagi mendapatkan pesangon.

Ketentuan pesangon dalam Pasal 164 UU 13/2003 dihapus. Dengan demikian, pekerja yang di PHK karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), tidak lagi mendapatkan pesangon.

Ketentuan pesangon dalam Pasal 165 UU 13/2003 dihapus. Dengan demikian, pekerja yang di PHK karena perusahaan pailit tidak lagi mendapatkan pesangon.

Ketentuan pesangon dalam Pasal 166 UU 13/2003 dihapus. Dengan demikian, pekerja yang meninggal dunia, kepada ahli warisnya tidak lagi diberikan sejumlah uang sebagai pesangon.

Ketentuan pesangon dalam Pasal 167 UU 13/2003 dihapus. Dengan demikian, pekerja yang di PHK karena memasuki usia pensiun tidak lagi mendapatkan pesangon.

Ketentuan pesangon dalam Pasal 172 UU 13/2003 dihapus. Dengan demikian, pekerja yang di PHK karena mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja ketika di PHK tidak lagi mendapatkan pesangon.

Said Iqbal juga mengungkapkan di Omnibus Law, hari libur yang biasanya 2 hari dalam seminggu, dibuat hanya 1 hari.

Seperti tertuang dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja pasal 79 ayat 2 (b) disebutkan "Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu."

Padahal, dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan pasal 79 ayat 2 (b) dituliskan bahwa; "Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu."


Terakhir, Said Iqbal juga mengungkapkan perhatiannya pada pasal 59 UU 13/2003 yang dihapus dalam RUU Omnibus Law. Padahal, dalam pasal ini diatur syarat kerja kontrak, batasan waktu agar tidak mudah di PHK dan menghindarkan buruh dari eksploitasi yang terus menerus.

"Dengan hilangnya pasal ini, bisa dipastikan tidak ada lagi pengangkatan pekerja tetap," jelasnya.

Adapun pasal 59 UU 13/2003 berbunyi:

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:

a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.

(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui.

(4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu paling lama 1 tahun.

(5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.

(6) Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 kali dan paling lama 2 tahun.

(7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.

(8) Hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

Respons Pemerintah


Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, menyebut ruang untuk berdialog masih terbuka. Pemerintah dan DPR juga terus mensosialisasikan Omnibus Law tersebut.

"Ruang dialog masih terbuka. Kita sudah menyampaikan kepada DPR. Kita juga sepakat dengan DPR akan menyosialisasikan RUU tersebut ke seluruh stakeholder," kata Menteri Ida.

Menteri Ida menambahkan, pihaknya punya tim sosialisasi yang modelnya tripartit, yaitu pemerintah, pekerja dan buruh. Tim ini di samping melakukan sosialisasi, juga membahas soal substansi. "Termasuk bersama-bersama membahas menyiapkan peraturan teknis perintah dari UU," kata Ida.

Menurut politikus PKB itu, penolakan RUU dari kalangan buruh karena adanya miss komunikasi. Oleh sebab itu Ida dam tim tripartit terus melakukan sosialisasi.

"Saya bisa mengerti ada miskomunikasi, saya rasa kita akan terus melakukan sosialisasikan itu," ucapnya.

Menteri Ida juga mengklarifikasi tudingan kalangan buruh bahwa upah minimum hingga pesangon akan dihapuskan di Omnibus Law Cipta Kerja. Dia menegaskan bahwa upah minimum dan pesangon masih tetap ada.

Justru, lanjut Menteri Ida, pemerintah akan memperkenalkan program jaminan kehilangan pekerjaan. Di situ, ada uang saku dan pelatihan vokasi yang diberikan. Kemudian, jaminan atau akses penempatan.

"Justru hal baru ini yang tidak ada dan tidak diatur dalam UU 13 tahun 2003. Kita memperkenalkan ada program jaminan kehilangan pekerjaan, yang dalam konsepnya tidak menambah iuran baru, nanti ada restrukturisasi manfaat yang diberikan kepada pekerja kita," tuturnya.

Kemudian RUU tersebut akan memperketat pemberian izin Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA). Menteri Ida menepis bahwa Omnibus Law Cipta Kerja akan mempermudah TKA (Tenaga Kerja Asing) masuk.

"Di undang-udang itu strict sekali, siapa yang akan kita berikan RPTKA. Jabatan-jabatan tertentu yang memang kita tidak memiliki ahlinya. Kemudian diharapkan ada transfer of knowledge kepada kita, Jadi justru di UU Cipta Kerja itu ada batasannya siapa saja TKA yang bisa masuk ke Indonesia," tutup Menteri Ida.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.