TOMBO ATI WARISAN SUNAN BONANG SEBAGAI BAHAN KAJIAN DIRI


Beliau Sunang Bonang yang mempopulerkan tembang..Tombo Ati ini, sarat hikmah..pelembut kalbu..dan bahan intropeksi serta kajian diri

tombo ati iku limo perkarane
kaping pisan moco Qur’an lan maknane
kaping pindo sholat wengi lakonono
kaping telu wong kang sholeh kumpulono
kaping papat kudu weteng ingkang luwe
kaping limo dzikir wengi ingkang suwe
salah sawijine sopo biso ngelakoni
mugi-mugi Gusti Allah njembatani
[2x]

obat hati ada lima perkaranya
yg pertama, baca Qur’an dan maknanya
yang kedua, sholat malam dirikanlah
yg ketiga, berkumpullah dng orang sholeh
yg keempat, perbanyaklah berpuasa
yg kelima, dzikir malam perpanjanglah
salah satunya siapa bisa menjalani
moga-moga Gusti Allah mencukupi
[2x]

Beliau hidup di lingkungan pesantren sejak lahir. Cucu Maharaja Majapahit terakhir ini membawa nuansa zikir dalam gamelan.

Rombongan santri itu melintasi hutan jati di kawasan Tuban, Jawa Timur. Tiba-tiba mereka dicegat gerombolan begal. Kepala rombongan dipaksa menyerahkan uang dan harta yang dibawa.
“ Kami cuma membawa gamelan,” kata pria bersurban dengan jubah putih yang memimpin rombongan santri.

“ (Penampilan) Kalian bukan wiyaga (pemain gamelan jawa)! Coba kalian mainkan gamelan itu. Kalau kalian bohong, bukan hanya harta kalian tapi nyawa kalian juga kami cabut!” bentak kepala garong yang bernama Kebondanu.
Rombongan mulai memainkan perangkat musik Jawa itu. Sang pemimpin rombongan melantunkan suluk dalam macapat dengan merdu. Suluk itu berisi pesan tasawuf yang dikenal dalam masyarakat Jawa dan Madura dan ditulis dalam bentuk puisi dengan metrum (tembang) tertentu seperti sinom, wirangrong, kinanti, smaradana, atau dandanggula.

Suluk itu begitu menggetarkan hati yang mendengar. Tak terkecuali para garong. Kaki Kebondanu seketika lemas, tubuhnya menggelosor ambruk ke tanah.
“ Tobaaat….ampun. Hentikan tembang kalian!” teriak Kebondanu.
Musik masih terus dimainkan.
“ Tidak ada yang salah dengan tembang ini. Kalian mungkin terlalu banyak punya niat buruk dalam hidup,” kata sang pemimpin santri itu dengan nada tenang.
“ Saya nyerah….saya nurut perintah kisanak,” kata Kebondanu dengan tubuh menggeliat-geliat di atas tanah seperti cacing kepanasan.
Musik pun dihentikan. Kebondanu bernafas lega. Dengan tubuh yang masih lemah dia bersimpuh dan memohon kepada pimpinan rombongan untuk bersedia menjadi guru dan membimbing jalan hidupnya.

Sang pimpinan rombongan memperkenalkan diri sebagai Susuhunan dari Bonang, sebuah desa di perbatasan Rembang, Jawa Tengah dengan Tuban di Jawa Timur. Para santrinya lebih mudah menyebut dia dengan Sunan Bonang. Sejak saat itu Kebondanu menjadi pengikut setia dan santri yang taat.
Sunan Bonang memang dikenal sebagai penyebar Islam yang tak pernah lama menetap di satu wilayah. Beliau lebih sering mengembara dalam menyebarkan ajaran Islam di Tanah Jawa. Wajar jika muridnya banyak tersebar di berbagai wilayah.
Kisah Kebondanu hanyalah salah satunya. Tak kalah penting juga peristiwa pencegatan Sunan Bonang oleh Berandal Lokajaya.
Berandal ini mencegat Sang Sunan saat sedang berjalan sendirian. Mata hati Sunan yang sangat waspada, melihat bahwa Lokajaya hatinya dipenuhi dengan keinginan duniawi.
“ Kalau kamu mau harta, ambillah emas yang ada di biji aren itu,” katanya kepada Lokajaya sambil menunjuk pohon aren yang berbuah butir-butir emas.
Lokajaya terbelalak dan langsung memanen aren emas itu dan memasukkannya ke dalam kantong bajunya. Setelah semua emas terambil dia periksa kantongnya. Ternyata emas itu kembali menjadi biji aren.
Sadar bahwa yang dirampok adalah orang yang punya ilmu tinggi, Lokajaya mengejar orang berjubah putih itu. Dia bersimpuh dan memohon agar diangkat menjadi murid sang Sunan.
Sunan Bonang menerima Lokajaya. Ternyata berandalan itu adalah putra Adipati Tuban, Tumenggung Wilatikta yang melawan kemewahan hidup sebagai anak pejabat. Dia layaknya seorang ‘robin hood’ Jawa, karena hasil rampokannya dia bagikan kepada rakyat miskin.
Berandal Lokajaya bernama asli Raden Said. Dia banyak menerima ilmu dari Sunan Bonang. Tak hanya ilmu keagamaan, namun juga seni tradisional yang digunakan Sunan Bonang untuk menyebarkan Islam. Di kemudian hari Lokajaya dikenal sebagai Sunan Kalijaga.

***

Sejak lahir, Sunan Bonang hidup di lingkungan pesantren. Dia lahir dengan nama Raden Maulana Makdum Ibrahim, pada 1465. Ayahnya, Raden Rahmat merupakan keponakan dari Ratu Dwarawati, permaisuri Raja Brawijaya V.
Brawijaya V merupakan penguasa terakhir kerajaan Majapahit (1293-1500). Sang Maharaja yang masih terhitung paman, memberikan tempat di Ujung Galuh (sekarang bernama Surabaya) kepada Raden Rahmat untuk mendirikan tempat belajar para santri (persantrian atau pesantren). Daerah itu bernama Ngampeldenta.
Setelah pesantren berdiri, Raden Rahmat pun berjuluk Susuhunan Ngampeldenta. Atau para santri lebih sering mengucapkan dengan Sunan Ampel.
Hidup di lingkungan santri, Raden Makdum (Sunan Bonang) tumbuh sebagai pemuda yang ilmu agamanya cukup mumpuni. Sunan Ampel kemudian mengirimnya belajar Islam lebih dalam ke Samudera Pasai (Aceh).
Kepergian Raden Makdum ditemani Raden Paku, salah seorang santri yang ilmu agamanya juga cukup tinggi. Sepulangnya mereka belajar dan kembali ke Ampel, mereka mendapat tugas masing-masing.
Raden Makdum memulai dakwah dari Bonang, sehingga mendapat gelar Sunan Bonang. Sementara Raden Paku kembali ke Gresik dan mendirikan pusat pendidikan Islam Giri Kedaton. Raden Paku akhirnya lebih dikenal sebagai Sunan Giri.
Sejak muda, Sunan Bonang dikenal sebagai mubaligh handal. Fasih berbahasa Arab dan Melayu. Dia juga menguasai ilmu ushuluddin yang mengajarkan dasar agama, fiqih, tafsir Alquran, dan Hadis, serta tasawuf atau sufisme. Keluasan ilmu itulah yang membuatnya sangat arif dalam menyebarkan Islam.
Menurut Dr.Abdul Hadi W.M, Budayawan Universitas Paramadina & Universitas Indonesia, karya-karya Sunan Bonang yang dijumpai hingga saat ini dikelompokkan menjadi dua :
Pertama, suluk yang mengungkapkan pengalamannya menempuh jalan tasawuf dengan beberapa pokok ajaran tasawufnya. Ajaran ini disampaikan melalui ungkapan-ungkapan simbolik yang terdapat dalam kebudayaan Arab, Persia, Melayu, dan Jawa.
Di antara suluk-suluknya ialah Suluk Wujil, Suluk Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Pipiringan, Gita Suluk Latri, Gita Suluk Linglung, Gita Suluk ing Aewuh, Gita Suluk Jebang, Suluk Wregol dan lain-lain (Drewes 1968).
Kedua, karangan prosa seperti Pitutur Sunan Bonang yang ditulis dalam bentuk dialog antara seorang guru sufi dan muridnya. Bentuk semacam ini banyak dijumpai dalam sastra Arab dan Persia
Sunan Bonang juga menulis sebuah kitab yang berisikan tentang Ilmu Tasawwuf berjudul Tanbihul Ghofilin. Kitab setebal 234 halaman ini sangat populer dikalangan para santri.
Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam.
Dia juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dia menambahkan sebuah elemen instrumen dalam gamelan jawa.
Instrumen dari logam itu berbentuk seperti mangkuk terbalik dengan tonjolan bagian tengahnya. Instrumen yang kemudian diberi nama “ bonang” itu, saat dimainkan memiliki nuansa zikir mendorong kecintaan pada kehidupan transedental.
Sebuah warisan Sunan Bonang yang hingga kini masih sering dinyanyikan adalah tembang " Tombo Ati" (Obat Hati).

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.