AGENDA ARABISASI INDONESIA

Seorang wartawan dan pengajar perbandingan politik Brown University, Stephen Kinzer membuat tulisan tentang peran Arab Saudi dalam mengubah citra moderat Islam Indonesia menjadi lebih fundamentalis. Dalam tulisannya yang dimuat di The Boston Globe, Kinzer mengatakan bahwa proses itu dilakukan dengan membiayai penyebaran aliran Salafi-Wahabisme di Indonesia, termasuk dengan memberikan beasiswa bagi pelajar Indonesia untuk bersekolah di Arab Saudi.

Ide pribumisasi Gus Dur ingin mengatakan Islamnya orang Indonesia itu otentik, sempurna, dan tak perlu minder dengan Islamnya orang Arab. Gus Dur mencoba menjawabnya dengan menggunakan Ushul Fiqh, suatu tradisi penafsiran yang telah dikenal oleh kaum muslimin sendiri.

"Pribumisasi Islam hadir melawan usaha arabisasi,\" jelas Idris Mas\'udi kepada 20-an orang peserta diskusi, Jumat siang (6/1). Maraknya penafsiran tekstual agama, terutama oleh kelompok yang mengidentifikasi diri gerakan pemurnian di era 80-an, menurutnya menjadikan agama makin kaku sehingga yang bukan agama akhirnya diagamakan. \"Karena itu perlu sebuah tafsir yang kontekstual, Gus Dur menyebutnya pribumisasi Islam,\" tambahnya.

Idris, aktivis Pusat Studi dan Pengembangan Pesantren (PSPP), organisasi yang didirikan tahun 2007 silam dan bergerak pada pemberdayaan pesantren. Siang itu, pria ini menjadi salah satu narasumber diskusi rutin yang digelar jaringan intelektual muda dan penulis pecinta pemikiran Gus Dur yang menamai diri Jaringan Pemikiran Gus Dur. Jaringan ini bermarkas di Pojok Gus Dur, gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jalan Kramat Raya Jakarta Pusat. Mengadakan diskusi rutin tentang pemikiran Gus Dur sebulan dua kali. Jumat pertama di Pojok Gus Dur, dan jumat terakhir keliling silaturahim di kantong-kantong kajian muda yang menjadi jamaah jaringan ini.
Bertempat di sekretariat Piramida Circle Ciputat, diskusi kebanyakan dihadiri mahasiswa yang aktif di sejumlah forum studi dan organisasi kemahasiswaan: Pusat Studi dan Pengembangan Pesantren, Komunitas Saung, Piramida Circle, Forum Lingkar Pena, Pesantren Ciganjur, Jurnal Pena Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII), Wacana Institute, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Jakarta Pusat, dan PMII Komisariat Universitas Bung Karno.

Idris berkesimpulan, kontekstualisasi keislaman ala Gus Dur  itu punya kesamaan dengan tawaran pemikiran Khaled Aboul Fadhl, profesor hukum Islam di Fakultas Hukum University of California, Los Angeles (UCLA), Amerika Serikat. Khaled menilai hukum Islam sebenarnya sangat fleksibel, tak mesti kaku dan beraroma Arab. Gejala arabisasi, serba Arab, sendiri menurutnya banyak dipengaruhi pemahaman terhadap hadis yang keliru. Idris juga mengutip pernyataan Guru Besar Hadis Institut Ilmu al-Quran (IIQ), Jakarta, Kiai Aly Mustafa Ya\'kub. Perlu dibedakan, kata Kiai Mustofa Ya\'kub, ajaran Islam yang sebenarnya dan yang hanya tradisi Arab. Penggunan jubah misalnya. Meski Nabi saw. Memakai jubah, tak berarti itu bagian ajaran agama. \"Toh, Abu Jahal dan kawan-kawan juga memakai jubah,\" Idris mencontohkan. Abu Jahal, salah seorang paman Nabi Muhammad yang semasa hidupnya selalu memusuhi kemenekannya.

Melawan Hegemoni Negara

Khoirul Huda, pembicara lainnya, menandaskan jika pribumisasi tak hanya melawan arabisasi atau cara beragama yang kaku dan abai terhadap kepentingan lokal, tapi juga untuk melawan hegemoni negara yang sedang gencar-gencarnya melakukan modernisasi di segala bidang. Gus Dur, kata aktivis Komunitas Saung ini, berusaha agar bagaimana tak terjadi benturan-benturan antara agama, negara, dan kebudayaan. Pergulatan ketiganya merupakan faktor yang memicu muncul gagasan pribumisasi Islam. Suatu gagasan yang mengajak pada pengakuan akan eksistensi suatu kebudayaan kecil yang sering kali terpinggirkan baik oleh kebijakan negara atau oleh pemahaman keagamaan yang bersifat arabistik tadi. Gus Dur menggunakan ushul fiqh, ilmu dasar-dasar hukum Islam, sebagai instrumennya, ditambah dengan kontekstualisasi melalui pertimbangan dan kebutuhan lokal. Yang terakhir ini, dikenal dengan prinsip maqashid syariah (tujuan diterapkannya Syariah). Selama masih dalam koridor itu, lanjut Huda, suatu kebijakan dapat diakui sebagai bagian dari Islam.

Islamnya orang Indonesia itu otentik

Peneliti senior the Wahid Institute, Rumadi, memotret pribumisasi dalam konteks gerakan pemikiran dan sosial keagamaan. Menurutnya, pribumisasi sempat mati suri hingga sekitar tahun 2003-an. Di pertengahan tahun itu, jurnal Tashwirul Afkar terbitan Lembaga Kajian dan Pengembangan SDM NU (Lakpesdam NU) mengangkatnya sebagai judul besar. Relevansi gagasan dengan kondisi Indonesia saat itu menjadi alasan utamanya. Pascareformasi semua kelompok yang di masa Orde Baru dibungkam, secara terang-terangan menampakkan jati dirinya, termasuk kelompok Islam yang membawa ideologi Arabis. Di sini, kata Rumadi, pribumisai Islam menemukan momentumnya kembali. Pribumisasi Islam ditafsirkan lebih sistematis dan ideologis untuk melawan gerakan ini.
Ditambahkan, selain berimplikasi positif, gagasan pribumisasi juga memuat implikasi negatif. Implikasi positifnya, orang Islam Indonesia lebih percaya diri. Orang Islam Indonesia tak perlu merasa Islamnya tak lebih sempurna dari orang-orang Arab. Negatifnya, pribumisasi akan berhadapan dengan multikulturalisme sebagai salah satu pilar demokrasi. Pribumisasi meniscayakan hak istimewa untuk kelompok masyarakat tertentu dalam kaitannya dengan persoalan hukum. Sedangkan multikulturalisme justru sebaliknya, menginginkan kesamaan perlakuan di hadapan hukum.

Di beberapa negara, isu ini menjadi problem penting. Bahkan, kanselir Jerman, Angela Dorothea Merkel, mengakui negaranya gagal mewujudkan multikulturalisme. Orang-orang Turki tetap hidup dalam kultur mereka, bahasa mereka, dan adat-istiadat mereka. Di Australia, orang-orang Aborigin memiliki hukum sendiri dan hidup dengan hak-hak mereka sendiri, terpisah dari masyarakat kebanyakan. Karenanya, menurut penulis buku Post-Tradisionalisme Islam ini, perlu diukur sejauh mana implikasi pribumisasi pada multikulturalisme.

Rumadi menegaskan, dengan ide pribumisasi Gus Dur ingin mengatakan, Islamnya orang Indonesia itu otentik, sempurna, dan tak perlu minder dengan Islamnya orang Arab. Gus Dur mencoba menjawabnya dengan menggunakan Ushul Fiqh, suatu tradisi penafsiran yang telah dikenal oleh kaum muslimin sendiri.

Di sesi tanya jawab, Jamaludin dari PSPP melihat jika pribumisasi berakar pada problem dualisme agama dan budaya. Pemetaan inilah yang menjadikan agama harus diperhadapkan dengan budaya. Agama vis a vis budaya. Dengan gagasannya ini, Gus Dur lalu berusaha meredam ketegangan antara keduanya. Namun, pada akhirnya tema ini mengalami beberapa pemaksaan penafsiran oleh generasi penerus Gus Dur.

Tiga Pendekatan Gus Dur

Syaiful Arif, peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) mengkritik pandangan dua pemateri sebelumnya. Salah satunya ditujukan untuk analisis Huda yang dianggapnya sangat dipengaruhi poskolonial. Bagi Koordinator Jaringan Pemikiran Gus Dur, semangat poskolonial itu yang membuatnya menganggap seakan-akan Gus Dur berada pada posisi melawan proyek pembangunan negara. Bagi Arif, itu tak sepenuhnya benar. Faktanya, Gus Dur justru mendukung pembangunan negara. Gus Dur hanya ingin meredakan ketegangan yang terjadi antara negara yang membuat kebijakan dan kelompok lokal yang memiliki kekhasannya. \"Jadi, kalau dikatakan Gus Dur berhadapan dengan negara dapat dibenarkan, hanya saja hal itu berlaku secara tidak langsung. Ketika melihat bahwa pribumisasi Islam hadir sebagai perlawanan terhadap simbol Islam dengan budaya, dan Gus Dur ingin melerai ketagangan ini, maka sebenarnya Gus Dur ingin menawarkan Islam sebagai etika sosial,\" terangnya.

Lebih lanjut ia menguraikan, Gus Dur sebenarnya memperkenalkan beberapa pendekatan. Pertama, pendekatan struktural. Yakni perjuangan Islam yang berorientasikan penguasaan struktur negara dan bersifat institusional. Kedua, kultural yang menekankan pada pencerahan pemikiran, dan gerakan-gerakan non-struktural lainnya. Pendekatan ketiga, disebut Gus Dur dengan istilah pendekatan sosio-kultural, di mana akar-akar kultural digunakan untuk melakukan transformasi kultural dan sosial sekaligus.

Dalam diskusi yang berlangsung sekitar tiga jam tersebut beberapa pertanyaan sempat terlontar. Diskusi berjalan lancar. Namun tujuan utama dari digagasnya forum yang berisikan pecinta Gus Dur ini belum terlihat, yakni merumuskan epistemologi Gus Dur, terutama dalam konteks pribumisasi Islam. Paling tidak terdapat dua pertanyaan yang dihadapi dalam soal epistemologi ini. Gus Dur mengajak menggunakan pendekatan yang bergerak dalam ruang lingkup teks. Dalam hali ini Gus Dur mendaku ushul fiqh. Kedua adalah maqashid syariah. Namun, dari dua macam pendekatan ini, Gus Dur berhenti, dan belum melanjutkan. Inikah lahan garapan untuk para gusdurian?
Pertemuan berikutnya diagendakan membedah jurnal Pesantren Ciganjur edisi \"Weltanschauung Gus Dur\", yang diawaki santri-santri Pesantren Ciganjur asuhan Gus Dur. Rencananya digelar, Jumat 20 Januari pukul 14.00 WIB. Narasumber Mahbib Khoiron dan Wawan Kurniawan, keduanya redaksi jurnal Pesantren Ciganjur, dengan narasumber Bisri Effendi, mantan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Direktur Desantara, serta A. Mun\'im DZ, Wakil Sekretaris Jenderal PBNU.
Pada pembukaan ISRL (International Symposium of Religious Life) 2018 di Yogyakarta, Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin menyampaikan bahwa agama dan budaya tak dapat dipisahkan. Pada lanskap yang plural, seperti Indonesia, budaya dan agama dapat berjalan beriringan secara harmonis. Hal tersebut adalah alasan mengapa sampai saat ini keutuhan bangsa dapat terjaga.
Berkenaan dengan agama dan budaya, kritik Menteri Agama kepada para akademisi adalah jangan hanya piawai membuat karya ilmiah belaka, namun juga harus memiliki sense of crisis. Sehingga para akademisi memiliki peran dalam pencegahan konflik di akar rumput. Menteri Agama benar, memang sudah seharusnya para akademisi tidak hanya bersembunyi di atas menara gading. Kaum cerdik pandai itu dituntut peka dengan kondisi terkini lalu meresponnya, tidak sekadar duduk manis di belakang meja.

Apa yang disampaikan Menteri Agama tersebut rupanya selaras dengan apa yang kami diskusikan di kelas Islam dan Budaya Jawa. Ketika itu kami sedang berdiskusi tentang Pribumisasi Islam dan Universalisme Islam. Antara agama dan budaya memang tidak perlu dibenturkan. Tidak pula saling mengalahkan. Jika dapat dibangun jembatan, untuk saling melihat titik temu dan persamaan, mengapa tidak?

Beragama sejatinya sederhana saja, yang rumit adalah kekanak-kanakkan pemeluknya. Dalam Islam misalnya, ada sesuatu “yang universal” dan ada “yang lokal”. Jika dua hal itu dipahami, kiranya ribut-ribut pertentangan antara agama dan budaya dapat berkurang. Karena memang “rumusnya” mudah belaka.

Sesuatu yang “universal” dalam Islam itu misalnya masjid. Di manapun tempatnya, masjid adalah sama, sama-sama temat untuk beribadah, khususnya salat (berjamaah). Sebagai tempat ibadah, masjid mestilah suci. Namun yang “lokal” dari masjid adalah arsitekturnya. Tidak aneh jika kita pergi ke Kudus, Demak, Solo, Jogja atau tempat-tempat lain akan mendapati arsitektur masjid yang khas. Sebab, memang tidak pernah ada kewajiban penyeragaman arsitektur masjid.
Contoh lain, menutup aurat bersifat “universal”. Semua muslim di seluruh dunia melakukannya. Cuma, perkara apakah aurat itu ditutup dengan batik, ulos, lurik, katun atau jenis kain yang lain adalah hal “lokal”.

Nabi tak pernah, katakanlah, mendeklarasikan jubah/gamis sebagai “pakaian orang Islam”. Sehingga kita bisa saksikan warna-warni ekspresi lokal kaum muslim dalam menutup aurat. Beragam bahan dan model pakaian tak jadi soal.

Jika mau, kita bisa memperpanjang contoh-contoh itu. Puasa adalah universal tapi kolak bersifat lokal. Idul fitri adalah universal namun ketupat lokal sifatnya, dst dst. Segala yang lokal bukan berarti bergerak tanpa batas. Selama tidak menyalahi landasan-landasan dasar agama, masih diperbolehkan.
Maka ketika ada sekelompok orang yang begitu ngotot ingin memisahkan agama dan budaya, saya tidak habis mengerti. Apakah mereka ingin memisahkan lebaran dan ketupat, ramadhan dan kolak? Apakah Islam Indonesia ingin mereka samakan 100 % dengan Islam di Arab?

Islam sangat adaptif dan elastis, akulturasi terjadi di mana-mana. Pemahaman ini, semoga saya salah, tampaknya sudah makin terkikis. Sehingga kasus pembubaran sedekah laut dan sejenisnya masih terus terjadi. Kini, pesan Menteri Agama, yang saya kutip di awal pararaf, perlu kita renungkan kembali.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.